KOMPAS/JB SURATNO
Para mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya duduk di depan gedung DPR setelah menghadiri Sidang Umum DPR pada 20 Desember 1979 yang membicarakan mengenai usul interpelasi tentang NKK atau Normalisasi Kehidupan Kampus.
Fakta Singkat
- Dewan Mahasiswa merupakan student government yang dibentuk tahun 1950-an
- Mendikbud Daoed Yoesoef mengeluarkan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membekukan Dewan Mahasiswa.
- Pangkobkamtib Benny Moerdani mengeluarkan SK No. SKEP 02/KOPKAM/1978 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang dipimpin oleh Rektor.
- Peraturan NKK/BKK ini telah memberangus gagasan dan gerakan mahasiswa
- Mendikbud Fuad Hassan menerbitkan SK No. 037/U/1979 tentang Bentuk Susunan Lembaga/Organisasi Kemahasiswaan. Dibentuknya Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), tetapi faktanya seluruh kegiatan mahasiswa dapat digagalkan oleh Rektorat.
- Mendikbud menerbitkan SK Mendikbud No. 0457/1990 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di perguruan tinggi. Namun, surat Keputusan ini dianggap melemahkan kedudukan Senat Mahasiswa sebagai organisasi intra kampus.
- Pada 30 Juni 1998, Mendikbud Juwono Sudarsono menerbitkan SK Mendikbud No.155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, memungkinkan terbentuknya organisasi intra kampus yang kuat dan mandiri.
Organisasi mahasiswa merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengekspresikan pemikiran dan memperjuangkan gerakan mereka. Organisasi kampus awalnya terbentuk dengan nafas student government yang awalnya adalah organisasi biasa dengan konsep Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa.
Kedua organisasi kampus tersebut adalah badan di dalam universitas yang pengangkatannya melalui surat Keputusan Rektor, tetapi memiliki kewenangan untuk mengelola dirinya sendiri. Ada tiga fungsi pokok student government, yaitu advocacy, representation, dan voice. Lembaga ini diharapkan mampu menyuarakan opini dan kepentingan mahasiswa dan menjadi manifestasi harapan dan kepentingan mahasiswa di kampus. Organisasi ini disebut juga dengan organisasi intra-kampus karena dibentuk di dalam kampus dan memiliki pertanggungjawaban hingga rektor.
Sebagai calon pemimpin bangsa, mahasiswa mengemban peran advokasi untuk ikut mempengaruhi kebijakan nasional. Artinya, membawa aspirasi masyarakat yang diangkat dalam bentuk advokasi sebagai gerakan moral dan intelektual.
Selain itu, ada pula organisasi ekstra kampus yang merupakan organisasi mahasiswa bentukan dari luar kampus yang mewadahi mahasiswa atau disebut organisasi massa mahasiswa. Organisasi ekstra universitas tersebut, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Ketika Politik Ikut Bermain
Situasi politik Indonesia pada Era Soekarno pernah mengalami ketidakstabilan. Saat itu, terjadi perebutan pengaruh baik kepada pemimpin besar Revolusi Soekarno dan ke kelompok muda, dalam hal ini mahasiswa. Karenanya, terjadi persaingan gagasan masuk ke dalam kampus melalui beragam organisasi ekstra kampus, bahkan pengurus organisasi ekstra kampus sempat berebut pengaruh dan kekuasaan dalam Dema (Dewan Mahasiswa).
Dalam Demokrasi Parlementer, organisasi ekstra kampus telah berbasis ideologi bahkan berafiliasi dengan partai politik. Saat itu, HMI berafiliasi pada gerakan Islam, GMNI berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), PMKRI berbasis Kataolik, CGMI berbasis pada PKI, PMII dekat dengan NU, dan Gerakan Mahasiswa Sosialis (PMS) berafiliasi pada Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Ketika pengurus organisasi ekstra kampus masuk ke dalam Dema, sulit untuk melepaskan ideologi dan kepentingan afiliasi mereka. Kekuatan Dema terbesar adalah setelah terjadi peristiwa G30S. Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI) yang terkenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Bahkan, mahasiswa bersama TNI berhasil menumbangkan PKI hingga Soekarno.
Garangnya gerakan mahasiswa terus berjalan hingga pada awal Orde Baru yang melihat pemerintah tidak lagi memedulikan Tritura. Bahkan, pada tahun 1974 terjadi gerakan besar-besaran mahasiswa menolak modal asing dan menolak Presiden Soeharto untuk periode berikutnya.
Pemberangusan Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa masih memiliki hubungan baik dengan pemerintah Orde Baru hingga awal kekuasannya. Namun, setelah berjalan beberapa tahun, mahasiswa mulai melihat Orde Baru mulai kehilangan semangat Tritura. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan membuat mahasiswa bergerak turun ke jalan.
Mahasiswa berulang kali melakukan demonstrasi karena mengkritik beragam isu, situasi politik dan kemiskinan membuat mahasiswa mengkritik MPR, DPR, hingga Presiden. Aksi mengkritik dan menolak kebijakan pemerintah terus berkembang hingga di titik puncaknya adalah menolak kebijakan masuknya modal asing yang dianggap hanya akan makin menyengsarakan ekonomi Indonesia.
Demonstrasi besar-besaran adalah ketika menolak Perdana Menterti (PM) Jepang Tanaka hadir di Indonesia. Demonstrasi yang berujung pada kerusuhan tersebut terjadi pada 15 Januari 1974. Saat itu, para pendemo membakar dan merusak berbagai hal yang terkait dengan bisnis Jepang, hingga melumpuhkan kota Jakarta selama dua hari.
Meskipun saat itu ada mahasiswa dan tokoh politik yang ditangkap, semangat mahasiswa untuk terus mengawal proses pembangunan tidak surut. Pemerintah meresponnya dengan tindakan militer hingga masuk kampus yang lebih represif. Namun, hal itu hanya menjadikan mahasiswa makin bersemangat bergerak. Pada awal Februari 1978, ada 223 mahasiswa dan 15 orang non-mahasiswa yang ditahan dan terus diperiksa oleh aparat.
Melihat gerakan mahasiswa yang semakin berani melawan pemerintah melalui berbagai aksi bersama, pemerintah terdorong untuk menghentikannya. Presiden yang didukung oleh Kementrian dan Pangkopkamtib mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Menteri Pendidikan Daoed Joesoef mengeluarkan dua Surat Keputusan, yaitu SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan SK tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Kemudian Pangkobkamtib Benny Moerdani mengeluarkan SK No. SKEP 02/KOPKAM/1978 yang isinya pembekuan Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia. Kedua surat tersebut kemudian dikenal dengan sebutan NKK/BKK.
Menurut Daoed Joesoef, tanggung jawab mahasiswa adalah membangun kekuatan penalaran individual sebagai dasar kemampuan berpikir analitis dan sintetis—bahwa mahasiswa bukanlah “manusia rapat umum”, tetapi manusia penganalisis yang memiliki kemampuan penalaran dan mengisi teknostruktur di masyarakat. Sementara itu, Laksamana Sudomo berpendapat bahwa organisasi kemahasiswaan dan kampus bukanlah alat politik praktis.
Dengan diberlakukannya SK tersebut, anggaran dasar rumah tangga BKM (Badan Keluarga Mahasiswa) tidak berlaku lagi. Hal tersebut membuat Majelis Mahasiswa sebagai lembaga legislatif dan Dewan Mahasiswa sebagai lembaga eksekutif tingkat universitas harus mengalami penyempurnaan bentuk. Di tingkat universitas, dibentuk badan pembina kemahasiswaan yang disebut Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKM).
Sedangkan di tingkat fakultas, Kodema (komisariat dewan mahasiswa) bentuknya diubah menjadi Senat Mahasiswa (Sema). Kemudian, di fakultas dibentuk Badan Pembina Kemahasiswaan (BPK) yang anggotanya terdiri dari anggota Majelis Mahasiswa yang bukan ex-officio, ditambah 10 mahasiswa tingkat sarjana, dan 10 mahasiswa tingkat sarjana muda.
Setahun kemudian, Menteri P&K mengeluarkan SK No. 037/U/1979 yang menentukan bentuk susunan lembaga kemahasiswaan di tiap perguruan tinggi. Dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang diketuai oleh Pembantu Rektor Kemahasiswaan. Surat keputusan tersebut terkait Normalisasi Kehidupan Kampus yang menuntut Rektor untuk meredefinisi keputusan dalam civitas akademis. Kemudian, dilaksanakan rapat kerja Rektor Universitas/Institut seluruh Indonesia yang mengeluarkan beberapa keputusan terkait persiapan penataan kembali kehidupan kampus.
Dalam itu penataan itu, Rektor diberi waktu satu bulan untuk persiapan termasuk meredefinisi kembali apa yang disebut dengan kehidupan kampus. Bahkan, Rektor ditugaskan memberikan laporan secara periodik tentang perkembangan persiapan pelaksanaan normalisasi kehidupan kampus pada Dirjen Pendidikan Tinggi.
Normalisasi yang diharapkan pemerintah pada kehidupan mahasiswa membuat Universitas Gadjah Mada (UGM) menutup Gelanggang Mahasiswa selama tiga bulan. Setelah itu, seluruh kegiatan mahasiswa yang ingin menggunakan Gelanggang Mahasiswa harus mendapat izin rektor UGM.
Setelah NKK/BKK keluar, Pangkobkamtib Soedomo menyatakan bahwa Dewan Mahasiswa dilarang, tetapi muncul perlawanan dari mahasiswa ITB. Dema ITB yang saat itu dipimpin oleh Heri Akhmadi, Rizal Ramli, dan Indro Tjahjono bersama Keluarga Mahasiswa ITB menyusun Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Peluncuran Buku Putih yang intinya menolak Soeharto menjadi presiden untuk periode berikutnya dilaksanakan pada 16 Januari 1978 di lapangan basket yang dihadiri 2.000 mahasiswa.
Peristiwa tersebut mengundang kemarahan pemerintah. Pasukan dari Siliwangi dan Kostrad menduduki kampus ITB selama enam bulan. Tokoh-tokoh mahasiswa ditangkap, mahasiswa lama diusir. Hanya mahasiswa Angkatan 1978 yang boleh berkuliah di ITB.
Kepengurusan Unit Kegiatan Kemahasiswaan, Senat Mahasiswa Fakultas dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dibimbing dan bertanggung jawab pada pembimbing unit, Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan dan Tim Pembimbing Jurusan. Tahun 1979 Dema ITB masih ada, tetapi pengurusnya diancam dengan skorsing atau drop out (DO).
Tahun 1982 mahasiswa ITB sepakat membubarkan Dewan Mahasiswa yang disetujui oleh 22 HMJ dan 44 Ketua Unit Kegiatan. Namun, saat itu mereka menggantinya dengan Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHI) dan Badan Koordinasi Satuan Kegiatan (BKSK). Akhirnya, muncul banyak kelompok studi karena tekanan birokrasi yang sangat besar bagi kegiatan aktivitas mahasiswa.
KOMPAS/KARTONO RYADI
Hariman Siregar Diadili — Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Hariman Siregar, hari Kamis, 1 Agustus 1974 mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas tuduhan merongrong Pemerintah yang sah melalui aksi demonstrasi “Malari” pada Januari 1974 lalu, serta ucapan-ucapannya di berbagai tempat.
Senat Mahasiswa Dihidupkan Kembali
Setelah satu dekade organisasi intra-kampus mengalami redefinisi aktivitas mahasiswa seolah mati suri. Apalagi, diterapkannya Sistem Kredit Semester (SKS) membuat kehidupan organisasi kemahasiswaan menjadi lumpuh sama sekali. Pada awal tahun 1987-an muncul wacana menghidupkan kembali seperti pada masa pra-1978, karena setelah diberlakukan NKK kehidupan mahasiswa pun berakhir. Mahasiswa tidak punya pengalaman belajar di luar studi mereka dan tidak tumbuh semangat kompetitif seperti yang terlihat mahasiswa pada masa pra-1978.
Gagasan yang muncul bukan lagi Dewan Mahasiswa, tetapi mekanisme kepemimpinannya dapat dihidupkan kembali. Dalam organisasi yang lama tersebut, mahasiswa memiliki wewenang penuh untuk memilih pemimpin di tingkat dewan atau senat mahasiswa. Mahasiswa belajar merumuskan kebijaksanaan, mereka juga mengenal cara hidup bermasyarakat, berorganisasi, dan kepemimpinan.
Senat fakultas dan universitas adalah organisasi intra-universiter yang diharapkan mampu menyegarkan kegiatan mahasiswa dalam membina masyarakat. Dengan demikian, kampus menjadi lebih dinamis dan lebih segar dalam mengelola esensinya sebagai anggota masyarakat ilmiah.
Gagasan menghidupkan senat merupakan usulan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keputusan pembentukan senat mahasiswa ini ditentukan oleh Menteri Pendidikan setelah menerima masukan dari pertemuan rektor. Saran dan masukan dari pertemuan rektor se-Indonesia akan menjadi pertimbangan Menteri Pendidikan.
Namun, Mendikbud Fuad Hassan menegaskan bahwa rencana pembentukan senat mahasiswa tingkat fakultas dan universitas tidak ada hubungannya dengan Dewan Mahasiswa. Bagi Mendikbud, tujuan senat mahasiswa di perguruan tinggi untuk civitas akademis memiliki wahana sesuai dengan keputusan rapat rektor di Jakarta. Terbentuknya senat akan memudahkan rektor memantau kegiatan mahasiswa.
Senada dengan Mendikbud, Mendagri Rudini menegaskan bahwa senat mahasiswa yang akan dikembangkan tidak akan sama dengan Dewan Mahasiswa pra-1978. Rudini menegaskan akan dibentuk senat guru besar di universitas dan senat mahasiswa tingkat universitas di bawah pimpinan rektor universitas. Lebih jauh, Rudini menegaskan bahwa dalam membuat keputusan, rektor harus mempertimbangkan masukan dari senat guru besar dan senat mahasiswa.
Dunia pendidikan tinggi kemudian membentuk Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Namun, ketergantungan SMPT pada rektorat sangat besar terutama dalam hal dana dan kegiatan mahasiswa sehingga banyak kegiatan mahasiswa tidak berjalan. Tidak jarang rencana kegiatan mahasiswa justru ditolak oleh rektorat.
Bahkan, tidak semua perguruan tinggi membentuk SMPT di kampusnya. Salah satunya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam hal itu, ITB menyerahkan setiap keputusan dan kegiatan di himpunan fakultas masing-masing. Menurut pihak ITB, SMPT dianggap belum mampu mewadahi aspirasi mahasiswa, karena banyak kegiatan di kampus yang terhambat oleh birokrasi perizinan yang ditetapkan aturan main bagi SMPT.
Di berbagai kampus, dibentuk Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa, dua organisasi ini berjalan masing-masing. Hal itu membuat mereka terkotak-kotak dan melemahkan integritas mahasiswa—kenyataan yang menjadi pemandangan umum di perguruan tinggi.
Tahun 1993, mahasiswa ITB melakukan referendum hasilnya adalah menolak SMPT dan membentuk Lembaga Sentral Mahasiswa dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Mahasiswa ITB menggunakan istilah Komite Mahasiswa (KM) ITB yang mengemban fungsi eksekutif. Namun, tahun 1996 ITB menggunakan istilah Kabinet Mahasiswa (KM) ITB yang fungsinya sama dengan BEM.
Namun demikian, setiap universitas memaknainya secara berbeda, seperti di Universitas Indonesia yang membentuk Senat Mahasiswa pertama tahun 1992 dengan ketuanya Chandra M. Hamzah. Sedangkan, Badan Eksekutif Mahasiswa di UI pertama kali dibentuk tahun 1998.
Tahun 1995, mahasiswa di Universitas Gadjah Mada pernah membentuk Dewan Mahasiswa tetapi hal itu ditentang oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro. Hal senada diungkapkan oleh Rektor UGM (18/1/1995) Soekanto Reksohadiprodjo bahwa mahasiswa jangan terjebak dengan konsep Dema 1960-an, karena merupakan perwakilan organisasi kemahasiswaan berlatar belakang ideologis seperti HMI, CGMI, PMKRI, dan GMNI. Akibatnya, banyak kepentingan politik membuat suasana kampus tegang dan penuh intrik.
Pada saat yang sama, muncul gagasan untuk membentuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk mendampingi Senat Mahasiswa. Universitas Gadjah Mada membentuk BEM sebagai lembaga eksekutif tahun 1995 untuk mendampingi Sema yang menjadi lembaga legislatif. Saat itu, UGM masih mempertahankan SMPT sebagai pembuat kebijakan, sementara Sema dan BEM sebagai pelaksananya. Sema dan BEM dibentuk di tingkat fakultas dan universitas, dan di tingkat jurusan bernama Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Perbedaannya dengan Dema adalah struktur dalam Sema dan BEM bersifat koordinatif, bukan instruktif seperti dalam Dewan Mahasiswa.
Kembali pada Student Government
Setelah enam tahun Mendikbud mengeluarkan SK No. 0457/1990 banyak yang mengkritik aturan tersebut tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam kehidupan organisasi kampus.
Surat keputusan tersebut dianggap menghambat proses regenerasi pemimpin bangsa dan menggerogoti kewibawaan Senat Mahasiswa.
Tudingan tersebut muncul dari kalangan civitas akademis, bahkan aktivis Sema dari 36 perguruan tinggi meminta Mendikbud mencabut aturan tersebut. Pada tahun 1996, keinginan tersebut muncul dari perguruan tinggi secara nasional.
Setelah Reformasi 1998, terjadi perubahan dalam konsep Senat Mahasiswa. Untuk mengeksekusi program kerja, dibentuklah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), sedangkan fungsi legislatif dinamakan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM). (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Pelaksanaan Normalisasi Kampus UGM, Kompas, Jumat 2 Juni 1978,
- Pelaksanaan Penataan Kembali Kehidupan Kampus, Kompas, Senin 17 April 1978
- PMJ : Bukan Pamlet Gelap, Rabu 4 Februari 1978
- Mereka Terus Diperiksa, Kompas, Senin, 6 Februari 1978
- Senat Mahasiswa Akan Dihidupkan, Kompas, 19 November 1989
- Harapan Agar Kehidupan Kampus Lebih Semarak, Kompas, 2 Maret 1987,
- SM Universitas Tidak Sama dengan DM sebelum NKK/BKK, Kompas 22 November 1989
- Aspirasi Mahasiswa Sebaiknya Tersalurkan Melalui Senat, Kompas, Selasa, 21 November 1989
- Mendikbud Tak Akui Dema, Kompas, Rabu 1 Februari 1995
- SMPT Belum Mewadahi Aspirasi Mahasiswa, Kompas, Senin, 30 Januari 1995
- Peninjauan Ketentuan SMPT Agar Libatkan Mahasiswa, Kompas, Kamis 17 Oktober 1996
- Senat Mahasiswa Membawa Suasana Tegang, Kompas, Kamis 19 Januari 1995
- SK Mendikbud Dinilai Menghambat Regenerasi Pemimpin Bangsa, Kompas, Senin 2 Desember 1996