Paparan Topik | Pemilihan Umum

Sejarah Kampanye Pemilu di Indonesia

Sejak Pemilu 1955, kampanye telah menjadi salah satu aspek yang menentukan kemenangan dalam pemilu. Beragam metode dan teknik kampanye dilakukan, mulai dari rapat umum, pawai, pemasangan atribut atau alat peraga, sampai pengerahan “buzzer” politik.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Hari terakhir masa kampanye pada Jumat (25/6/1971). Partai NU, PNI, dan partai politik lainnya menggunakan kesempatan itu untuk mengadakan rapat umum. NU di lapangan banteng dan PNI berkampanye di Istora Senayan, dan Partai Katolik di Blok Q Kebayoran Baru.

Fakta Singkat

Sejarah kampanye pemilu:

  • Secara umum, sejak Pemilu 1955 hingga kini, ada beragam metode dan teknik kampanye.
  • Teknik kampanye sejak 1955 – 2024 di antaranya: rapat umum, pertemuan-pertemuan, pawai dan karnaval, pemasangan alat peraga, penyelenggaraan panggung pertunjukan hiburan, kegiatan sosial, iklan-iklan di media, hingga pengerahan buzzer politik.
  • Kampanye pemilu diselenggarakan berdasarkan prinsip: jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
  • Kampanye Pemilu 2024 diatur Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
  • PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum menjelaskan bahwa kampanye pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu.

Artikel terkait

Terhitung sejak 28 November 2023, Pemilu 2024 telah memasuki tahapan baru yang sangat menentukan, yaitu kampanye terbuka. Masa kampanye akan berlangsung hingga 10 Februari 2024.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum menjelaskan bahwa kampanye pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta Pemilu.

Selain itu, kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik masyarkat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Oleh karena itu, kampanye pemilu menjadi salah satu tahapan penting dalam proses demokrasi.

Bagi para kontestan pemilu, kampanye menjadi wadah mereka dapat memperkenalkan, mempromosikan, serta menyuarakan ide, pemikiran, dan citra diri mereka sebagai pertimbangan bagi masyarakat untuk meyakinkan konstituennya. Sementara untuk masyarakat, kampanye adalah kesempatan untuk mengenal dan menyerap gagasan-gagasan para kontestan pemilu.

Momentum mencari dan menyeleksi pemimpin yang dalam pandangan mereka bisa membawa rakyat lebih sejahtera serta bangsa lebih maju dan lebih baik. Untuk itu, kampanye pemilu diselenggarakan berdasarkan prinsip: jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Secara historis, sejak gelaran pemilu pertama pada 1955, kampanye telah menjadi salah satu aspek yang menentukan kemenangan dalam pemilu. Bisa dibilang, kampanye adalah ajang perlombaan menggalang kekuatan.

Pada masa kampanye, setiap partai politik dan para kontestan bekerja keras mengerahkan seluruh perhatian dan sumber daya yang dimiliki untuk menggalang kekuatan.

Beragam metode dan teknik kampanye dilakukan, mulai dari rapat umum; pertemuan-pertemuan; pawai dan karnaval; peragaan lambang dan tanda partai; penyelenggaraan panggung pertunjukan/hiburan; kegiatan sosial; iklan-iklan di media; hingga pengerahan buzzer politik.

Era Soekarno

Pemilu pertama 1955

Pemilihan umum 1955 menjadi pemilu nasional pertama sejak Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Sebelum Pemilu 1955, pemilu di Indonesia masih bersifat lokal, seperti pemilu di Sulawesi dan Yogyakarta pada 1951 dan awal 1952.

Merujuk Herbert Feith dalam Pemilhan Umum 1955 di Indonesia, Pemilu 1955 merupakan hajatan politik yang sangat ditunggu-tunggu. Rencana untuk mengadakan pemilu secara nasional sebenarnya sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945, dan sedianya akan digelar tahun 1946 untuk memilih anggota legislatif.

Namun, pemilihan itu urung digelar karena kendala dari dalam dan luar negeri. Sumber penyebab dari dalam, antara lain, ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu. Ketidaksiapan ini karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu, maupun akibat instabilitas politik dan keamanan negara pada masa-masa awal mempertahankan kemerdekaan. Penyebab dari luar, antara lain, serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Baru pada 1950-an upaya-upaya untuk menyelenggarakan pemilu menjadi bahasan politik yang sangat penting. Pada November 1952, Kabinet Wilopo mengajukan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang baru. Empat bulan kemudian, dengan sejumlah perubahan, rancangan itu menjadi Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang yang baru ini menetapkan diadakannya dua pemilihan umum, yakni memilih untuk Parlemen dan Konstituante. Indonesia dibagai ke dalam 16 daerah pemilihan. Dengan sistem perwakilan proporsional setiap daerah pemilihan mendapatkan sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya. Namun, dalam ketentuannya setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum enam kursi di Konstituante dan tiga kursi di Parlemen. Di setiap daerah pemilihan, kursi diberikan kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara yang mereka peroleh.

Setelah undang-undang terbentuk, Kabinet Wilopo kemudian berupaya membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat, namun gagal. Barulah pada Desember 1953, di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo, terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia.

Pada April 1955, Panitia Pemilihan Indonesia mengumumkan bahwa pemilu untuk anggota Parlemen dan Konstituante akan dilaksanakan masing-masing pada 29 September dan 15 Desember 1955.

Namun, tak lama setelah pengumuman tanggal pelaksaan pemilu, terjadi konflik baru militer-politik yang berujung pada runtuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo. Keraguan apakah pemilu bisa dilaksanakan pun sempat muncul. Untungnya, kabinet berikutnya, Kabinet Buharuddin Harahap dari Masyumi, mampu menyelenggarakan pemilu pada tanggal yang telah ditentukan.

Pemilu 1955 berjalan dengan cukup sukses. Pemilu ini dipandang sebagai prestasi gemilang bagi Indonesia. Dalam buku Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955 disebutkan bahwa pemilihan anggota DPR tahun 1955 diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Sementara pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perseorangan. Adapun partisipasi masyarakat pada pemilu perdana ini terbilang tinggi. Dari 43.104.464 pemilih terdaftar, 87,66 persen pemilih menggunakan hak pilihnya.

Lima besar partai dalam pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Kampanye partai PDI pada 21 April 1977 di Lapangan Banteng Jakarta Pusat dibanjiri massa dan simpatisannya. Tampil sebagai juru kampanye sore itu antara lain Ketua partai Usep Ranuwidjaja, Prof.Sunaryo dan IJ Kasimo.

Kampanye Pemilu 1955

Meskipun tanggal pelaksanaan Pemilu 1955 baru diumumkan pada bulan April 1955, persaingan antar-partai politik telah sangat terasa sejak jauh-jauh hari. Herbert Feith menyebutkan bahwa partai politik sudah mulai berkampanye sejak 4 April 1953, ketika rancangan undang-undang pemilu disahkan menjadi undang-undang. Tanggal ini pun dianggap sebagai tanggal dimulainya kampanye tahap pertama.

Kemudian ketika tanda gambar partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia pada 31 Mei 1954, jalan untuk partai-partai politik untuk menampilkan dirinya semakin terbuka. Partai-partai politik pun meningkatkan intensitas kegiatannya menggalang dukungan.

Saat itu, partai-partai yang berkembang tidak hanya mereka yang telah lama dibentuk sejak zaman Hindia Belanda, namun juga partai-partai baru mulai berkembang. Setidaknya terdapat lima golongan partai yang berkembang saat itu, yakni radikal nasionalisme, tradisional Jawa, Islam, sosial demokrat, dan komunisme. Program dan aktivitas partai yang mereka jalankan mencerminkan ideologi yang mereka anut sehingga tidak heran apabila mereka memiliki pendukung yang loyal.

Herbert Feith mencatat, partai Islam seperti Masyumi, banyak mengangkat peran Islam dalam negara sebagai materi kampanye. Partai nasionalis seperti PNI menegaskan pentingnya Pancasila sebagai kelengkapan kampanye mereka. Sedangkan PKI, yang beraliran komunisme, menekankan persoalan-persoalan kemiskinan dan kehidupan rakyat yang buruk.

Setiap partai bersaing sangat sengit. Pertemuan-pertemuan diadakan secara rutin di setiap tingkatannya mulai dari alun-alun kota, balai desa, rapat umum atau rapat anggota, pertemuan perempuan, pertemuan pemuda, ceramah umum, kegiatan kesejahteraan sosial, pemutaran film, perayaan ulang tahun atau pawai, perayaan hari besar agama, acara kebudayaan, dan lain-lain.

Karena Pemilu 1955 merupakan pengalaman pertama masyarakat memilih. Di dalam pertemuan-pertemuan, partai melakukan sosialisasi cara pemungutan suara dan memperagakan cara memilih lambang atau tanda gambar partai yang bersangkutan kepada masyarakat.

Untuk memperkenalkan tanda gambar, lambang partai ini juga dipasang di jalanan kota dan desa, rumah-rumah pribadi, bangunan umum, kendaraan umum, pohon-pohon, iklan di bioskop, kalender. Juru kampanye juga membagikan kartu-kartu kecil berisi lambang partai ke masyarakat luas.

Di daerah, untuk mendapatkan dukungan, strategi kampanye yang diterapkan adalah dengan menonjolkan tokoh-tokoh yang dianggap punya daya tarik besar dan mewakili kelompok di wilayah bersangkutan. Oleh karena itu, partai-partai secara aktif mencari dukungan orang-orang berpengaruh di setiap daerah, seperti bupati, wedana, camat, kiai, guru kebatinan, kepala suku, hingga mantan pemimpin gerilya.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Herbert Feith menyebutkan bahwa partai berbasis keagamaan seperti Masyumi dan NU banyak membangun organisasinya di daerah dengan dukungan pemuka agama di desa, kiai, guru ngaji, haji, atau pengurus masjid. PNI dan PKI mencari dukungan terutama dari orang-orang yang punya pengaruh atas golongan “abangan”, seperti pejabat desa, kalangan bangsawan, pemilik tanah, serta guru kebatinan. 

Di desa-desa, setiap partai juga melakukan pendekatan kultural dan historis untuk menciptakan ikatan dengan masyarakat. Mereka melakukan tafsiran-tafsiran kisah-kisah dan kepercayaan rakyat yang dihubungan dengan lambang partai. Juru kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) misalnya, menafsirkan lambang bintang lima segi yang menjadi lambang partai dengan takhayul Jawa bahwa mimpi kejatuhan bintang berarti akan mendapat rezeki.

Menjelang Pemilu 1955 tensi politik semakin meningkat. Untuk memperebutkan kekuasaan politik. Saling serang antarpartai pun menjadi hal yang tidak terhindarkan. Sebagai contoh adalah saling tuduh antara Masyumi dan PKI. Kedua partai ini memang sering bersitegang karena aliran poltik yang sangat berbeda.

Saling ejek dan tuduh di antara keduanya tidak hanya dalam pidato terbuka, namun juga dalam tulisan surat kabar. Masyumi gencar menyebut PKI sebagai partai kafir, anti-Islam, serta menjulukinya sebagai antek Moskow. Bahkan, beberapa pemimpin Masyumi mendorong agar orang komunis tidak dikuburkan secara Islam.

PKI pun tidak tinggal diam, mereka menyerang Masyumi dengan menggambarkannya sebagai partai Islam ekstremis karena secara puritan menentang praktik-praktik keagamaan tradisional. PKI juga menyebarkan isu berisi tuduhan bahwa Masyumi ingin mendirikan negara Islam.

Pemilu Era Orde Baru

Pemilu 1971, Pemilu Pertama Orde Baru

Pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru berlangsung sebanyak enam kali, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama setelah lima tahun pemerintahan ini berkuasa.

Seharusnya, berdasarkan ketetapan MPRS Nomor XI Tahun 1966, pemilu digelar selambat-lambatnya 6 Juli 1968. Namun Pejabat Presiden Soeharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Juga, melalui Sidang Istimewa MPRS 1967, Presiden Soeharto menjadwal ulang pemilu dengan menetapkan pemilu paling lambat 5 Juli 1971. Alasan pengunduran ini adalah belum selesainya pembahasan UU Pemilu dan lainnya.

Namun, banyak pihak berpendapat bahwa penundaan ini pada dasarnya tak lain adalah untuk memberi kesempatan kepada pemerintahan Orde Baru untuk lebih mengonsolidasikan kekuatannya. Desain besar politik nasional yang saat itu dibangun bertolak dari trauma terhadap sistem politik era demokrasi parlementer. Jika pada era Soekarno politik menjadi panglima, maka pada masa Orde Baru dasar yang dipakai adalah pembangunan ekonomi, dengan slogan  ”pembangunan yes, politik no”.

Sejalan dengan itu, partai politik peserta pemilu mulai dibatasi, yaitu hanya sembilan partai dan Golkar, yang kala itu tidak mau disebut partai politik. Sembilan partai itu adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sebenarnya, penyederhanaan itu bukan asli kebijakan Orde Baru, tetapi kontinuitas dari Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Parkindo, IPKI, Perti, dan Murba. Partai lain seperti Masjumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960. Murba pernah dibekukan akhir tahun 1965, tetapi kemudian direhabilitasi Orde Baru.

Ada dua partai yang diakui pada tahun 1960, tetapi tidak diikutkan pada pemilu 1971, yaitu PKI dan Partindo. PKI telah dibubarkan dengan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Sementara itu, Partindo tidak ikut Pemilu 1971 karena tidak lama setelah peristiwa 30 September 1965, keanggotaannya di DPR-GR dibekukan.

Selain itu, ada dua peserta baru Pemilu 1971, yaitu Golkar dan Parmusi. Golkar, yang kemudian menjadi mesin politik Orde Baru, awalnya merupakan sekretariat bersama kelompok kekaryaan, yang merupakan aliansi militer, birokrasi sipil, serta golongan fungsional lainnya. Sementara Parmusi dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. Parmusi dibentuk untuk menampung aspirasi umat Islam yang belum terakomodasi oleh partai yang ada.

Pemilu 1971 dilaksanakan di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Sistem pemilu yang dipakai adalah melanjutkan sistem proporsional. Pada sistem ini peserta pemilu mendapatkan alokasi kursi berdasarkan proporsi suara yang diperolehnya. Sementara struktur pemilihan yang digunakan adalah sistem daftar tertutup. Para pemilih hanya memilih salah satu partai yang tersedia, bukan memilih kandidat.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pada Pemilu 1971, Golkar keluar sebagai pemenang. Melihat hasil pemilu 1971, Golkar memperoleh 34.348.673 suara (62,8 persen). Sementara NU mendapat 10.213.650 suara (18,68 persen), PNI 3.793.266 suara (6,93 persen), Parmusi 2.930.746 suara (5,36 persen), dan PSII 1.308.237 suara (2,39).

Menurut Mayjen Ali Murtopo dalam Kompas edisi 5 Juli 1971, kemenangan Golkar ini karena kampanye Golkar secara psychologis kena pada rakyat dan program pembangunan yang jelas dan nyata. Sementara kekalahan partai, antara lain, disebabkan karena overacting dengan tuduhan-tuduhan militerisme dan diktator yang terus diulang-ulang, hingga rakyat akhirnya muak.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Terakhir masa kampanye NU, PNI dan Partai Katolik mengadakan rapat umum di Istora Senayan Jakarta (26/6/1971).

Demokrasi Semu

Pemilu 1971 menjadi awal kejayaan Golkar sebagai mesin politik Orde Baru. Sejak itu, Golkar selalu menjadi pemenang dalam lima edisi pemilu berikutnya, yakni 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Pemilu pada masa ini memiliki karakter yang jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pemilu yang seharusnya dibangun di atas prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Pelaksanaan pemilu diatur melalui cara-cara tertentu untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru.

Hal itu ditunjukkan dalam bentuk intervensi dan monopoli struktur pada lembaga pelaksana pemilu dan proses pelaksanaan pemilu dari tingkat pusat hingga struktur kepanitiaan oleh pemerintah. Sehingga yang terjadi kemudian adalah ketidakseimbangan kontestasi antarpeserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat.

Kemenangan Golkar secara berturut-turut dalam enam pemilu pada era Orde Baru bukan semata-mata karena sudah mendapatkan kepercayaan rakyat. Widjanarko Puspoyo dalam bukunya Pemilu Indonesia 1955-2009 dari Soekarno hingga Yudhoyono menyebutkan bahwa dominasi Golkar disebabkan oleh keterlibatan pemerintah dalam merekayasa ketentuan pemilu yang menguntungkan partai pemerintah tersebut.

Pada Pemilu 1971, misalnya, untuk memuluskan Golkar keluar sebagai pemenang pemilu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1970 yang menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta, yakni Golkar.

Dalam tujuannya memenangkan Golkar yang akan digunakan sebagai kendaran politik Orde Baru. Di semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, diadakan latihan memilih salah satu kontestan. Pegawai negeri sipil dipaksa memilih Golkar. Bagi yang membangkang akan diberhentikan atau dipecat. Pemerintah juga menggunakan ABRI dan birokrat lainnya untuk memobilisasi masyarakat hingga ke desa-desa untuk memilih Golkar.

Politik pemilu selanjutnya adalah mengeluarkan kebijakan penyederhanaan dengan hanya menyisakan tiga partai politik melalui fusi partai politik 1973. Kebijakan ini berangkat dari pengalaman era demokrasi liberal di mana pluralitas kekuatan politik menjadikan pemerintahan tidak dapat berjalan efektif.

Ada dua partai baru muncul dari hasil kebijakan politik tersebut. Pertama adalah PPP. Partai ini berlandaskan nilai-nilai Islam, gabungan dari, antara lain, NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Kemudian PDI, partai ini berlandaskan pada nasionalisme. Partai ini gabungan dari, antara lain, PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Sehingga pada pemilu selanjutnya, dimulai sejak tahun 1977 hingga 1997, pemilu hanya diikuti oleh tiga partai politik, yakni Golkar, PPP, dan PDI.

Menurut Orde Baru, tujuan dari restrukturisasi partai politik tersebut adalah menciptakan stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi. Namun, tujuan sebenarnya dari kebijakan tersebut adalah untuk menjaga dominasi Golkar. Dengan menggabungkan partai politik, secara tidak langsung pemerintah mengeliminasi kekuatan politik oposisi karena menyusutnya jumlah partai politik yang menjadi saingan. Pemerintah pun semakin mudah untuk mengendalikannya.

Selain itu, fusi partai ternyata berimplikasi pada timbulnya konflik-konflik baru di partai yang berfusi. Menurut Widjanarko Puspoyo, hal itu karena partai-partai yang berfusi memiliki akar ideologi yang berbeda-beda serta sulit disatukan. Misalnya di PDI, berbaur di dalamnya berbagai macam partai yang memiliki asas dan ideologi yang berakar pada falsafah dan padangan yang saling berlainan. Sementara PPP, walaupun memiliki landasan yang sama, yakni Islam, tetap sulit untuk mencari titik temu karena perbedaan pandangan dan latar belakang. Hal ini sangat menguntungkan Golkar yang tengah melakukan konsolidasi.

Pemilu yang diselenggarakan selama era ini lebih merupakan mobilisasi massa dan belum menunjukkan bentuk partisipasi rakyat. Munculnya berbagai kecurangan dan ketidakadilan, tekanan, teror, dan intimidasi yang semuanya untuk membantu kemenangan Golkar menunjukan bahwa pemilu era Orde Baru hanyalah ritual demokrasi semu.

Maka wajar apabila sejak jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara, pemenang pemilu sudah diketahui. Sepanjang pemilu Orde Baru, Golkar selalu unggul dengan lebih dari 60 persen suara. PPP dan PDI tidak lebih sebagai partai pelengkap. Keduanya terus-menerus menempati secara berurutan peringkat dua dan tiga.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Kampanye terakhir Golkar di Istora Senayan Jakarta, Sabtu (23/4/1977).

Kampanye Era Orde Baru

Aktivitas kampanye pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya. Kampanye dilakukan dengan cara yang bervariasi. Mulai dari konvoi simpatisan di jalanan; pidato janji program oleh para juru kampanye; pemasangan atau penempelan alat peraga berupa poster, plakat, spanduk di tempat umum; hingga perhelatan panggung hiburan.

Menarik juga untuk dilihat bahwa pada masa Orde Baru, partai-partai mulai melakukan strategi kampanye dengan melibatkan artis penyanyi, pelawak, dan pemain film sebagai juru kampanye.

Arsip Kompas menunjukan bahwa para artis sudah tampil di panggung kampanye sejak Pemilu 1971. Kompas edisi 6 Mei 1971 misalnya, memberitakan bahwa Golkar memberangkatkan 382 artis kenamaan ibu kota ke 273 daerah tingkat II, kecuali Irian Barat, dengan delapan pesawat milik Mandaka-Seulawah dan Bouraq.

Beberapa artis tersebut, di antaranya adalah Grup musik Impola pimpinan Gordon Tobing, Trio Sitompul Bersaudar, Ellya Kadham, Lilis Surjani, dan Bing Slamet. Mereka ditugaskan untuk meramaikan kampanye selama sebulan penuh dengan berbagai atraksi hiburan. Sejak itu, berdasarkan catatan arsip Kompas, Golkar selalu mengikutsertakan artis-artis ibu kota dalam setiap kegiatan kampanyenya.

Golkar bukan partai satu-satunya yang melibatkan artis-artis dalam kampanye. PPP diketahui juga mengikutsertakan artis dalam kegiatan kampanyenya. Pada Pemilu 1977, Raja Dangdut Rhoma Irama tampil sebagai salah satu juru kampanye partai berlambang Ka’bah tersebut. Sebagai juru kampanye, Rhoma Irama tidak hanya tampil untuk bernyanyi. Ia aktif pula ikut berpidato, mengajak mengajak massa penggemarnya untuk ikut memilih PPP.

Tampilnya artis-artis tersebut dalam panggung kampanye tidak hanya karena adanya tawaran dan imbalan finansial sebagai juru kampanye dari salah satu partai politik tertentu. Namun, ada pula yang memang berangkat dari kemauan atau keyakinan sendiri lalu menawarkan diri ke partai yang bersangkutan.

Meski kampanye berjalan semarak dan meriah, namun dalam banyak hal tidak menunjukan suasana yang kompetitif. Selain karena jumlah partai yang berkompetisi lebih sedikit, banyak peraturan mengenai kampanye pemilu yang sengaja dibuat pemerintah untuk ”membonsai” pengaruh partai politik yang menjadi lawan Golkar.

Sebagai contoh adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya menjelang Pemilu 1977. Peraturan ini mengatur sturktur partai hanya sampai tingkat Kabupaten dan tidak boleh memiliki hubungan struktural dengan organisasi massa. Pembatasan ini membuat partai politik tidak mempunyai akses menjangkau massa di akar rumput sehingga tidak dapat bersaing dengan Golkar yang memiliki jaringan luas secara struktural hingga ke tingkat desa, maupun secara horizontal ke organisasi kemasyarakatan.

KOMPAS/OEMAR SAMSURI

Massa Partai Persatuan Pembangunan melimpah memadati jalur sepanjang Jalan Sudirman, S. Parman, Gatot Subroto, Haryono hingga perempatan Cililitan Halim (23/4/1982). Hujan lebat bukan rintangan bagi pawai PPP yang tetap berjalan dengan tertib seperti tampak dalam suasana di Jalan Jenderal Sudirman.

Topo Santoso dan Ida Budhiati dalam buku berjudul Pemilu di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan menyebutkan bahwa apabila pemilu 1955 memperlihatkan tingkat persaingan yang merata antar-partai besar. Karenanya, mulai pemilu 1971 dan seterusnya sepanjang Orde Baru hal itu sudah tidak ditemui lagi. Golkar sebagai partai pemerintah sangat mendominasi.

Selama pelaksanaan kampanye era Orde Baru, tampak jelas adanya ketimpangan dalam pemberian fasilitas, kesempatan, dukungan aparat, sampai liputan televisi. William Liddle dalam bukunya Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik memaparkankan bahwa ketika periode kampanye pemilu berlangsung banyak laporan mengenai tindakan-tindakan diskrimiasi dan intimidasi oleh pejabat sipil dan militer tingkat lokal terhadap pimpinan partai, juru kampanye, dan simpatisan partai-partai di luar Golkar.

Selama pemilu Orde Baru, PPP memiliki nasib yang lebih baik daripada PDI. Menurut Widjanarko Puspoyo, PPP memiliki identitas yang lebih jelas, yakni Islam. Dalam kampanye, PPP mengklaim dirinya sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Mereka mengusung slogan-slogan seperti “yang tidak memilih PPP sama dengan kafir dan tidak dapat masuk surga” dan “Perjuangan PPP adalah perjuangan di jalan Allah”, untuk memperoleh suara umat Islam. PPP juga mengadakan kampanye yang diisi ceramah-ceramah keagamaan.

Dengan memasukan identitas agama dalam kampanye. PPP mampu meraup suara terbanyak kedua sepanjang perhelatan pemilu Orde Baru. Bahkan pada Pemilu 1977, di DKI Jakarta, Aceh, Serang, Pekalongan, Bukit Tinggi, Padang, dan beberapa daerah dengan basis Islam kuat, perolehan suara PPP mampu mengungguli Golkar.

Sementara, PDI selalu berada di peringkat ketiga atau terakhir. Hal itu karena ciri nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial yang dijadikan identitas PDI masih terlalu kabur untuk merangkul massa.

Oleh karena itu, untuk menangani PPP yang menggunakan agama sebagai daya tarik politik, Golkar juga banyak menampilkan banyak ulama dan kiai dalam panggung-panggung kampanye. Perang ayat-ayat Al-Quran pun terjadi. Kompas edisi 18 Maret 1977 memberitakan bahwa pada suasasa kampanye minggu keempat di DKI Jakarta diwarnai dengan adu bicara para pemuka agama yang menjadi juru bicara Golkar dan PPP.

Hingga, pada 1980-an, untuk meredam kegiatan politik Islam pemerintah memberlakuan asas tunggal Pancasila sesuai dengan arahan Presiden Soeharto melalui Tap MPR No. II/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Sidang Umum MPR 1983. Kebijakan ini dapat dianggap sebagai upaya Golkar untuk melemahkan PPP yang merupakan partai berbasis agama. Alhasil, pada pemilu berikutnya, perolehan suara PPP anjlok.

Penting untuk dicatat pula, sepanjang pemilu era Orde Baru, kampanye juga diwarnai sejumlah aksi kekerasan pendukung partai. Dorongannya adalah mobilisasi massa besar-besaran berupa arak-arakan dan konvoi selama kampanye pemilu. Salah satunya adalah Peristiwa Lapangan Banteng tahun 1982, di mana terjadi bentrokan antara massa pendukung Golkar dan PPP yang mengakibatkan ratusan orang luka-luka dan beberapa orang meninggal. 

KOMPAS/HARIADI SAPTONO

Kampanye PDI di Yogyakarta.Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987.

Era Reformasi

Momentum Keterbukaan

Pasca-reformasi politik tahun 1998, Indonesia telah melaksanakan lima kali pemilu, yaitu tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Pemilu 1999 menjadi pemilu pertama pasca-tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pemilu ini dilaksanakan lebih cepat tiga tahun dari jadwal semula yang seharusnya tahun 2002 setelah Pemilu 1997. Percepatan pemilu ini adalah hasil desakan publik pada pemerintahan Habibie yang dipandang tidak lagi memiliki legitimasi karena merupakan produk Pemilu 1997.

Pemilu 1999 sering disebut sebagai pemilu transisi untuk masuk formasi politik yang lebih demokratis yang ditandai keterbukaan masyarakat mengutarakan aspirasi politik setelah 32 tahun dikekang oleh rezim Orde Baru.

Euforia keterbukaan tercermin dari banyaknya jumlah partai politik yang mendaftar pemilu. Kompas edisi 1 Maret 1999 mencatat bahwa hingga hari terakhir pendaftaran parpol di Departemen Kehakiman, Senin (22/2/1999), dari 148 parpol yang mendaftar, 129 di antaranya telah dinyatakan sah dan akan dimuat dalam Berita Negara. Namun, setelah dilakukan proses verifikasi, 48 partai politik diumumkan ikut serta dalam Pemilu 1999 melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 1999.

Banyaknya jumlah peserta pemilu membuat pelaksanaan Pemilu 1999 cenderung lebih demokratis dan dinamis. Tercatat, dari 117.738.682 pemilih yang terdaftar, angka partisipasinya sangat menakjubkan, yaitu mencapai 91,69 persen.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum, PDI Perjuangan keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara sebanyak 35.689.073 33,76 suara. Sementara Golkar berhasil menempatkan dirinya pada ranking kedua perolehan suara (22,43 persen) setelah perolehan suara PDIP. Lalu, berdasarkan hasil Sidang Umum MPR, presiden Indonesia selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid didampingi oleh Wakil Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri.

Setelah itu, pemilu berikutnya berturut-turut diadakan lima tahun sekali pada 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Pada Pemilu 2004, terjadi beberapa perubahan penting proses rekrutmen elit politik. Untuk pertama kalinya, masyarakat Indonesia bisa memilih langsung presiden dan wakil presiden, selain memilih calon anggota lesgislatif. Hal ini karena pemilu 2004 merupakan pemilu pertama setelah amandemen ke-4 UUD 1945.

Menurut konstitusi 1945 hasil amandemen ke-4, pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Konstitusi mengamanatkan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui mekanisme pemilu.

Sejak saat itu, pada pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, ada dua macam pemilu di Indonesia, yang pertama pemilihan untuk memilih anggota legislatif. Yang kedua, pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyapa pendukungnya saat kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (22/6/2014). Janji mengenai kesejahteraan, upah layak, dan pembukaan lapangan kerja disuarakan Prabowo-Hatta pada kampanye tersebut.

Kampanye Pasca-Reformasi

Pada pemilu pasca-reformasi, sebenarnya pola kampanye tidak jauh berbeda dengan kampanye pada penyelenggaraan pemilu pada era sebelumnya. Baik partai politik maupun politisi (caleg dan capres/cawapres), secara umum melakukan kampanye dengan memobilisasi massa melalui pertemuan-pertemuan ataupun mengadakan rapat-rapat umum, pawai di jalan, dan mengadakan panggung-panggung hiburan yang melibatkan artis-artis.

Metode lainnya yang sering digunakan adalah pemasangan atribut atau alat peraga di tempat umum. Memasang bendera ataupun simbol-simbol parpol menjadi pilihan. Selain tergolong murah, sosialisasi seperti ini juga mudah dilakukan.

Namun, pada masa ini, karena sistem yang digunakan adalah proporsional terbuka, tak hanya lambang partai yang muncul, melainkan juga wajah-wajah para politikus. Ketika kampanye tiba, pemasangan atribut untuk memperkenalkan partai politik, caleg, pasangan capres-cawapres ini spontan mewarnai pemandangan sudut-sudut kota.

Pemasangan atribut ini kerap kali membuat pemandangan kota menjadi semrawut. Dari perahu nelayan, tiang listrik, halte, patung penanda kota, bailho, menara SUTET, hingga transportasi umum seakan tidak ada titik yang boleh lolos menjadi tempat pemasangan atribut.

Pada masa ini, mulai banyak partai politik dan politikus yang melakukan kampanye dengan memasang iklan  politik lewat radio, media cetak, dan televisi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kampanye di radio, media cetak, dan televisi didominasi oleh Golkar.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Calon presiden 01 Joko Widodo saat hadir dalam kampanye hari terakhir di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (13/4/2019). Kampanye bertajuk “Rapat Umum Rakyat Konser Putih Bersatu” tersebut dihadiri massa yang memenuhi Stadion GBK dan kawasan di sekitarnya.

Seperti yang diberitakan Kompas edisi 17 Juli 2009, misalnya, berdasarkan data Survei Nielsen Media Research belanja iklan Semester I-2009 mencapai Rp 22,03 triliun.

Penetrasi belanja iklan pada semester I-2009 itu dikemukakan Associate Director The Nielsen Company Indonesia Ika Jatmikasari. Menurut Ika, kenaikan belanja iklan yang terjadi pada saat itu merupakan dampak dari hiruk-pikuk pemilu 2009 yang dilaksanakan pada April 2009. Iklan kategori pemerintahan dan politik mencapai nilai Rp 2,154 triliun. Tahun 2008, kategori ini hanya mencapai Rp 789 miliar.

Di televisi, iklan pemilihan presiden menempati urutan teratas. Adapun iklan di media cetak juga didominasi iklan kategori pemerintahan dan politik, disusul iklan kategori telekomunikasi, properti, media dan rumah produksi (production house), pelayanan, dan rumah sakit.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Pada saat ini, kampanye juga sudah mulai memaksimalkan peran serta media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan lainnya. Bahkan, beriklan di media sosial menjadi salah satu jurus menjaring pemilih potensial dalam Pemilu Presiden 2024.

Kemajuan teknologi komunikasi membuat banyak aktivitas masyarakat dilakukan dengan produk- produk teknologi digital, termasuk media sosial. Besarnya potensi suara yang tersimpan di ruang-ruang media sosial membuat kanal ini menjadi sarana mendulang popularitas.

Menyongsong Pemilu 2024, berdasarkan data perusahaan teknologi Meta Platforms, perusahaan induk Facebook dan Instagram, sejak Agustus 2020 hingga 24 Oktober 2023, nilai iklan politik yang tercatat mencapai Rp 70,95 miliar dengan jumlah iklan yang tayang sebanyak 272.010. Nominal belanja iklan politik itu berasal dari lima golongan pengiklan. Terdiri dari tokoh politik, partai politik, kelompok sukarelawan pendukung tokoh, kelompok masyarakat atau entitas lainnya, serta media massa (pers) yang mempromosikan produk jurnalistiknya melalui Facebook dan Instagram.

Tak hanya melalui iklan, kampanye di media sosial juga dilakukan dengan pengerahan buzzer politik. Buzzer atau pendengung merupakan individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan lalu bergerak dengan motif tertentu.

Merujuk riset Kompas, buzzer politik disinyalir mulai bangkit pada periode Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu ada akun di Twitter dengan nama @triomacan2000 yang disebut-sebut sebagai buzzer yang anti-Jokowi-JK. Sejak saat itu, media sosial dibanjiri oleh pendukung maupun pendengung politik dari setiap pasangan calon.

Menjelang Pemilu 2019, buzzer kian meramaikan media sosial. Bahkan, tak jarang menimbulkan perang cuitan (twitwar) di Twitter. Setiap buzzer mendorong supaya isu yang disampaikan menjadi trending di media sosial. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Feith, Herberth. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.
  • Puspoyo, Widjanarko. 2012. Pemilu Indonesia 1955-2009: Dari Soekarno Hingga Yudhoyono. Solo: Era Adicitra Intermedia.
  • Santoso, Topo dan Ida Budiarti. 2018. Pemilu di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal
  • Pamungkas, Mudanto, dkk. 2019. Naskah Sumber Arsip: Jejak Demokrasi Pemilu 1955. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
  • Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
Arsip Kompas
  • “Dengan 8 Pesawat Dan Rp 375 Djuta *Dimulai perjalanan safari Golkar dengan para artis”, Kompas, 6 Mei 1971.
  • “Dari Perdjalanan Menteri Sutami ke Djawa Tengah: Sekilas Tentang Suasana Kampanje Pemilu”, Kompas, 10 Mei 1971.
  • “Berdasarkan perhitungan sampai Hari Minggu: Golkar ditempat pertama, NU kedua, disusul PNI * Ali Murtopo, “golkar menangnja nggak tanggung-tanggung”, Kompas, 5 Juli 1971.
  • “Adu-bicara antara para pemuka agama dalam kampanye”, Kompas, 18 Maret 1977.
  • “Mengapa artis-artis ikut berkampanye?”, Kompas, 7 April 1977.
  • “Tajuk Rencana: Peranan Para Artis dalam Kampanye Pemilihan Umum”, Kompas, 4 April 1987.
  • “Belanja Iklan Semester I-2009 Mencapai Rp 22,03 Triliun”, Kompas, 17 Juli 2009.
  • “Pemilu Pertama Rezim Orde Baru”, Kompas, 18 Januari 2019.
  • “Pemilu Terakhir Orde Baru”, Kompas, 23 Februari 2019.
  • “Buzzer”, Disukai Sekaligus Dibenci”, Kompas, 22 Februari 2021.
  • “Electoral Threshold: Pelaksanaannya dalam Pemilu 1999 dan 2004”, Kompaspedia, 14 Oktober 2021.
  • “Pemilu Legislatif Pasca Reformasi: UU, Parpol, Partisipasi Pemilih, dan Suara Hilang”, Kompaspedia, 1 November 2021.
  • “Media Sosial dan Televisi Penopang Popularitas Capres 2024”, Kompas, 15 Juni 2023.
  • “Tingginya Belanja Iklan Politik Prabowo dan Golkar di Media Sosial”, Kompas, 4 Juli 2023.
  • “Pemilu 1999, Pemilu Pertama Pasca-Orde Baru”, Kompas, 8 Juni 2023.
  • “Pemilu 1955: Jejak Demokratis Pertama di Indonesia”, Kompaspedia, 21 Agustus 2023.
  • “Ketika Perang Konten Politik Kian Marak”, Kompas, 17 September 2023.
  • “Pemilu 1971: Pemilu Pertama Orde Baru dan Awal Dominasi Golkar”, Kompaspedia, 2 Oktober 2023.
  • “Iklan Politik di Media Sosial Ajang Adu Popularitas Pilpres 2024”, Kompas, 1 Novemner 2023.
  • “Kilas Balik Kampanye Pemilu dari Waktu ke Waktu”, Kompas, 29 November 2023.
  • “Arsip Foto ”Kompas”: Pemilu Era Orde Baru, Fusi Partai, dan Dominasi Golkar”, Kompas, 15 Desember 2023.
Internet
  • Laman kpu.go.id
  • Laman Kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id