Paparan Topik | Pemilihan Umum

Sejarah Debat Capres di Berbagai Negara

Sebagai perwujudan demokrasi, debat calon presiden juga dilaksanakan dalam pemilu di berbagai negara lain. Dalam masing-masing dinamikanya, acara debat terbukti menjadi elemen penting yang memengaruhi hasil pemilu.

AP PHOTO

Wakil Presiden Amerika Serikat George Bush dan Michael Dukakis berdebat di Winston-Salem, Amerika Seikat (26/9/1988). Panelis dan moderator duduk di depan.

Fakta Singkat

Debat Capres di Berbagai Negara

  • Debat capres pertama tercatat terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1858 antara Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas. Sementara itu, debat capres pertama yang ditayangkan TV juga terjadi di Amerika Serikat pada 1960 antara Richard Nixon dan John F. Kennedy.
  • Debat Pemilu 1960 di Amerika Serikat memberikan citra kuat pada John F. Kennedy, untuk kemudian mengalahkan Nixon yang sebelumnya menjadi favorit.
  • Debat capres 2022 di Perancis berhasil mempertegas keunggulan Macron atas pesaing beratnya Marie Le Pen, dan memberikannya kemenangan.
  • Kemurnian demokrasi dan dialog debat capres dapat sirna dalam dinamika saling hina, sebagaimana ditunjukkan debat tahun 2020 di Amerika antara Trump dan Biden serta debat tahun 2022 di Brasil antara Bolsonaro dan Lula.
  • Mengetahui signifikansi acara debat, capres “Bongbong” Marcos Jr. menolak untuk ikut serta dalam debat tahun 2022 – yang kemudian, pemilu 2022 ditutup dengan kemenangannya.

 

Pada setiap periode penyelenggaraan pemilu di tanah air, pelaksanaan debat capres-cawapres hampir selalu memunculkan polemik, baik itu di kalangan masyarakat, maupun bagi penyelenggara negara sendiri.

Artikel Kompaspedia (“Sejarah Debat Calon Presiden di Indonesia”, 5/1/2024) menunjukkan bagaimana perdebatan tersebut bahkan telah terjadi dalam eksperimentasi pertama debat capres pada tahun 1999. Perdebatan kembali muncul pada proses pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan kini pada Pemilu 2024.

Pada tahapan Pemilu 2024, disebutkan bahwa perdebatan terjadi dalam konteks format pelaksanaan debat. Kalangan luas menilai bahwa penyelenggaran debat yang khusus mempertemukan antar-cawapres penting untuk memberikan pengenalan pada tokoh terkait. Peniadaan debat khusus antar-cawapres dinilai sebagai bentuk keberpihakan terhadap salah satu paslon.

Polemik tersebut meredup usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan secara sah format debat capres-cawapres Pemilu 2024. Ditetapkan KPU bahwa seri debat cawapres tetap akan diselenggarakan, namun dengan sedikit perubahan, di mana capres akan tetap hadir, sementara kesempatan berdebat di podium tetap mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan.

Dalam tataran yang lebih luas, kehadiran polemik menunjukkan antusiasme dan atensi terhadap debat capres. Tidak hanya di Indonesia, atensi demikian juga didapati di berbagai negara lain di seluruh dunia yang menyelenggarakan debat capres atau acap lebih dikenal sebagai debat pemilihan presiden/presidential election debate.

Pelaksanaan acara debat di berbagai negara di luar negeri tidak hanya menunjukkan bahwa debat capres merupakan tahapan wajib dalam penyelenggaraan pemilu, namun juga unsur penting dalam pengejawantahan demokrasi.

AP PHOTO

Presiden Ronald Reagan, kiri, menjawab pertanyaan ketika Walter Mondale mendengarkan dari podium di sebelah kanan, di tengah adalah moderator debat Edwin Newman, saat putaran kedua debat presiden tahun 1984 dibuka di Kansas City (22/10/1984).

Esensi Demokrasi dalam Penyelenggaraan Debat

Debat calon presiden atau presidential election debate tak dapat dipahami sebagai acara seremonial belaka. Pelaksanaannya berdiri di atas tanggung jawab demokrasi yang begitu besar, yakni sebagai pemenuham hak masyarakat dalam memahami dan mengenal calon pemimpin mereka. Pun begitu, dalam pelaksanaannya, debat capres-cawapres acap berujung pada kritik yang cenderung sebatas “yang-penting-ada”, fokus pada seremonial, dan melupakan landasan-landasan esensialnya.

Hal ini sebagaimana tertulis dalam Kompas.id (5/12/2023, “Agar Debat Capres dan Cawapres Tak Sekadar Seremoni”). Pengajar komunikasi politik di Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad mengkritisi KPU yang justru fokus pada persoalan format debat antar-cawapres. Menurutnya, KPU seharusnya lebih memikirkan strategi agar debat tidak sekadar menjadi ajang seremonial atau ritual belaka. Debat harusnya hidup sebagai ajang manfaat yang besar bagi masyarakat untuk bisa mengeksplorasi gagasan para capres dan cawapres.

Menurut Nyarwi, hal demikian dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang lebih berbobot, mendalam, dan mengena. Untuk penyusunan pertanyaan demikian, KPU harus membentuk tim panelis sebagai tim yang berwenang menyusun pertanyaan pada debat yang berkualitas.

Kualitas dalam hal ini tidak hanya terkait pemahaman terhadap bidang pembahasan atau isu dalam suatu serial debat. Namun, juga pemahaman terhadap pentingnya debat di dalam sebuah negara demokrasi, yang pada tujuannya adalah melahirkan sosok pemimpin yang bisa menyelesaikan permasalahan yang dibahas dalam debat.

Pernyataan demikian disebut juga dalam artikel akademik “Political Debate: Forms, Style, and Media” yang dipublikasikan oleh Hart dan Jarvis. Menurut keduanya, pelaksanaan debat telah tereduksi menjadi acara teatrikal. Para komentator debat acap merespon debat pada fokus-fokus yang terlalu teknis. Media berebutan untuk meliput dan menayangkan debat, sementara para kandidat presiden tak lebihnya daripada pemain teater tersebut.

Padahal, masih merujuk Hart dan Jarvis, debat calon presiden merupakan komponen penting dalam proses pemilihan pemimpin. Selain memperkaya wacana politik, debat juga dapat menunjukkan secara kontras perbedaan antarkandidat, di mana hal ini menjadi komponen informasi yang penting untuk membangun pertimbangan. Perbedaan demikian tentunya didasarkan pada esensi dan penjabaran yang diperoleh selama debat, terkhusus terkait topik-topik relevan yang telah ditetapkan oleh para panelis untuk didiskusikan.

Hadirnya dialog yang menggarisbawahi perbedaan ini, pada kelanjutannya akan mendorong pemilih untuk membangun pilihan secara rasional. Sebagai contoh, pemilih akan menentukan visi pembangunan dan program sosial apa yang dianggap lebih sesuai bagi mereka. Keputusan dengan pendasaran semacam ini jauh lebih rasional, menjadi elemen demokrasi yang sehat, dibandingkan tren pemilihan pemimpin yang acap terjadi di tengah masyarakat.

Menurut Nugroho dan Kevin Wu dalam buku Demokrasi di Indonesia, terdapat kecenderungan pemilih yang mengukur dan menilai calon pemimpin mereka hanya dari sudut pandang ideologi atau perspektif primordial. Untuk itu, mereka menilai, diperlukan partisipasi kuasa negara untuk mempertegas pelaksanaan demokrasi yang salah satunya dihidupkan secara nyata dalam pelaksanaan debat yang sehat.  

AP PHOTO

Senator John Kennedy, kiri, bersalaman dengan Wakil Presiden Richard Nixon, sesaat sebelum keduanya tampil melakukan perdebatan bersejarah di depan televisi (1/9/1960). Kennedy, calon Demokrat berhasil memukau para pemirsa karena persiapannya yang matang, dan akibatnya Nixon yang menjadi calon Republik pun kalah dalam pemilihan Presiden AS.

Debat Capres di Amerika Serikat

Debat kepresidenan di Amerika Serikat menjadi salah satu tonggak perdana sekaligus tolak ukur dalam pelaksanaan dalam sejarah politik elektoral. Sebagai tonggak perdana, debat capres yang ditayangkan langsung melalui televisi diselenggarakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1960. Kala itu, debat mempertemukan capres Richard Nixon dari Partai Republik dan John F. Kennedy dari Partai Demokrat.

Selain menjadi momentum historis, debat 1960 ini juga terbukti menjadi komponen penting yang mampu memberikan pengaruh dan informasi kepada masyarakat. Sebelum debat, Richard Nixon sebagai petahana lebih diunggulkan. Ia membangun dirinya dengan citra yang tegas, sementara Kennedy sebagai penantang baru lebih menggunakan pendekatan “good guy”.

Meski begitu, momentum debat, khususnya pada seri pertama, menunjukkan keunggulan jauh Kennedy atas Nixon. Usai debat ketiga yang merupakan debat sebagai seri yang terakhir, menghasilkan kemenangan sangat tipis bagi Kennedy.

Jika dirunut, embrio debat sendiri telah hadir lebih lama lagi. Kembali merujuk pada Kompaspedia (“Sejarah Debat Calon Presiden di Indonesia”, 5/1/2024), debat capres di Amerikat Serikat pernah diselenggarakan pada tahun 1858. Kala itu, publik menyaksikan debat antara capres Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas. Momen ini tidak hanya menjadi tonggak debat perdana di Amerika Serikat, namun juga salah satu tonggak perdana di dunia.

Lebih lanjut, debat capres baru terselenggara kembali pada tahun 1976. Bertemu dalam acara debat tersebut adalah capres Jimmy Carter dari Partai Demokrat dan Presiden Gerald Ford dari Partai Republik. Layaknya momen pemilu tahun 1960 lalu, acara debat ini juga memberikan perubahan signifikan pada dinamika pemilih.

Dalam konteks Perang Dingin yang begitu berkecamuk, Ford menyatakan, “Tidak ada dominasi Soviet di Eropa Timur, dan tidak akan pernah ada di bawah pemerintahan Ford”. Pernyataan tersebut ia ungkapkan dalam momen debat, yang kemudian langsung menuai banyak celaan. Pemilu lantas berjalan dan memberikan kemenangan kepada Jimmy Carter. Sejak tahun 1976 itu pulalah, debat kepresidenan rutin dilaksanakan tiap tahunnya dalam pemilu Amerika Serikat.

Debat capres di Amerika Serikat terakhir kali dilaksanakan pada tahun 2020. Debat tersebut mempertemukan capres Joe Biden dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik yang juga menjadi petahana. Kompas.id (2/10/2020, “Terperangah atas Debat Pilpres AS”) mencatat bahwa seri debat pada Pemilu 2020 tersebut begitu jauh dari acara demokrasi yang berkualitas.

Baik Biden dan Trump sama-sama mempertontonkan dialog yang gaduh dan jauh dari substansial. Diawali dengan sikap Trump yang cenderung dominan dan menyerang dengan terus menyela Biden, disambut dengan respon balasan Biden. Akhirnya, sesi debat pun menjadi penuh akan ejekan, pertengkaran, dan tuduhan.

Mengacu pada pelaksanaan debat terakhir ini, format debat di Amerika Serikat hampir mirip dengan penyelenggaraan di Indonesia. Acara debat menampilkan capres Trump dan Biden berdiri di sebuah panggung, di belakang podium mereka masing-masing. Sementara meja moderator berada membelakangi kamera, menghadap podium tempat para capres berdiri.

Biasanya, debat tidak diawali dengan pernyataan pembuka melainkan langsung dimulai dengan pengajuan pertanyaan oleh moderator. Setelah pertanyaan yang selaras dengan tema segmen diajukan, masing-masing capres memiliki waktu dua menit untuk memberikan jawaban. Usai menjawab, segmen dilanjutkan dengan dialog terbuka.

Pada dialog terbuka ini, masing-masing capres memiliki waktu sekitar satu menit untuk menanggapi dan membantah argumen yang disampaikan oleh lawannya. Berdasarkan diskresi dari moderator, pembahasan pertanyaan dapat diperpanjang 30 detik untuk setiap kandidat. Selain itu, masing-masing segmen berjalan selama kira-kira 15 menit, dengan total enam jumlah segmen.

Penyelenggaraan debat pemilu di Amerika Serikat dilaksanakan oleh Komisi Debat Kepresidenan (Commission on Presidential Debates/CPD). Rangkaian Pemilu 2020 disertai dengan tiga kali acara debat calon antar-presiden. Sementara debat antar-calon wakil presiden berada di luar rangkaian tersebut dengan dilaksanakan satu kali pada momen sebulan sebelum hari pencoblosan.

AP/CHARLES DHARAPAK

Kandidat presiden Amerika Serikat, John McCain dan Barack Obama, bertatap muka sebelum dimulainya debat calon presiden di University of Mississippi, Oxford, Amerika Serikat (26/9/2008).

Debat Capres di Perancis

Sejarah pelaksanaan debat capres secara formal di Perancis tercatat dimulai pada tahun 1974, atau 14 tahun pasca-penayangan debat pertama di Amerika Serikat. Mengacu pada lembaga Asosiasi Irlandia untuk Studi Eropa Kontemporer (IACES), “keterlambatan” ini dikarenakan Presiden Perancis pada periode sebelum itu, yakni Jenderal Charles de Gaulle, tegas menolak untuk berhadapan dengan lawannya pada pemilu tahun 1965. Hal ini terjadi meski de Gaulle merupakan pemimpin yang mengendalikan media publik.

Usai lengser pada tahun 1969, masyarakat Perancis masih harus menanti penyelenggaraan debat capres. Pengganti de Gaulle, yakni Georges Pompidou, mempertahankan kebijakan untuk menolak penyelenggaraan debat capres dalam tahapan elektoral. Penantian masyarakat Perancis untuk pertama kalinya menyaksikan debat presiden baru berakhir pada tahun 1974.

Pemilu tahun 1974 menjadi ajang pertemuan antara capres muda dari sayap kanan Valéry Giscard d’Estaing melawan capres François Mitterrand yang berpengalaman dari sayap kiri. Kehadiran Giscard memberikan nuansa segar bagi dinamika politik Perancis. Sedari awal, ia langsung memperkenalkan kampanye politik gaya Amerika – yakni dengan demonstrasi besar-besaran, iklan yang apik, dan kinerja media yang masif ke dalam media politik Perancis yang cenderung tenang.

Pelaksanaan debat yang disiarkan televisi pun menjadi momentum media yang besar bagi Giscard. Sebagai suatu acara baru dalam kampanye, Giscard menggunakan momen tersebut untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan Mitterrand yang lebih tua. Selama perdebatan, Giscard mengkritik Mitterrand sebagai kelompok sayap kiri yang sudah ketinggalan zaman, peninggalan dunia politik lama, dan menyebutnya sebagai “manusia masa lalu” – sembari dirinya mengusung visi tentang liberalisme sosial.

Akhirnya, Giscard pun berhasil memenangkan Pemilu 1974 tersebut. IACES menyebut bahwa hasil pemilu itu sebagai salah satu yang paling kompetitif dalam sejarah pemilu global. Selisih suara antara Giscard dan Mitterrand tak kurang dari setengah juta suara. Perdebatan dalam debat dipandang sebagai faktor penyebab utama ketatnya persaingan.

Sejak itu pula Perancis rutin memasukkan agenda dalam tahapan pemilu, kecuali pada putaran kedua Pemilu 2002 akibat penolakan dari capres Jacques René Chirac yang menganggap bahwa debat hanya akan melegitimasi pandangan ekstrem lawan politinya, Jean-Marie Le Pen.

Sementara pelaksanaan debat terakhir di Perancis adalah pada tahapan Pemilu 2022. Debat mempertemukan Emmanuel Macron sebagai presiden petahana sejak tahun 2017 dengan Marine Le Pen, anak dari Jean-Marie Le Pen. Keduanya sempat bertemu pada Pemilu tahun 2017 dan kembali bersua dengan strategi dan modal yang lebih aktual.

Macron kini telah memegang pengalaman kepresidenan dan mampu menggunakan capainnya sebagai materi kampanye, sementara Le Pen mengadopsi strategi debat yang lebih tenang dan “keibuan”. Apalagi, dibanding lima tahun lalu, kini Le Pen memiliki modal untuk menyerang rekor-rekor pemerintahan Macron yang memiliki sejumlah kelemahan.

Debat tahun 2022 ini menjadi momentum menarik karena menjadi kali pertama kedua capres berasal dari sayap yang sama, yakni sayap kanan politik Perancis. Dengan basis suara yang serupa, Macron dan Le Pen tidak hanya harus menjaga suara mereka, namun juga menarik suara dari kelompok-kelompok sayap kiri. Ketatnya persaingan keduanya membuat momentum debat menjadi salah satu acara yang dapat memberikan pengaruh signifikan.

Mengacu pada media The Guardian, debat capres tahun 2022 digunakan Macron, yang terkenal sebagai pembicara yang andal dan detail, untuk menyerang Le Pen terkait relasinya dengan Rusia. Apalagi, momentum debat berdekatan dengan hangatnya isu pinjaman uang Le Pen dari bank Rusia. Macron juga menegaskan bahwa terpilihnya Le Pen bisa berdampak pada munculnya perang saudara – mengacu pada pandangan dan kebijakannya yang xenofobik.

Selain itu, Macron juga menutup momen debat dengan nada yang sangat beradab. Dalam penutupnya, ia berterima kasih kepada Le Pen atas pelaksanaan debat tersebut dengan mengatakan, “Saya menghormati anda sebagai pribadi, walaupun kita memiliki perbedaan pendapat yang tulus”.

Sementara Le Pen sendiri banyak mengeksploitasi kelemahan-kelemahan dalam periode pemerintahan Macron dan menawarkan gagasan solutifnya. Salah satu isu yang ia angkat adalah tingginya biaya yang hidup di Perancis yang memicu krisis. Apabila terpilih, Le Pen berjanji untuk memangkas pajak dan memberikan tunjangan hidup pada keluarga-keluarga di Perancis hingga € 166. Pemilu tahun 2022 tersebut – sebagaimana telah diprediksi oleh banyak pihak – dimenangkan oleh Presiden Macron.

Kembali mengacu IACES, debat capres di Perancis berjalan selama dua setengah jam. Penayangan dilakukan melalui televisi, radio, dan media daring mulai pukul sembilan malam waktu setempat. Debat dimoderatori oleh dua orang jurnalis yang memiliki pamor di kalangan masyarakat Perancis.

Di Perancis, debat capres hanya dilaksanakan satu kali per putaran waktu pencoblosan. Artinya, apabila pemilu mengharuskan dilaksanakannya putaran kedua, debat capres akan kembali dilaksanakan. Dalam format pelaksanaanya, masing-masing kandidat capres memiliki waktu yang sama untuk menjawab pertanyaan mengenai berbagai topik dan kebijakan yang disampaikan oleh moderator.

KOMPAS/DEWI INDRIASTUTI

Warga Paris, Perancis, antusias menyambut Presiden Emmanuel Macron di Champs-Elysees, Minggu (14/5/2017). Setelah dilantik, Presiden Macron hadir di Arc fe Triomphe untuk menyapa masyarakat. Arc de Triomphe adalah monumen untuk menghormati pahlawan tak dikenal Perancis.

Debat Capres di Brasil

Mengacu pada artikel akademik “The Process of Democratization in Latin America” karya Karen L. Remmer, demokratisasi berkembang sangat pesat di negara-negara wilayah Amerika Latin. Terutama sejak periode 1980an, pengetahuan politik kian tersebar merata setelah sebelumnya masyarakat banyak terkekang tangan besi pemimpin yang menjabat. Hal ini bersamaan dengan meningkatnya kultur intelektual mengenai konsensus demokrasi.

Hal serupa terjadi di negara Brasil. Remmer menuliskan bahwa demokratisasi masif sendiri mulai berkembang di Brazil sejak awal tahun 1970. Kekuatan militer mengendur bersamaan dengan institusionalisasi demokrasi. Dampaknya, partisipasi masyarakat terhadap proses elektoral meningkat pesat. Tren tersebut berdampak positif pada capaian pertumbuhan ekonomi, yang mencapai 7,2 persen pada tahun 1979. Tahun 1985 menjadi pemilu terakhir yang berada di bawah naungan rezim militer.

Meski telah dilaksanakan beberapa kali sebelumnya, debat pada tahapan Pemilu 2010 menjadi kali pertama penanyangan secara daring. Sebelumnya, acara debat capres hanya dapat disaksikan melalui tayangan televisi. Pada tahun 2009, pemerintah Brasil memperbaharui kebijakan elektoralnya dengan mengizinkan penanyangan berbasis daring.

Mengacu pada laporan “Brazil: 2022 Presidential Election oleh lembaga riset dan informasi House of Commons Library, pelaksanaan debat capres paling aktual di Brasil dilaksanakan dalam rangka tahapan Pemilu 2022. Pada putaran pertama, terdapat 11 pasangan capres-cawapres yang maju dalam kontestasi.

Debat capres dilaksanakan sebanyak tiga kali, dan langsung menjadi ajang pertentangan keras antara dua kandidat terfavorit, yakni Presiden Jair Bolsonaro dan mantan presiden Luiz Inacio Lula da Silva.

Meski begitu, dari 11 kandidat yang maju, tidak ada yang berhasil mencapai suara mayoritas 50 persen dari total suara sehingga pemilu harus dilanjutkan ke putaran kedua. Sesuai prediksi, hanya dua kandidat yang layak maju ke putaran kedua, yakni Bolsonaro dan Lula.

Di putaran kedua, acara debat kembali dilaksanakan sebanyak dua kali. Kompas.id (30/10/2022, “Persaingan Makin Panas di Pilpres Putaran Kedua Brasil”) mencatat bahwa putaran kedua ini kian memperkeruh suasana sosial-politik di tengah masyarakat Brasil. Bolsonaro dan Lula berjuang habis-habisan untuk mencapai kursi kepresidenan pada Pemilu 2022, termasuk dengan menggunakan debat sebagai sarana menyerang kehidupan pribadi masing-masing.

Tanggal 28 Oktober 2022 menjadi momen debat final kedua lawan politik tersebut. Keduanya tidak menggunakan acara tersebut sebagai ruang presentasi program – seperti rencana penguatan ekonomi, eradikasi korupsi, dan pelestarian lingkungan – melainkan ujaran pusaran saling lempar hinaan.

Pada forum debat, Lula menghina Bolsonaro sebagai pedofil dan kanibal akibat sejumlah kebijakan politiknya. Sebaliknya, Bolsonaro menghina Lula sebagai penjahat dan penyembah setan. Bagi kelompok masyarakat yang belum menentukan pilihan (swing-voters), hal ini justru membuat mereka pesimis terhadap calon pemimpin yang harus mereka pilih.

Panasnya dialog kedua capres ini tak lepas dari selisih suara yang begitu tipis pada putaran pertama. Pada pemilu putaran pertama pada awal Oktober 2022, Lula memimpin dengan raihan 48 persen suara, sementara Bolsonaro duduk di peringkat kedua dengan capaian 43 persen suara. Selain saling menghina, keduanya juga membanggakan capaian ekonomi pada masa kepemimpinan masing-masing. Lula memamerkan angka pengangguran Brasil periode 2003 – 2010 turun dari 12,4 persen menjadi 6,7 persen. Sementara Bolsonaro mengatakan bahwa dalam periode 2021 – 2022, angka pengangguran turun dari 13,1 persen ke 8,9 persen per Agustus 2022. Ia juga mengutip data Bank Sentral Brasil bahwa pendapatan domestik bruto pada akhir tahun 2022 akan naik 2,7 persen.

Pemilu dilaksanakan dua hari setelah debat final. Hasilnya, Luiz Inacio Lula da Silva memenangi pemilihan presiden Brasil dengan hasil tipis, yakni 50,9 persen suara. Sementara lawannya, petahana Jair Bolsonaro, mendapatkan 49,1 persen suara. Ini menjadi kali pertama dalam 28 tahun sejarah Brasil seorang petahana gagal mempertahankan kursinya dalam tahapan pemilu.

AP PHOTO/SILVIA IZQUIERDO

Para pendukung Jose Serra, calon presiden dari Partai Demokrat Sosial Brasil (PSDB), deg-degan saat menantikan hasil pemilu presiden putaran pertama di Sao Paulo, Brasil, Minggu (3/10/2010). 

Debat Capres di Filipina

Mengacu pada Kompas.id (29/4/2022, “Pelajaran dari Filipina dan Perancis”), Filipina merupakan wilayah yang disebut-sebut sebagai awal mula gelombang demokratisasi di Asia. Pada tahun 1986, anak-anak muda Filipina berarak dengan iringan lagu “Wind of Change” untuk menuntut turunnya rezim diktator dan korup.

Rezim tersebut, yang akhirnya berhasil diturunkan untuk melahirkan pemerintahan demokrasi, dipimpin oleh Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos, berikut dengan istrinya yang hidup bergelimang harta. Gelombang demokrasi lantas berlanjut secara domino, di Korea Selatan dan Burma tahun 1988, China tahun 1989, Thailand tahun 1992, dan Indonesia tahun 1998.

Setelah 36 tahun berjalan, giliran anak Ferdinand Marcos yang mencoba naik kembali ke kursi kepresidenan. Usaha tersebut ditempuh Ferdinand  “Bongbong” Marcos Jr. melalui pelaksanaan pemilu pada awal Mei 2022. Menariknya, Marcos Jr. menjadi kandidat favorit yang memenangkan pemilu tersebut meski keluarganya menorehkan catatan hitam yang buruk dalam sejarah nasional.

Selain karena kecenderungan elektoral yang menarik ini, pemilu tahun 2022 di Filipina juga banyak disamakan dengan dinamika Pemilu 2024 di Indonesia. Salah satu capres dalam Pemilu 2024 kerap disamakan dengan Marcos Jr. yang kemudian berhasil memenangi pemilu di Filipina. Marcos Jr. dikenal sebagai sosok yang keras dengan jejak pelanggaran HAM yang mewarnai latar belakang keluarganya.

Sebelum mencapai kemenangan, Pemilu 2022 di Filipina sendiri diwarnai dengan hiruk- pikuk kampanye. Selama tiga bulan terakhir menjelang pemilu, masyarakat diwarnai dengan berisiknya misinformasi dan suara-suara sumbang pendukung masing-masing capres.

Pada konteks debat capres, besarnya signifikansi debat dalam memengaruhi suara publik disadari oleh pihak Marcos. Persoalan terkait HAM dapat dengan mudahnya masuk dalam pembahasan dan dihadapkan pada dirinya secara langsung di hadapan ribuan masyarakat yang menonton debat. Kesadaran demikian membuat kelompok Marcos terus menolak terlibat dalam acara debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum di Filipina (Comelec) dan stasiun TV besar.

Sementara lawan terberat Marcos, Maria Leonor Gerona Robredo, justru melihat debat sebagai ruang kesempatan untuk menandingi favoritisme Marcos. Robredo mengatakan, “Saya mengundang ‘Bongbong’ Marcos untuk berdebat, untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang Filipina untuk menghadapinya dan mengajukan pertanyaan kepadanya, terutama mengenai banyak kontroversi di sekitarnya.”

Pada akhirnya, Marcos Jr. sendiri menolak untuk ikut dalam debat pada Pemilu 2022. Ia belajar dari pengalaman Pemilu 2016, di mana kehadirannya pada acara debat memberikan lawannya kesempatan untuk menyerang. Pemilu 2016 tersebut diakhiri dengan kekalahan bagi Marcos Jr. dan kemenangan bagi Robredo.

Meski tidak dihadiri oleh Marcos Jr., debat pada Pemilu 2022 tetap dilangsungkan. Mengacu pada media nasional Filipina, Philippine News Agency (PNA), debat pada 3 April 2022 dihadiri oleh 9 dari 10 capres.

Dalam konteks format debat, Comelec memberikan satu pertanyaan umum per segmen yang akan dijawab oleh semua kandidat pada awal debat. Lebih lanjut, untuk setiap segmen berikutnya, para kandidat akan dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri atas tiga orang. Setiap kelompok lantas akan diberikan satu pertanyaan untuk diperdebatkan.

Secara total, terdapat tiga pertanyaan untuk setiap segmen berikutnya. Kandidat akan diberikan waktu 120 detik untuk menjawab pertanyaan dan 30 detik lagi untuk sanggahan. Komposisi tiap kelompok itu sendiri akan berubah di setiap segmen – yang ditentukan secara acak melalui pengundian yang dilakukan dua jam sebelum debat. Di tahap akhir, semua kandidat akan diberikan waktu masing-masing 60 detik untuk menyampaikan pernyataan penutupnya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Nugroho, E., & Wu, K. (2021). “Demokrasi di Indonesia”. Dalam N. T. al., Demokrasi di Era Digital (hal. 29-37). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Artikel Akademik
  • Hart, R. P., & Jarvis, S. E. (1997). “Political Debate: Forms, Styles, and Media”. American Behavioral Scientist Vol. 40, No. 8, 1095-1122.
  • Remmer, K. L. (1992). “The Process of Democratization in Latin America”. Studies In Comparative International Development Vol. 27 No. 4 , 3-24.
Arsip Kompas
Internet
Jurnal
  • House of Commons Library. (2022). Brazil: 2022 Presidential Election.