Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Mewaspadai Kekerasan Siber Berbasis Gender

Kekerasan siber berbasis gender adalah tindak kekerasan melalui teknologi dunia internet untuk melecehkan korban. Kekerasan ini menjadi kasus yang mengemuka dalam empat tahun terakhir. Bahkan, pada 2021 angka kekerasan itu meningkat hingga 80 persen dari tahun sebelumnya.

KOMPAS/RIZA FATHONI

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menggelar kampanye pencegahan pelecehan seksual yang kerap terjadi di kereta Commuter Line. Kampanye yang menggandeng Komnas Perempuan dan komunitas perempuan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran para pengguna KRL untuk peduli dengan pelecehan seksual yang kerap terjadi.

Fakta Singkat

  • Data Komnas Perempuan menyebutkan kekerasan seksual siber naik 81 persen pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020.
  • Kasus paling banyak adalah intimidasi secara online (cyber harassment), ancaman penyebaran foto/video pribadi (malicious distribution) dan pemerasan seksual online (sextortion).
  • Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bertujuan untuk menghapus kekerasan seksual, mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual.

Pada medio April 2022 viral kasus penipuan berkedok cinta lewat dunia maya atau dikenal love scammer mengakibatkan kerugian pada 91 perempuan baik secara finansial maupun moral. Para perempuan ini kemudian ada yang mengadu pada kepolisian, tetapi ada pula yang enggan melaporkan kasusnya.

Kerugian yang diderita pada korban berdampak buruk karena selain mereka dimintai uang ternyata banyak pula yang sudah terlanjur mengirimkan foto konten intim non-konsensual. Kejahatan ini ditujukan untuk mengancam korban untuk menuruti kemauannya atau atas dasar dendam. Para korban tetap didera rasa cemas dan ketakutan jika gambar-gambar setengah telanjang mereka disebarkan ke media sosial.

Sementara itu, pada bulan Juli 2022 kepolisian telah menangkap tiga pria dari kota yang berbeda karena kasus yang sama, yaitu menyebarkan konten foto pornografi di media sosial. Tiga pria muda tersebut ditangkap dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Ketiga pria tersebut terlibat kasus menyebarkan foto konten intim non-konsensual, yaitu foto-foto yang termasuk dalam konten pornografi diambil dan disebarkan tanpa izin perempuan atau korban dalam foto tersebut. Motif para pelaku sama, yaitu sakit hati karena diputuskan hubungannya asmara dengan wanita korban dalam foto tersebut.

Persoalan di atas hanyalah segelintir kasus yang tampil di ruang publik, sedangkan persoalan nyata bisa jadi lebih banyak lagi hanya saja korban enggan melapor. Menurut data Komnas Perempuan tercatat ada 3.838 kasus kekerasan berbasis gender, dari angka tersebut  sebanyak 1.721 kasus merupakan kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Dibandingkan tahun 2020, hanya 940 kasus maka pada tahun 2021 KSBG meningkat 83 persen.

Jenis Kekerasan Siber Berbasis Gender

Kekerasan siber berbasis gender (KSBG) adalah tindak kekerasan melalui teknologi dunia internet untuk melecehkan korban. Kejahatan siber merupakan hal yang cukup baru dan berkembang bersamaan dengan kemajuan teknologi dan komunikasi.

Bentuknya kejahatan yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial atau website pornografi. Kekerasan di dunia maya ini bersifat memperdaya, melecehkan, pelanggaran privasi, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan eksploitasi, dan terkadang dijadikan alat untuk mengancam.

Menurut Support Group and Resource Center (SGRC) on Sexuality Studies, banyak remaja dan dewasa muda usia 14–25 tahun pernah mengalami kejahatan seksual siber. SGRC menyatakan ada sepuluh bentuk kekerasan berbasis siber, yakni :

  1. Doxing, perilaku mengambil data orang lain tanpa izin dan mempublikasikan tanpa izin. Hal ini banyak terjadi walaupun tidak semuanya bermuatan kejahatan seksual.
  2. Deflamation, yaitu upaya pencemaran nama baik yang dilakukan secara bersama sama menyerang personal ataupun perusahaan. Biasanya menyerang tokoh tertentu secara bertubi-tubi dengan tujuan merendahkan, seringkali dalam bentuk twitwar.
  3. Flaming, biasanya dilakukan oleh laki-laki pada seorang perempuan dengan mengirimkan foto genital laki-laki tersebut. Bersamaan dengan foto tersebut si laki-laki akan memaksa mengajak hubungan seksual dan jika ditolak dia akan mengirimkan foto berulang kali disertai dengan hinaan, cercaan pada si wanita.
  4. Hate speech, biasanya dilakukan oleh individu/group dan menyerang identitas seseorang. Terkadang ujaran kebencian itu ditujukan pada kelompok minoritas gender dan seksual.
  5. Impersonating, adalah pemalsuan akun. Seperti membuat akun palsu orang ternama dan memasang semua foto-foto tokoh tersebut.
  6. Deanaming, adalah perilaku melecehkan nama lahir dengan tujuan menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan pada korban yang dilecehkan tersebut.
  7. Out-ing, coming-out, biasanya dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan mempermalukan seseorang tersebut berdasarkan identitas gender dan seksual orientasi yang berbeda.
  8. Online shaming, gambar atau meme untuk mengolok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong hingga ajakan melakukan kekerasan pada seseorang
  9. Honey Trapping, yaitu penggunaan alplikasi kencan untuk disalah gunakan seperti Tinder, Setipe, Okcupid. Di awal berjanji untuk berkencan tetapi setelah bertemu yang terjadi adalah kekerasan dan ancaman
  10. Revenge Porn. Adalah kasus yang paling sering dialami oleh perempuan muda dan dewasa. Saat mantan pacar atau mantan suami tidak terima diputuskan  kemudian menyebarkan konten seksual berupa gambar telanjang, video seks sebagai ancaman agar korban kembali pada dirinya.
  11. Morphing, yaitu mengedit foto menjadi bernuansa seksual untuk mengolok-olok perempuan
  12. Recruitment, sering terjadi pada situs pencari kerja ternyata pekerjaannya tidak sesuai kemudian dijadikan pekerja seksual.

Dari 12 jenis kekerasan media online, maka yang paling banyak laporan masuk adalah kekerasan revenge porn, yaitu menyebarkan konten seksual non-konsensus.

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pasal 14 dibahas soal kekerasan seksual berbasis elektronik dalam tiga poin, yaitu :

  • Pertama, melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang jadi obyek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.
  • Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima, yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Dalam hal ini Pelaku  sengaja mengirim konten porno kepada korban untuk tujuan kepuasan libido  pelaku dengan pesan bermuatan ajakan seksual yang merendahkan dan memperlakukan korban tak ubahnya obyek kepuasan dirinya.
  • Ketiga, melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Menilik Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelaku kekerasan seksual elektronik dapat dihukum dengan hukuman penjara paling lama 4 tahun dan denda paling besar 200 juta rupiah. Kehadiran UU ITE telah menjamin hak perlindungan terhadap data pribadi dan tidak boleh ada tindakan yang merugikan pemilik data pribadi tersebut. Namun, belum ada aturan khusus untuk melindungi korban kekerasan seksual di dunia maya, hingga penyalahgunaan data pribadi di ruang digital makin banyak terjadi.

Yang lebih buruk lagi adalah ketika korban dianggap bersalah karena bersedia melakukan tindakan pengambilan gambar konten seksual, padahal relasi pelaku dan korban tidak setara. Seringkali korban takut dan tidak berani mengambil tindakan menolak ketika diajak berhubungan badan dan diambil gambarnya

Kejahatan seksual elektronik atau siber ini biasanya pelaku adalah laki-laki yang bersifat ingin mengontrol dan mengendalikan hingga mendorong penyebaran konten intim non-konsensus.

Bahkan, terkadang seorang korban diancam akan disebar foto jika tidak mau meladeni kepentingan seksual pelaku, sehingga akhirnya korban diam dan mengalah. Kondisi perempuan yang dianggap sendiri tanpa pelindung terkadang juga membuat pelaku dengan sengaja memanfaatkannya. Misalnya, meretas akun seorang janda lalu mengambil datanya dan membuat akun palsu bahkan penyebaran identitas. Dalam UU TPKS ini, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual elektronik maksimal empat tahun penjara dan denda 200 juta rupiah.

Berdasarkan data yang terhimpun dari 129 lembaga yang masuk ke Komnas Perempuan, kekerasan berbasis gender di ranah publik terjadi paling banyak di dunia siber dengan 875 kasus atau sekitar 69 persen.

Sedangkan, kekerasan seksual dalam ranah personal yang terhimpun dari 129 lembaga ada 108 kasus atau 4 persen terjadi di ranah siber. Pelaku dalam kasus ranah publik 45 persen atau 410 orang dilakukan oleh teman di media sosial, sedangkan di ranah personal dilakukan mantan pacar 72 persen dan  pacar 25 persen. Pelapor (korban) paling banyak di usia 10–15 tahun dan sedikit di bawah 40 tahun.

Sementara itu, dari laporan yang langsung diterima Komnas Perempuan tahun 2021 kekerasan seksual berbasis gender naik 50 persen yang merupakan angka tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Tahun 2021 terjadi 338.496 kasus dengan bentuk kekerasan gender berbasis siber, kekerasan para perempuan disabilitas, kekerasan dengan pelaku anggota TNI dan Polri, serta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Kekerasan seksual berbasis gender siber (KBGS) berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2021 mengalami peningkatan kasus hingga 83 persen. Dibandingkan tahun 2020 dari 940 kasus bertambah menjadi 1.721 kasus pada tahun 2021. Kasus paling banyak adalah intimidasi secara online (cyber harassment), ancaman penyebaran foto/video pribadi (malicious distribution) dan pemerasan seksual online (sextortion). Dengan rentang usia korban terbanyak antara 15 hingga 19 tahun, kasus kekerasan elektronik atau kejahatan siber ini menjadi kasus mengemuka dalam empat tahun terakhir.

Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender di ranah personal memiliki pola yang hampir sama, yaitu korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video di media sosial ketika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau ketika korban memutuskan hubungan  dengan pelaku.

Menurut data SafeNet  (Southeast Asia Freedom of Expression Network) bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 677 laporan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di seluruh Indonesia. Rata-rata usia korban di atas 18 tahun sebanyak 373 orang, dengan Provinsi Jawa Barat memiliki korban terbanyak 114, DKI Jakarta (87), Jawa Tengah (43), Jawa Timur (42) dan Yogyakarta (22).

Pada akhir 2021, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melakukan Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik berskala nasional, yaitu melihat pelecehan seksual di ruang publik selama pandemi. Survei diikuti oleh 4.236 responden yang tersebar di 34 propvnsi, responden terdiri dari perempuan 3.539 (83,55 persen) dan laki-laki 625 (14,75 persen), serta gender lain 72 (1,70 persen).

Survei yang didukung Rutgers WPF Indonesia ini melihat pelecehan secara langsung (offline) dan di ruang digital. Hasilnya adalah kasus pelecehan seksual digital terbanyak di media sosial (42 persen), aplikasi chat (33 persen), aplikasi kencan daring (9 persen), ruang permainan virtual (4 persen) dan ruang diskusi virtual (2 persen). Bentuk pelecehan yang terjadi, antara lain, dikuntit/cyberstalked (7 persen), dipaksa kirim video pribadi (11 persen), komentar atas tubuh (17 persen), komentar seksis (20 persen), dan dikirimi video intim atau alat kelamin (21 persen).

Belajar secara daring pada masa pandemi menambah kasus pelecehan seksual elektronik. Sebanyak 427 responden pernah mengalami pelecehan seksual, 57 orang pernah mengalami pelecehan di ruang virtual, dan ada 134 responden mengaku bahwa pelaku pelecehan adalah guru/dosennya sendiri. Sayangnya, mayoritas responden yang pernah menjadi korban mengaku tidak mengadukan kejadian pelecehan tersebut.

Kekerasan siber ini tentunya menimbulkan dampak yang buruk bagi korban karena dapat mengakibatkan depresi, merasa dipermalukan, marah, kehilangan harga diri, hingga rasa ingin bunuh diri. Bagi korban yang telah bersuami dapat memicu pertengkaran dengan suami hingga diguncingkan oleh komunitas bahkan hingga kehilangan mata pencaharian.

Secara psikis, korban pun tidak dapat menemui ketentraman karena cemas dibayangi bahwa konten mereka dapat tiba-tiba tersebar di dunia maya, walaupun pelaku mengaku telah menghapus konten tersebut. Karena konten telah tersimpan di basis komputasi awan sehingga bisa jadi masih tersimpan dan sewaktu-waktu dapat disebarkan lagi.

Upaya Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya KSBG, diperlukan pengetahuan konsep diri yang ditanamkan sejak dini, sehingga saat memasuki fase remaja, setiap orang memiliki persepsi yang positif dan tepat tentang hubungan romantis. Sangat penting bagi remaja perempuan memiliki konsep diri, karena kekerasan gender dilatarbelakangi persepsi maskulinitas dan feminitas.

Selain itu, perlunya dibangun kesadaran kritis bagi perempuan sejak kanak-kanak untuk tidak mudah melepaskan pakaian bagi pihak atau seseorang yang tidak seharusnya. Hal itu sebagai langkah awal untuk menghindari kekerasan seksual baik secara langsung ataupun kekerasan elektronik. Terkait netiket, ada kompetensi yang perlu dimiliki, yakni mengakses informasi, menyeleksi dan menganalisis informasi, memverifikasi pesan, membentengi diri, memproduksi dan distribusi konten, serta membangun relasi dan kolaborasi data/informasi.

Kekerasan seksual terjadi karena dipengaruhi oleh faktor individu (nilai) dan aspek sosial, yaitu nilai budaya dalam masyarakat. Untuk mencegah berulangnya, maka cara pandang masyarakat pun harus berubah. Sikap permisif terhadap tindakan pelecehan seksual harus diubah dengan memberikan penilaian negatif pada pelaku serta memberikan sanksi sosial pada pelaku. Dengan demikian, masyarakat lebih memahami bahwa tindakan tersebut adalah keliru dan harus dimusuhi. Sementara itu, dalam masyarakat patriarki terkadang korban yang buka suara menjadi pihak yang disalahkan. Pelecehan seksual banyak sekali bentuknya, mulai dari perilaku menggoda, pelanggaran seksual, pelecehan gender, pemaksaan seksual, dan penyuapan seksual.

Dalam kasus revenge porn, lebih dari 70 persen pelakunya adalah mantan pacar dan selebihnya adalah pacar atau suami balas dendam dan sakit hati. Keberadaan foto atau video konten seksual tersebut terjadi pada saat pelaku dan korban masih berhubungan yang kemudian disimpan pelaku (laki-laki). Dalam banyak kasus perempuan tidak berani menolak diajak berhubungan seks dan direkam gambarnya. Bahkan, ada seorang istri yang diminta membuka pakaian dalam saat video call dengan suami dan tidak sadar sang suami mengambil gambarnya. Oleh karena itu, ketika sang istri mengalami kekerasan dan hendak bercerai, sang suami mengancam akan menyebarkan foto dan video tersebut. Berkaitan dengan hal itu, tampaknya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat adalah mendidik para perempuan muda saat ini agar memiliki konsep diri yang kuat sehingga tidak membiarkan dirinya dijadikan budak seks.

Dalam masyarakat, melalui lembaga sosial hendaknya membuat mekanisme deteksi dini yang mampu memberikan perlindungan bagi korban, karena predator seksual dapat berkeliaran di mana saja. Pemerintah mendorong lembaga sosial dan semua pemangku kepentingan hendaknya membuat sistem pendidikan literasi digital dan literasi informasi pada masyarakat sehingga tidak mudah tergoda oleh ulah predator seksual.

Upaya mencegah kekerasan seksual elektronik dapat diupayakan melalui jalur pendidikan formal di sekolah. Hasil kajian Badan Keahlian DPR RI merekomendasikan untuk memberikan dukungan kepada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bahwa RUU yang kini telah resmi menjadi UU TPKS bertujuan untuk menghapus kekerasan seksual. Tujuan tersebut dapat dilaksanakan dengan cara: pertama, mencegah segala bentuk kekerasan seksual; kedua, menangani, melindungi dan memulihkan korban; ketiga, menindak pelaku; dan keempat, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Memberikan pendidikan seksual, PPK, dan literasi digital yang masing-masing terintegrasi sebagai upaya preventif menghadapi kekerasan seksual elektronik. Kurikulum 2013 sudah memberikan ruang bagi pendidikan seksual, PPK, dan pendidikan digital dilaksanakan di sekolah. Masing-masing sekolah dapat memasukkan pendidikan tersebut sebagai kegiatan intra-kurikuler, ekstra-kurikuler ataupun ko-kurikuler sesuai kondisi sekolah masing-masing. Selain itu, revisi terhadap UU ITE dapat memberikan perlindungan bagi korban, hingga pelaku tidak dapat mengkriminalisasi korban. Kehadiran UU TPKS diharapkan dapat dilaksanakan secara konsisten hingga memberikan hukuman maksimal empat tahun bagi pelaku kekerasan seksual elektronik.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Kampanye Cegah Kekerasan Seksual di Stasiun dan Kereta Api digelar di Stasiun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (29/6/2022).

Berbagai kelompok masyarakat makin waspada pada kejahatan seksual siber, SafeNet mengutarakan bahwa perempuan harus tahu dan paham mengenai keamanan digital dan melindungi data pribadi. Memahami privasi dan memberi batasan atas informasi yang diberikan pada pemroses data, penyedia layanan online serta aplikasi media sosial, karena siapapun dapat mengakses data pribadi yang sudah dimasukkan dalam aplikasi media sosial.

Data pribadi atau bisa disebut PII (personally indentifiable information) adalah informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, melacak atau merujuk individu tertentu secara spesifik seperti NIK, nama, nomor ponsel, informasi sensitif, informasi pribadi hingga alamat tinggal. Selanjutnya, SafeNet memberikan cara untuk menjaga data pribadi dan melindungi diri dari kekerasan seksual berbasis gender online, yaitu:

  1. Pisahkan akun pribadi dan akun publik, menggunakan beberapa akun yang memisahkan hal bersifat pribadi dan hal-hal yang bisa dibagikan pada publik.
  2. Cek dan atur ulang pengaturan privasi. Kendalikan siapa saja yang dapat mengakses data pribadimu, sesuaikan pengaturan privasi dengan level kenyamanan diri berbagi info pribadi seperti nama, foto, nomor ponsel, lokasi (geotag atau location sharing).
  3. Buatlah kata kunci yang kuat dan aktifkan verifikasi login. Hindari kata kunci yang mudah ditebak, gunakan gabungan huruf besar dan kecil serta angka. Beberapa platform media sosial menggunakan aplikasi login dua langkah, termasuk untuk email pribadi.
  4. Jangan mudah percaya pada aplikasi pihak ketiga, misalnya aplikasi kuis di dalam facebook karena biasanya meminta akses data pribadi. Terkadang digunakan secara tidak bertanggung jawab.
  5. Hindari berbagi lokasi pada nyata (real time), karena memberi akses pada orang yang berniat jahat menguntit.
  6. Waspadai URL yang dipendekkan. URL singkat bisa mengarah ke situs yang membahayakan dan dapat mencuri data kita.
  7. Lakukan data detox, hal ini dilakukan agar kita mempunyai kendali atas data kita. Sudah dapat diakses dari Tactical Tech dan Mozilla dengan mengakses https://datadetox.myshadow.org.
  8. Jaga kerahasiaan kata kunci atau Personal Identification Number (PIN) pada ponsel atau laptop pribadi. Seringkali pelaku kekerasan berbasis gender online dan offline adalah orang orang terdekat, maka dari itu tetaplah memegang kendali atas data pribadi sendiri.

Jika sudah terlanjur menjadi korban, yang perlu dilakukan adalah mencari teman yang bisa dipercaya dan berempati pada korban hingga tidak menyalahkan korban karena pernah bersedia mengambil foto terbuka dengan pelaku.

Bersama teman yang dipercaya, lalu segera melapor ke orang tua ataupun lingkungan sekolah, Komnas Perempuan atas ancaman yang menimpanya. Membantu korban mencari pendamping hukum dan psikologis agar nasib korban tertolong sebelum foto dan video disebarluaskan. (LITBANG KOMPAS)