Paparan Topik | Pemilihan Umum

Menyelisik Dana Kampanye Pemilu

Besarnya dana kampanye pada Pemilu 2024 memicu keprihatinan bagi pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Muncul beragam potensi masalah termasuk politik uang atau money politic.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Spanduk raksasa bertuliskan Hajar Serangan Fajar dipasang di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Jumat (14/7/2023). Hajar Serangan Fajar adalah kampanye antikorupsi untuk meningkatkan kesadaran publik terkait pencegahan politik uang dan korupsi menjelang pencoblosan pada pemilu 2024.

Fakta Singkat

Dana kampanye:

  • Dana kampanye adalah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan peserta pemilu untuk membiayai kegiatan kampanye.
  • Usai tengat waktu pelaporan LADK kepada KPU pada 7 Januari 2924, laporan seluruh partai politik dinyatakan tidak lengkap dan harus diperbaiki kembali.
  • Soal dana kampanye diatur melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 18 Tahun 2023.
  • Dana kampanye partai tertinggi dimiliki oleh PDIP, dengan pemasukan Rp 183,8 miliar dan pengeluaran Rp 115 miliar, membuatnya jauh di atas partai politik lain.
  • Pada Pemilu 2014, perputaran uang akibat kampanye mencapai besaran Rp 205 triliun. Mencakup dana langsung maupun tidak langsung.
  • Data KPK menunjukkan bahwa dana kampanye untuk bupati/walikota adalah Rp 30 miliar, gurbenur Rp 100 miliar, sementara presiden tidak terbatas (unlimited).
  • Besarnya dana kampanye berdampak pada kerentanan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Kandidat terpilih terikat pada iuran, pelunasan uang, dan balas budi.

Menjelang pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 2024, partai-partai politik peserta pemilu melaporkan besaran dana kampanye mereka. Tanggal 7 Januari 2024 menjadi tenggat waktu pelaporan, hampir seluruh partai mengirimkan laporannya di tanggal tersebut. Pelaporan yang dikirimkan dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) ini disampaikan melalui Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka).

Pelaksanaan pelaporan demikian menjadi wujud penegakan aturan pemilu yang akuntabel, berkepastian hukum, dan transparan. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan prinsip tersebut dengan turut menetapkan dana kampanye sebagai tanggung jawab para peserta pemilu. Penetapan demikian lantas kembali ditegaskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilu.

Dalam upaya pertanggungjawaban tersebut, peserta pemilu wajib melaporkan dana kampanye mereka dalam tiga jenis laporan. Selain LADK, terdapat juga laporan Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Setelah memperoleh berbagai laporan ini, KPU sebagai lembaga pelaksana pemilu merilisnya melalui siaran pers pada 14 Januari 2024. Dalam siaran pers tersebut, KPU mengundang awak media untuk meliput hasil LADK yang telah terkumpul. Bersamaan dengan acara tersebut, KPU juga merilis dokumen laporan yang berisi penjabaran detail akan data dan angka dana kampanye.

Rupanya, perilisan oleh KPU tersebut kembali mencuatkan masalah klasik dalam pesta demokrasi di Indonesia, yakni tingginya dana kampanye. Angka-angka yang dirilis KPU memicu kritik, keprihatinan, dan pertanyaan publik terhadap para kontestan pemilu, khusunya soal sumber pendanaan mereka dan kekhawatiran adanya upaya balik modal atau balas budi pasca pemilu.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kaus bergambar bakal calon presiden dipajang di sebuah usaha konveksi Sinergi Adv Nusantara di Srengseng Sawah, Jakarta, Jumat (27/10/2023). Menjelang kampanye pemilu legislatif dan kampanye pemilihan presiden pada Pemilu 2024, pesanan kaus politik naik hingga 400 persen. Usaha konveksi ini mampu memproduksi kaus hingga 10.000 buah per hari.

Sekilas Konsep Dana Kampanye

Mengacu pada KBBI, kampanye didefinisikan sebagai “suatu gerakan serentak dengan tujuan untuk melawan, mengadakan aksi, dan seterusnya”. Dalam konteks politik elektoral, gerakan serentak tersebut dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing untuk memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya dengan tujuan memperoleh dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.

Sementara itu, UU Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta.

Dari kedua pemahaman demikian, niscaya aktivitas kampanye memerlukan modal, apalagi untuk menggerakkan massa dan membangun narasi. Komponen inilah yang kemudian dikenal dengan “dana kampanye”.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum mendefinisikannya dana kampanye sebagai sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan peserta pemilu untuk membiayai kegiatan kampanye.

Berangkat dari ragam definisi tersebut, dana kampanye kerap mencapai jumlah bilangan yang besar. Apalagi dalam konteks pemilu nasional, dimana peserta pemilu harus memperoleh dukungan massa pemilih dengan jumlah hingga 204 juta jiwa lebih di seluruh Indonesia menjadi alasan tingginya dana kampanye di Indonesia.

Untuk itu, calon presiden dan calon wakil presiden dapat mengumpulkan dana kampanye dari beberapa sumber. Pertama adalah dana pribadi. Kedua, dana yang bersumber dari anggaran partai politik pendukung. Ketiga, sumbangan sah dari pihak lain. Keempat, alokasi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Sebenarnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 juga telah menetapkan batas bagi besaran dana kampanye. Baik untuk calon presiden-calon wakil presiden, calon anggota DPR, dan calon anggota DPRD, bantuan dana dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar.

Untuk sumber dana dari pihak lain (terutama perusahaan pendukung) tidak lebih dari Rp 25 miliar. Sementara untuk calon anggota DPD, batasan dana perseorangan adalah Rp 750 juta dan sumber dana dari pihak lain sebesar Rp 1,5 miliar.

Secara regulasi, apabila sumbangan dana kampanye melebihi batas yang telah ditentukan maka kelebihan sumbangan dana kampanye wajib diserahkan ke KPU. Nantinya, KPU akan menyerahkan dana tersebut ke kas negara. Selain itu, penyumbang dana kampanye juga harus memenuhi syarat, di antaranya sedang tidak menunggak pajak, tidak dalam keadaan bangkrut, sumber dana bukan berasal dari tindak pidana, dan sumbangan tidak bersifat mengikat.

Berbagai komponen situasi yang mewarnai pemilu di Indonesia menuntut respon KPU untuk menetapkan aturan yang tegas dan jelas, termasuk soal dana kampanye.

UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai basis hukum yang akan dirujuk dalam Pemilu 2024  telah mengamanatkan agar diperlukan aturan dalam pemilu sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien.

Dalam hal ini, KPU memiliki wewenang untuk melakukan audit terhadap dana kampanye melalui kantor akuntan publik dan melaporkan dana kampanye pemilu. Untuk itu, partai politik yang ikut berkontestasi wajib menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik bersangkutan. Nomor rekening ini sendiri harus merupakan Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) yang difungsikan secara khusus untuk menampung dana kebutuhan kampanye semata.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) didampingi Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi (kiri) dan Komisioner KPU Hasyim Asy’ari (kanan) memberikan sambutan dalam uji coba aplikasi dana kampanye untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 di Hotel Mandarin Jakarta, Kamis (23/8/2018). Kegiatan tersebut diharapkan bisa meningkatkan transparansi yang akan mendorong kepercayaan masyarakat terhadap pemilu.

Masifnya Dana Kampanye

Meski ragam aturan telah ditetapkan, namun kekhawatiran akan masifnya dana kampanye masih konstan muncul dalam tiap penyelenggaraan pemilu. Hal ini juga diperparah dengan ketidakdisiplinan para kontestan pemilu dalam mengatasi persoalan ini.

Sebagai contoh, untuk laporan LADK Pemilu 2024, tidak ada satupun laporan partai politik yang sudah bisa dinyatakan lengkap meski waktu pelaporan telah dua hari melewati tenggat waktu.

Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya melaporkan dana kampanyenya sebesar Rp 180.000. Parahnya lagi, sebanyak 199 calon anggota legislatif tidak menyampaikan LADK hingga 9 Januari (Kompas.id, 9/1/2024, LADK 18 Parpol Belum Lengkap, PSI Laporkan Pengeluaran Kampanye Rp 180.000).

Hal ini juga seolah menunjukkan tidak transparannya para kontestan pemilu terhadap besaran dana yang mereka pergunakan. Apalagi, dana kampanye Pemilu 2024 tengah menjadi sorotan masyarakat yang kian skeptis terhadap keberpihakkan aktor politik. Besarannya yang mencapai angka fantastis tidak hanya menunjukkan eksklusivitas politik di Indonesia, namun juga besarnya potensi pemerintahan yang kotor pasca pemilu.

Besaran dana kampanye dapat dirunut dari hasil rilis KPU pada 14 Januari 2024 lalu. Dalam laporan Rilis KPU Penyampaian Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 Tingkat Pusat yang dikeluarkan KPU, terdapat dua bagian data yang dapat menjadi perhatian, yakni data penerimaan dana kampanye dan pengeluaran dana kampanye.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Mengacu pada dokumen tersebut, dengan data per 12 Januari yang menunjukkan LADK perbaikan, diketahui bahwa penerimaan dana kampanye terbesar dimiliki oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan besaran nominal mencapai Rp 183,86 miliar. Penerimaan tersebut dibarengi dengan pengeluaran yang juga tertinggi, yakni Rp 115 miliar.

Angka yang dilaporkan PDIP begitu jauh dengan angka-angka LADK dari partai-partai lainnya. Sebagai contoh, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang berada di peringkat kedua saja “hanya” menerima dana kampanye sebesar Rp 33 miliar dan mengeluarkan Rp 24,1 miliar.

Sementara partai politik dengan alokasi dana kampanye terkecil adalah Partai Bulan Bintang (PBB). Penerimaan dana kampanye PBB hanya mencapai total Rp 301 juta. Sementara dana kampanye yang dikeluarkan juga menjadi yang terkecil, yakni Rp 228 juta.

LADK ini sendiri tidak bisa menjadi rujukan baku atas besaran dana kampanye yang diterima dan dikeluarkan partai politik. Mengacu pada lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terdapat kejanggalan yang terjadi dalam laporan beberapa partai.

Usai melakukan perbaikan laporan, terdapat partai politik yang jumlah penerimaan dan pengeluarannya tidak berubah tetapi jumlah calon anggota legislatif yang menyampaikan LADK. Hal tersebut jelas tidak mungkin karena angka pada LADK merupakan akumulasi dari besaran dana kampanya yang dikeluarkan oleh calon anggota legislatif.

Artinya, meski telah memberikan laporan dan laporan perbaikan, namun data dalam LADK sendiri masih dipenuhi kejanggalan. Pada kenyataannya, dana kampanye bisa jauh lebih besar dari yang dilaporkan kepada KPU.

Besaran angka riil dana kampanye pernah dibahas oleh Amru dan Dartanto dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universtias Indonesia. Dalam artikel berjudul Dampak Pemilihan Umum 2014 terhadap Indikator Makroekonomi, keduanya mengestimasi dampak dari Pemilu 2014 terhadap indikator makroekonomi berupa konsumsi, investasi, dan jumlah uang beredar.

Amru dan Dartanto mencatat bahwa dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon anggota DPR mencapai rentang sebesar Rp 750 juta-4 milliar. Sementara untuk memperebutkan kursi DPRD Provinsi, besaran dana kampanye mencapai Rp 250-500 juta. Keduanya percaya bahwa angka-angka ini hanya akan terus meningkat di setiap pemilu.

Mengambil contoh konkret adalah dana kampanye yang harus digelontorkan oleh Arsul Sani, anggota DPR periode 2014-2019 dari PPP. Arsul Sani mengeluarkan dana kampanye hingga Rp 2,5 miliar untuk membiayai kampanyenya. Uang tersebut digunakan untuk membayar para relawan, membuat kaos, bendera, souvenir, dan ongkos saksi penghitungan suara.

Besaran angka-angka ini berdampak nyata terhadap peredaran uang pada skala makroekonomi masyarakat. Para peserta pemilu akan menggelontorkan uang pada beragam industri, seperti industri kertas, industri percetakan, industri tekstil, hingga jasa pengiklanan. Alhasil, sebanyak total Rp 115 triliun berputar selama Pemilu 2014 dan membangkitkan dampak tidak langsung perekonomian hingga Rp 89 triliun dan memberikan dampak hingga Rp 205 triliun.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para auditor menyerahkan berkas audit Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) peserta Pemilu Serentak 2019 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Jumat (31/5/2019). Sebelum disampaikan ke publik, KPU akan lebih dulu menyerahkan hasil audit tersebut ke peserta pemilu. KPU punya waktu selama 10 hari untuk mengumumkan hasil audit LPPDK, terhitung sejak diterimanya hasil audit oleh auditor.

Dana Kampanye Mendorong Praktik Kotor

Besarnya dana kampanye menunjukkan bahwa jalur menuju Istana maupun Senayan tidaklah mudah, bukan atas standar kompetensi dan gagasan melainkan biaya. Rupiah yang dikeluarkan tidak main-main demi partai politik berhasil mendudukkan para kandidatnya di kursi panas kehormatan. Untuk meraih kursi-kursi tersebut, partai politik dan para kandidat politik tentu akan mencari cara untuk mendanai besarnya usaha kampanye.

Untuk terlibat pada kompetisi pemilu, pada kandidat pemilu harus berupaya untuk mencari sumber-sumber pendanaan. Mereka memanfaatkan dukungan finansial pihak ketiga atau juga mati-matian mengongkosi diri. Habis-habisan ini dilakukan justru tepat sebelum mereka menduduki kursi kekuasaan.

Akibatnya, ketika akhirnya berhasil meraih kursi, kandidat terpilih duduk dengan dompet yang menipis dan utang budi dengan pihak ketiga. Seorang peserta pemilu yang berhasil jadi pejabat dengan demikian dihadapkan pada tanggungan beban keuangan yang harus dilunasi, yakni tuntutan balik modal dan membayar hutang kepada pihak pendukungnya. Belum lagi adanya kontribusi iuran yang dimintakan partai untuk membiayai mesin politik.

Pada tahap inilah para kandidat terpilih memasuki ruang yang sangat longgar untuk berperilaku koruptif. Ketika tekanan hutang dan iuran melingkupi, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki menjadi begitu rentan untuk disalahgunakan. Penyalahgunaan juga kian rentan ketika yang berkuasa tengah menyiapkan diri terlibat dalam kontestasi pemilu.

Tahun 2018 lalu, publik dikejutkan dengan penetapan 41 dari 45 anggota DPRD Malang, Jawa Timur. Hampir seluruh anggota dewan terjaring kasus suap pengurusan anggaran, terutama melalui pengesahan dan pembahasan APBD serta kewenangan pemilihan pejabat. Aktivitas parlemen di Malang pun lumpuh seketika.

Pembahasan anggaran di tingkat legislatif terbukti menjadi ruang kekuasaan yang rawan. Selain kasus DPRD Malang, puluhan elite lokal daerah, parlemen daerah, dan kepala daerah juga telah terjerat dalam transaksi gelap pengesahan APBD.

Dalam rentang dua tahun menuju Pemilu 2019,  lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan kepala daerah dan DPRD di Provinsi Sulawesi Barat, Jambi, Kota Mojokerto, dan terakhir Kota Malang sebagai tersangka korupsi APBD (Kompas.id, 18/9/2018, Kartelisasi Korupsi Anggaran).

Pada konteks Pemilu 2024, hal serupa kembali terendus. Lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya kenaikan aliran dana yang signifikan dalam rekening parpol maupun para calon legislatif.

Tidak main-main, lonjakan mendadak pada rekening partai politik meningkat hingga 2400-4000 persen dari 2022 ke 2023. Besaran angka ini bahkan diprediksi masih lebih kecil dari yang senyatanya, karena transaksi keuangan partai justru mengalir deraspada rekening bendahara partai politik – hal yang sehatinya menyalahi aturan rekening dana kampanye.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam acara “Refleksi Akhir Tahun 2023 dan Proyeksi Kerja serta Langkah-langkah Strategis PPATK Tahun 2024” di Jakarta pada 10 Januari 2024. Selain lonjakan transaksi, PPATK juga menemukan adanya transaksi para calon legislatif. dengan nominal yang sangat tinggi. Total transaksi daftar calon tetap (DCT) mencapai angka Rp 24 triliun.

Selain aktivitas transaksi dengan nominal yang luar biasa, PPATK juga menemukan bahwa beberapa calon legislatif memiliki hubungan dengan beberapa tindak pidana dalam ruang pendanaan yang cair, seperti perjudian, penambangan ilegal, narkotika, dan penggelapan. PPATK tengah mencurigai temuan transaksi besar dalam rekening kurang lebih 100 orang calon legislatif.

Parahnya lagi, PPATK juga menemukan transaksi mencurigakan terkait tindak pidana korupsi senilai Rp 3,5 triliun. Temuan tersebut adalah akumulasi sejak awal tahun 2022 hinga awal Januari 2024. “Sudah ada 13 (laporan) kasus korupsi, dengan (total) angka Rp3.518.370.150.789,” ujar Ivan Yustiavandana (Kompas.id, 10/1/2024, PPATK: Lonjakan Transaksi Ditemukan pada Rekening Bendahara Parpol dan Caleg).

KPK menjelaskan mahalnya ongkos politik telah menjadi salah satu pemicu bagi tindak pidana korupsi. Sejumlah kasus yang ditangani KPK telah mengungkap bagaimana pengurus partai ikut berperan dalam perkara yang menjerat anggotanya di legislatif. Beberapa tersangka bahkan memberi pengakuan soal aliran dana suap turut masuk kas partai.

Hal ini sudah disampaikan jauh-jauh hari oleh KPK sebelum periode kampanye Pemilu 2024, salah satunya melalui Rapat Tematik Aset dan Pendapatan Daerah, di Kantor Bupati Kabupaten Muara Bungo, Jambi, pada April 2023. “Ongkos politik/demokrasi kita ketahui sangat mahal tapi kami meminta agar mahalnya biaya politik/demokrasi ini tidak membuat korupsi kian marak,” kata Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah I KPK Maruli Tua.

Mahalnya biaya politik tersebut turut didukung oleh data KPK. Dijabarkan, bahwa dana kampanye untuk calon bupati/walikota rata-rata mencapai Rp 30 miliar, padahal gaji mereka selama lima tahun menjabat saja tak akan mencapai jumlah tersebut. Selain itu, biaya untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar, sementara biaya untuk pemilihan presiden mencapai tidak terhingga (unlimited).

Sebagai gambaran dana kampanye calon presiden dapat dilihat dari salah satu sampel iklan kampanye, yakni melalui media sosial Meta yang terlihat dari akun pengiklan pendukung. Jumlah biaya iklan kampanye di Meta dalam kurun 16 November-15 Desember 2023 mencapai ratusan juta rupiah.

Dengan total 15 akun, iklan kampanye pasangan presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mencapai total belanja Rp 444,3 juta. Untuk iklan kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang diiklankan oleh 33 akun mencapai besaran biaya Rp 778,9 juta. Sementara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diiklankan oleh 87 akun mencapai biaya tertinggi Rp 829,2 juta. Angka-angka ini baru mencakup pengiklanan di salah satu platform media sosial, pun rentang waktunya hanya satu bulan.

Hal-hal demikianlah yang akhirnya menjadikan korupsi sebagai jalan pintas untuk pejabat publik mencari ongkos tambahan. Sektor yang paling rawan berada di area pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), dimana acap terjadi penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah.

Selain itu, sektor rawan lainnya juga terletak pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) yang rawan suap/gratifikasi proyek – apalagi bila pejabat memiliki hutang budi dengan pihak ketiga yang telah mendukung kampanyenya dan memiliki kepentingan dalam proyek terkait.

Ongkos kampanye menjadi salah satu varian penting tindak pidana korupsi di Indonesia. Tanggungan biaya yang besar  pada akhirnya mengubah orientasi kinerja pejabat legislatif, yang seharusnya bekerja memperjuangkan kesejahteraan sebagai wakil rakyat justru terbelengu dengan kepentingan fulus politik.

KOMPAS/IQBAL BASYARI

Suasana konferensi pers Masyarakat Sipil Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas di Kantor Bawaslu, Jakarta, Senin (19/6/2023). Masyarakat sipil mendesak Badan Pengawas Pemilu menerbitkan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum agar mengatur kewajiban Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye.

Penyebab Besarnya Dana Kampanye

Dana kampanye memang penting untuk mendukung kampanye partai politik beserta para calon legislatif dan calon presiden-wakil presiden. Tanpa adanya dana, tidak akan ada pengorganisasian massa dan narasi yang berjalan. Pemerintah pun sudah membuat regulasi yang mengatur bagaimana dana kampanye itu seharusnya diperoleh dan diatur agar dana kampanye dapat teregulasi dengan baik.

Akan tetapi, partai-partai politik beserta para calon pemegang kekuasaan begitu sulit mengindahkan peraturan-peraturan yang ada. Cara main yang telah diamanatkan oleh UU cenderung membatasi kebutuhan kampanye dan pembangunan citra diri. Artinya, amanat UU tidak selaras dengan persoalan sistemik yang memang memaksa dana kampanye menjadi begitu besar.

Mengacu kembali pada Kompas.id (18/9/2018, Kartelisasi Korupsi Anggaran), perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 dinilai menjadi kontributor utama terhadap terbukanya ruang koruptif para legislator dalam arena pembahasan anggaran. Sistem pemilu ini telah mengubah fokus pemilihan dari partai politik ke personal kandidat.

Kandidat kini didorong untuk lebih memprioritaskan pembangunan hubungan personal dengan konstituennya secara langsung daripada membangun hubungan melalui partai politik.  Akibatnya, identifikasi pemilih terhadap partai politik pun menjadi rendah.

Meski sistem proporsional terbuka ditengarai lebih demokratis, namun hal tersebut membawa konsekuensi pada membengkaknya alokasi dana kampanye. Melalui sistem proporsional daftar terbuka, peluang petahana untuk terpilih kembali memiliki tingkat ketidakpastian tinggi dan mendorong mereka mencari tambahan sumber daya untuk membiayai kampanyenya.

Selain itu, karena individu menjadi subjek utama dari pemilu dan bukan partai politik, maka para politisi yang ingin meningkatkan peluang terpilih harus memberikan manfaat langsung serta sebesar-besarnya kepada para konstituennya. Mereka harus turun langsung untuk bergerak masing-masing secara sporadis demi menyebarkan dampak dan citra. Praktik yang terjadi terus-menerus ini akhirnya terlembagakan dan menjadikan hubungan para politisi dengan konstituennya sebagai hubungan patronasi.

Situasi demikian turut dipaparkan oleh Hicken dan Simmons dalam artikel akademik The Personal Vote and the Efficacy of Education Spending. Keduanya menggarisbawahi bahwa sistem pemilu yang berbasis keterpilihan suara individu tidak hanya membuat inefisiensi anggaran, tetapi juga menjadikan proses pembahasan anggaran rentan terhadap praktik korupsi.

Bahkan, hingga titik yang lebih ekstrem, Hicken dan Simmons menemukan bahwa biaya untuk mengumpulkan suara pribadi berdampak pada rendahnya biaya produktif yang digunakan bagi pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Para legislator pun cenderung lebih tertarik pada proses pembahasan anggaran daripada kebijakan publik lain.

Mencari Solusi Terbaik

Besarnya dana kampanye terus menjadi persoalan klasik di Indonesia, utamanya sejak tahun 2009. Diperlukan pencarian solusi terbaik tanpa dibarengi dengan reduksi atas kualitas demokrasi itu sendiri. Sistem pemilu di Jerman, yang acap dikenal sebagai Bundestag, dapat memberikan perspektif solutif baru dengan memadukan sistem proporsional terbuka dan tertutup.

Mengacu pada artikel dari media Jerman Deutsche Welle (DW), di Jerman, warga yang mengikuti pemilu memiliki dua suara, yaitu memilih nama kandidat sebagai wakil rakyat yang akan mereka ajukan (sistem pemilihan terbuka) dan memilih partai politik (sistem pemilihan proporsional) sebagai bagian dari suara kedua.

Secara garis besar, hal ini akan memberi kebebasan bagi pemilih untuk memilih calon wakil rakyat yang tidak melulu harus berasal dari parpol yang dipilihnya. Dalam sistem pemilihan pertama, pemilih berhak memilih calon wakil rakyat yang sudah diajukan masing-masing partai di setiap daerah mereka.

Di bagian kedua, pemilih dapat memilih partai yang mereka inginkan. Susunan nama kandidat yang diajukan partai politik ditetapkan dari proses rapat bersama berdasarkan negara bagian.

Berbicara mengenai dana pemilu di Jerman, dana kampanye partai politik diperoleh dari bantuan negara, iuran keanggotaan, dan sumbangan pribadi atau perusahaan – sama seperti di Indonesia. Besarnya dana negara yang mereka terima juga tergantung dari perolehan suara dalam pemilu nasional, pemilu negara bagian, dan pemilu Eropa.

Setiap individu atau perusahaan tidak memiliki batasan untuk memberi sumbangan kepada partai politik. Partai politik yang menerima sumbangan lebih dari € 50.000 wajib melaporkan ke parlemen Jerman. Peraturan ini juga diikuti dengan ketatnya peraturan lain, yakni terkait batasan pemasangan iklan di TV, media, atau baliho, batasan yang membuat dana kampanye di Jerman relatif rendah.

Selain itu, pengetatan transparansi juga dapat menjadi solusi untuk mengawasi dana kampanye. Upaya transparansi demikian dapat dilakukan melalui pembuatan lembaga khusus untuk mengawasi pendapatan dan pengeluaran dana kampanye.

Meksiko menjadi salah satu contoh negara yang memiliki kontrol yudisial efektif untuk mengawasi dana kampanye – diwujudkan dengan mengkombinasikan kewenangan antara KPU dengan instansi pengadilan (Kompas.id, 14/11/2020, Indonesia Bisa Belajar dari Mekanisme Pelaporan Dana Kampanye Negara Lain).

Pada akhirnya, besarnya dana kampanye harus dijawab dengan solusi yang sistemik. Upaya menciptakan demokrasi harus dibarengi dengan penciptaan ekosistem demokrasi yang sehat. Hal-hal demikian menjadi penting tidak hanya untuk mewujudkan pemilu yang bersih, namun juga pemerintahan yang berintegritas dan masyarakat yang sehat. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel Akademik
  • Hicken, A., & Simmons, J. W. (2008). The Personal Vote and the Efficacy of Education Spending. American Journal of Political Science Vol. 52 No. 1 , 109-124.
  • Amru, A. F., & Dartanto, T. (2014). Dampak Pemilihan Umum 2014 terhadap Indikator Makroekonomi. Depok: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.
Arsip Kompas
Internet
Aturan
  • UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
  • Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilu