Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Melindungi Perempuan dan Anak dari Ancaman Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga merugikan beragam kalangan, terutama perempuan dan anak. Namun, lingkaran kekerasan di tengah kehidupan patriarki membuat perempuan sulit keluar dari siklus kekerasan dalam rumah tangga.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Ratusan perempuan menggelar aksi damai dengan membawa payung di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (31/5/2004). Mereka meminta pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Antikekerasan dalam Rumah Tangga (RUU Anti-KDRT). Selama ini mereka menilai kurang adanya perlindungan bagi kelompok rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, seperti perempuan, anak, dan juga pembantu rumah tangga.

Fakta Singkat

  • Menurut data Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak, sejak Januari hingga Oktober 2022, telah terjadi 18.261 KDRT di seluruh Indonesia Sebanyak 79,5 persen korbannya adalah perempuan dan anak.
  • Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT atau domestic violence adalah kekerasan berbasis gender dalam lingkup personal di dalam keluarga.
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjadi dasar penyelesaian KDRT

Tujuan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:

  • Mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
  • Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
  • Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
  • Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Beberapa waktu lalu, jagat dunia hiburan gempar dengan pemberitaan kasus Lesti Kejora dengan pasangannya, karena sang suami melakukan tindak kekerasan. Kasus tersebut mencuat setelah ayah Lesti Kejora membuat laporan kepolisian tentang suami Lesti yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Peristiwa tersebut segera menjadi viral. Sontak muncul solidaritas yang berpihak mendukung Lesti mulai dari para artis yang datang menjenguk Lesti di rumah sakit hingga warganet yang memberikan komentar dalam dunia maya.

Pada saat itu, Lesti bersama dengan ayahnya datang ke kantor polisi Metro Jakarta Selatan dan membuat laporan kekerasan yang dilakukan oleh suami Lesti pada 28 September 2022. Surat laporan tersebut ditandatangani oleh Lestiani (Lesti Kejora) sebagai pelapor dan korban dalam kasus tersebut. Laporan Lesti Kejora teregister dengan nomor LP/B/2348/IX/2022/SPKT/Polres Metro Jaksel/Polda Metro Jaya.

Dukungan dari berbagai pihak mengalir untuk Lesti. Ia dianggap sebagai sosok pemberani karena melaporkan tindak kekerasan yang terjadi pada dirinya. Keberanian yang dipuji banyak pihak karena dalam banyak kasus korban kekerasan enggan membuat laporan resmi ke kepolisian karena beragam alasan.

Banyak pihak berharap pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan mendapat hukuman, apalagi Lesti bahkan sudah mengambil barang-barang dari rumahnya dan tinggal bersama orang tuanya. Namun, harapan itu tiba-tiba terhempas begitu saja, beragam komentar pujian dan pujaan pada Lesti sebagai korban KDRT seolah terjun bebas ketika Lesti mencabut laporan polisi dan  memaafkan suaminya.

Persoalan yang terjadi pada penyanyi yang sedang naik daun tersebut merupakan gambaran umum tentang bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Namun, hal yang dikhawatirkan adalah ketika kekerasan itu menjadi sebuah pola yang disebut dengan Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Menurut data Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak sejak Januari hingga Oktober 2022 telah terjadi 18.261 KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5 persen korbannya adalah perempuan dan anak. Sedangkan laki-laki yang menjadi korban sebanyak 2.948 orang, hal ini menunjukkan bahwa korban KDRT dapat terjadi pula pada laki-laki dewasa.

Kasus kekerasan yang menimpa keluarga selebriti seperti Lesti menjadi perhatian publik secara luas di Indonesia. Apalagi pasangan ini memiliki pengikut yang sangat banyak di media sosial, maka kasus kekerasan ini seolah menjadi persoalan banyak orang.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta pada semua lembaga untuk tidak menjadikan pelaku KDRT sebagai pengisi acara atau penampil dalam semua program siaran, baik di televisi dan radio. Publik figur seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dan bukan melakukan kekerasan, apalagi KDRT merupakan pelanggaran pada hak asasi manusia.

Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Menurut Komnas Perempuan, KDRT atau domestic violence adalah kekerasan berbasis gender dalam ranah personal, dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan dengan korban. Pelaku bisa saja  suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap ponakan atau kakek pada cucu. Selain itu KDRT dapat pula terjadi pada hubungan pacaran,  ataupun pekerja rumah tangga yang dilakukan oleh majikannya.

Sudah ada undang-undang  Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan. Undang-undang ini menjamin untuk menindak pelaku KDRT dan melindungi korban KDRT seperti yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 2. Undang-undang PKDRT ini  mendefinisikan KDRT sebagai :

Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tujuan UU PKDRT  tercantum dalam pasal 4, yaitu :

  1. Mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
  2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
  3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
  4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis sejahtera

Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The Committee on the Elimination of Discrimination Against Women yang disebutkan dalam General Recommendation Nomor 19 tahun 1992 disebutkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah berbagai bentuk kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual karena perbedaan gender dalam masyarakat.

Sementara itu dalam UU PKDRT meliputi kekerasan fisik (pasal 6), kekerasan psikis (pasal 7), kekerasan seksual (pasal 8) dan penelantaran ruma tangga (pasal 9).

Secara umum kekerasan dalam rumah tangga terbagi dalam beberapa hal yaitu :

  1. Kekerasan fisik, menyerang tubuh hingga dapat mengakibatkan kematian.
  2. Kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan munculnya rasa tidak berdaya pada perempuan.
  3. Kekerasan seksual, setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai pada pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan pasangan disaat tidak menghendaki, atau menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.
  4. Kekerasan ekonomi, yaitu perbuatan yang membatasi perempuan untuk keluar rumah yang menghasilkan uang atau barang, ataupun membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi ataupun menelantarkan anggota keluarga.

Menurut Kristi Poerwandari dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dengan gambaran sebagai barikut:

  1. Kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
  2. Kekerasan psikologis, seperti berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
  3. Kekerasan seksual, seperti melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa hubungan seks tanpa  persetujuan korban dan sebagainya.
  4. Kekerasan berdimensi financial, seperti mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhuan kebutuhan financial dan sebagainya.
  5. Kekerasan spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktikan ritual keyakinan tertentu,

Sanksi pada pelaku KDRT

Tertuang pada UU PKDRT  dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53, jika melakukan kekerasan fisik tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat (maksimal 10 tahun) dan menyebabkan korban meninggal dunia (maksimal 15 tahun), dan jika mengakibatkan korban mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan dan gugur  atau mati janinya dalam kandungan maka hukuman bagi pelaku maksimal 20 tahun.

Dalam hal ini masyarakat harus waspada menghadapi kasus KDRT, dibutuhkan peduli dan empati pada korban kekerasan. Oleh karena itu masyarakat wajib melakukan upaya sesuai dengan batas kemampuannya  untuk :

  1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
  2. Memberikan perlindungan pada korban
  3. Memberikan pertolongan darurat
  4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan

Tugas dan tanggungjawab pemerintah tertuang dalam UU PKDRT yang memberikan mandat pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk bertangungjawab dalam upaya pencegahan KDRT melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penyelenggaraaan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang  KDRT, penyelenggaraan  pelatihan dan pendidikan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Intstruktur mengarahkan warga binaan Panti Sosial Perlindungan (PSP) Bahkti Kasih, Kebon Kosong, Jakarta Pusat belajar membatik, Senin (10/10/2022). Panti di bawah Dinas Sosial ini menampung sekitar 100 orang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan melatih mereka dengan beberapa keterampilan. Beragam keterampilan seperti menjahit, tata boga, menjahit dan kerajinan tangan diajarkan seminggu sekali agar warga binaan dapat mandiri saat hidup kembali dalam masyarakat. Disamping bekal keterampilan, panti ini juga memberi pendampingan psikologis untuk memperbaiki kondisi mental para warga binaan. Seteah mereka memiliki keterampilan, panti tersebut juga membantu menyalurkan mereka ke dunia kerja dengan pemantauan secara rutin.

Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya terjadi berulang-ulang dan korban tetap berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya karena beragam alasan.

Tahapan Terjadinya Kekerasan

  1. Tahap munculnya ketegangan

Kekerasan biasanya dimulai dengan perdebatan dan pertengkaran terus menerus, atau saling tidak memperhatikan atau kombinasi keduanya dan disertai dengan kekerasan kecil.

  1. Tahap munculnya kekerasan

Kekerasan mulai muncul mulai dengan menampar, meninju, menendang, mendorong, mencekik atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti jika korban pergi dari rumah atau pergi ke tempat lain.

  1. Tahap bulan madu.

Pada tahap ini pelaku menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi bahkan dengan memberikan hadiah. Pada fase ini seringkali pasangan suami istri kembali mesra  dengan sikap suami yang sangat baik, walaupun terkadang semua palsu. Pelaku kekerasan sebenarnya ketakutan jika perbuatan kasarnya diadukan pada mertua atau dilaporkan ke polisi dan khawatir akan ditahan polisi.

Dalam teori lain Siklus Kekerasan terjadi pada hubungan pasangan seperti suami istri atau kekasih, siklus ini memiliki pola seperti lingkaran yang terus berulang-ulang  dengan tiga fase utama yaitu :

  • Honeymoon Phase

Fase bulan madu selalu ditandai dengan rasa penyesalan pelaku akan kekerasan yang pernah dilakukan bahkan berjanji tidak akan melakukan kekerasan lagi. Pelaku juga berjanji akan mengubah perilakunya untuk mendapatkan kepercayaan dan  memenangkan hati pasangan yang telah menjadi korban kekerasan.

Dalam siklus kekerasan ada fase bulan madu adalah momen hubungan yang hangat yang terkesan sangat normal,  semua terlihat tenang, aman dan hubungan berjalan baik. Pelaku akan menampilkan dirinya sebagai sosok yang pengertian, menyanjung pasangan meskipun ada kecemberuan yang membuat korban percaya bahwa pelaku sangat peduli padanya.

  • Tension-Building Phase

Pada fase ini berada diantara Honeymoon Phase dan Acute Explosion, dimana perilaku agresif pelaku mulai menyerang korban. Mulai muncul perkataan kasar yang merendahkan korban, mengkritik yang terlalu berlebihan,   emosi yang tidak stabil terkadang minuman keras dan mabuk,  berteriak dan berperilaku kasar.

Sedangkan korban mulai menghindari keluarga besarnya dan teman-teman, korban mulai menjauhkan anak dari pelaku karena khawatir dampak kekerasan.

Dalam situasi ini korban mulai hidup dalam kecemasan karena situasi yang tidak sehat yaitu pelaku mulai mengintimidasi dengan sikap dan kata-kata yang kasar dan merendahkan. Sehingga korban selalu hidup dalam ketakutan dan menuruti semua keinginan pelaku kekerasan.

  • Acute Explosion

Dalam fase ini pelaku mulai melakukan intimidasi kekerasan seperti melakukan tindakan agresif pada korban seperti memukul, mencekik, memperkosa ataupun memenjarakan korban dalam rumah sendiri.

Pelaku juga mulai merusak benda-benda dalam rumah seperti melempar gelas untuk menyerang korban, ataupun mendorong dan mencekik korban ke dinding, terkadang menendang.

Tindakan seperti membanting pintu dan mengunci pintu sehingga korban tidak bisa lari untuk mencari bantuan. Tidak jarang pelaku menggunakan alat untuk menyakiti korban dibarengi dengan perkataan kasar yang merendahkan martabat manusia.

Kekerasan dalam rumah tangga  terus berulang dan terus terjadi tidak semata karena alat hukum yang masih kurang, tetapi psikologis perempuan korban kekerasan yang membuatnya tidak mampu lepas dari kurungan kekerasan tersebut.

Secara teoritis para ahli menyebut dengan Sindrom Tawanan (Hostage Syndrome), yaitu keterikatan antara penawan (laki-laki) dan yang tertawan (perempuan) dimana istri sebagai korban kekerasan memiliki hubungan yang rumit dengan pasangannya sebagai pelaku kekerasan.

Dalam hal ini  perempuan  terjerat baik fisik maupun psikologis oleh budaya norma masyarakat. perempuan ditawan dalam ikatan perkawinan sehingga tidak mudah baginya untuk melepaskan ikatan tersebut karena ketiadakmampuan untuk menegasikan beragam nilai dan stigma.

Menjadi janda bukanlah pilihan perempuan apalagi sejak kecil terdidik untuk tergantung pada pasangannya, selain itu  lingkungan sosial tidak mendukung. Terlebih budaya patriarki yang meninggikan suami membuat perempuan berada pada posisi yang kalah untuk selalu mengalah bahkan pada kekerasan.

Perempuan sulit meninggalkan pasangan meskipun mengalami kekerasan karena realitas sosial  antara lain pendidikan yang diterima perempuan sejak masa kecil, norma perkawinan, peran perempuan dalam perkawinan, tiadanya dukungan dalam keluarga dan masyarakat, tidak adanya sumber daya ekonomis yang memungkinkan bisa hidup mandiri, serta perlindungan hukum yang tidak memadai.

Kondisi psikologis itu kemudian menekan perempuan untuk ikut bertanggungjawab pada perilaku kekerasan pasangannya, misalnya  perempuan yang harus menjaga sikapnya agar tidak memancing emosi suaminya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga membaca buku bergambar yang bercerita tentang kekerasan rumah tangga saat peresmian Pusat Pelayanan Terpadu untuk perempuan dan anakkorban kekerasan berbasis jender, bertepatan dengan Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Selasa (25/11/2008), di Kantor Kecamatan Semarang Barat, Semarang, Jawa Tengah.

Apa yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga? KemenPPPA menganjurkan pentingnya melibatkan pihak ketiga untuk melakukan proses mediasi untuk membantu menyelesaikan masalah. Namun, jika tidak bisa ditangani maka segera laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) polres setempat.

Untuk melindungi hak perempuan sebaiknya  pernikahan dicatatkan di KUA atau kantor catatan sipil agar negara dapat melindungi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Menurut hasil pendataan dan penelitian KemenPPPA di tahun 2016, ada beberapa faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :

  • Faktor individu perempuan

Pengesahan dalam perkawinan ikut mempengaruhi suasana kekerasan dalam rumah tangga. Dibandingkan dengan pernikahan yang diresmikan di KUA atau catatan sipil, maka nikah siri, nikah adat, dan  kawin kontrak berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan.

Selain itu frekuensi pertengkaran dapat memicu KDRT, perempuan yang sering bertengkar dengan suami 3,95 kali lebih tinggi mengalami KDRT. Begitu juga dengan perempuan yang menyerang pasangan lebih dulu beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang tidak menyerang pasangan/suami lebih dulu.

  • Faktor pasangan

Perempuan yang menikah dengan laki-laki yang memiliki pasangan lebih dari satu mengalami resiko kekerasan 1,34 kali lebih besar dari pada perempuan yang hidup dalam monogami. Laki-laki yang berselingkuh berpotensi melakukan kekerasan 2,48 kali lebih besar dibandingkan laki-laki yang tidak berselingkuh.

Jika pelaku mengonsumsi minuman keras cenderung melakukan kekerasan seksual 1,56 kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yang tidak memiliki kebiasaan minuman keras.

Perempuan yang memiliki suami pemabuk meski hanya seminggu sekali beresiko mengalami kekerasan fisik dan seksual 2,25 kali lebih besar dibangdingkan dengan pasangan yang tidak pernah mabuk.

Perempuan yang memiliki pasangan pengguna narkotika memiliki resiko kekerasan fisik dan seksual 2 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pasangan yang tidak menggunakan narkotika.

Perempuan yang memiliki pasangan pengguna narkotika tercatat 45,1 persen mengalami kekerasan fisik, kemudian sebanyak 35,6 persen mengalami kekerasan seksual, dan terdapat 54,7 persen mengalami kekerasan fisik dan seksual. Terdapat pula ada 59,3 mengalami kekerasan ekonomi serta 61,3% mengalami kekerasan  emosional dan psikis. Kekeransa yang paling besar adalah kekerasan pembatasan aktifitas yaitu 74,8 persen. Sementara itu bagi perempuan yang memiliki suami pernah berkelahi fisik dengan orang lain akan mengalami KDRT 1,87 kali lebih besar jika dibandingkan dengan suami yang tidak pernah berkelahi fisik.

  • Faktor Ekonomi

Kesejahteraan ekonomi sangat signifikan berpengaruh pada kekerasan yang dialami perempuan, bahkan dibandingkan dengan tingkat pendidikan. Data menunjukkan perempuan yang berasal dari kelompok 25 persen termiskin memiliki resiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan seksual dibandingkan dengan perempuan dari kelompok 25 persen terkaya. Kemampuan ekonomi menjadi aspek dominan pemicu KDRT dibandingkan tingkat pendidikan rendah.

  • Faktor sosial budaya

Budaya patriarki yang cenderung misoginis (orang yang memiliki kebencian atau rasa tidak suka terhadap wanita secara ekstrem) lebih beresiko dekat dengan kekerasan.

Jika seorang perempuan menjadi korban kekerasan, maka sebaiknya segera melaporkan peristiwa tersebut pada lembaga yang berwenang karena korban memiliki hak yang harus dilindungi.

Menurut Undang-undang PKDRT pasal 10, bahwa korban KDRT memiliki beberapa hak, yaitu :

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
  2. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
  4. Penanganan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  5. Pelayanan bimbingan rohani

Namun demikian, penerapan UUPKDRT tidak mudah implementasinya bahkan dalam kepolisan pun saat bekerja masih terdapat anomi (sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim dalam sosiologi untuk menggambarkan keadaan yang kacau).

Selain itu, masyarakat masih sangat awam dalam mengenal dan memahami undang-undang ini. Hambatan dalam implementasi UU PKDRT dalam masyarakat, yaitu :

  1. Filosofi dan tujuan UU PKDRT tidak difahami secara komprehensif, di saat menerapkan UU PKDRT perlindungan korban masih terabaikan.
  2. Kesulitan memahami makna penelantaran, antara polisi terkadang kesulitan untuk menerapkan bahasa hukum dengan bahasa penelantaran sehari-hari
  3. Kurangnya kebijakan operasional untuk mendukung  perlindungan saksi korban
  4. Belum ada lembaga konseling yang memiliki kewenangan untuk pelaku kekerasan

Seharusnya kekerasan dapat dihentikan, masyarakat secara bersama harus mencanangkan zero tolerance terhadap kekerasan. Tidak ada lagi  kekerasan terjadi pada anak, perempuan dan anggota keluarga lain baik dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara.

KOMPAS/MADINA NUSRAT

Sejumlah survivor atau kaum perempuan yang berhasil melepaskan dirinya dari kekerasan rumah tangga menggelar drama antikekerasan dalam rumah tangga di Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jumat (25/11/2005). Pertunjukan ini bagian dari 16 Hari Kampanye Antikekerasan terhadap Perempuan yang diadakan oleh Sahabat Perempuan. Masih perlu langkah nyata untuk melindungi kaum perempuan.

Fenomena Gunung Es

Pelaporan kasus KDRT sesungguhnya hanyalah fenomena gunung es yaitu yang tampak hanyalah permukaannya saja, angka-angka laporan tersebut sejatinya belum menampilkan kasus kekerasan yang terjadi dalam masyarkat.

Banyak keluarga yang enggan melaporkan KDRT, sehingga korban pun tidak berani melaporkan ke pihak berwenang. Bahkan, terkadang korban menutupi perilaku kekerasan pasanganya dari keluarga besar, karena untuk menjaga martabat rumah tangganya ataupun aib pasangannya.  Beragam alasan korban tidak mau melakukan tindakan hukum, antara lain :

  1. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Khawatir dengan stigma janda dalam masyarakat ditambah keluarga yang tidak mendukung jika dibuat laporan resmi ke kepolisian. Ketergantungan ekonomi. Perempuan yang sangat tergantung secara fianansial tentu tidak mudah untuk melepaskan diri dari pasangannya meskipun mengalami kekerasan.
  2. Berpikir kekerasan tersebut akan berhenti, dan menanamkan keyakinan palsu bahwa pasangannya bisa berubah.
  3. Memaklumi tindak kekerasan sebagai hal yang lumrah, apalagi ada idiom agama yang mengatakan pukulan adalah untuk mendidik istri. Bahwa suami sebagai kepala keluarga yang boleh mendidik dan mengatur keluarganya sendiri.
  4. Menjadikan anak sebagai alasan mempertahankan perkawinan yang abusive. Dalam hal ini perempuan menempatkan diri sebagai sosok yang berkorban dan memberikan hidupnya pada anak dan suami. Perempuan tidak lagi memikirkan hak-hak nya sebagai seorang istri dan ibu bahkan sebagai individu yang perlu dihormati hak-haknya.
  5. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.

KemenPPPA menginisiasi program keluarga tangguh, yaitu edukasi pada pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berujung pada perceraian.

Komnas Perempuan memperjuangkan disahkannya  RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender diharapkan dapat meminimalisir berbagai permasalahan mendasar yang banyak dialami perempuan.

Dalam RUU tersebut  ada jaminan dan perlindungan hak hidup perempuan dan tidak ada upaya membuat perempuan sama posisi seperti laki-laki atau memiliki kekuasaan atas laki-laki, melainkan setara sehingga dapat bersama-sama dan berdampingan menjalani kehidupan bermasyarakat.

Rumah tangga yang tangguh diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai penerus bangsa, sehingga dibutuhkan kerjasama semua pihak. Maka dari itu perlu adanya perubahan pola pikir pasangan yang akan menikah selain meningkatkan pendidikan dan pengetahuan. Selain itu KemenPPPA juga melakukan edukasi dini pada anak sekolah khususnya remaja putri sebagai persiapan menghadapi hidupnya. (LITBANG KOMPAS)