Paparan Topik | Bahan Pokok

Komoditas Lada: Sejarah, Manfaat, Produsen Dunia, Produksi dan Ekspor Indonesia

Selama ratusan tahun, wilayah Nusantara merupakan penyuplai utama lada (Piper nigrum) yang berjuluk ”king of spices”. Sebelum perang Dunia kedua, produksinya diperkirakan mampu mencukupi 80 persen kebutuhan lada dunia.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Petani lada, Somad (60), memeriksa malai tanaman lada tua di Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (2/4/2017).

Fakta Singkat

  • Lada atau merica dalam bahasa Latin disebut piper nigrum
  • Lada merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia yang mempunyai sebutan The King of Spice (Raja Rempah-Rempah).
  • Masyarakat mengenal lada putih dan lada hitam yang sering dimanfaatkan sebagai bumbu dapur.
  • Terdapat dua spesies lada yang dibudidayakan yakni lada panjang (Piper longum) yang berasal dari sebelah timur laut India dan lada hitam (Piper nigrum) yang berasal dari barat daya India.
  • Indonesia pernah menjadi negara pemasok terbesar dalam pasar lada internasional.
  • Sebelum perang dunia kedua, Indonesia hampir menguasai hampir seluruh kebutuhan lada dunia yakni mencapai 80 persen.
  • Kini Indonesia masih masuk dalam daftar negara penghasil lada terbesar di dunia, meski tidak lagi di urutan pertama peringkat produsen lada terbanyak dunia
  • Berdasarkan data FAO sentra utama produksi lada di dunia berada di lima negara yaitu Vietnam, Brasil, Indonesia, India dan Sri Lanka.
  • Vietnam menempati urutan pertama sebagai negara produsen lada terbesar di dunia dengan rata-rata produksi sekitar 270.000 ton atau berkontribusi 33,67 persen produksi lada dunia.

Rempah-rempah, terutama lada adalah komoditas yang paling dicari dunia di abad pertengahan. Komoditas itu berharga mahal sehingga jadi rebutan bangsa Eropa. Bahkan, orang-orang Eropa sampai rela mengarungi lautan demi mencari lada. Tanaman bernama latin Piper Nigrum ini menjadi penyedap rasa universal untuk segala masakan khas Eropa dan simbol status sosial.

Tanaman asli India ini masuk di Indonesia sejak abad ke-16 dibawa oleh bangsa Portugis yang saat itu berdagang ke Nusantara. Sejak itu, perdagangan lada di Jawa dan Sumatera meningkat pesat dan banyak dicari oleh orang-orang Timur Tengah, China, dan Eropa.

Pulau Sumatera terutama Lampung merupakan sentra penanaman lada. Lampung yang dikuasai Kesultanan Banten sejak abad ke-16,  masyarakatnya diwajibkan menanam dan memelihara lada. Hasil ladanya kemudian dijual dan dibeli oleh Kesultanan Banten. Alhasil, sejak abad ke-17 Kesultanan Banten mampu menguasai perdagangan lada di Jawa dan Sumatera dan mampu memproduksi lada 37.000 ton.

Penguasaan lada oleh Kesultan Banten runtuh setelah Hindia Belanda mengusasi kesultanan itu dan  berhasil memonopoli lada di wilayah Lampung dan Bangka Belitung.  Sumatera di bawah kekuasaan Hindia Belanda menjadi produsen lada terbesar dunia. Pada tahun 1931, Bangka mampu mengekspor 12.000 ton lada, sementara Lampung menghasilkan 45.000 ton pada 1935.

Setelah Indonesia merdeka, dua provinsi itu masih tetap sebagai penghasil lada terbesar di Indonesia. Lampung merupakan penghasil lada hitam terbesar yang di pasar  dunia dikenal dengan nama Lampung black pepper, sedangkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menghasilkan lada putih yang dikenal dengan nama Muntok white pepper.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Perkebunan lada yang kian menyusut. Sukarman (42) petani lada di Tanggamus, Lampung, memeriksa tanaman ladanya, Rabu (21/3/2018). Perkebunan lada di Lampung mulai menyusut akibat anjloknya harga lada 2 tahun terakhir. Harga lada pada 2016 mencapai Rp 110 ribu per kilogram, namun kini para petani hanya mampu menjual dengan harga Rp 40 ribu per kilogram. Selain itu, petani juga dihadapkan pada permasalahn penyakit tanaman yang menyerang batang namun hingga kini belum diketahui penanggulangannya.

Sejarah

Lada atau merica (Piper nigrum) adalah sebuah tanaman merambat yang yang bulir buahnya sedikit pahit, pedas, hangat, dan antipiretik. Tanaman lada secara sekilas mirip dengan sirih (Piper betle). Masyarakat  mengenal lada putih dan lada hitam yang sering dimanfaatkan sebagai bumbu dapur. Selain menjadi bumbu penyedap alami, lada juga memiliki banyak khasiat untuk kesehatan.

Tanaman ini merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia yang mempunyai sebutan The King of Spice (Raja Rempah-Rempah). 

Asal-usul lada dikenal di dunia sebetulnya tak diketahui pasti kapan dan siapa penemu lada pertama kali. Namun, Lada diduga berasal dari daratan India. Tanaman yang merambat yang  mirip sirih ini memiliki bulir buah yang rasanya pedas, dan telah diperdagangkan hingga Mesir paling sedikit 4.000 tahun yang lalu. Sementara masyarakat Yunani Kuno telah mengenal lada sejak tahun 372 SM.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Staf Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung menunjukkan lada malai panjang yang akan dikembangkan menjadi calon bibit unggul di BPTP Lampung, Rabu (5/4/2017).

Terdapat dua spesies lada yang dibudidayakan yakni lada panjang (Piper longum) yang berasal dari sebelah timur laut India dan lada hitam (Piper nigrum) yang berasal dari barat daya India. Lada panjang adalah yang paling populer di Roma karena aromanya yang lebih kuat, sementara lada hitam mendominasi Eropa abad pertengahan karena ketersediannya pada para pedagang. Lada Panjang kini jarang dibudidayakan orang bahkan terlupakan.

Selanjutnya, pada tahun 1492 Cristhoper Columbus, seorang penjelajah dari Eropa yang menyeberangi samudera menemukan adanya tanaman lada di India Barat.  Sejak saat itu, lada mulai dikenal oleh masyarakat dunia.

Pada abad pertengahan, lada menjadi rempah-rempah penting sekaligus raja dalam dunia perdagangan. Di wilayah Genua dan Venesia, Italia, dan daratan Eropa lainnya, lada tak hanya sebagai bumbu rempah, bahkan dijadikan sebagai sumber kekayaan, layaknya emas dan permata, juga menjadi symbol status sosial.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja salah satu perkebunan lada di Bangka Tengah, Bangka Belitung, sedang menjemur lada di dalam areal perkebunan, Selasa (14/3/2017).

Tanaman lada mulai masuk di Indonesia sejak abad ke-16. Tanaman ini dibawa oleh bangsa Portugis yang saat itu berdagang ke Indonesia. Pada abad ke-16, perdagangan lada di nusantara meningkat dengan banyaknya pedagang yang datang dari China dan Eropa. 

Sejak saat itu, lada Nusantara menjadi rempah yang banyak dicari orang Eropa. Bahkan pada abad ke-17, mulai banyak negara yang mengincar dan menginginkan lada dari Indonesia.  Hal tersebut lantas menimbulkan pertentangan dan konflik antara pedagang Barat dan penguasa setempat. Begitu pula dengan badan-badan pedagang Barat seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari Kerajaan Belanda dan East India Company (EIC) dari Kerajaan Inggris.

Penguasa nusantara di abad ke-16 yang berhasil menguasai perdagangan lada adalah Kesultanan Aceh di ujung barat Sumatera dan Kesultanan Banten yang menguasai perdagangan di pesisir utara Jawa dan Sumatera bagian timur.

Kesultanan di ujung barat Sumatera ini  pernah menjadi pemasok utama sekitar separuh kebutuhan lada Eropa pada tahun 1550-an. Puncak kejayaan Aceh dalam mengasilkan lada di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang berhasil memonopoli perdagangan lada di Sumatera.

Namun, pada akhir abad ke 19, kekuasaan sultan-sultan Aceh terhadap pelabuhannya semakin melemah dan kedatangan Belanda yang menduduki Kesultanan Aceh pada 1903, membuat perdagangan lada berpindah tangan dan dimonopoli oleh Belanda.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Batang merambat tanaman lada dengan diameter lebih dari 2 sentimeter di hutan Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (2/4/2017).

Semetara Kesultanan Banten menguasai pasar lada tak bisa lepas dari kesultanann itu yang menguasai Lampung sejak abad ke-16. Di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, masyarakat Lampung diwajibkan menanam dan memelihara lada sebanyak 500 batang. Hasil ladanya diwajibkan dijual dan dibeli oleh Kesultanan Banten. Alhasil, sejak abad ke-17 Kesultanan Banten mampu menguasai perdagangan lada di Jawa dan Sumatera.

Namun setelah kongsi dagang Hindia Belanda yang Bernama VOC meruntuhkan Kesultanan Banten, Lampung pun dikuasai VOC dan kongsi dagang itu memonopoli perdagangan lada di pesisir Jawa dan Sumatera.  Setelah VOC bangkrut pada 1799 dan diambil alih Pemerintah Belanda, Lampung pun dikuasai Pemerintah HIndia Belanda dan masih sebagai produsen lada terbesar di Indonesia, bahkan dunia.

Di masa kolonial, lada awalnya ditanam di Lampung Tengah di daerah Tulangbawang, Sekampung, dan Seputih serta pesisir barat Lampung di Krui dan Manna. Kemudian menyebar ke Lampung Utara di daerah Ranau dan Lima, dan di Lampung Timur di wilayah Sukadana. Pada abad ke-17, Lampung dapat menghasilkan sekitar 39.000 ton, sementara tahun 1935, wilayah itu bahkan menghasilkan 45.000 ton dan menjadi penghasil lada terbesar dunia.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petani merawat tanaman lada organik yang menjadi komoditas utama di Desa Sukadana Baru, Kecamatan Marga Tiga, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Selasa (4/4/2017). Mayoritas petani di kawasan tersebut memproduksi lada hitam yang dijual Rp70.000 hingga Rp100.000 per kilogram.

Sementara tanaman lada mulai ditanam di Pulau Bangka pada awal kedatangan orang-orang Belanda ke Sumatera sekitar 300-400 tahun lalu yang bibitnya dibawa dari Lampung. Penanaman lada di Bangka didorong upaya pemerintah Hindia Belanda yang menguasai rempah-rempah dunia dengan memanfaatkan buruh-buruh dari China yang sebelumnya bekerja di pertambangan timah.

Awalnya lada ditanam di wilayah Muntok dan Jebes, Bangka Barat, kemudian menyebar ke Dalil dan Petaling di wilayah tengah Pulau Bangka. Tahun 1930-an, lada mencapai masa keemasannya di Bangka dengan  populasi 9 juta pohon dan mencapai puncaknya pada 1931 dengan 31 juta pohon. Ekspor lada pada kurun itu mencapai 12.000 ton per tahun.

Di masa kemerdekaan, Lada Bangka kembali mencapai masa kejayaannya pada 1980-an. Tahun 1985, misalnya, ekspor lada mencapai 10.000 ton mendekati masa keemasanya pada 1930-an. Booming lada pada periode itu membuat  masyarakat Bangka mendadak kaya dari usaha lada.

Kini, Provinsi Bangka Belitung kini menjadi penghasil utama lada nasional mengeser Lampung yang sebelumnya mendominasi lada Indonesia. Bangka Belitung menghasilkan tak kurang dari 33 ribu ton atau setara dengan 37 persen dari total produksi lada Indonesia, sementara Lampung dengan produksi lada sebesar 14 ribu ton per tahun (16 persen) dan Sumatera Selatan sebesar 8 ribu ton (9 persen).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Bujang memanen lada di kebunnya yang berada di Desa Namang, Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, Kamis (21/7/2022). Saat ini lada putih yang menjadi salah satu komoditi utama Pulau Bangka itu, dihargai Rp 80.000 per kilohgramnya.

Manfaat lada

Berdasarkan jenisnya, ada dua macam pemanenan buah lada yaitu lada hitam dan lada putih. Lada hitam dan lada putih sebenarnya tumbuh dari tanaman yang sama. Namun, keduanya memiliki cara pengolahan yang berbeda sehingga menghasilkan warna, tekstur, dan rasa berbeda yang memiliki khas masing-masing.

Lada hitam adalah lada yang dikeringkan bersama kulitnya (tanpa pengupasan), sedangkan lada putih adalah lada yang dikeringkan setelah melalui proses perendaman dengan air mengalir dan pengupasan. Lada putih memiliki rasa yang lebih pedas daripada lada hitam. Namun rasa lada putih tidak sekaya rasa lada hitam yang memiliki rasa lebih kompleks.

Dalam 1 sendok teh atau sekitar 2,5 gram lada bubuk, terdapat kandung nutrisi antara lain 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 miligram kalsium, 0,2 miligram zat besi,  4 miligram magnesium, 3,5 miligram fosfor, dan 31 miligram kalium.  Rempah ini juga mengandung beragam vitamin, termasuk vitamin A, B1, B2, B6, dan K, serta senyawa antioksidan, antibakteri, dan antiperadangan.

Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat piperin, piperanin, dan chavicin yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan semacam alkaloid. Chavicin banyak terdapat dalam daging biji lada (mesocarp) dan tidak akan hilang walaupun biji yang masih berdaging dijemur hingga lebih pedas dibanding lada putih. Lada mengandung 5-9 persen piperin. Lada juga mengandung minyak atsiri berwarna kuning berbau aromatis senyawa berasa pedas (kavisin), amilum, resin, dan protein.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Tangkai buah lada siap panen di lahan milik petani di Desa Sukadana Baru, Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur, Selasa (4/4/2017).

Selain sebagai bumbu masakan, banyak kegunaan dari lada untuk Kesehatan terutama untuk saluran pernapasan hingga pencernaan.  Rasa pedasnya berfungsi sebagai dekongestan alami sehingga mampu meredakan hidung tersumbat. Sifat dekongestannya bekerja dengan cara mengencerkan lendir di saluran pernapasan.

Manfaat lainnya yakni mampu melawan radikal bebas karena kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Zat ini dikenal mampu menangkal radikal bebas yang merusak sel-sel sehat dalam tubuh. Rusaknya sel-sel ini bisa yang meningkatkan risiko penuaan dini, penyakit jantung, dan kanker. Selain itu, lada bisa menghambat bakteri penyebab infeksi (patogen), seperti E. coli, Listeria, Salmonella, dan Staphylococcus.

Kandungan zat piperin dalam lada dapat meningkatkan penyerapan nutrisi dalam tubuh, mendukung produksi enzim pencernaan, menjaga kesehatan saluran pencernaan, dan mencegah serta membantu mengatasi diare. Lada juga bermanfaat sebagai prebiotik serta mengandung zat yang dapat melemaskan otot-otot di dinding saluran cerna, sehingga baik untuk meringankan nyeri perut dan perut kembung.

Selain itu, lada juga diketahui dapat membantu mencegah gangguan lambung. Hal ini karena lada memiliki efek antiradang dan antibakteri yang ampuh dalam menghambat pertumbuhan H. pylori, yakni bakteri penyebab tukak lambung.

Lada juga memiliki sejumlah khasiat antara lain sebagai stimulan pengeluaran keringat (diaphoretik), pengeluaran angin (carminativ), peluruhan air kencing (diuretik), peningkatan nafsu makan, peningkatan aktivitas kelenjar-kelenjar pencernaan, percepatan pencernaan zat lemak, dan obat reumatik.  Lada juga dimanfaatkan sebagai pestisida alami sebagai insektisida pembunuh serangga.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Petani lada di Desa Sukadana Baru, Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, sedang menjemur lada di halaman rumah, Minggu (9/7/2017). Pada panen tahun ini, produksi lada petani anjlok dari 2 ton per hektar menjadi hanya 5-7 kuintal per hektar. Selain itu, harga lada di tingkat petani juga merosot dari Rp 100.000 menjadi Rp 45.000 per kilogram.

Produsen lada dunia

Indonesia pernah menjadi negara pemasok terbesar dalam pasar lada internasional.  Sebelum perang dunia kedua, Indonesia hampir menguasai hampir seluruh kebutuhan lada dunia yakni mencapai 80 persen.  Prestasi itu bisa dipertahankan hingga akhir abad ke-20 atau tahun 2000.

Pada periode 1990–2000, Indonesia merupakan negara yang paling besar dalam mengekspor lada yakni 43.193 ton per tahun, kemudian di ikuti oleh negara Malaysia dan Brazil, dengan masing-masing 31.904 ton, dan 24,511 ton per tahun.

Kini Indonesia masih masuk dalam daftar negara penghasil lada terbesar di dunia, meski tidak lagi di urutan pertama peringkat produsen lada terbanyak dunia.

Setelah Indonesia merdeka, Indonesia hanya mampu memasok 23 persen kebutuhan dunia dan memasuki millennium kedua Vietnam mampu menggeser posisi Indonesia sebagai penghasil lada terbesar dunia.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Merawat Tanaman Lada . Ali Akbar merawat tanaman lada miliknya di Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Jumat (10/6/2017). Petani di kawasan tersebut menanam lada dengan dengan sistem tumpang sari di kebun kopi.

Berdasarkan data FAO sentra utama produksi lada di dunia berada di lima negara yaitu Vietnam, Brasil, Indonesia, India dan Sri Lanka.

Vietnam menempati urutan pertama sebagai negara produsen lada terbesar di dunia dengan rata-rata produksi sekitar 270.000 ton atau berkontribusi 33,67 persen produksi lada dunia. Brasil menempati urutan kedua sebagai negara penghasil lada terbesar di dunia dengan rata-rata produksi 114.000 ton.  Selanjutya urutan ketiga ditempati oleh Indonesia dengan kontribusi 10,45 persen atau 89.000 ton per tahun, diikuti oleh India (9,86 persen) dan Sri Lanka (9,84 persen).

Meski produksinya tidak di peringkat pertama, indonesia dari tahun ke tahun selalu menjadi negara dengan kebun lada terluas di dunia yakni seluas 177.064 hektar. Indonesia berada di urutan pertama sebagai negara dengan kontribusi 32,85 persen terhadap luasan lada dunia.

Empat negara lainnya yakni India, Vietnam, Sri langka dan Brasil bersama Indonesia memberikan kontribusi kumulatif sebesar 84,40 persen terhadap total luas areal lada dunia. India merupakan negara kedua dengan kontribusi luas sebesar 23,93 persen diikuti oleh Vietnam (15,18 persen), Sri Lanka (7,61 persen) dan Brasil (4,82 persen).

 

Grafik:

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Petani memanen sebagian hasil lada di kawasan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Tanjung Jabung Timur, Jambi, Sabtu (14/7/2018), Masyarakat merawat lada yang merambati pepohonan di tepi hutan lindung itu. Sembari menjaga hutan, mereka dapat menikmati hasil hutan non kayu.

Produksi Indonesia

Data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan produksi lada nasional mencapai 78.300 ton pada 2022. Jumlah tersebut turun 1,5 persen dibandingkan pada tahun 2021 yang sebesar 79.500 ton.  Produksi lada tercatat mengalami fluktuasi sepanjang 2012 hingga 2022. Produksi lada terbesar pernah terjadi pada 2013 yakni mencapai 91.040 ton. Sementara, produksi lada paling rendah terjadi tahun 2022 yakni 78.300 ton.

Dari 34 provinsi di Indonesia, Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar yakni mencapai lebih dari 30.000 ton per tahun. Jumlah tersebut setara dengan 35 persen dari total produksi lada Indonesia. Urutan selanjutnya ditempati Lampung dengan produksi lada sebesar 14.000 ton dan Sumatera Selatan sebesar 8000 ton.

Kepulauan Bangka Belitung terkenal dengan produksi lada putihnya. Lada putih khas daerah ini telah bersertifikasi indikasi geografis (IG) dan memiliki tingkat kepedasan yang tinggi antara 5 – 7 persen. Sementara Lampung dikenal dengan produksi lada hitam.Lada hitam dari Lampung dikenal di pasar  dunia dengan nama Lampung black pepper, sedangkan lada putih dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal dengan nama Muntok white pepper.

Jika dicermati, Bangka Belitung sebagai penghasil lada terbesar nasional sentranya terdapat di Kabupaten Bangka Selatan. Kabupaten ini tiap tahun menghasilkan tak kurang dari 14.000 ton lada putih per tahun atau berkontribusi sekitar separuh dari total produksi lada di provinsi tersebut. Sementara di Lampung  sentranya di Kabupaten Lampung Utara dan Lampung Barat yang berkontribusi sekitar 40 persen dari total produksi lada di provinsi itu.

Di Bangka Selatan, lada banyak di tanama di Kecamatan Kecamatan Toboali, Kecamatan Tukak Sadai, dan Kecamatan Air Gegas. Tahun 2022, luas perkebunan lada di kabupaten ini mencapai 20.177 hektar, sebanyak 6.258 hektar di Air Gegas dan 3438 hektar di Tukak Sadai.  Sementara produksi lada di Bangka Selatan tahun 2022 mencapai 13.469 ton, sedangkan tahun 2021 sebanyak 14.590 ton.

 

Grafik:

 

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pedagang menunjukkan lada yang ia jual di Pasar 16 ilir Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (8/3/2017).

Ekspor

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor lada putih Indonesia mencapai 92,68 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1,44 triliun pada 2021. Nilai itu mengalami kenaikan mencapai 23,06 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 75,31 juta dollar AS. Meski demikian, volume ekspor lada putih menurun 25 persen dari 24,78 ribu ton pada 2020 menjadi 18,53 ribu ton pada 2021.

 

 

Grafik:

 

Vietnam merupakan negara tujuan ekspor lada RI dengan nilai terbesar yakni 21,99 juta dollar AS paa 2021. Jumlah ini setara 23,72  persen dari total ekspor lada putih nasional. Berikutnya, nilai ekspor lada ke Amerika Serikat sebesar 15,64 juta dollar AS. Disusul oleh Jerman, Jepang, dan Belanda dengan nilai ekspor masing-masing 7,81 juta dollar AS, 6,33 juta dollar AS, dan 6,26 juta dollar AS.

 

Grafik:

 

Jika dicermati, nilai ekspor lada putih Indonesia cenderung mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Nilai ekspor tertinggi pada 2015 mencapai 219,6 juta dollar AS, sedangkan terendah pada 2020 sebenar 75,3 juta dollar AS. Adapun volume ekspor terbesar dicapai tahun 2019 mencapai 29.691 ton, sementara volume terendah pada 2012 yakni 12.693 ton.

 

Grafik:

 

Sementara itu, nilai ekpsor lada hitam Indonesia tahun 2021 mencapai 47,89 juta dollar AS atau menurun 27 persen dibandingkan nilai ekspor tahun 2020 yang tercatat sebesar 65,64 juta dollar AS. Sementara pada tahun yang sama, volume ekspor lada turun hampir saparuhnya yakni dari 27.921 ton di tahun 2020 menjadi 14.195 ton di tahun 2021.

Vietnam merupakan negara importir terbesar Lada hitam Indonesia yakni mencapai 12.143 ton pada 2020, Berikutnya, Amerika Serikat sebesar 3.636 ton, Tiongkok 3.394 ton, dan India 2.832 ton. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Jejak Peradaban: Lada Hitam, Sihir dari Lampung, KOMPAS, 08 Mei 2013 Halaman: 24
  • Pesona Nusantara: Banten Lama, ”Amsterdam” di Barat Pulau Jawa, KOMPAS, 23 September 2016 Halaman: 24
  • Jejak Poros Bahari: Rempah Masyhur Sejak Dulu, KOMPAS, 05 Desember 2016 Halaman: 12
  • Rempah: Pedas Lada Putih Belitung, KOMPAS, 18 Januari 2017 Halaman: 01
  • Ekspedisi Jalur Rempah: Pengembangan Lada Terpasung Pasang Surut Harga Dunia, KOMPAS, 12 Juli 2017 hlm: 18  
  • Adu Kuasa Tiga Komoditas Bangka * Jalur Rempah Nusantara, KOMPAS, 12 Juli 2017 Halaman: 25
  • Ekspedisi Jalur Rempah: Jejak Diplomasi Lada Lintas Benua, KOMPAS, 19 Juli 2017 Halaman: 01
  • Jejak Samar di Pintu Masuk Merica * Jalur Rempah Nusantara, KOMPAS, 19 Juli 2017 Halaman: 24
  • Komoditas Rempah: Ironi Lada, KOMPAS, 22 Juli 2017 Halaman: 17