Paparan Topik | Kebudayaan

Istana Maimoon Medan: Jejak Sejarah Kesultanan Deli dan Simbol Eksistensi Kebudayaan Melayu

Letak Istana Maimoon hanya berjarak tiga kilometer dari pusat Ibu Kota Sumatera Utara, Medan. Gaya arsitektur Melayunya tampak unik di antara bangunan-bangunan modern dan hiruk pikuk kota kosmopolitan. Siapa sangka, sosok arsitek Istana peninggalan Kesultanan Deli ini adalah seorang Belanda bernama Theodore van Erp.

Litbang Kompas/inggra parandaru

Wisatawan domestik berfoto di halaman depan Istana Maimoon, Medan, Sumatera Utara (29/1/2023). Istana Maimoon merupakan peninggalan Kesultanan Deli yang menjadi salah satu ikon Kota Medan.

.

Fakta Singkat

  • Istana Maimoon dibangun oleh Sultan Deli ke-9, Makmun Al Rasyid Alamsyah, pada tahun 1888.
  • Arsitek Istana Maimoon adalah Theodore van Erp yang juga bekerja sebagai tentara Kerajaan Belanda.
  • Istana Maimoon memilki warna dominan kuning, menyimbolkan kebesaran sultan-sultan Melayu.
  • Kawasan Istana Maimoon berada di atas lahan seluas 2.772 meter persegi.
  • Nama Maimoon diambil dari nama permaisuri Sultan bernama Siti Maimunah.
  • Dalam bahasa Arab, Maimoon berarti berkah.
  • Pada tahun 2010 Istana Maimoon ditetapkan sebagai cagar budaya.

Theodore adalah arsitek yang juga bekerja sebagai tentara Kerajaan Belanda berpangkat kapten. Dirinya dipercaya merancang bangunan Istana Maimoon yang diprakarsai oleh Sultan Deli ke-9, Makmun Al Rasyid Alamsyah, pada tahun 1888. Dengan lihai, Theodore memadukan gaya tradisional istana Melayu berpola India Islam (moghul), dengan sentuhan Eropa dan Persia.

Bangunan Istana Maimoon memiliki dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 2.772 meter persegi. Warna kuning yang menyimbolkan kebesaran sultan-sultan Melayu mendominasi bangunan berbahan gabungan batu dan kayu. Istana ini tampak semakin megah dengan atap berbentuk kubah dan limas, berbahan sirap dan tembaga.

Istana dengan konsep rumah panggung itu terdiri atas tiga bagian, yakni bangunan induk, sayap kiri, dan sayap kanan. Saat ini, bagian bangunan induk dibuka sebagai museum terbuka untuk umum, dan bangunan sayap dipakai sebagai rumah tinggal oleh keluarga kerajaan.

Sebelum masuk ke Istana Maimoon, setiap pengunjung harus melepas alas kaki sehingga telapak kaki kita bisa merasakan tekstur lantai kasar khas keramik zaman dulu. Di dalam istana, mata kita akan dimanja dengan dinding yang dihiasi ornamen motif flora berwarna hijau dan merah. Saat menengok ke atas, sejumlah hiasan kaligrafi tampak di langit-langit ruangan.

Nama Maimoon diambil dari nama permaisuri Sultan bernama Siti Maimunah. Dalam bahasa Arab, Maimoon berarti berkah. Sejak dibangun, istana ini menjadi saksi pemerintahan empat sultan. Pada 1946, sempat terjadi revolusi sosial di Sumatera Utara akibat kesenjangan ekonomi. Revolusi ini menghancurkan istana Kasultanan Langkat dan istana Kasultanan Serdang hingga rata dengan tanah. Beruntung, Istana Maimoon selamat karena dijaga oleh tentara Inggris.

Pada 8 Januari 2010 Istana Maimoon ditetapkan sebagai cagar budaya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Penetapan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dengan adanya payung hukum ini, bangunan Istana Maimoon tetap dijaga kelestariannya dan tidak boleh diubah bentuk maupun kegunaanya untuk kepentingan yang menyimpang dari pelestarian budaya.

LITBANG KOMPAS/INGGRA PARANDARU
Suasana bagian dalam Istana Maimoon. Pengunjung cukup membayar tiket untuk masuk ke dalam istana (29/1/2023).

Sejarah Kesultanan Deli

Menelusuri awal mula Istana Maimoon tak bisa lepas dari Sejarah Kerajaan Haru sebagai cikal bakal Kesultanan Deli. Sejarah mencatat, pada abad ke-15, Kerajaan Haru termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Wilayah bekas Kerajaan Haru saat ini meliputi sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yakni Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.

Sekitar tahun 1612, Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda mengirim Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk mewakili Kesultanan Aceh di Tanah Deli. Wilayah ini masih berada di wilayah Kerajaan Haru. Penempatan ini bertujuan untuk meredam pemberontakan kepada Kerajaan Aceh.

Misi Gocah di wilayah bekas Kerajaan Haru, antara lain, menghancurkan sisa-sisa perlawanan Haru yang dibantu Portugis, mengembangkan misi Islam ke wilayah pedalaman, dan mengatur pemerintahan sebagai bagian dari Kesultanan Aceh. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli.

Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocah Pahlawan meminang putri keturunan Karo sekitar tahun 1632 untuk memperkuat kedudukannya. Perkawinan ini membuat raja-raja di Kampung Medan menyerah. Seiring waktu, wilayah kekuasaan Gocah meluas. Ia mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut, dan Sigara-gara.

Gocah Pahlawan tutup usia pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit. Putera Gocah kemudian memproklamasikan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669. Ibu kota kesultanan ini berada sekitar 20 kilometer dari Medan di daerah Labuhan.

Sultan Makmun Al Rasyid Alamsyah yang membangun Istana Maimoon merupakan salah satu Keturunan Gocah Pahlawan. Istana itu masih berdiri megah hingga sekarang dan menjadi salah satu ikon Kota Medan.

LITBANG KOMPAS/INGGRA PARANDARU
Pengunjung membaca sejarah Kesultanan Deli di lorong samping bangunan utama (29/1/2023).

Legenda Meriam Puntung

Ada legenda menarik tentang potongan meriam yang berada di halaman Istana Maimoon. Ketika memasuki komplek istana, terdapat sebuah bangunan berbentuk rumah Karo. Di samping bangunan itu, ada prasasti dengan tulisan berpahat yang menceritakan sebuah legenda berjudul “Legenda Meriam Putung”.

Dalam bahasa Karo Meriam Puntung disebut juga Meriam Buntung. Menurut hikayat, meriam ini adalah penjelmaan Bambang Khajali, adik Putri Hijau dari Kerajaan Haru untuk menghalau serangan Kesultanan Aceh. Sultan Aceh memutuskan menyerang Istana Haru setelah Putri Hijau menolak pinangannya.

Tak cukup hanya sang adik, kakak Putri Hijau Bambang Diajit pun menjelma menjadi seekor naga. Dikisahkan, pasukan Haru tak kuasa membendung serangan Kesultanan Aceh hingga hanya bersisa meriam saat pasukan Aceh mendekat ke pintu gerbang. Meriam itu terus menerus menembakkan peluru hingga tak mampu menahan panas dan terbelah menjadi dua.

Bagian meriam terpental ke dua tempat, satu ke Kampung Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe (sekarang Kabupaten Tanah Karo). Sementara ujung lainnya berada di bangunan yang terletak di halaman Istana Maimoon. Peninggalan meriam ini masih bisa ditemui hingga sekarang dan dikeramatkan oleh penduduk setempat.

Setelah kalah, Putri Hijau ditawan dan dimasukkan ke dalam peti kaca untuk dibawa ke Aceh. Sampai di Ujung Jambo Aye, kapal berhenti atas permohonan Putri Hijau untuk mengadakan upacara. Saat upacara berlangsung, datang angin ribut disusul gelombang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul seekor naga penjelmaan sang kakak yang mengambil peti Putri Hijau dengan rahangnya. Sang naga kemudian membawanya ke laut dan hingga kini mereka tak pernah terdengar lagi kabarnya.

Meriam Puntung yang dikeramatkan oleh warga setempat. Menurut legenda meriam ini adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau (29/1/2023)

Legenda ini masih ditelusuri kebenaran cerita sesungguhnya. Menurut Biak Resada Ginting, seorang pemerhati sejarah dan pemegang sastra lisan Karo, keberadaan Putri Hijau tak sekadar legenda. Sosok Putri Hijau sesungguhnya adalah seorang ratu yang memerintah Kerajaan Haru sekitar tahun 1594 Masehi. Putri Hijau diduga masih beragama kepercayaan nenek moyang dengan bertuhankan Dibata Si Mula Jadi.

Pada masa ini, di Aceh berkuasalah Sultan Iskandar Muda yang menyampaikan surat kepada Putri Hijau. Surat itu berisi tiga hal. Pertama, pinangan untuk menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Haru adalah Serambi Aceh. Ketiga, Aceh akan menyebarkan agama Islam di Haru apabila kedua permintaan tidak dikabulkan.

Putri Hijau pun menolak permintaan Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda bereaksi dengan mengirimkan Panglima Gocah untuk menyerang Haru. Selama satu setengah bulan, pertempuran terjadi. Pasukan Haru takluk dan Istana Haru dapat dikuasai. Dalam pertempuran itu, Putri Hijau gugur.

Terkait legenda meriam, diduga pada saat itu hanya ada satu meriam yang bisa diandalkan. Akibat digunakan terus-menerus selama berminggu-minggu meriam itu pun putus menjadi dua. Pasukan Haru yang masih tersisa membawa patahan meriam itu ke Sukanalu, sementara bagian satu lagi masih tertinggal di halaman Istana Maimoon.

LITBANG KOMPAS/INGGRA PARANDARU
Masjid Raya Al Mashun. Masjid ini pada awal berdiri berada satu area dengan Istana Maimoon. Masjid ini memiliki keunikan bangunan yang simetris (29/1/2023).

Masjid Raya Al Mashun

Tak jauh dari Istana Maimoon, berdiri Masjid Raya Al Mashun. Lokasinya hanya berjarak sekitar 100 meter. Komplek masjid ini dulu dibangun menjadi satu bagian dari kompleks Istana Maimoon. Kini, antara masjid dan istana Maimoon terpisahkan oleh salah satu jalan protokol di Medan, Jalan Brigjen Katamso.

Masjid Raya Al Mashun dibangun pada masa pemerintahan Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alam. Masjid ini mulai dibangun pada tanggal 1 Rajab 1324 H bertepatan dengan tanggal 21 Agustus 1906, dan selesai dibangun tiga tahun kemudian pada hari Jumat 25 Sya’ban 1327 H bertepatan dengan 10 September 1909. Bahan bangunannya berupa marmer dan keramik yang khusus didatangkan dari Italia. Beberapa perlengkapan lainnya, misalnya jam dan lampu didatangkan dari Jerman.

Ada beberapa sumber terkait siapa yang merancang masjid ini. Ada yang menyebut arsitek masjid ini sama dengan arsitek Istana Maimoon, Theodore van Erp. Sumber lain menyebutkan, Masjid Raya dengan luas sekitar 5.000 meter persegi itu dirancang oleh Dingemans dari Amsterdam, Belanda. Muhammad Usman dalam tulisannya di harian Kompas menyebut, arsitektur Masjid Raya Al Mashun itu campur-campur karena ada pengaruh Timur Tengah, India, dan Spanyol.

Salah satu keunikan masjid ini adalah bentuk bangunannya yang simetris. Dilihat dari arah utara, selatan, timur, dan barat, bentuknya serupa. Bangunan masjid terdiri dari sebuah bangunan utama dengan empat bangunan sayap. Bangunan utama berbentuk segi delapan (oktagonal). Empat bangunan sayapnya menempel di bagian selatan, timur, utara, dan barat.

Selain bentuk simetrisnya, kubah Masjid Al Mashun juga memiliki bentuk berbeda dibanding kubah masjid biasa. Jika kubah masjid umumnya berbentuk bulat, maka kubah Masjid Al Mashun berbentuk segi delapan dan sedikit pipih. Jumlah kubahnya lima. Satu kubah utama dengan ukuran lebih besar terdapat di tengah, tepat di atas bangunan utama. Kubah lain terdapat di empat bangunan sayap. Masing-masing puncak kubah terdapat hiasan bulan sabit.

Sejak dibangun, masjid ini belum pernah dipugar atau diperluas. Pada tahun 1980 ada sedikit penambahan bangunan tempat wudhu wanita. Perawatan masjid ini, salah satunya adalah pengecatan yang dilakukan beberapa tahun sekali dengan warna cat sama dengan warna aslinya. Setara dengan Istana Maimoon, Masjid Raya Al Mashun juga termasuk yang ditetapkan sebagai cagar budaya.

LITBANG KOMPAS/INGGRA PARANDARU

Gerbang masuk menuju komplek Masjid Raya Al Mashun (29/1/2023).

Eksistensi Budaya Melayu

Penduduk dengan kebudayaan Melayu sudah berabad-abad bermukim di sepanjang Sungai Deli dan Sungai Babura. Namun, berbagai kebudayaan Melayu kini banyak yang terancam punah. Istana Maimoon dan Masjid Raya Al Mashun merupakan simbol eksistensi kebudayaan Melayu yang tersisa di Medan.

Seiring masuknya industri perkebunan pada abad ke-19, kebudayaan Melayu awalnya tetap hidup ketika Medan bertumbuh sebagai kota besar. Semakin lama, kebudayaan Melayu seolah hanya tersisa simbolnya yang tercermin pada Istana Maimoon dan Masjid Raya Al Mashun. Bahkan, kebudayaan Melayu hanya dimanfaatkan pada momen politik tertentu.

Daftar kebudayaan Melayu yang harus dilestarikan cukup panjang. Sebut saja pakaian adat Melayu Deli yang menjadi salah satu identitas kebudayaan, ada juga rangkaian alat musik Melayu yang menggunakan dua alat musik dari Barat, yakni akordeon dan biola. Alat musik itu menghasilkan dendang Melayu yang indah dengan perpaduan instrumen lokal, seperti gendang, gambus, tambur, dan kompang. Melayu Deli juga mempunyai rumah panggung, etnobotani, layang-layang melayu paya pasir, hingga dapur pembuat keris.

Bila ditelisik, awal mula penjajahan kultural yang menyebabkan tergerusnya kebudayaan Melayu terjadi sejak masuknya industri perkebunan besar ke Kota Medan. Kesultanan Deli ketika itu hanya mengatur wilayah di Istana Maimun dan sebagian wilayah di sekitarnya. Daerah lainnya diatur oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Menurut Guru Besar Sejarah di Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, masyarakat Melayu harus melakukan otokritik. Memudarnya kebudayaan Melayu juga karena tak diurus oleh masyarakatnya sendiri. Tidak hanya kebudayaannya, populasi dan kantong-kantong masyarakat Melayu pun semakin hilang dari Kota Medan.

LITBANG KOMPAS/INGGRA PARANDARU

WIsatawan berfoto di kursi singgasana Istana Maimoon, Medan, Sumatera Utara (29/1/2023).

Referensi

Buku
  • Sinar, Tengku Luckman. 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu
  • Yusuf, Choirul Fuad. 2016. Social history of Malay Deli Sultanate. Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama.
Arsip Kompas
  • “Deli Tua, Situs Sejarah yang Terlupakan”. Kompas, 6 April 2002, hlm. 28.
  • “Meriam Puntung: Antara Legenda dan Catatan Sejarah”. Kompas, 6 April 2002, hlm. 29.
  • “Bangunan Tua di Medan Nasibmu Kini…”, Kompas, 10 Juli 2002, hlm. 25.
  • “Medan 413 Tahun, Kota Tanpa Perencanaan”. Kompas, 27 Juni 2003, hlm. 31
  • “Masjid Raya Al Mashun”. Kompas, 23 November 2003, hlm. 28.
  • “Istana Maimoon, Warisan yang Tetap Bertahan”. Kompas, 18 Mei 2013, hlm. 1.
  • “Masjid Raya Al Mashun yang Megah”. Kompas, 3 Juni 2018, hlm. 10.
  • “Budaya Melayu Deli Makin Terpinggirkan di Kota Medan”. Kompas, 8 Oktober 2021, hlm c.
Internet
  • https://pemkomedan.go.id/hal-sejarah-kota
  • medan.htmlhttp://disbudpar.sumutprov.go.id/objek_wisata/istana
  • maimun/https://jdih.kemenparekraf.go.id/katalog-120-Peraturan%20Menteri