Paparan Topik | Hari Peduli Sampah

Hari Peduli Sampah Nasional: Momentum Pembenahan Tata Kelola Sampah di Indonesia

Tata kelola sampah merupakan persoalan lingkungan di Indonesia yang hingga kini tidak kunjung tuntas. Hari Peduli Sampah Nasional menjadi momentum untuk menghimpun keterlibatan dan kesadaran luas masyarakat terhadap persoalan sampah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara alat berat menaikkan timbunan sampah membentuk bukit di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Sampah di TPST Bantar Gebang diperkirakan bakal melebihi kapasitas tiga tahun lagi. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, ada 7.700 ton sampah per hari yang masuk ke TPST Bantar Gebang di Kota Bekasi. Komposisi rata-rata plastik di dalamnya adalah 34 persen dengan dominasi kantong keresek. Sumber terbesar kantong keresek adalah pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional, dan swalayan, seperti minimarket. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi melarang penyediaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, pasar, dan toko swalayan sejak Rabu (1/7/2020).

Fakta Singkat

  • Hari Peduli Sampah Nasional setiap tanggal 21 Februari menjadi alarm pengingat atas Tragedi Leuwigajah 2005 terhadap risiko besar persoalan pengelolaan sampah.
  • Pada 2022, produksi sampah masyarakat Indonesia mencapai 18,8 juta ton.
  • Jenis sampah makanan menjadi yang terbanyak dari komposisi sampah nasional, dimana 41,3 persen sampah nasional adalah sisa makanan.
  • Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak membuang makanan (300 kg sampah makanan/orang/tahun).
  • Mayoritas sampah nasional, yakni mencapai 69 persen, berhenti dan menggunung di TPA. Hal ini karena paradigma masyarakat bahwa sampah adalah barang sisa tak berguna sehingga bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe).
  • Beberapa dampak buruk penggunungan sampah di TPA adalah menghasilkan gas metana yang memacu emisi gas rumah kaca, menghasilkan lindi dalam jumlah banyak, sumber penyakit, dan potensi meledak serta longsor.
  • Tragedi longsor di TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 menyebabkan 157 orang meninggal tertimbun sampah dan luluh lantaknya dua kampung.
  • Pada 2030, pemerintah akan menghentikan segala pembukaan TPA baru. Orientasi pengelolaan sampah di TPA yang telah ada dan pemrosesan sampah dengan sistem yang lebih terpadu sedari hulu akan menjadi pilihan solusi utama.
  • Target HPSN 2023 membuka bagi babak baru pengelolaan sampah Indonesia menuju era nol emisi dan nol limbah.

Pengelolaan sampah di Indonesia merupakan sebuah konstelasi perjalanan yang teramat panjang. Sistem tata kelola yang jauh dari sempurna menimbulkan berbagai dampak multidimensi pada masyarakat selama puluhan tahun. Penumpukan terus menerus diperparah dengan produksi sampah yang kian meningkat dari waktu ke waktu.

Sistem pengeloaan yang fungsional dan terpadu menjadi kunci bagi masalah sampah nasional. Salah satu cara pemerintah mengupayakan kesadaran atas hal ini adalah melalui peringatan Hari Peduli Sampah Nasional atau HPSN.

Hari peringatan tersebut diselenggarakan setiap tahunnya, dengan inisiasi dan kepemimpinan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). HPSN jatuh pada tanggal 21 Februari setiap tahunnya. Untuk penyelenggaraannya pada 2023, rangkaian peringatan sendiri akan dimulai per tanggal 1 Februari 2023, dengan tanggal 21 Februari diputuskan sebagai pelaksanaan puncak acara.

Pada hari pertama peringatan HPSN 2023 tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati melakukan jumpa pers di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Vivien menjelaskan logo HPSN 2023 dan menyampaikan pengangkatan tema “Tuntas Kelola Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat”.

Pemilihan tanggal 21 Februari sendiri dilandaskan pada peristiwa nahas di Indonesia terkait masalah sampah. Pada tanggal yang sama pada tahun 2005, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa longsoran sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah di Kota Cimahi, Jawa Barat. Dampak insiden tersebut begitu besar, hingga 157 orang tewas tertimbun longsoran sampah.

Kejadian tersebut tidak semata menunjukkan masalah pada TPA Leuwigajah, namun lebih luas lagi menunjukkan bangsa Indonesia akan pentingnya pengelolaan sampah terintegrasi. Tak hanya itu, masalah sampah nasional yang tak terkendali juga dapat memberikan konsekuensi yang begitu besar pada lingkungan, ekosistem kehidupan global lewat perubahan iklim, dan bahkan nyawa manusia sendiri.

Kehadiran HPSN yang dirayakan tahunan pun menjadi bentuk peringatan bagi peristiwa di TPA Leuwigajah berikut makna peringatan yang diperoleh. Vivien menyampaikan bahwa perbincangan atas HPSN akan selalu menjadi pengingat terhadap tragedi 2005 tersebut. “Berbicara HPSN setiap tahun kita diingatkan dengan tragedi tahun 2005 TPA Leuwigajah yang longsor dan mengakibatkan kurang lebih 150 jiwa orang meninggal dunia,” katanya.

Peringatan atas peristiwa TPA Leuwigajah dan HPSN begitu relevan bagi situasi sampah nasional di Indonesia. Permasalahan sampah terus menjadi momok, yang memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan. Dalam level internasional, situasi sampah di Indonesia juga menjadi salah satu perhatian yang mencolok.

KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Masyarakat adat Cirendeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, memperingati enam tahun longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Senin (21/2/2011). Mereka berharap kejadian ini tidak dilupakan begitu saja tanpa ada upaya untuk mempelajari manajemen persampahan yang lebih ramah lingkungan dan aman. 

Potret Volume Sampah

Berdasarkan Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2022, timbulan sampah di Indonesia mencapai 18,8 juta ton.

Definisi timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan.

Dari jumlah 18,8 juta ton tersebut, pengurangan sampah hanya mampu mencapai angka 4,9 juta ton atau setara dengan 26,39 persen dari total sampah yang ada. Pengurangan sampah sendiri adalah kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.

Dari jumlah tersebut, sampah makanan menjadi jenis yang terbanyak. Setidaknya 41,3 persen komposisi timbulan nasional berjenis sampah makanan. Situasi demikian juga menunjukkan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam membuang makanan. Sementara setelah sampah makanan, ada sampah plastik sebagai jenis terbanyak, mencapai (18,6 persen) dalam timbulan sampah.

Setelah sampah plastik, jenis terbanyak secara berturut adalah sampah organik seperti kayu/ranting/daun (12,4 persen) dan sampah kertas/karton (11,3 persen). Dari komposisi jenis-jenis tersebut, sumber sampah utama berasal dari rumah tangga.

Situasi dan angka demikian menunjukkan kemirisan. Di tengah tingginya kasus kemiskinan, kelaparan, dan kekuarangan gizi, justru begitu besar jumlah makanan sisa dan terbuang. Pada tahun 2021, data The Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan (food loss and waste atau FLW) terbesar kedua di dunia. Dengan menghasilkan sekitar 300 kg sampah makanan per orang tiap tahun, Indonesia hanya kalah dari Arab Saudi yang berada di angka 427 kg.

Sumber: Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dari jumlah tersebut, timbulan sampah terbesar berasal dari Provinsi Jawa Tengah. Sebesar 4,25 juta ton timbulan sampah tercipta di provinsi tersebut pada 2022. timbulan sampah terbesar kedua berada di Provinsi DKI Jakarta, mencapai 3,11 juta ton. Pada tahun sebelumnya, posisi timbulan terbesar juga dipegang oleh Jawa Tengah dengan mencapai 5,46 juta ton sampah.

Produksi sampah secara keseluruhan di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan kawasan Asia Timur dan Pasifik. Laporan What a Waste 2.0 yang disusun oleh tim dari Bank Dunia pada 2018 menunjukkan rata-rata satu orang Indonesia menghasilkan 0,68 kg sampah per hari. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata masyarakat di kawasan Asia Timur dan Pasifik secara keseluruhan, yang berada pada level 0,56 dalam indikator yang sama.

Kuantitas sampah yang besar juga berdampak pada daerah perairan Indonesia. teluk Jakarta menjadi salah satu tampakan alam yang paling terdampak akan masalah sampah plastik. Setiap hari, setidaknya 10 ton sampah diangkut dari Teluk Jakarta, tempat bermuaranya 13 sungai dari daerah Jabodetabek.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, menemukan bahwa 97.098 sampah masuk ke Teluk Jakarta setiap harinya. Dari jumlah tersebut, bobot sampah harian yang masuk tersebut mencapai rata-rata 23 ton. Dalam komposisinya, sekitar 59 persen sampah tersebut berupa sampah plastik (Kompas, 13/1/2023, Setia Bersarang di Teluk Jakarta).

Kembali mengacu pada laporan oleh tim peneliti Bank Dunia, turut disampaikan bahwa salah satu penyebab masalah sampah di Indonesia adalah buruknya sistem pengelolaan yang terpadu. Dinilai, sistem sampah di Indonesia begitu terdesentralisasi, tidak ada pengelolaan terpusat yang jelas dalam peta kelola yang jelas.

Akhirnya, masalah kelola tersebut harus dipegang langsung oleh masyarakat dengan cara membayar pemulung. Peran pemungut sampah perseorangan seperti pemulung begitu besar, terutama di kota besar. Di Jakarta, diperkirakan 25 persen sampah kota terkelola secara produktif.

Setelah terkumpul dari rumah-rumah tangga, pemerintah di tingkat kecamatan akan mengatur pengangkutan sampah. Meski telah diatur melalui Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah agar pengelolaan sampah melibatkan anggara nasional, namun tim laporan tim Bank Dunia menyampaikan bahwa yang kerap terpakai adalah anggaran pemerintah lokal. Dalam pola sistem yang demikian, pihak swasta pun biasanya tidak dilibatkan.

Mekanisme sampah di Indonesia masih melibatkan titik-titik pemberhentian sampah, dimana akan berdampak pada penumpukan yang memusat. Titik tersebut biasa disebut sebagai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Definisi ini sendiri memperoleh perhalusan makna, sebagaimana padanan katanya sendiri dalam Bahasa Inggris adalah “landfill” yang secara literal berarti situs lokasi pembuangan (dumping ground).

Mengacu pada laman Kementerian Keuangan (djkn.kemenkeu.go.id) alur pengelolaan sampah di Indonesia dimulai dari dibawanya sampah dari rumah tangga ke Tempat Penampungan Sementara (TPS). Dari TPS, sampah akan diangkut dan dibawa oleh Dinas Lingkungan menggunakan truk sampah ke TPA. Mengacu UU Nomor 18 Tahun 2008, TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

Di TPA ini, sejumlah tahap pengelolaan sampah dilaksanakan. Termasuk di dalamnya adalah pengolahan sampah dalam bentuk mengubah karakteristiknya dan pemrosesan akhir dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivitas pengolahan kompos di Unit Pengolahan Sampah Terpadu (UPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019). Pengolahan kompos yang dikelola Pemprov DKI ini mampu menghasilkan dua hingga tiga ton kompos per hari dari sampah organik pasar-pasar di sejumlah wilayah Jakarta.

Permasalahan Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Persoalan sistem akan selalu bersangkutan dengan aliran sampah dari hulu ke hilir, terkait produksi sampah dari rumah tangga hingga pengelolaannya di tingkat provinsi atau bahkan nasional. Meski begitu, mulai dari titik hulu, pengelolaan sampah telah tidak efisien.

Selama ini, masyarakat Indonesia masih memiliki paradigma bahwa sampah merupakan barang sisa yang tak berguna, bukan sumber daya yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan. Dampaknya, pengelolaan sampah di Indonesia masih cenderung bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yakni proses pengumpulan sampah, untuk diangkut dan dibuang ke TPA.

Dengan paradigma dan pengelolaan demikian, otomatis menimbulkan masalah pada TPA sebagai titik hilirisasi sampah. Di tempat tersebut, sampah yang tidak terpilah terakumulasi tanpa proses kelola yang baik sehingga akhirnya menjadi timbunan tumpukan sangat tinggi.

Paradigma demikian menyederhanakan perlunya pengelolaan sampah terpadu, dengan menjadikan TPA sebagai orientasi utama dalam menyingkirkan sampah. Data dari Kementerian LHK pada 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar sampah masyarakat Indonesia berujung dan berhenti di TPA.

Mengacu laman resmi Kementerian LHK, sebanyak 69 persen dari total sampah nasional dikirim ke TPA. Setidaknya, hanya 7,5 persen sampah memperoleh nilai guna, dengan menjadi bahan kompos maupun di daur ulang.

Kehadiran TPA sendiri, meski ditujukan bagi solusi sampah lewat proses isolasi, justru menjadi katalis bagi masalah yang lain. Timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi TPA melepaskan gas metana (CH4) dalam jumlah besar. Gas ini meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Tak hanya itu, kehadiran gas ini dapat menyebabkan ledakan jika terkena percikan api atau petir.

Sumber: Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Timbunan sampah di TPA juga menghasilkan air hasil dekomposisi yang biasa disebut sebagai lindi (leachate generation). Keluarnya lindi dapat disebabkan oleh air eksternal (seperti hujan di TPA) maupun internal (berupa cairan yang keluar dari sampah itu sendiri).

Perusahaan pengelola sampah Waste4Change (waste4change.com) menuliskan bahwa kehadiran lindi berpotensi besar untuk meresap dan mencemari air tanah maupun aliran air sekitar.

Selain gas metana dan lindi, tumpukan sampah di TPA juga menjadi tempat pertumbuhan vektor penyakit. Berbagai hewan hama, seperti tikus, lalat, kecoa, nyamuk, dan belatung ditemui di lokasi seperti ini. Kesehatan masyarakat sekitar pun menjadi terancam. Apalagi ditambah dengan ketidaknyamanan akibat bau busuk menyengat.

Hadirnya masalah-masalah dari TPA tersebut masih konsisten terjadi di Indonesia. Sampah yang berada di area harus melalui proses alam yang teramat lama untuk dapat terurai. Biaya penanganannya pun begitu besar. Dengan tantangan demikian, sampah akhirnya terakumulasi di TPA tanpa penanganan yang memadai.

Kapasitas TPA di Indonesia

Selama ini, hingga 2021, Indonesia telah memiliki lebih dari 400 Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Secara total, jumlah kapasitas seluruh TPA tersebut mencapai 2,45 miliar meter kubik (m3 ). Meski begitu, baru 10 persen dari jumlah TPA tersebut yang beroperasi secara maksimal.

Jakarta sebagai ibukota sekaligus megapolitan, menjadi provinsi dengan kapasitas TPA terbesar di Indonesia, yakni mencapai 455,83 juta meter kubik per tahun. Posisi kedua sebagai provinsi dengan kapasitas TPA terbesar ditempati oleh Kalimantan Barat, yang memilikikapasitas sebesar 246,12 juta meter kubik per tahun. Setelah Kalimantan Barat, ada Jawa Tengah sebagai provinsi penghasil timbulan sampah terbesar pada 2021 dan 2022. Kapasitas TPA di Jawa Tengah sebesar 227,38 juta meter kubik per tahun.

Dalam besarnya jumlah dan luas TPA di Indonesia, tidak lantas menyelesaikan masalah. Justru masing-masing TPA yang ada menjadi sumber masalah sampah baru, dimana kebanyakan dari TPA tersebut memiliki peristiwa, cerita, dan memberikan dampak permasalahan.

TPA Bantargebang misalnya, di Bekasi, Jawa Barat yang menjadi tempat pembuangan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Di Bantargerbang, tumpukan sampah terus menggunung. Per harinya, terdata 1.200 truk datang mengirimkan sekitar 7.500 ton sampah dari Jakarta. Jumlah tersebut setara dengan 91 persen dari timbunan sampah di seluruh Jakarta per harinya, yang mencapai 8.200 ton (Kompas, 20/1/2023, Sampah Makin Menggunung di TPST Bantargebang).

Masalah penggunungan sampah yang terus menerus juga terjadi di TPA Piyungan, Yogyakarta. Piyungan menghadapi masalah kian meningkatnya jumlah sampah yang dibuang ke area tersebut, yakni mencapai 760 ton per hari. Usaha penataan TPA pun dilakukan, dengan salah satunya harus mengalihkan pembuangan sampah masyarakat Yogyakarta ke TPS Transisi 1 seluas 1,1 hektar (Kompas, 18/1/2023, Penataan TPST Piyungan).

Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masalah tersebut terjadi salah satunya di TPA Antang yang sudah melebihi kapasitas. Pada pertengahan 2022 lalu, tumpukan sampah di TPA tersebut telah menggunung hingga ketinggian 50 meter. Dengan luas lahan 19,1 hektare, TPA Antang dinilai tidak lagi bisa menampung produksi sampah warga Makassar yang mencapai rata-rata 1.000 ton per hari.

Keadaan menggunungnya sampah demikian harus segera diatas. Dampaknya, bencana-bencana yang lebih besar tinggal menunggu waktu untuk terjadi dari gunungan sampah di TPA. Akibatnya, tidak hanya estetika, lingkungan hidup, dan iklim, namun juga nyawa manusia sendiri.

Bencana tersebut terjadi nyata dalam tragedi di TPA Leuwigajah, sebagaimana telah sempat disebutkan sebelumnya. Pada tengah malam, pukul 02.00 WIB, ledakan keras tiba-tiba terdengar. Segera ledakan tersebut disusul oleh longsoran sampah dari TPA yang pada saat itu ketinggiannya telah mencapai 60 meter.

Longsoran sampah langsung menyapu dua pemukiman yang berjarak 1 km dari TPA, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Kedua kampung langsung luluh lantak tertimbun sampah. Sebanyak 157 orang pun meninggal, dengan korban terbanyak adalah para pemulung yang tinggal maupun tengah mencari sampah di lokasi TPA.

Penyebab longsor tersebut diduga karena guyuran hujan deras semalaman. Selain itu, penyebab lainnya juga konsentrasi gas metana dari dalam tumpukan sampah. Hal terarkhir ini yang lantas menyebabkan suara ledakan sebelum longsor terjadi. Sejak saat itu, TPA Leuwigajah pun ditutup.

Peristiwa tersebut memberikan trauma sekaligus peringatan besar bagi para pemulung di Kota Bandung. Di TPA Sarimukti, yang untuk sementara menggantikan TPA Leuwigajah, kini bekerja setidaknya 500-700 pemulung. Namun kini mereka bekerja dengan hati-hati, menghindari posisi dekat gunungan sampah karena bisa longsor kapan saja. Sebuah pengetahuan yang diperoleh pasca tragedi Leuwigajah.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong menilai TPA Sarimukti tersebut memiliki kemungkinan nasib yang sama dengan Leuwigajah. Pemerintah Kota Bandung masih saha mengandalkan prinsip pembuangan terbuka (open dumping), dimana sampah hanya akan terus ditumpuk di lahan terbuka dan rentan longsor suatu hari nanti.

Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Bank Sampah Bersinar, Bandung, Jawa Barat, Fei Febri. Ia menilai tragedi Leuwigajah sebagai sebuah peringatan. Namun situasi penyebabnya masih saja eksis, sehingga bencana serupa mungkin terjadi. “Sampah seharusnya tidak jadi masalah, tapi berkah bagi warga yang mau mengolahnya. Selama konsep pengolahan masih dengan menumpuk sampah, kejadian Leuwigajah mungkin terjadi lagi,” katanya.

Warga sekitar yang tinggal dan menggantungkan hidup di TPA Leuwigajah pun juga masih menyimpan trauma. Salah satunya adalah para warga Kampung Cireundeu. Belasan tahun setelah longsor sampah, trauma masih tersimpan setelah para kerabat mereka meninggal tertimbun sampah. “Peristiwa itu belum hilang dari kepala saya,” ujar Ade, warga Kampung Cireundeu yang menjadi pemulung demi menyambung hidup dan menyekolahkan anak (Kompas, 21/2/2022, Trauma Petaka Sampah TPA Leuwigajah yang Sulit Hilang).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pemulung berebut sampah dengan sapi yang mencari makan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (16/10/2009). Setiap hari TPA Piyungan ini menerima 300-350 ton sampah yang berasal dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. 

Solusi Masalah Sampah Nasional

Dengan segala prakondisi, kondisi, maupun dampak yang ada, pemerintah dan berbagai pihak pun kian memperoleh pengetahuan atas pengelolaan sampah nasional. Berbagai upaya pun mulai dikembangkan dengan target capaian baru, yakni 100 persen sampah terkelola pada 2025, tidak ada pembakaran sampah liar pada 2031, dan ­zero waste pada 2050. Salah satu upaya yang dilakukan adalah berangkat dari pengetahuan bahwa kehadiran TPA tidak lagi solutif dan fungsional bagi sampah.

Pengetahuan ini dikembangkan pada komitmen dan usaha nyata. Pada HPSN 2023, pemerintah Indonesia berkomitmen tidak akan ada lagi pembangunan TPA mulai tahun 2030. Penggunaan TPA yang telah ada akan dilanjutkan hingga masa operasionalnya selesai. Selama waktu yang ada, telah turut dilaksanakan upaya penampangan sampah.

Kementerian LHK juga menetapkan target utama membangun rantai pengelolaan sampah hingga 2060. Caranya adalah dengan meningkatkan pengelolaan seluruh TPA lewat metode pengelolaan controlled atau sanitary landfill melalui pemanfaatan gas metana pada tahun 2025 (Kompas, 2/2/2023, Langkan: Tidak Ada Lagi TPA Baru Mulai 2030).

Selain itu, pengelolaan sampah di TPA juga akan ditingkatkan lewat optimalisasi fasilitas pengelolaan sampah. Teknologi seperti biodigester penggunaan dan maggot dapat digunakan terutama untuk sampah biomassa.

Dengan berbagai upaya perbaikan, optimalisasi, dan pengurangan kebergantungan pada TPA, pemerintah mengharapkan ketercapaian atas beberapa hal. Yang pertama adalah agar peristiwa serupa Leuwigajah tidak lagi terjadi. Kedua, menghilangkan dampak buruk dari TPA, secara khusus polusi gas metana penyebab emisi gas rumah kaca.

Ketiga, diharapkan operasional TPA pada 2050 hanya akan diperuntukkan khusus sebagai tempat pembuangan sampah residu. Sementara yang keempat adalah menguatnya giat pemilahan sampah sejak di titik hulu. Hal terakhir ini dapat meningkatkan potensi pemanfaatan sampah sebagai bahan baku daur ulang.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pekerja memilah berbagai jenis botol plastik yang akan dijual kembali untuk didaur ulang di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (20/9/2020). Botol kemasan plastik saat ini sebagai salah satu penghasil sampah yang banyak ditemukan di berbagai tempat dan berpotensi mencemari lingkungan ketika tidak didaur ulang.

Pelaksanaan HSPN 2023

Dengan tema HPSN 2023 “Tuntas Kelola Sampah Untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Kemeterian LHK ingin menetapkan target dan upaya baru yang lebih aktual dan solutif dalam mengatasi masalah sampah. Penyelenggaraan HPSN 2023 diharapkan menjadi titik pembuka bagi babak baru pengelolaan sampah Indonesia menuju era nol emisi dan nol limbah.

Selain itu, HPSN 2023 juga diadakan dalam konteks kehadiran target pemerintah di 2025 dalam menuntaskan persoalan sampah lewat kebijakan strategi nasional. Dengan dituliskan secara detail melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, targetnya adalah mencapai pengurangan sampah hingga 30 persen dan menangangi sampah hingga 70 persen. Pada 2025, ditargetkan telah tuntasnya persoalan sampah.

Mengacu pada laman resmi Kementerian LHK, HPSN 2023 akan dilaksanakan dengan meliputi beberapa kegiatan. Berbagai kegiatan yang telah dikonsepkan tersebut ditujukkan semata untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam peringatan HPSN.

Hadirnya masyarakat menjadi elemen penting untuk meluruskan paradigma bahwa sampah bukanlah suatu yang harus dibuang dan disingkirkan, namun sesungguhnya memiliki nilai ekonomi. Dengan nilai tersebut, sampah pun bisa berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, keterlibatan dan kesadaran masyarakat juga begitu penting mengingat status mereka sebagai produsen sekaligus aktor sampah di hulu.

Berbagai kegiatan telah dimulai dilaksanakan sejak awal Februari 2023. Konsep pelaksanaan HPSN pun berupa rangkaian acara, dengan puncaknya pada 21 Februari 2023 nanti. Beberapa kegiatan tersebut antara lain:

  1. Tour Sepeda “Jelajah Bersih Negeri”
  2. Zero Waste Adventure Camp
  3. Compost Day – Kompos Satu Negeri
  4. Less Waste bersama Ikatan Motor Indonesia
  5. Dialog bersama Komunitas Start-Up Kreatif Pengelola Sampah, Produsen, dan Stakeholder lainnya
  6. Dialog Nasional Media (Pers) “Zero Waste Zero Emission Indonesia 2040” dengan tema Tuntas Kelola Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat
  7. Kolaborasi Kampanye HPSN bersama TikTok Indonesia
  8. Kolaborasi Kampanye HPSN bersama TEDx Jakarta
  9. Exhibition Upcycle Corner yang bekerjasama dengan pusat perbelanjaan maupun ruang publik untuk membuka Pojok Produk Minim Sampah
  10. Kompetisi Konten Kreatif (reels Instagram, TikTok, dan Youtube)
  11. Lomba VLOG
  12. Lomba Fotografi bertema “Zero Waste To Landfill

Tidak hanya oleh pemerintah, hadirnya HPSN 2023 juga disambut dan dipersiapkan oleh masyarakat awam maupun pihak swasta. Salah satunya oleh Indonesia Indah Foundation yang menyelenggarakan Hari Bersih Indonesia untuk menyambut HPSN 2023. Kegiatan relawan tersebut akan dilaksanakan pada 19 Februari 2023 di 34 provinsi.

“Hari Bersih Indonesia” sendiri adalah aksi bersih-bersih yang dilaksanakan dalam satu hari serentak di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran akan persoalan limbah plastik sekaligus mendidik masyarakat untuk lebih peduli pada lingkungan. Momen ini juga digunkana oleh Indonesia Indah Foundation untuk kampanye pemilahan sampah yang dimulai dari rumah masing-masing.

Hadirnya berbagai pihak selain pemerintah menjadi poin penting bagi upaya pengelolaan sampah nasional secara terpadu. Konsolidasi peran dan strategi mengatasi sampah perlu dilakukan dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, institusi non-pemerintah, dan seluruh masyarakat. Sebagai produsen sampah, semuanya juga adalah pihak yang wajib berkontribusi terhadap implementasi solusi pengelolaan sampah.

Pengoptimalan seluruh aktor tersebut akan menguatkan rantai nilai pengelolaan sampah dari hulu ke hilir dan pengelolaan sampah sedari sumbernya. Dengan begitu, sampah pun bisa dicegah untuk mencapai TPA dan mendorong efek rumah kaca. Akhirnya, HPSN menjadi momen penting untuk membangun kolaborasi sinergis dari berbagai pihak tersebut, untuk pada akhirnya mewujudkan pengelolaan sampah menuju emisi net zero. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas

• Kompas. (2022, Februari 21). Trauma Petaka Sampah TPA Leuwigajah yang Sulit Hilang. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.

• Kompas. (2023, Februari 2). Langkan: Tidak Ada Lagi TPA Baru Mulai 2030. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
• Kompas. (2023, Januari 18). Penataan TPST Piyungan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 8.
• Kompas. (2023, Januari 20). Sampah Makin Menggunung di TPST Bantargebang. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 15.
• Kompas. (2023, Januari 13). Setia Bersarang di Teluk Jakarta. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.

Internet
Jurnal
  • Kaza, S., Yao, L., Bhada-Tata, P., & Woerden, F. V. (2018). What a Waste 2.0: A Global Snapshot of Solid Waste Management to 2050. Washington: World Bank.
Aturan