Paparan Topik | Hari Nelayan Nasional

Hari Nelayan Nasional: Potensi Kelautan dan Potret Nelayan Indonesia

Hari Nelayan Nasional diperingati setiap tanggal 6 April sejak 1961. Dari tahun ke tahun, peringatan Hari Nelayan menampilkan potret kesejahteraan nelayan yang belum membaik.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Nelayan membantu menepikan kapal yang baru saja digunakan untuk mencari ikan di Pantai Depok, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (14/1). Sebagian nelayan pantai itu mulai kembali melaut setelah beberapa hari sebelumnya tidak dapat mencari ikan karena ancaman gelombang tinggi.

Fakta Singkat

Hari Nelayan Nasional

  • Diperingati tiap 6 April (sejak 1961)
  • Diusulkan diperingati tiap 21 Mei (pada 2015)
  • Belum ada aturan pemerintah yang menetapkan Hari Nelayan Nasional

Potret Nelayan Indonesia

  • Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB: 2,4 % (2019)
  • Nilai Ekspor hasil perikanan Indonesia: Rp 73,7 miliar (2019)
  • Jumlah nelayan (2018): 2,01 juta (laut: 1,69 juta, darat: 326 ribu)
  • Nelayan hidup di bawah garis kemiskinan: 11,34% (Susenas 2017)

Peringatan Hari Nelayan Nasional ditetapkan sejak 6 April 1961 dalam Musyawarah Nasional Golongan Karya Nelayan I di Solo, Jawa Tengah. Hingga tahun 1965, peringatan tersebut dilaksanakan di Jawa. Pada tahun 1966, peringatan Hari Nelayan diselenggarakan di luar Jawa, yakni di Makassar. Selanjutnya, peringatan hari nelayan diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia.

Hari Nelayan Nasional diperingati dengan harapan dapat membangkitkan, menggerakkan, dan mendorong para nelayan dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Berbagai kegiatan digelar dalam memperingati Hari Nelayan, mulai dari kegiatan kebudayaan hingga unjuk rasa.

Di sisi lain, peringatan Hari Nelayan dari tahun ke tahun memunculkan pertanyaan tentang kesejahteraan nelayan di Indonesia. Pada tahun 2010, misalnya, belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dianggap belum beranjak dari kehidupan nelayan. Dengan ketidakpastian penghidupan, sebagian nelayan kecil beralih profesi ke sektor informal, (Kompas, 6/4/2010).

Dua tahun berselang, peringatan Hari Nelayan masih juga dibarengi dengan situasi kesejahteraan nelayan yang belum beranjak membaik. Harian Kompas, 7 April 2012 menuliskan bahwa “Hari Nelayan yang diperingati tanggal 6 April semakin kehilangan maknanya. Nelayan masih didera kemiskinan, sedangkan pemerintah belum serius menggarap potensi bahari”, (Kompas, 7/4/2012).

Pada tahun 2014, peringatan Hari Nelayan Nasional mengingatkan akan persoalan berulang terkait diskriminasi, lemahnya perlindungan, dan pemberdayaan nelayan. Pada tahun tersebut, sejumlah 97 persen dari 2,7 nelayan merupakan nelayan kecil dan tradisional yang hidup di bawah garis kemiskinan. (Kompas, 7/4/2014)

Pada tahun itu pula, muncul tuntutan kepada pemerintah untuk mengembangkan sektor kelautan dalam kebijakan pembangunan nasional. Alasannya, beberapa hasil studi menunjukkan bahwa sektor kelautan (perikanan) merupakan salah satu pilar utama yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di dunia tahun 2030.

Pada tahun 2016, ribuan nelayan berunjuk rasa di depan istana negara pada peringatan Hari Nelayan Nasional. Mereka menggugat kebijakan pemerintah yang dianggap menyengsarakan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Harian Kompas mencatat bahwa peringatan tersebut “membawa ingatan pada janji petinggi negara kepada rakyat untuk menjadikan laut sebagai masa depan bangsa” (Kompas, 7/4/2016).

Situasi nelayan yang masih belum sejahtera serta fakta penurunan jumlah nelayan masih terpotret pada peringatan Hari Nelayan 2018. Penurunan jumlah nelayan dianggap sebagai peringatan bagi kebangkitan dan kesejahteran nelayan (Kompas, 6/4/2018).

Pada peringatan Hari Nelayan tahun 2021, persoalan kesejahteraan nelayan dan merosotnya jumlah nelayan ditambah ancaman perampasan ruang hidup nelayan oleh regulasi pemerintah. Dalam siaran persnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan bahwa kehidupan nelayan saat ini tidak mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UU 7/2016.

Berbarengan dengan berbagai persoalan yang dihadapi nelayan, muncul pula berdebatan terkait penetapan Hari Nelayan Nasional.

KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO)

Ribuan perahu nelayan, Kamis (17/1/2013) masih terparkir di tepi Sungai Donan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang bermuara ke Samudra HIndia. Sebagian besar nelayan masih takut melaut akibat cuaca buruk berkepanjangan di perairan selatan Pulau Jawa sejak dua pekan terakhir. Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Cilacap memperkirakan hingga tiga hari ke depan, gelombang tinggi berpeluang terjadi lagi di perairan selatan dengan ketinggian berkisar 5-6 meter.

Kontroversi Hari Nelayan

Perdebatan sempat muncul pada tahun 2018 dan 2019 tentang kapan Hari Nelayan Nasional mesti diperingati. Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sempat menyampaikan bahwa Hari Nelayan Nasional dirayakan pada tanggal 21 Mei. Hal ini dilandaskan pada kesepakatan Rembug Nelayan Nasional yang diadakan di Jakarta pada 7-9 September 2015.

Tanggal 21 Mei dipilih salah satunya karena bertepatan dengan Kongres Nelayan Indonesia I yang terjadi pada 21 Mei 1963. Akan tetapi, usulan ini mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat dan nelayan. Keberatan dan penolakan salah satunya disampaikan Koalisi Rakyat Keadilan untuk Perikanan, suatu organisasi nonpemerintah yang khusus memperhatikan isu perikanan dan kelautan di Indonesia.

Sampai saat ini, pemerintah belum mengeluarkan keputusan resmi dalam bentuk dokumen perundang-undangan yang menetapkan kapan Hari Nelayan Nasional resmi diperingati di Indonesia (Kompas, 7/4/2017). Penetapan tanggal resmi tersebut sedang diupayakan, salah satunya melalui rapat koordinasi yang diselenggarakan pada 4-5 April 2019 oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Rapat Koordinasi Finalisasi Hari Nelayan Nasional ini diselenggarakan di Bogor dengan dihadiri seluruh kementerian/lembaga yang terkait beserta himpunan/asosiasi nelayan dan perikanan. Hasil rapat tersebut meneguhkan pemilihan tanggal 21 Mei sebagai Hari Nelayan Nasional.

Meskipun terdapat dua tanggal peringatan, 6 April dan 21 Mei, berbagai komunitas nelayan tetap memperingati kedua tanggal tersebut sambil terus menyuarakan situasi kesejahteraan mereka.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Perlindungan Pesisir Jawa – Aktivis mahasiswa dan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Perlindungan Laut dan Pesisir Jateng berunjuk rasa di depan Kantor Gubenur Jawa Tengah, Kota Semarang, Rabu (6/4/2016). Mereka menuntut agar pemerintah peduli dengan persoalan lingkungan pesisir Jawa Tengah serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Potensi Kelautan Indonesia

Tiga per empat luas wilayah Indonesia berupa perairan. Selain itu, panjang garis pantai Indonesia mencapai 108 ribu kilometer, terpanjang kedua di dunia. Hal tersebut menunjukkan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar.

Terdapat total 13 sektor perekonomian Indonesia yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan. Ketigabelas sektor tersebut meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil budidaya, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, pulau-pulau kecil, sumber daya nonkonvensional, bangunan kelautan, benda-benda berharga dan warisan budaya, jasa lingkungan konservasi dan biodiversitas.

Bila melihat porsi kontribusi sektor perikanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor perikanan pada tahun 2019 menyumbang 2,4 persen dari total PDB Indonesia. Dari total tersebut, total produk perikanan dari subsektor perikanan budidaya lebih besar daripada perikanan tangkap.

KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Sejumlah nelayan Pulau Bungin di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/2/2016) sedang membongkar hasil tangkapan ikan di tepi dermaga kecil di pulau tersebut. Perairan Sumbawa Barat yang masuk dalam kawasan Teluk Saleh merupakan salah satu areal tangkapan ikan terbesar di Indonesia. Kawasa ini bahkan disebut sebagai aquarium ikan raksasa. Kekayaan bahari Sumbawa perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu, data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menunjukkan bahwa nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada tahun 2019 mencapai Rp 73,7 miliar (tepatnya Rp 73.681.883.000). Produk perikanan atau hasil laut yang banyak menjadi komoditas ekspor adalah udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan, serta rumput laut. Komoditas tersebut diekspor dengan tujuan utama ke Amerika, China, Jepang, negara-negara ASEAN, dan Uni Eropa.

Secara umum, pemanfaatan potensi sumber daya ikan Indonesia diperkirakan telah mencapai 4,4 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,26 juta ton berasal dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Di sisi lain, berdasarkan prinsip kelestarian, hanya 80 persen dari potensi perikanan yang dapat diambil, atau sekitar 5,12 juta ton per tahun. Prinsip tersebut juga diacu oleh UU 31/2004 tentang perikanan. Selain itu, UU tersebut juga mengatur tentang jenis alat tangkap yang diperbolehkan, lokasi penangkapan, berkat kapal, dan peraturan lain terkait perikanan di Indonesia.

Sebagai catatan, dokumen internasional yang digunakan sebagai acuan untuk pembangunan perikanan yang berkelanjutan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries. Dokumen ini disepakati bersama oleh negara-negara anggota Food and Agriculture Organisation, sebuah lembaga turunan dari Perserikatan Bangsa-bangsa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Perahu nelayan yang bersandar di Kampung Nelayan Tambaklorok, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (20/1/2020). Kawasan tersebut menjadi salah satu proyek percontohan kampung bahari yang dikembangkan pemerintah.

Kondisi Demografis dan Ekonomi Nelayan Indonesia

Dalam Pasal 27 Undang-Undang Cipta Kerja yang membuat perubahan-perubahan ketentuan pada UU 31/2004 Tentang Perikanan, dijelaskan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan dan yang disebut sebagai nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

Tentang nelayan kecil, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang mencabut ketentuan UU 32/2004 menjelaskan bahwa nelayan kecil adalah nelayan masyarakat tradisional yang menggunakan bahan dan alat penangkap tradisional.

Profesi nelayan yang menggunakan kapal penangkap ikan memerlukan perizinan dari pemerintah. Pada Angka 6 Pasal 27 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 27 UU 31/2004 menjelaskan ketentuan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau daerah sesuai dengan kewenangannya. Akan tetapi, ketentuan perizinan ini dikecualikan bagi nelayan kecil. Selain itu, nelayan kecil juga dibebaskan dari kewajiban pajak dan bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

Data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa pada tahun 2018 tercatat 2.011.455 orang berprofesi sebagai nelayan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.685.018 merupakan nelayan laut, dan 326.437 orang merupakan nelayan yang menangkap ikan di sektor perairan umum daratan (PUD). Jumlah tersebut merupakan 0,76 persen dari total penduduk pada tahun yang sama. Sedangkan, provinsi dengan jumlah nelayan terbanyak adalah Provinsi Sumatera Utara (174.345 orang), Sulawesi Selatan (171.209 orang), dan Maluku (163.497 orang).

Angka ini lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah nelayan pada tahun 2009, yakni 2.752.490 orang, dengan total kapal penangkap ikan 596.230 unit. Data pada tahun 2009 itu menunjukkan bahwa 90 persen nelayan adalah nelayan kecil dengan bobot mati kapal di bawah 30 Gross Tonnage (GT). Penurunan tersebut sejalan dengan data BPS yang menunjukkan adanya penurunan jumlah rumah tangga perikanan tangkap dari tahun 2000 hingga tahun 2016, yakni dari sekitar 2 juta keluarga menjadi 966 ribu keluarga.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Nelayan merapat di dermaga perkampungan kumuh nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, usai memanen kerang hijau di Teluk Jakarta, Minggu (4/10/2020). Masuknya Indonesia ke dalam jurang resesi ekonomi diperkirakan akan langsung berimbas dengan bertambahnya jumlah angka kemiskinan.

Penurunan jumlah nelayan ini sebenarnya merupakan tren global. Pada tahun 2016, FAO melaporkan jumlah pekerja perikanan tangkap memang terus menurun. Pada periode 2000-2014, jumlah nelayan di Eropa berkurang dari 779 ribu menjadi 413 ribu. Tren serupa terjadi di Amerika Utara dan Oseania. Tren penurunan tersebut terkait beberapa faktor, antara lain:

  1. kebijakan pemerintah negara-negara yang membatasi penangkapan ikan berlebih (overfishing)
  2. kemajuan teknologi perikanan yang menggantikan peran nelayan
  3. faktor pendapatan yang rendah dan tantangan cuaca ekstrem di laut serta jarak yang membuat profesi nelayan menjadi tidak menarik perhatian orang muda

Terkait kondisi ekonomi nelayan Indonesia, penelitian yang diadakan oleh Prof. Zuzy Anna pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 11,34 persen nelayan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data dari Survei Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017. Persentase tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa sektor lain, seperti sektor pelayanan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%), dan pengelolaan sampah (9,62%).

Data lain menyebutkan bahwa jumlah nelayan miskin di Indonesia mencakup hingga 25 persen dari total angka kemiskinan nasional. Kesimpulan tersebut didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2018.

Garis kemiskinan di Indonesia, menurut BPS Maret 2020, ditetapkan sebesar Rp 454.652 per kapita per bulan. Artinya, nelayan yang mendapatkan pemasukan di bawah angka tersebut per bulan tergolong sebagai  masyarakat miskin. Secara lebih detail, garis kemiskinan tersebut mencakup Rp 335.793 untuk konsumsi makanan dan Rp 118.859 untuk konsumsi bukan makanan.

Beberapa persoalan yang membelit kehidupan ekonomi nelayan, antara lain pola kerja homogen (hanya bergantung pada satu sumber penghasilan), kemampuan modal yang lemah untuk mengembangkan usaha, permainan harga jual ikan di mana nelayan lebih tidak berdaya dibanding para tengkulak ikan, serta daya serap industri pengolahan ikan yang tidak optimal.

Permasalahan Lain Nelayan Indonesia

Selain kesulitan ekonomi yang banyak dialami nelayan di atas, termasuk juga kesulitan alam karena pekerjaannya yang tergantung pada pergantian musim, permasalahan lain yang dihadapi oleh nelayan berkaitan dengan keberadaan nelayan asing dan ketentuan teritorial negara lain yang berdekatan dengan Indonesia.

Kasus masuknya armada penangkap ikan berbendera asing ilegal ke wilayah perairan Indonesia atau ZEE Indonesia tidak jarang terjadi. Persoalan ini terutama kerap terjadi di wilayah perairan Natuna yang disebut sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan 711. Selain memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap yang tinggi, wilayah ini juga merupakan daerah perbatasan Indonesia dengan berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan China. Oleh karena itu, kasus penangkapan ikan liar (illegal fishing) oleh kapal asing kerap terjadi.

Sepanjang Mei hingga Desember 2016, misalnya, jumlah kapal ikan ilegal yang terekam citra Radarsat-2 milik Indonesia mencapai 280 unit dengan berbagai macam ukuran. Dari jumlah tersebut, kerugian ekonomi negara ditaksir mencapai Rp 2,98 triliun.

Data lain menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Oktober 2014 hingga Agustus 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menenggelamkan 488 kapal asing liar. Kapal tersebut sebagian besar berasal dari Vietnam (276), Filipina (90), Thailand (50), dan Malaysia (41).

Kerap kali armada asing tersebut dilengkapi dengan peralatan penangkap ikan yang lebih canggih. Dalam konflik penangkapan ikan tersebut, seringkali nelayan Indonesia tidak berdaya karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan.

KOMPAS/SYAMSUL HADI

Dua anak nelayan bersuka ria sambil berenang di tepian pantai tempat pendaratan ikan di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur, Rabu (9/4/2014). Mereka berenang sambil menggunakan pelampung dari plastik di antara ribuan berbagai jenis perahu nelayan yang diparkir di Pusat Pendaratan Ikan. Pada hari pemilihan umum, para nelayan libur sehari penuh untuk menghormati dan menyambut “hajat” bangsa untuk lima tahunan.

Sebaliknya, persoalan juga beberapa kali muncul karena nelayan Indonesia didapati menangkap ikan di wilayah kedaulatan ataupun ZEE negara lain. Salah satu contohnya adalah persoalan yang terjadi dengan pemerintah Australia.

Selama ini, Indonesia dan Australia memiliki perjanjian bersama terkait penangkapan ikan. Dalam “Memorandum of Understanding” (MoU) Box 1974 tertanggal 7 November 1974 yang ditambah dengan “Agreed Minutes” 1989 , Australia dan Indonesia sepakat untuk memberi izin kepada nelayan tradisional Indonesia yang telah turun-temurun melakukan penangkapan ikan di wilayah Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Island (semula dalam MoU Box 1974 juga meliputi Ashmore Reef dan Cartier Islet) yang secara legal berada di bawah otoritas Australia.

Akan tetapi, beberapa kali Australia menangkap nelayan Indonesia karena dipandang bukan merupakan nelayan tradisional. Dalam pemahaman pemerintah Australia, nelayan tradisional adalah nelayan penangkap ikan yang menggunakan kapal atau perahu tradisional, seperti perahu dayung atau kapal layar. Senyatanya, beberapa nelayan kecil Indonesia tersebut diperlengkapi dengan motor, beberapa bahkan dengan teknologi navigasi.

Persoalan di atas menunjukkan bahwa nelayan kecil Indonesia kurang memahami perjanjian 1974 di atas. Selain itu, nelayan juga kurang mendapat pendidikan terkait perjanjian internasional, kemampuan membaca peta, serta penamaan pulau yang berbeda.

Persoalan dengan kapal asing ilegal dan otoritas asing ini jelas menjadi tantangan lain bagi para nelayan Indonesia, sekaligus tantangan bagi upaya diplomasi luar negeri Indonesia di bidang kelautan dan perikanan. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Nelayan memancing gurita memanfaatkan pantai yang surut di kawasan Cikoneng, Anyer, Serang, Banten, Sabtu (4/4/2015). Dalam sehari rata-rata para nelayan mampu memperoleh puluhan gurita yang dijual mulai Rp 10.000 ke restoran korea di Jakarta atau ke pengujung yang tengah berwisata di kawasan Anyer.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Kemiskinan Nelayan Kronis * Akses untuk Perbaikan Kesejahteraan Masih Minim”, Kompas, 6 April 2015, hlm. 1 dan 15.
  • “Hari Nelayan: Membalas Budi kepada Laut”, Kompas, 3 Juli 2014, hlm. 22
  • “Alat Tangkap Perlu Diperbaiki * Ribuan Nelayan Berunjuk Rasa di Depan Istana Negara”, Kompas, 7 April 2016, hlm. 20.
  • “Hari Nelayan: Kesejahteraan Masih Jadi Tuntutan”, Kompas, 7 April 2017, hlm. 17.
  • “Hari Nelayan di Makassar”, Kompas, 4 April 1966, hlm. 2.
  • “Hari Nasional Nelayan”, Kompas, 7 April 1967, hlm. 4
  • “Syukuran Tradisionil Nelayan Pelabuhan Ratu”, Kompas, 10 April 1978, hlm. 8
  • “Hari Nelayan : Minapolitan dan Nasib Nelayan”, Kompas, 6 April 2010, hlm. 21.
  • “Hari Nelayan Indonesia: Kelola Kekayaan Laut”, Kompas, 7 April 2014, hlm. 17.
  • “Tajuk Rencana: Nasib Nelayan Kita”, Kompas, 6 April 2012, hlm. 6
  • “Hari Nelayan: Pemerintah Belum Berpihak”, Kompas, 6 April 2013, hlm. 19.
  • “Nelayan: Kemiskinan yang Senyap”, Kompas, 7 April 2015, hlm. 17.
  • “Tajuk Rencana: Janji kepada Nelayan”, Kompas, 8 April 2015, hlm. 6.
  • “Hari Nelayan: Mengulang Lagu Lama”, Kompas, 6 April 2017, hlm. 17.
  • “Hari Nelayan: Jalan Panjang Sejahtera”, Kompas, 6 April 2018, hlm. 17.
  • “Menyambut Hari Nelayan Nasional VII 6 April ’68: Income Nelayan Indonesia Paling Rendah”, Kompas, 3 April 1968, hlm. 1.
  • “Hari Nelayan: Nelayan Masih Didera Kemiskinan”, Kompas, 7 April 2012, hlm. 19.
Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  • UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  • UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
  • UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah