Paparan Topik | ASEAN

55 Tahun ASEAN: Menjaga Aktualitas dan Menjawab Tantangan

Pada 8 Agustus 2022, ASEAN memperingati Hari Jadi ke-55 sebagai organisasi di kawasan Asia Tenggara. Selama lebih dari setengah abad, ASEAN telah melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mencapai tujuan kolektif bagi kepentingan bersama.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Tarian yang melambangkan kebersamaan di antara negara-negara anggota ASEAN memeriahkan pembukaan KTT Ke-25 ASEAN, di Naypyidaw, Myanmar, Rabu (12/11/2014). Presiden Joko Widodo memanfaatkan forum KTT ASEAN untuk menggalang kerja sama maritim demi mewujudkan kemakmuran dan perdamaian di kawasan tersebut. Ia berharap laut tidak lagi menjadi sumber konflik di antara negara-negara ASEAN, tetapi menjadi alat pemersatu yang efektif. Kerja sama membangun konektivitas dan infrastruktur maritim pun harus menjadi fokus negara negara anggota ASEAN pada masa mendatang.

Fakta Singkat

  • ASEAN memasuki usia ke-55 pada 8 Agustus 2022.
  • Saat ini, ASEAN tengah dipimpin oleh Kamboja dengan tema “ASEAN Adressing Challenges Together”.
  • Tiga tantangan utama ASEAN pada 2022 adalah pemulihan pandemi, netralitas kawasan, dan konflik Myanmar.
  • ASEAN menetapkan tujuh tujuan dan enam prinsip dasar untuk mencapai kepentingan dan kebaikan bersama negara-negara anggota.
  • Mayoritas penduduk Asia Tenggara menganggap pandemi Covid-19 sebagai tantang kehidupan nomor satu.
  • Konflik Amerika Serikat-China berdampak pada hadirnya perebutan kekuasaan di kawasan Asia Tenggara.
  • Netralitas kawasan penting bagi ASEAN sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Bali pada 1976.
  • Negara-negara anggota ASEAN cenderung memandang kaku prinsip “non-interferensi” sehingga lambat dalam menanggapi konflik Myanmar.
  • Kudeta militer Myanmar mencederai prinsip ASEAN yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.

Kepemimpinan ASEAN dilakukan secara bergantian oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pergantiannya bergilir setiap tahun, Kamboja saat ini tengah menjadi pemimpin tahun 2022 setelah proses pergantian kepemimpinan dari Brunei Darussalam pada 28 Oktober 2021 lalu. Mengacu pada Piagam ASEAN, pergiliran tersebut didasarkan pada urutan abjad nama-nama negara anggotanya dalam bahasa Inggris.

Dalam periode kepemimpinannya tahun ini, Kamboja memilih tema besar “ASEAN Adressing Challenges Together”. Pemilihan tema ini pun tidak lepas dari konteks geopolitik dan relevansi situasi yang terjadi. Tema yang digagas Kamboja menaungi tiga masalah utama yang sedang dihadapi di Asia Tenggara, yakni pemulihan pandemi,  netralitas kawasan,  dan konflik Myanmar.

Ketiga tantangan ini menjadi pewarna pekat bagi pelaksanaan peringatan kehadiran 55 tahun ASEAN dalam relasi internasional. Dalam konteks demikian, Kamboja secara khusus dan negara-negara di ASEAN secara umum terus berusaha untuk menjaga aktualitas tujuan dan kehadiran organisasi ini.

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT

Para pemimpin yang tergabung dalam perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (Asean) bergandengan tangan bersama di Manila, Filipina, Sabtu (29/4/2017). Prosesi ini dilakukan usai penandatanganan Visi ASEAN 2025. Visi ini menitikberatkan pada layanan masyarakat agar kuat secara politik, terciptanya ekonomi inklusif, dan terbangunnya kepedulian sosial.

Peran ASEAN

ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967. Selama 55 tahun, ASEAN sebagai organisasi kawasan regional menaungi beragam aktivitas kerja sama regional negara-negara yang berada di Asia Tenggara.

Kehadiran dan fungsionalitas ASEAN ditetapkan dalam tujuh tujuan spesifik. Mengacu pada laman resmi ASEAN (asean.org), ketujuh tujuan tersebut, antara lain:

1) akselerasi pertumbuhan sosial, ekonomi, dan budaya

2) promotor kedamaian dan stabilitas kawasan

3) membangun kerja sama aktif dalam kepentingan bersama

4) menyediakan dukungan riset dan pelatihan berbagai bidang

5) kolaborasi dalam pertumbuhan industri, agrikultur, dan perdagangan

6) mendorong studi kawasan

7) memelihara kerja sama baik internasional maupun regional.

Ketujuh tujuan tersebut lantas diusahakan dalam fundamental principles atau “prinsip-prinsip mendasar”. Fundamental principles sendiri merupakan landasan bagi negara-negara anggota ASEAN mengenai bagaimana mereka berelasi dengan satu sama lainnya. Kehadiran fundamental principles disahkan melalui Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia atau disingkat TAC) pada 1976. Isi dari fundamental principles sendiri terdiri atas enam poin, antara lain:

  1. Sikap saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah, dan identitas nasional semua bangsa
  2. Hak setiap negara untuk memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi atau paksaan
  3. Tidak campur tangan dalam urusan internal satu sama lain
  4. Penyelesaian perbedaan atau perselisihan dengan cara damai
  5. Penolakan terhadap ancaman atau penggunaan kekerasan
  6. Kerja sama yang efektif di antara mereka sendiri.
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Penutupan sidang ASEAN di Flores Room, Hotel Borobudur, 9/05/1974, dihadiri oleh kepala perwakilan negara-negara sahabat. Dalam kesempatan itu, para peninjau dari Laos dan Khmer menyampaikan pernyataannya.

ASEAN di usia ke-55

Memasuki usianya yang ke-55, dinamika organisasi ASEAN mengalami beragam perkembangan. Berbagai perubahan dan penyesuaian dilakukan untuk menjaga relevansinya dengan situasi yang terus berubah. Selain itu, penyesuaian juga dilakukan untuk menjawab perubahan tuntutan dan kondisi kawasan.

ASEAN saat ini tengah dipimpin oleh Kamboja. Dalam pelaksanaan strukturalnya, kedudukan Sekretaris Jenderal ASEAN dipegang oleh Dato Paduka Lim Jock Hoi yang berasal dari Brunei Darussalam. Lim Jock Hoi telah memegang posisi tersebut sejak tahun 2006.

Selain Sekretaris Jenderal, turut dibentuk pula Sekretariat ASEAN yang berfungsi sebagai lembaga koordinator yang membantu dalam hal pengambilan keputusan, baik bagi antar anggota maupun bagi kebijakan luar kawasan.

Setiap negara anggota menunjuk seorang wakil tetap sebagai representasi negaranya dan untuk berhubungan dengan Sekretaris Jenderal ASEAN. Hingga saat ini, kantor pusat Sekretariat ASEAN masih terletak di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta. Kehadiran kantornya ini diresmikan pada tahun 1981.

Saat ini keanggotaan ASEAN tengah diisi oleh 10 negara dalam kawasan Asia Tenggara. Jumlah ini telah bertahan tanpa perubahan sejak tahun 1999. Perubahan terakhir pada tahun tersebut adalah penambahan anggota, yakni dengan masuknya Kamboja pada 20 April 1999. Kesepuluh negara tersebut adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Perubahan terhadap keanggotaan tersebut berpotensi terjadi pada usianya yang ke-55 saat ini. Hal demikian disebabkan oleh keinginan Timor Leste yang menargetkan negaranya masuk menjadi anggota ASEAN pada tahun 2022 ini. Sejumlah persiapan pun telah dilakukan oleh Timor Leste dengan bantuan Indonesia.

Menjadi anggota ASEAN, sebagaimana dipandang Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, mampu meningkatkan kapasitas negaranya dalam bidang ekonomi, teknologi, dan pengaruh di kawasan.

Meski begitu, hingga 2022, Timor Leste masih belum mampu memenuhi salah satu syarat menjadi anggota ASEAN, yakni keanggotaan yang disepakati seluruh negara anggota. Hingga saat ini, baru Filipina, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Kamboja yang telah menyatakan dukungan.

Sementara negara anggota lainnya masih berkeberatan karena pertimbangan pendapatan domestik bruto (PDB) Timor Leste yang nilainya kalah jauh dari anggota-anggota ASEAN lainnya. Timor Leste sendiri telah mengajukan keanggotaan ASEAN sejak tahun 2011 (Kompas, 21/07/2022, “Timor Leste Targetkan 2022 Bisa Masuk ASEAN”).

Dalam kepemimpinannya pada usia ASEAN yang ke-55 ini, Kamboja mengangkat tema “Addressing Challenges Together” (Menghadapi Tantangan Bersama). Tema tersebut utamanya untuk menggarisbawahi semangat “Kebersamaan” dalam tubuh ASEAN. Mengacu kembali pada laman Asean.org, karakter kebersamaan dinilai penting sebagai satu komunitas dalam upaya kolektif mengatasi dan mengatasi tantangan yang dihadapi dalam kawasan.

Kamboja ingin menekankan nilai “Kebersamaan” dalam berbagai pendekatan yang berorientasi pada gerak aksi aktif. Aksi ini sendiri didasarkan pada nilai-nilai keterbukaan, itikad baik, solidaritas, dan harmoni antar-anggotanya. Di bawah tema ini, Kamboja juga ingin mengusahakan komunitas ASEAN yang harmonis yang damai, stabil, dan sejahtera. Termasuk pula mengusahakan keterlibatan ASEAN dengan kawasan yang lebih luas dan menanggapi secara aktif dampak yang ditimbulkan oleh tantangan regional dan global.

Sebagaimana dituliskan dalam laman resminya, dampak-dampak yang harus ditanggapi, antara lain, pandemi COVID-19, perubahan iklim, persaingan antar-kekuatan besar, proteksionisme, sengketa wilayah, perang dagang dan persaingan teknologi, serta ancaman tradisional dan non-tradisional lainnya. Tantangan dalam poin tersebut tercermin pada tiga tantangan ASEAN, yakni pemulihan pandemi, netralitas kawasan, dan Konflik Myanmar.

Berdasarkan pencapaian kepemimpinan oleh Brunei Darussalam sebelumnya, Kamboja akan mengarahkan kolektivitas ASEAN pada proses pembangunan yang adil, kuat, dan inklusif. Tujuan tersebut merupakan pengejawantahan yang selaras dari semangat inti komunitas ASEAN, yakni “Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas”.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Presiden Joko Widodo (baju batik), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (ketujuh kiri), Sekretaris Jendral ASEAN Le Luong Minh (keenam kiri) serta perwakilan negara anggota ASEAN berfoto bersama dalam acara Peringatan Hari Jadi ASEAN Ke-50 di Kantor sekretariat ASEAN, Jakarta (11/8/2018).

Tantangan pemulihan pandemi

Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kondisi nasional. Dampaknya terhadap keseimbangan dan kesejahteraan kawasan Asia Tenggara pun turut secara kolektif dirasakan oleh negara-negara anggota ASEAN.

Salah satu dampak pandemi yang cukup terasa adalah dihentikannya rangkaian kunjungan diplomasi Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken ke negara-negara Asia Tenggara. Padahal, kunjugan Blinken penting dilakukan dalam upaya jalinan kerja sama kawasan maupun bilateral dengan Amerika (Kompas, 16/12/2021, “Covid-19 Hentikan Tur Blinken di ASEAN”).

Dilansir dari laporan survei ISEAS-Yusof Ishak Institute, pandemi juga telah memberikan pengaruh ancaman yang masif bagi penduduk di Asia Tenggara. Hasil dari survei yang terselenggara menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Asia Tenggara menilai tantangan hidup utama mereka adalah pandemi Covid-19. Sebanyak 75,4 persen responden penduduk Asia Tenggara menganggap ancaman kesehatan akibat pandemi Covid-19 sebagai tantangan hidup terbesar. Faktor-faktor seperti pengangguran dan resesi, perubahan iklim, dan ketegangan militer bahkan menempati posisi kesekian dari tantangan yang dirasakan akibat pandemi.

Kondisi demikian menunjukkan jika Covid-19 begitu memberikan dampak dalam negara-negara di Asia Tenggara. Saat Kamboja mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan ASEAN dari Brunei Darussalam, dunia mulai memasuki masa pascapandemi. Dalam memasuki masa tersebut, Kamboja meletakkan dimensi ekonomi sebagai poin utama dalam upaya pemulihan yang diperlukan.

Mengacu pada laman resmi kepemimpinan Kamboja 2022 (Asean2022.mfaic.gov.kh), hal demikian tampak pada pilar kedua kepemimpinannya di ASEAN selama tahun 2022. Penjabaran ini disampaikan oleh Hun Sen selaku Perdana Menteri Kamboja dalam penyerahan kepemimpinan ASEAN pada 28 Oktober 2021. Pilar kedua, yakni pilar ekonomi, akan menjadi sarana utama Kamboja dalam mendukung ASEAN menuju era normal baru dan pemulihan pascapandemi Covid-19.

Salah satu cara konkretnya adalah dengan meningkatkan perjanjian perdagangan antar negara anggota maupun dunia internasional. Selain itu, Hun Sen juga menyampaikan akan pentungnya menjaga ASEAN untuk tetap menarik sebagai pusat perdagangan dan investasi yang dinamis. Untuk itu, Hun Sen mengingatkan pentingnya penguatan kapasitas UMKM dan promosi kewirausahaan terhadap berbagai kalangan. Hal-hal tersebut diperlukan secara maksimal bagi percepatan pemulihan pertumbuhan ekonomi dalam era normal baru.

Terkait tantangan yang dihadapi oleh ASEAN, pada Oktober 2021 Presiden Joko Widodo mendorong pemulihan lewat aksesibilitas kawasan antar-anggota. Secara konkret, hal ini dapat diwujudkan melalui upaya menghidupkan perjalanan aman antarnegara ASEAN. Indonesia sendiri telah membuka wilayah Bali bagi kunjungan wisatawan dari 19 negara untuk guna mengawali program pariwisata yang aman. Kebijakan pembukaan diambil setelah vaksinasi di Bali mencapai 84,5 persen.

Keputusan demikian merupakan wujud optimisme Joko Widodo dengan angka kasus Covid-19 di antara negara-negara ASEAN yang terus turun bahkan mencapai level 14 persen. Penurunan tersebut jauh lebih baik dibandingkan rata-rata penurunan global yang hanya mencapai 1 persen. ”Dengan situasi Covid-19 yang semakin terkendali, pembatasan dapat dilonggarkan, mobilitas dapat dilonggarkan, sekaligus memastikan aman dari risiko pandemi. Jika semua negara ASEAN segera memfasilitasi mobilitas manusia secara aman, roda perekonomian segera berjalan kembali,” ujar Joko Widodo saat menjadi pembicara kunci dalam pertemuan ASEAN Business and Investment Summit (ABIS) pada Senin (25/10/2021).

Selain di sektor pembukaan pariwisata, Joko Widodo juga mendorong percepatan adaptasi kegiatan ekonomi kawasan Asia Tenggara menuju ekonomi digital. Menurutnya, teknologi digital telah terbukti menjadi solusi efektif dalam menyiasati keterbatasan pergerakan dan tatap muka dalam kegiatan ekonomi masyarakat selama puncak pandemi yang lalu.

Asia Tenggara sendiri menjadi kawasan dengan pertumbuhan internet tercepat di dunia. Kepemilikan potensi digital tersebut menjadi fondasi besar dan penting bagi ekonomi digital ASEAN. ”Selama pandemi, ekonomi digital tumbuh 100 miliar dollar AS tahun 2020. Hal ini menjadi batu lompatan kemajuan ekonomi di kawasan kita,” ujar Joko Widodo.

Di samping semua itu, sektor kesehatan juga harus menjadi prioritas dalam mengatasi masalah kesehatan pandemi. Target jangka pendek vaksinasi penduduk ASEAN sebanyak 70 persen harus dicapai secepatnya dan secara merata. Gencarnya program vaksinasi dapat secara masif menurunkan tingkat penularan Covid-19 di Asia Tenggara. Oleh karenanya, negara-negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand mulai melonggarkan kewajiban isolasi selama 7-14 hari. Persyaratan demikian diberlakukan secara spesifik bagi wisatawan dari negara-negara yang dinilai berisiko rendah atau aman (Kompas, 26/10/2021, “ASEAN Harus Curi Kesempatan”).

Meski begitu, dalam segala tantangan, kondisi, dan wacana solusi yang beredar, turut hadir pula prediksi ekonomi yang positif mengenai kondisi kawasan Asia Tenggara pada era normal baru pandemi. Mempertimbangkan berbagai aspek dan dukungan, negara-negara anggota ASEAN diperkirakan mampu mencatatkan tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi dunia. Tak hanya itu, angka pertumbuhan ekonominya juga lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia. Secara rata-rata, negara anggota ASEAN mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4-5 persen, dengan tingkat inflasi 3–4 persen.

Vietnam, misalnya, pada tahun 2022 ini diperkirakan mencapai pertumbuhan ekonomi 5,8 persen dengan tingkat inflasi 3 persen. Dengan prediksi seperti itu, catatan Vietnam menjadi yang terbaik. Berikutnya adalah Filipina dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6 persen dan inflasi 4,2 persen. Sementara Bank Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mampu mencapai 5,1 persen dengan tingkat inflasi mencapai 4,2 persen. Meski demikian, Thailand memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia (Kompas, 01/07/2022, “Stagflasi Dunia dan Presidensi G20 Indonesia”).

Bebas dari Kekuatan Asing

Pada 26 Februari 1976, negara-negara anggota ASEAN melakukan penandatangan Deklarasi Bali. Deklarasi kawasan ini menjadi cerminan dari keinginan negara-negara ASEAN untuk memiliki kawasan Asia Tenggara yang damai, bebas, dan netral. Tak hanya itu, deklarasi ini juga menuliskan dorongan terhadap negara-negara luar dan besar di luar kawasan Asia Tenggara untuk menghormati cita-cita tersebut (Kompas, 26/02/2020, “Arsip: Pangkalan Asing dan ASEAN”).

Kini, dalam usianya yang ke-55, cita-cita tersebut masih hadir dalam semangat kehadiran ASEAN. Walaupun demikian, sejumlah kondisi aktual menunjukkan ancaman bagi deklarasi yang ditandatangai 46 tahun lalu itu. Ancaman aktual tersebut hadir terutama sekali dalam wujud persaingan kekuatan dua negara besar saat ini, Amerika Serikat dan China.

Dalam dua tahun terakhir, kedua negara tersebut terus mencoba memperluas pengaruhnya. Konflik antara Amerika dan China menjadi kian memanas seiring dengan kunjungan Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi ke Taipei, Taiwan pada Selasa (02/08/2022) malam. Kunjugan Pelosi dimaknai China sebagai gangguan bagi kedaulatan daerahnya—di mana mereka memiliki prinsip “satu China” dan menganggap Taiwan sebagai daerahnya. Di sisi lain, Taiwan dan pemerintahan di dalamnya menolak bersatu dengan China.

Komite Urusan Luar Negeri Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC) menentang serta mengecam keras kunjungan Pelosi tersebut. CPPCC menilai bahwa kunjungan Pelosi telah melanggar norma dasar yang mengatur hubungan internasional. CPCC pun membuat pernyataan tertulis, “Kami menentang upaya dan tindakan yang bertujuan memecah China, menentang campur tangan kekuatan eksternal dalam reunifikasi damai China, dan tidak mengizinkan negara mana pun mencampuri masalah Taiwan” (Kompas, 04/08/2022, “Lawatan Pelosi Tidak Menguntungkan Kawasan”).

Konsekuensi dari kunjungan tersebut meningkatkan panasnya situasi geopolitik kawasan Asia. Meski Pelosi sudah pergi, China segera melaksanakan latihan perang dan operasi militer di sekitar kawasan Taiwan. Dalam beberapa hari berturut-turut, China telah masuk ke Selat Taiwan, daerah yang dipersengketakan. Pada Sabtu (06/08/2022), China telah menyimulasikan serangan ke Taiwan. Jet tempur, kapal perang, dan persawat nir awak telah melintasi daerah Selat Taiwan tersebut (Kompas, 07/08/2022, “Taipei: China Simulasikan Serangan ke Taiwan”).

Dalam kondisi demikian, Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan terdekat pun turut merasakan atmosfer panas tersebut. Dengan kedekatan secara spasial, Amerika dan China terus mendorong perolehan dukungan dan keberpihakan dari bebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara. Salah satu cara pemberian pengaruh ini adalah ekspansi luar negeri, terutama dalam hubungan bilateral dan ekonomi.

Kedua negara pun mengusahakan strategi masing-masing akan hal ini. Konferensi Tingkat Tinggi antara Amerika dan ASEAN menjadi salah satu cara Amerika untuk menarik dukungan. Pada Kamis (12/05/2022), Menteri Perdagangan Amerika Gina Raimondo melakukan pembahasan kerja sama ekonomi dengan para pemimpin ASEAN.

Sementara dari sisi China sendiri, Duta Besar untuk ASEAN Deng Xijun telah mengungkapkan pada November 2021 mengenai komitmen China untuk mengimpor produk-produk pertanian dari ASEAN senilai 150 juta dollar AS dalam lima tahun ke depan. Selain itu, China juga akan turut menggelontorkan bantuan 1,5 miliar dollar AS untuk tiga tahun ke depan dalam rangka pemulihan ekonomi pascapandemi. Jumlah ini belum termasuk bantuan kesehatan sebesar 15 juta dollar AS dan penambahan 150 juta dosis vaksin Covid-19 (Kompas, 21/01/2022, “Sepi Insentif, KTT ASEAN-AS Tertunda”).

Dalam kondisi-kondisi tersebut, negara-negara anggota ASEAN ditekankan untuk tetap menjaga netralitas kawasan dan organisasi. Hal demikian disampaikan oleh peneliti CSIS Jakarta, Andrew Mantong dalam diskusi daring yang dilaksanakan lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa (26/01/2021).

Andrew menekankan agar negara pemimpin ASEAN memastikan koordinasi antarnegara anggota untuk menjaga stabilitas keamanan. “Multilateralisme tetap bersandar pada nilai-nilai kebersamaan ASEAN, mempromosikan hubungan baik dengan negara-negara kuat dan beragam. Tidak dimonopoli oleh satu kekuatan semata,” kata Andrew (Kompas, 27/01/2021, “ASEAN Diharapkan Menjaga Netralitas”).

Dalam waktu pelaksanaan diskusi daring tersebut, kepemimpinan ASEAN masih dipegang oleh Brunei Darussalam. Kini, tanggung jawab tersebut dipegang oleh Kamboja. Tugas beratnya adalah memastikan bahwa kawasan Asia Tenggara sama sekali bukan arena konflik. Dengan mengacu pada Deklarasi Bali pada 1976, Kamboja perlu menjaga ASEAN dari usaha perebutan kekuasaan dan pengaruh pihak-pihak eksternal.

Infografik: Kerja sama ASEAN

Konflik Myanmar

Di tengah berbagai berbagai tantangan dan instabilitas yang dipicu faktor-faktor internasional maupun eksternal, terdapat pula persolan dalam kawasan Asia Tenggara sendiri, yakni konflik dalam Myanmar. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam memasuki usia ASEAN ke-55 tahun.

Sejak Februari 2021, Myanmar kembali terjebak dalam masa suram. Pihak angkatan militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi dengan menggunakan alasan pemilihan umum November 2020 lalu—yang dimenangi Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) pimpinan Suu Kyi—telah berlangsung secara curang. Hasil dari pemilihan itu sendiri, sebanyak 83 persen suara diperoleh Partai NLD. Padahal, berbagai pantauan asing menyebutkan bahwa pemilu tersebut berlangsung secara adil.

Saat ini, Suu Kyi dan para pejabat senior dalam pemerintahannya ditahan oleh junta militer. Tampuk pemerintahan pun diambil alih oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing selaku panglima militer sekaligus pemimpin kudeta. Para warga sipil yang geram dengan kudeta dan penindakan keras terhadap pengunjuk rasa oleh militer kemudian mengangkat senjata. Mereka membentuk pasukan perlawanan terhadap junta militer (Kompas, 02/02/2021, “Myanmar Kembali Memasuki Masa Suram”).

Hal demikian ditanggapi secara keras dan brutal oleh militer Myanmar sebagai penguasa. Rakyat yang melawan dianggap sebagai kelompok-kelompok terlarang dan mengecap mereka sebagai pengkhianat atau teroris, termasuk terhadap kelompok Pemerintah Persatuan Nasional yang berupaya melobi komunitas internasional dan mencegah junta memperkuat cengkeramannya. Ribuan orang telah dibunuh dalam masa suram ini.

Terjadinya kondisi politik sekaligus kemanusiaan demikian, berdampak pada citra baik organisasi ASEAN. Secara fundamental, aksi militer Myanmar telah mencederai kehadiran ASEAN dan nilai-nilai yang dianutnya, terutama lewat Piagam ASEAN. Dalam piagam tersebut, telah dengan tegas dinyatakan komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip demokrasi, hak asasi manusia, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Adalah sangat jelas bahwa pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer Myanmar adalah wujud pencederaan terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Hal ini yang kemudian ditegaskan dalam pernyataan sikap para pemimpin ASEAN segera setelah krisis politik Myanmar terjadi. Segera setelah kudeta tersebut terjadi, para pemimpin ASEAN menyerukan pentingnya stabilitas politik di negara anggota. Apalagi dalam tujuan mencapai komunitas kolektif yang damai, stabil, dan makmur. Oleh karenanya, para negara anggota mendorong upaya dialog, rekonsiliasi, dan kembali ke situasi normal sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar.

Brunei Darussalam, yang menjadi pemimpin ASEAN pada 2021 lalu, mengambil langkah cepat. Dikeluarkannya pernyataan yang menyebut keadaan di Myanmar berdampak pada keamanan, kesatuan, kredibilitas, dan sentralitas ASEAN. Oleh karenanya, ASEAN memberi waktu kepada Myanmar untuk menyelesaikan persoalan dalam negerinya.

Selain itu, Brunei Darussalam juga merumuskan empat poin pernyataan sikap (Chairman’s Statement) melalui Sekretariat ASEAN. Isi dari pernyataan sikap tersebut mengenai prinsip pakem di ASEAN, sehingga cenderung tidak eksplisit dan menekankan non-interferensi. Namun diakui, pernyataan Ketua ASEAN pada saat itu jauh lebih tegas dengan penekanan: “stabilitas politik di negara anggota ASEAN adalah penting untuk mencapai Komunitas ASEAN yang damai, stabil, dan makmur” (Kompas, 05/02/2021, “Kudeta Myanmar dan Sikap ASEAN”).

Salah satu cara lain yang telah dilakukan adalah kesepakatan para menteri luar negeri ASEAN untuk tidak mengungang Min Aung Hlaing dalam KTT ASEAN 2021. ”Upaya kita sebagai keluarga tidak mendapat respons yang baik dari militer Myanmar,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi. Sikap Retno turut didudkung sejawatnya di ASEAN pada 15 Oktober 2021 lalu. Selama persoalan di Myanmar belum selesai, tidak akan ada perwakilan politik Myanmar di pertemuan tingkat tinggi ASEAN. Namun, sebagai gantinya, ASEAN akan mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar.

Hingga kini, belum banyak keterlibatan yang dilakukan oleh ASEAN terhadap kasus Myanmar. Tindakan berupa pernyataan sikap pun cenderung dilakukan secara kurang tegas dari yang seharusnya dapat dilakukan. Pasif dan lambatnya keterlibatan ASEAN sendiri disebabkan oleh prinsip “non-interferensi” yang termaktub dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (TAC). Atas dasar prinsip ini, pihak ASEAN terjebak sendiri dalam konsep yang melarang keterlibatan negara anggota dalam politik dalam negeri negara lain—di mana sejumlah negara anggota menilai konflik Myanmar sebagai masalah politik internal.

Di sisi lain, prinsip “non-interferensi” tidak seharusnya dipandang secara kaku dalam konteks kemanusiaan. ASEAN sendiri harus bisa memastikan bahwa penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh negara anggotanya dapat terlaksana. Dalam latar belakang itulah, ASEAN sejatinya memiliki Komisi HAM Antar-pemerintah sendiri, yakni ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Namun, penerapan dari kehadiran prinsip HAM maupun lembaga ini sendiri belum maksimal, terutama dalam krisis di Myanmar.

Mengenai ini, Retno Marsudi menyampaikan, ”Kita harus bisa terus memantau perkembangan penegakan HAM di setiap negara anggota sekaligus belajar dari praktik baik satu sama lain”. Hal tersebut ia sampaikan dalam kunjungannya ke Kamboja pada Selasa (02/08/2022) (Kompas, 03/08/2022, “Instrumen HAM ASEAN Belum Maksimal”).

Pada akhirnya kasus Myanmar menjadi ujian bagi kehadiran dan marwah ASEAN. Dunia internasional memandang bagaimana organisasi kawasan ini dapat menanggapi dan bereaksi terhadap kondisi kemanusiaan di negara anggotanya. Perhatian dunia internasional tertuju pada langkah ASEAN, terutama terhadap dalam upaya organisasi memenuhi cita-cita stabilitas keamanan di Asia Tenggara. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Arsip: Pangkalan Asing dan ASEAN”. Kompas, 26 Februari 2022.
  • “ASEAN Diharapkan Menjaga Netralitas”. Kompas ,27 Januari 2021.
  • “ASEAN Harus Curi Kesempatan“. Kompas, 26 Oktober 2021.
  • “Myanmar Kembali Memasuki Masa Suram“. Kompas, 2 Februari 2021.
  • “Covid-19 Hentikan Tur Blinken di ASEAN“. Kompas, 16 Desember 2022.
  • “Instrumen HAM ASEAN Belum Maksimal“. Kompas, 3 Agustus 2022.
  •  “Lawatan Pelosi Tidak Menguntungkan Kawasan“. Kompas, 4 Agustus 2022.
  •  “Saatnya ASEAN Keras Pada Myanmar“. Kompas, 3 Agustus 2022.
  • “Sepi Insentif, KTT ASEAN-AS Tertunda“. Kompas, 21 Januari 2022.
  •  “Stagflasi Dunia dan Presidensi G20 Indonesia“. Kompas, 1 Juli 2022.
  •  “Timor Leste Targetkan 2022 Bisa Masuk ASEAN“. Kompas, 21 Juli 2022.
  • “ASEAN Para Games 2022 Bukti Keterbatasan Bukan Halangan”. Kompas.id., 6 Agustus 2022. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/olahraga/2022/08/06/asean-para-games-2022-bukti-keterbatasan-dan-kesulitan-bukan-halangan
Internet
  • Asean2022.mfaic.gov.kh: https://asean2022.mfaic.gov.kh/
  • Association of Southeast Asian Nations. Diambil kembali dari asean.org: https://asean.org/about-us