Paparan Topik | Hari Film Nasional

Industri Perfilman Indonesia: Sejarah, Kebijakan, dan Tantangan

Industri perfilman adalah salah satu subsektor industri kreatif Indonesia. Industri ini dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang surut. Pasca-pandemi Covid-19, tahun 2022, industri ini kembali bangkit seiring peningkatan produksi film dan antusiasme penonton.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pemain, tim produksi, dan produser film Penyalin Cahaya berfoto untuk media setelah meraih penghargaan film cerita panjang terbaik pada acara malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center di Jakarta, Rabu (10/11/2021) malam. Film Penyalin Cahaya menyaber 12 dari 17 kategori Piala Citra.

Fakta Singkat

Sejarah singkat

  • Film Indonesia pertama “Loetoeng Kasaroeng” (1926)
  • Tonggak awal industri film Indonesia tahun 1950
  • Masa puncak perfilman Indonesia periode 1970 hingga 1980-an
  • Penurunan drastis produksi film periode 1990–2012
  • Mulai 2006, industri perfilman mulai bangkit

Kebijakan/regulasi, antara lain:

  • Penetapan Presiden 1/1964
  • UU No.1 Pnps, Tahun 1964
  • UU 8/1992
  • UU 33/2009

Potret industri perfilman

  • Penonton bioskop 2019: 29,6 juta
  • Produksi film 2019: 138 film
  • Jumlah bioskop 2018: 343 bioskop
  • Jumlah layar 2018: 1.756 layar
  • Tenaga kerja: 491.800 tenaga kerja
  • Sumbangan industri film pada PDB 2015: 0,16 persen

Tantangan

  • Kualitas film
  • Sumber daya manusia
  • Persaingan dengan film asing
  • Disrupsi akibat perkembangan teknologi
  • Ekosistem bisnis

Setelah dua tahun sempat terpuruk akibat dihantam pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, industri perfilman di tanah air kembali menggeliat pada tahun 2022 ini. Bangkitnya industri film ini ditandai dengan meningkatnya produksi film dan banyaknya film yang berhasil meraih jutaan penonton di bioskop.

Sejak bioskop kembali dibuka, sederet film Indonesia berjaya di rumah sendiri. Sepanjang 2022, ada 10 film yang masing-masing ditonton lebih dari satu juta penonton, di antaranya film “KKN di Desa Penari”, “Pengabdi Setan 2”, hingga yang terbaru “Mencuri Raden Saleh”.

Sebelumnya, selama pandemi Covid-19, industri perfilman menjadi salah satu sektor bisnis yang cukup terdampak pandemi. Pukulan terhadap industri film dirasakan dari dua sisi sekaligus, yakni sisi produksi film dan sisi pertunjukan, khususnya di bioskop.

Pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah demi menghindari meluasnya Covid-19 membuat proses shooting terhambat. Akibatnya, banyak rumah produksi menunda proses produksi film mereka. Penayangan film pun bernasib sama akibat kebijakan pengurangan jam tayang hingga penutupan sementara bioskop.

Film-film yang telah siap ditayangkan juga terpaksa dijadwal ulang lantaran jaringan bioskop ditutup sementara. Penggemar film yang biasa datang ke bioskop terpaksa menonton film secara daring (OTT).

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Sutradara, produser, aktris, aktor, dan kru film Before, Now & Then (Nana) berfoto setelah mendapat lima Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2022 di Jakarta, Selasa (22/11/2022) malam. Film karya sutradara Kamila Andini itu menang di lima nominasi, yaitu Film Cerita Panjang Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, serta Penata Musik Terbaik.

Usai pandemi Covid-19 mulai mereda dan pembatasan sosial dilonggarkan, bioskop mulai dibuka kembali dan sejumlah film dirilis. Antusiasme masyarakat untuk kembali menonton bioskop pun mulai meningkat dan menjadi pemicu perputaran roda industri ini lebih cepat.

Pasang surut industri perfilman Indonesia tersebut tidak hanya terjadi ketika pandemi Covid-19 merebak di Indonesia. Sejarah mencatat industri perfilman nasional telah mengalami masa pasang surut sejak tahun 1950 yang diakui sebagai tonggak awal berdirinya industri film Indonesia. Ada banyak faktor yang mempengaruhi turun naiknya industri film tersebut.

Di satu sisi, perkembangan industri ini erat kaitannya dengan kebijakan dan regulasi yang diambil pemerintah. Di sisi lain, industri ini diharapkan dapat terus berkembang sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional semakin meningkat dan membuka lapangan kerja secara lebih meluas.

 KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Baliho film Indonesia terpasang di bagian luar gedung bioskop Mulia Agung Theater di Kawasan Senen, Jakarta, Senin (1/2/2016). Dunia perfilman dan teknologi yang berkembang pesat menjadi salah satu pertimbangan utama untuk segera adanya revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Sejarah singkat industri perfilman

Indonesia mulai mengenal film dan bioskop sejak abad ke-19, saat masih dijajah Pemerintahan Hindia Belanda. Film Indonesia pertama adalah film bisu “Loetoeng Kasaroeng” karya G. Kruger dan L. Heuveldorp yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Kendati dibuat oleh orang asing, film ini ditetapkan sebagai film cerita Indonesia pertama, karena menampilkan cerita asli Indonesia.

Industri perfilman Indonesia mulai tumbuh pada akhir tahun 1920-an saat secara ekonomi orang-orang Tionghoa (China) mengambilalih industri film di Indonesia. Pembuat film adalah pedagang nonpribumi bukan pekerja seni pribumi.

Di masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang mengambil alih NV Multi Film perusahaan film milik Pemerintah Hindia Belanda dan mengubahnya menjadi Jawa Eiga Kosha di bawah Sendenbu (Departeman Dalam Negeri). Badan ini bersifat sementara yang kemudian dibubarkan setelah membentuk Nippon Eigasha (Lembaga Produksi Film) yang dipimpin oleh S. Oya dan T. Ishimoto yang wakilnya merupakan orang Indonesia bernama RM. Soetarto.

Produksi film yang diperbolehkan di masa penjajahan Jepang ini hanyalah film propaganda yang mengagungkan kehebatan dan manfaat hadirnya Jepang. Semua film asing dilarang masuk ke Indonesia. Pemasungan ini kemudian terhenti seiring kemerdekaan Indonesia saat perfilman Indonesia mulai berkembang.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Gedung Perum PFN Perusahaan Film Negara di Jalan Otto Iskandardinata, Cawang, Jakarta Timur, menyambut hari jadinya yang ke-46 (6/10/1991).

Pada awal kemerdekaan, perusahaan Pasific Corporation milik Belanda diubah menjadi Pusat Perfilman Nasional (PFN) bersamaan hadirnya Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan Persatuan Pengusaha Bioskop Indonesia (PPBI), serta dimulainya Festival Film Indonesia (FFI).

Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), perfilman Indonesia diwarnai karya pekerja film yang sebagian besar dari tenaga terpelajar dan tergabung dalam organisasi seniman film. Film yang mencuat saat itu adalah “Darah dan Doa”, karya Usmar Ismail pada tahun 1950.

Pada tahun 1950 ini, tonggak awal berdirinya industri film Indonesia mulai diakui. Hari pertama pengambilan gambar pembuatan film “Darah dan Doa” diresmikan sebagai Hari Film Nasional oleh pemerintahan Orde Baru, yakni tanggal 30 Maret 1950.

Selama periode 1950-1959, tepatnya di bawah pemerintahan Negara Kesatuan RI, film difungsikan sebagai alat perjuangan bangsa untuk mengisi kemerdekaan. Pada saat itu, mulai ada pendidikan di luar negeri bagi orang film agar bisa bersaing dengan film asing yang masuk Indonesia. Organisasi profesi perfilman seperti Perfini, Persari (Persatuan Artis Film Indonesia), dan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) juga mulai muncul.

KOMPAS/CHRYS KELANA

Gedung bioskop baru, New Garden Hall, Blok M, Jakarta, diresmikan 21 Desember 1972.

Dalam tahun 1950-an, film impor juga mulai memasuki perfilman Indonesia. Pada tahun 1953, pasar film Indonesia mengalami kemunduran dengan adanya film-film impor yang menjadi saingan utama film Indonesia pada waktu itu.

Kendati waktu itu, ada aturan untuk setiap bioskop kelas I di Indonesia memutar sekurang-kurangnya satu judul film Indonesia sekali enam bulan, namun film Indonesia tetap belum mampu bersaing dengan film impor.

Pada periode 1959 hingga 1966, perfilman mulai dibahas dalam sidang-sidang MPRS melalui berbagai peraturan pemerintah. Film tak lagi dianggap semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan. Selain itu, film difungsikan sebagai alat revolusi yang vital bagi nation building dan character building sebagai alat membentuk serta mengembangkan kebudayaan nasional.

Di masa Orde Baru, mulai ada penataan struktur organisasi pemerintahan yang menangani perfilman, yang sebelumnya adalah Direktorat Perfilman menjadi Direktorat Perfilman Nasional.

Lembaga baru ini berfungsi untuk memberi bimbingan terhadap produksi, peredaran, pertunjukan, merencanakan pembuatan film berita, dokumenter, penyelenggaraan humas dan mengupayakan peningkatan pengetahuan serta kemampuan kalangan perfilman.

Dalam kurun waktu 1970-1980-an, perfilman Indonesia mengalami masa puncak jika dilihat dari jumlah produksi. Namun pada tahun 1990-an terjadi penurunan drastis produksi film, ketika film Indonesia tak berdaya menghadapi arus impor meski kuota sudah ditekan sedemikian rupa.

Kondisi tersebut ditandai dengan terus ditutupnya gedung-gedung bioskop dalam 10 tahun terakhir hampir di seluruh Indonesia dan hampir satu dekade tampak seperti dalam keadaan mati suri. Jumlah produksi film per tahun hanya berkisar 6 hingga 9 film.

Perkembangan berikutnya, setelah di tahun 2005, film disertakan sebagai salah satu subsektor industri kreatif Indonesia. Hal ini menunjukkan  bahwa  film  nasional  tidak  lagi  dianggap  hanya  sebagai  alat  politik  dan ekonomi, namun juga  sebagai budaya. Sejak itu, industri perfilman di tanah air terus berkembang hingga saat ini.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga menonton tayangan film di Indiskop yang berada di Pasar Jaya Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (23/10/2019). Indiskop hanya menayangkan film Indonesia dan menjadikan film nasional Indonesia tuan rumah di negara sendiri dengan harga tiket yang relatif terjangkau. Tiket seharga Rp15.000 (untuk hari biasa) dan Rp20.000 (pada akhir pekan). Selain teater juga terdapat ruang kreatif, lengkap dengan fasilitas untuk tempat kegiatan pelatihan dan pendidikan kaum muda.

Kebijakan dan regulasi perfilman

Kebijakan pemerintah berperan penting dalam pasang surutnya industri perfilman di tanah air. Adanya kebijakan – yang di Indonesia biasanya tertuang dalam bentuk regulasi – memberikan jaminan kepastian usaha bagi para pelaku bisnis film.

Regulasi awal dalam perfilman berasal dari Film Ordonantie No. 507 tahun 1940 yang merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Peraturan ini berisi tentang film, pertunjukan film, impor dan pengimpor yang tertuang dalam 11 bab dan 34 pasal yang dilengkapi dengan enam peraturan pemerintah sebagai pelengkap.

Aturan yang paling menyolok adalah tidak adanya satu pertunjukan film yang tanpa izin penguasa. Pelanggar pun dikenai hukuman 6 bulan dan denda 5000 gulden. Adapun syarat lolos pengujian, tidak berlawanan dengan kesusilaan baik bertentangan dengan kepentingan umum dan berpengaruh buruk pada segi lain.

Di zaman Orde Lama, muncul Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman. Dasar pertimbangan terbitnya Penetapan Presiden adalah bahwa perfilman  merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk “Nation Building” dan “Character Building” dalam rangka mencapai tujuan revolusi. Lalu pembinaan perfilman Indonesia dianggap masih diperlukan untuk mencapai tujuan revolusi guna membentuk masyarakat sosialis Indonesia.

Penetapan presiden yang terdiri dari enam bab dan 16 pasal salah satunya menetapkan penyerahan tugas dan tanggung jawab perfilman yang tadinya dilakukan oleh beberapa Departemen kepada Menteri Penerangan.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Dari kanan ke kiri, sineas Riri Riza dan Nia Dinata, artis Shanty, dan penyelenggara festival film Rois Amriradhiani (tidak terlihat dalam foto) hadir sebagai pemohon di hadapan Majelis Hakim Konstitusi pada sidang perkara pertama tentang pengujian UU No 8/1992 tentang Perfilman, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (9/1/2008).

Pada masa Orde Baru, aneka kebijakan juga dikeluarkan oleh pemerintah. Ketika Menteri Penerangan dijabat oleh BM Diah, diterbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan Nomor 34/SK/M/1968 tentang Dewan Produksi Film Nasional. SK ini untuk melaksanakan SK No. 71/SK/M/1967 tentang Pemanfaatan Film Impor untuk Kepentingan Produksi & Rehabilitasi Perfilman Nasional.

SK 71 ini meneruskan kebijakan yang menghimpun dana dari importir film. Lalu mulai pada awal 1968, importir yang mendatangkan film harus menyetor dana “saham” sebesar Rp250.000 per judul film kepada Dewan Produksi Film Nasional (DPFN).

Kemudian di masa Menteri Penerangan Boediardjo (1968), DPFN dibubarkan dan dibentuk Dewan Film Nasional (DFN) sebagai gantinya dengan SK No. 59/KEP/MENPEN/1969 pada 29 Juli 1969. DFN adalah lembaga dalam lingkungan Departemen Penerangan dan bertugas sebagai penasehat menteri.

Pada 1975, terbit SK Menpen Nomor 55B/KEP/MENPEN/1975 tentang Tugas, Fungsi, dan Susunan Dirjen RTV. Beberapa fungsi dari RTV antara lain merumuskan kebijaksanaan teknis operasionil tugas-tugas penerangan melalui sarana radio, televisi, dan film. Selain itu, bertugas pula untuk memberikan bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri dan undang-undang.

Pada masa Menteri Penerangan Mashuri (1975-1978), spesialisasi organisasi profesi mulai ditata. Hal ini dilakukan dengan menerbitkan SK Menteri Nomor 144A/Kep/Men/1976 tentang Spesialisasi Profesi Organisasi-Organisasi Perfilman di Indonesia. Organisasi-organisasi terebut adalah PPFI,  PARFI, KFT, GPBSI, GASFI, dan GASI. Kemudian ini dikukuhkan melalui SK Nomor 114B/KEP/MENPEN/1976.

Terbit pula SK Menpen No. 31/KEPMENPEN/1977 dalam rangka pembentukan Lembaga Pengembangan Perfilman Nasional (LEPFINAS) pada 10 Februari 1977. Lembaga ini dimaksudkan sebagai pemikir, perumus pola pengembangan perfilman.

Pada masa Ali Moertopo (1978-1983), LEPFINAS dibubarkan, dan dibentuk Dewan Film Nasional (DFN) dengan  SK Menteri Nomor 115/KEP/MENPEN/1979 tanggal 17 Juli 1979. Salah satu kebijakannya adalah menghapus “Wajib Produksi”, tapi “Sertifikat Produksi” dihidupkan kembali. DFN baru ini merupakan pendamping menteri penerangan dalam membina pertumbuhan dan pengembangan perfilman nasional.

Selanjutnya, pada tahun 1992, terbit UU 8/1992 tentang Perfilman yang ditetapkan pada tanggal 30 Maret 1992. UU ini dibuat untuk menggantikan regulasi tentang film yang dipakai Indonesia, sejak masa kolonial Belanda dan UU No.1 Pnps, Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Suasana uji publik penyempurnaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang perfilman di Jakarta, Rabu (29/6/2016). Uji publik tersebut dihadiri antara lain oleh produser film, pengusaha bioskop, artis, dan perusahaan film, dan insan perfilman lainnya.

Terakhir di masa Reformasi, terbit UU 33/2009 tentang Perfilman yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Oktober 2009. Undang-undang ini menggantikan UU 8/1992 tentang Perfilman.

Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional.

Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa film mempunyai enam fungsi, yakni fungsi budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, dan ekonomi.

Aturan lainnya adalah terbitnya Perpres 39/2014 tentang tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini, beberapa jenis usaha perfilman diharuskan 100 persen modal dalam negeri.

Misalnya, bidang usaha pembuatan film, pertunjukan film, pengedaran film, sarana penyuntingan film, dan sarana pemberian teks film. Sementara untuk studio pengambilan gambar film, laboratorium film, sarana pengisian suara (dubbing), dan sarana penggandaan film, dapat dimiliki oleh asing maksimal 49 persen.

Namun, dalam Perpres 44/ 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, masalah pembatasan investasi di bidang perfilman sebagian besar “hilang” dari daftar. Artinya, sebagian besar bidang usaha dan jenis usaha perfilman itu kini terbuka seratus persen bagi modal asing.

Potret industri perfilman nasional

Perkembangan industri film setidaknya bisa dilihat dari jumlah penonton, pertumbuhan bioskop, produksi film, tenaga kerja yang terserap hingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Sejak 2013, industri film bioskop memperlihatkan peningkatan jumlah penonton di atas 8 juta-9 juta orang. Puncaknya terjadi pada tahun 2016 ketika jumlah penonton menembus 30 juta orang. Setelah itu, jumlah penonton berkisar 28 juta-29 juta orang. Pada 2019 atau setahun sebelum pandemi, jumlah penonton film Indonesia tercatat 29,6 juta orang.

Penambahan jumlah penonton juga diikuti dengan meningkatnya produksi film Indonesia sejak 2012. Saat itu, jumlah film yang diproduksi tercatat 90 buah. Setelah itu, produksi film Indonesia selalu menembus angka 100 lebih. Puncaknya terjadi pada 2018, yakni 140 film. Pada 2019, produksi film hanya turun dua poin ke angka 138.

Peningkatan jumlah penonton tersebut tak lepas pula dari meningkatnya bioskop dan layar. Dari 145 bioskop dan 609 layar pada tahun 2012 meningkat menjadi 263 bioskop dan 1.412 layar pada tahun 2016. Selanjutnya, tahun 2018 meningkat menjadi 343 bioskop dan 1.756 layar.

Bioskop juga telah tersebar di 32 privinsi kecuali Provinsi DI Aceh dan Kalimantan Utara. Dilihat dari persebaranya hingga Desember 2018, 80 persen bioskop masih terpusat di ibu kota provinsi dan sisanya 20 persen berada di kabupaten. Persebaran bioskop di ibu kota provinsi mayoritas berada di Pulau Jawa, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, dan DI Yogyakarta.

Namun semua pencapaian itu langsung melorot begitu pandemi terjadi pada Maret 2020. Jumlah film yang diproduksi tinggal 60 buah dan penonton film di bioskop tinggal 12 jutaan. Angka ini turun lagi hingga tersisa 1,37 juta penonton pada 2021.

Pada tahun 2022 ini, jumlah penonton di bioskop diperkirakan kembali meningkat seiring dibukanya bioskop. Menurut situs filmindonesia, beberapa film meraih jutaan penonton, seperti film “KKN Desa Penari” yang telah ditonton oleh 9,2 juta orang, Pengabdi Setan 2: Communion 6,39 juta penonton, dan “Miracle in Cell No 7” sebanyak  5,85 juta penonton.

Di sisi tenaga kerja, menurut sebuah studi yang dilakukan lembaga konsultan dan penelitian Oxford Economics tahun 2010, industri perfilman menciptakan lapangan kerja secara nasional sebesar 0,45 persen atau sebanyak 491.800 tenaga kerja.

Tenaga kerja itu mulai dari produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera, penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, hingga aktor-aktris. Sedangkan tenaga kerja tidak langsung seperti catering, kru film, kendaraan film, hingga pekerja bioskop yang jumlahnya mencapai ratusan ribu.

Adapun sumbangan industri film pada Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2015 menurut data Kementerian Keuangan sebesar 0,16 persen dari total PDB. Sektor perfilman menjadi penyumbang PDB terbesar ke tiga dalam industri kreatif setelah fashion dan kuliner.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hari Pertama Pemutaran Film AADC 2. Warga antre membeli tiket film Ada Apa Dengan Cinta 2 pada hari pertama pemutaran film tersebut di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Kamis (28/4/2016). Film yang juga diputar di Malaysia dan Brunei Darussalam tersebut mendapat tanggapan positif oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

Tantangan industri perfilman nasional

Kendati industri perfilman Indonesia tumbuh positif di tengah banyaknya film Barat yang ditayangkan di bioskop, di sisi lain, industri film sebagai bagian dari ekonomi kreatif masih menghadapi berbagai tantangan.

Dihimpun dari sejumlah pengamat film, salah satu tantangan tersebut adalah meningkatkan kualitas film nasional agar mempunyai daya saing. Selain itu, tantangan lainnya adalah sumber daya manusia yang mampu mendukung dan memperkuat ekosistem kreatif di tanah air.

Ketidakseimbangan antara ketersediaan pekerja film profesional dengan kebutuhan industri film. Menurut Bekraf, sejak tahun 2013 industri film Indonesia memproduksi rata-rata 110-130 film per-tahun. Jumlah itu tidak sebanding dengan ketersediaan pekerja film profesional yang menurut catatan Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) hanya mencapai 7 ribu orang.

Ketimpangan ini menyebabkan kualitas produksi film Indonesia kurang maksimal, terlebih dibanding film asing. Kondisi ini merupakan dampak dari terbatasnya lembaga pendidikan di bidang perfilman. Selama ini, perfilman cenderung dianggap sebagai bidang yang tidak menjanjikan masa depan. Walhasil, peminat jurusan tersebut cenderung minim dan berakibat pada terbatasnya jumlah pekerja film profesional.

Terkait pasar, film Indonesia juga dihadapkan pada persaingan ketat berebut penonton dengan film asing, terutama film-film blockbuster asal Hollywood. Sudah menjadi kelaziman ketika pengusaha jaringan bioskop cenderung mengistimewakan film asing, apalagi blockbuster, yakni dengan memberi jatah layar lebih banyak dan masa tayang lebih lama ketimbang film lokal.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Deretan film Indonesia yang disiarkan melalui layanan streaming Netflix (13/11/2021). Keberadaan layanan over the top atau OTT melalui streaming internet ini menjjadi pilihan para sineas di tanah air untuk memperkenalkan karyanya ke penonton yang lebih luas di berbagai belahan dunia.

Tantangan berikutnya adalah industri film Indonesia mau tidak mau juga harus berhadapan dengan disrupsi akibat perkembangan teknologi. Kemunculan berbagai platform aplikasi penayangan film streaming berbayar (OTT) seperti Netflix, Hooq, Iflix dan Primeo Video telah mengubah perilaku penonton. Kini, orang bisa menonton film dari komputer pribadi bahkan telepon pintarnya hanya dengan berlangganan aplikasi tersebut, tanpa harus ke bioskop.

Kondisi ini sebenarnya menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, kemunculan media baru ini membuka kemungkinan film didistribusikan lebih luas dan menjangkau penonton lebih banyak. Di sisi lain, kemunculan media baru tersebut juga menjadi salah satu faktor yang tergerusnya jumlah penonton film di bioskop.

Dalam ranah industri 4.0, para pelaku industri film juga dituntut untuk menguasai teknologi sehingga mampu menghasilkan komoditas dan mampu memperkuat ekosistem bisnis yang kondusif. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Film: Prospek Industri Perfilman Cerah”, Kompas, 01 Juli 2016, hlm. 12
  • “Kebangkitan Film Indonesia”, Kompas, 01 Februari 2020, hlm. 06
  • “Industri Perfilman: Kreatif dan Adaptif di Tengah Pandemi”, Kompas, 04 April 2020, hlm. 10
  • “Industri Perfilman: Terbentur-bentur, Lalu Terbentuk”, Kompas, 14 Juni 2020, hlm. 01, 15
  • “Menatap Masa Depan Film Indonesia Di Ruang Digital”, Kompas, 30 Maret 2021, hlm. A
  • “Ekonomi Kreatif: Tahan Hadapi Krisis, Industri Film Prospektif”, Kompas, 06 Oktober 2022, hlm. 11
  • “Riset: Antusiasme Penonton Film Indonesia Melampaui Penonton Film Hollywood * Analisis Litbang Kompas”, Kompas, 21 Oktober 2022, hlm. A
  • “Industri Film, Tekor atau Mencatat Rekor? * Edisi Khusus Proyeksi 2023”, Kompas, 03 Desember 2022, hlm. 23
Aturan
  • UU 23/1951 tentang Penyerahan Urusan Penilikan Pilem kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
  • UU 8/1992 tentang Perfilman
  • UU 33/2009 tentang Perfilman
  • PP 7/1994 Tentang Lembaga Sensor Film (LSF)
  • Penetapan Presiden 1/1964
  • Perpres 39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
  • Perpres 44/2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
  • Keppres 32/2014 tentang Pengukuhan Badan Perfilman Indonesia
  • Permendikbud 30/2019 tentang Pengutamaan Film Indonesia dan Pengutamaan Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri
Internet