Paparan Topik | Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Aktualitasnya

Perguruan tinggi menjadi salah satu sarana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kehadirannya telah mewarnai dinamika dan sejarah pendidikan di Indonesia, serta melahirkan sumber daya manusia terdidik di negeri ini. Perguruan tinggi terus dikembangkan untuk mencapai fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Ribuan peserta mengikuti pelaksanaan ujian Seleksi Bersamal Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Universitas Negeri Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (31/5/2016). Dalam kesempatan itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI, Mohamad Nasir kembali menegaskan tidak akan mentolerir dan menindak tegas pelaku praktek perjokian.

Fakta Singkat

  • Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi Indonesia terus meningkat tiap tahunnya, di mana pada 2021 mencapai 30,28 persen.
  • Kehadiran perguruan tinggi di Indonesia diatur oleh Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012.
  • Perguruan tinggi dalam konteks kuno telah terdapat di Indonesia sejak abad ketujuh Masehi di Kerajaan Sriwijaya.
  • Corak utama dari perguruan tinggi Indonesia adalah nilai “kerakyatan”-nya, sebagai perwujudan perjuangan kemerdekaan.
  • Di Indonesia terdapat 2.990 (93,98 persen) perguruan tinggi swasta, dan 125 (4,01 persen) unit perguruan tinggi negeri.
  • Beberapa cara peningkatan pendidikan tinggi adalah Program Kampus Merdeka, penerbitan Kartu Indonesia Pintar-Kuliah, dan peningkatan kegiatan riset akademik.

Hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2022 telah diumumkan pada 29 Maret 2022. Begitu pula dengan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2022 yang gelombang terakhirnya usai pada 3 Juni 2022.

Meski demikian, kesempatan untuk berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diminati masih tersedia. Seusai seleksi serentak secara nasional tersebut, masih akan tersedia kesempatan melalui jalur-jalur mandiri yang disediakan oleh masing-masing PTN.

Setiap tahunnya, PTN menarik ratusan ribu pelajar dan calon mahasiswa Indonesia yang berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Pada tahun 2022, peserta jalur masuk SBMPTN saja mencapai jumlah 800.852 peserta. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 24 persen pendaftar yang diterima, atau sebanyak 192.810 orang. Jumlah tersebut tersebar di 125 PTN di seluruh Indonesia (Kompas.id, 23/06/2022, “Ketahuan Curang, 200 Peserta SBMPTN Didiskualifikasi”).

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi di Indonesia terus meningkat sejak 2019. APK perguruan tinggi sendiri mengindikasikan rasio masyarakat Indonesia yang tengah mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Secara berturut-turut, tingkat APK perguruan tinggi Indonesia dari 2019 sampai dengan 2021 adalah 30,28 persen, 30,85 persen, dan 31,19 persen. Hal ini menunjukkan tren positif persentuhan masyarakat Indonesia dengan pendidikan dan penempaan kualitas diri.

Meski begitu, angka APK tersebut masih termasuk rendah. Apalagi bila disandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (hampir 50 persen) dan Singapura (78 persen). Padahal, Indonesia akan segera menyambut bonus demografi pada 2030 dan momen Indonesia Emas 2045. Oleh karenanya, dibutuhkan perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) secara masif dan terstruktur, dengan pendidikan tinggi menjadi salah satu sarana utamanya.

Baca juga: Menyelamatkan Mimpi Berkuliah Anak-anak Muda

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Peserta seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) menyelesaikan soal ujian di Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (12/6/2012). Ribuan peserta tersebut harus bersaing untuk dapat masuk ke sejumlah perguruan tinggi negeri.

Kehadiran Perguruan Tinggi di Indonesia

Dalam leksikon kebahasaan Indonesia, perguruan tinggi atau universitas didefinisikan sebagai penyelenggara pendidikan ilmiah dan/atau profesional yang terdiri atas sejumlah fakultas. Secara lebih spesifik, fakultas sendiri dipahami sebagai “bagian perguruan tinggi tempat mempelajari suatu bidang ilmu yang terdiri atas beberapa jurusan”. Kehadiran kumpulan fakultas menjadi fondasi berdirinya sebuah universitas.

Selain itu, definisi pendidikan tinggi juga dimaktubkan secara legal-formal melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012. Pada Pasal 1, dituliskan definisinya sebagai “jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia”.

Kehadiran produk hukum tersebut, menjadi regulator dari kehadiran perguruan tinggi di Indonesia secara umum. Tidak hanya pada elemen definisi, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi turut menetapkan arah kehadiran perguruan tinggi di Indonesia. Pada Pasal 2 ditetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi haruslah didasarkan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, kehadiran perguruan tinggi juga turut ditetapkan dalam koridor fungsi-fungsinya. Pada Pasal 4 dituliskan bahwa fungsi dari perguruan tinggi antara lain: 1) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; 2) mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan 3) mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.

Terkait tujuan perguruan tinggi, setidaknya ditetapkan ke dalam empat poin melalui Pasal 5. Pendidikan tinggi ditujukan bagi pengembangan potensi mahasiswa, melahirkan lulusan yang ahli untuk daya saing nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lewat aktivitas penelitian, dan terwujudnya pengabdian maupun kebermanfaatan pada masyarakat.

Penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia terdiri atas dua pihak. Yang  pertama adalah Perguruan Tinggi Negeri atau PTN, dan yang kedua adalah Perguruan Tinggi Swasta atau PTS. Mengacu pada Pasal 1 UU Nomor 12 Tahun 2012, perbedaan keduanya terletak pada pengelolanya. PTN didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah, kehadiran PTS didirikan dan/atau diselenggarakan oleh swasta atau masyarakat.

Seleksi masuk mahasiswa baru PTN dilakukan oleh pemerintah. Secara resmi, ada tiga jalur masuk PTN, yaitu jalur undangan berdasarkan prestasi akademik atau SNMPTN, jalur seleksi nasional SBMPTN, dan seleksi mandiri. Jalur yang disebutkan terakhir disesuaikan pada kebijakan masing-masing universitas, sehingga tes seleksi dan biaya pendaftarannya pun dapat berbeda.

Sementara seleksi mahasiswa baru perguruan tinggi swasta, dilakukan oleh perguruan tinggi swasta terkait.

Baca juga: Meski Mahal, Kuliah Tetap Jadi Pilihan

Selain universitas, sebagaimana bentuk perguruan tinggi yang diketahui pada umumnya, turut terdapat pula bentuk lain dari perguruan tinggi. Bentuk-bentuk lain tersebut, antara lain, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi. Kehadiran masing-masingnya juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012.

Bentuk perguruan tinggi institut sangat menyerupai universitas. Perbedaan besar terletak pada ketersediaan rumpun ilmu pengetahuan yang terbatas di institut, sementara rumpun yang begitu beranekaragam dapat ditemukan di universitas. Contohnya adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) yang fokus menyediakan pendidikan pada rumpun sains dan teknologi. Di IPB, terdapat Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Kedokteran Hewan. Tidak terdapat fakultas ilmu sosial selain Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Perbedaan pada dimensi rumpun demikian dapat ditemukan pada bentuk sekolah tinggi. Berbeda dengan institut dan universitas, hanya terdapat satu rumpun studi di sekolah tinggi. Contohnya adalah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN), Yogyakarta. Rumpun ajar yang tersedia hanya pada bidang Ekonomi dan Akuntansi dengan pilihan tiga jurusan.

Selain itu, masih terdapat bentuk politeknik dan akademi. Kedua bentuk perguruan tinggi ini sama-sama bertujuan untuk menciptakan lulusan yang siap bekerja, sehingga ilmu yang diajarkan lebih bersifat praktikal atau keterampilan. Keduanya pun sama-sama menyediakan jenjang pendidikan vokasi (dari diploma satu hingga diploma empat). Perbedaan terletak pada jumlah rumpun ajarnya, sementara politeknik menyelenggarakan pendidikan terapa dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi, akademik hanya menyelenggarakan dalam satu atau beberapa rumpun.

Baca juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Berbeda dengan para mahasiswa baru yang diterima melalui jalur non-tes, luapan perasaan bisa lebih jelas terlihat pada para peserta UMPTN. Akan tetapi tidak mudah untuk melihat perasaan sedih atau kecewa pada seseorang ketika UMPTN diumumkan, karena banyak peserta juga terlihat gembira meskipun tahu dirinya gagal di UMPTN. Bagi yang lulus, luapan perasaan itu pun tidak selalu bisa terlihat, karena banyak juga yang memendamnya sendiri.
(Kompas, 17/6/1995).

Sejarah Perguruan Tinggi di Indonesia

Eurosentrisme dalam dunia pendidikan internasional kerap meletakkan kiblat pendidikan pada negara-negara Barat. Alhasil, catatan historis seperti perguruan tinggi Indonesia yang mencatatkan usia nan sepuh kerap luput dari peredaran narasi arus utama. Tidak hanya catatan tersebut luput dari peredaran narasi, namun juga dari ingatan maupun pengetahuan masyarakat Indonesia sendiri. Padahal, catatan historis menunjukkan bahwa telah sejak seribu tahun yang lalu telah berdiri perguruan tinggi di tanah Indonesia (atau Nusantara pada masa itu).

Kompas (19/06/2010, “Universitas Kita”) mencatat bahwa sejatinya, apabila tidak mengacu pada sebatas pemaknaan modern mengenai pendidikan tinggi, telah berdiri sebuah pendidikan tinggi kuno di Nusantara sejak abad ketujuh. Kehadirannya berada dalam konteks kerajaan Sriwijaya. Kejelasan historisnya sendiri begitu misterius hingga diungkapkan oleh sejarawan George Coedes dalam Le royaume de Crivijaya pada 1919. Sejak itu, usaha pengungkapan sejarah Sriwijaya dan perguruan tingginya turut dilakukan oleh banyak ahli dengan segala keterbatasan sumber.

Salah satu sumber yang menguatkan penemuan historis tersebut berasal dari catatan kuno China yang merupakan memoar I-Tsing. Dalam catatan yang banyak memuat informasi mengenai Kerajaan Sriwijaya tersebut disebutkan bahwa hadirnya pendidikan tinggi Buddha yang terpusat di Palembang. Dari catatan ini diperoleh informasi bahwa kehadiran perguruan tinggi kuno Sriwijaya tersebut mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan. Pada masa itu, agama Buddha menjadi perwujudan salah satu agama modern yang banyak tersebar di Nusantara.

Tidak hanya itu, perguruan tinggi ini ternyata turut memainkan peran sebagai salah satu pusat penting pendidikan agama Buddha di kawasan Asia Tenggara. Peran pentingnya ini bertahan hingga abad ke-10. Dalam rentang waktu tersebut, mayoritas pendeta dari negara China yang berada dalam perjalanan laut antara ke India, akan singgah di Sriwijaya untuk belajar di sejumlah lembaga pendidikan tinggi. Kesempatan ini mereka gunakan untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyiapkan keilmuan untuk studi lanjutan di Universitas Nalanda, India.

Mengenai hal tersebut, I-Tsing mencatat sejarah spesifik bahwa terdapat ribuan pendeta yang terlibat dalam pengkajian agama dan perbuatan baik di dalam kota Kerajaan Sriwijaya. Dalam perguruan tinggi tersebut, para pendeta memperoleh ilmu yang sama dengan yang ada di India. Lebih jauh, memoar I-Tsing bahkan menunjukkan bahwa meski telah belajar di Nalanda selama 10 tahun, ia akhirnya memilih kembali ke Palembang untuk menuntaskan penuh pendidikannya sebelum langsung kembali ke China.

Narasi-narasi historis yang tampak demikian menunjukkan sebuah poin penting mengenai pendidikan tinggi kuno di Indonesia – bahwa Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Sriwijaya, telah memiliki kualitas pendidikan tinggi yang baik dan diakui internasional. Kualitas ini tidak hanya ditunjukkan lewat banyaknya pelajar yang memilih datang ke Sriwijaya. Lebih daripada itu, turut perlu diketahui bahwa agama Buddha sendiri sejatinya datang lebih dahulu ke negeri China. Meski begitu, Indonesia pada masa itu justru telah memiliki basis pendidikan tinggi yang lebih menjadi acuan utama.

Baca juga: Pengembalian Biaya Kuliah Keguruan Tercepat, Kedokteran Terlama

Pada tahun 1851, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan yang kemudian diresmikan dengan nama Dokter-Djawa School. Sekolah tinggi ini berdiri secara khusus dalam rumpun ilmu kedokteran dengan tujuan menciptakan tenaga mantri. Pada tahun 1898, nama dan fungsi sekolah tinggi ini berubah menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen atau dikenal sebagai STOVIA untuk pendidikan dokter. Kehadiran STOVIA bertahan selama 75 tahun sebagai perguruan tinggi calon dokter terbaik di Indonesia, hingga akhirnya ditutup pada 1927.

Tidak hanya STOVIA, awal abad 20 juga menyaksikan pendirian sejumlah perguruan tinggi lainnya. Pada masa tersebut, kehadiran masing-masingnya masih parsial dengan berfokus pada satu rumpun spesifik. Di bidang hukum terdapat Opleidingsschool Voor de Inlandsche Rechtskundingen pada 1909 dan Recht Hoogeschool pada 1924. Di bidang kedokteran, selain STOVIA turut terdapat Nederlandsch-Indische Artsenscholl pada 1913. Selain itu, di bidang teknik terdapat Technische Hoogeschool te Bandoeng pada 1924 dan di bidang sastra dan kefilsafatan terdapat Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte.

Pada perkembangannya, sejumlah perguruan tinggi yang berbeda rumpun dan lokasi tersebut dijadikan satu lembaga dalam Nood-universiteit atau Universitas Darurat pada 1946. Setahun kemudian, namanya berganti menjadi Universiteit van Indonesië dengan pusat di Jakarta. Setelah memperoleh pengakuan kemerdekaan, fakultas-fakultas yang berada di luar Jakarta kemudian berdiri sebagai perguruan tinggi sendiri. Sementara yang berada di Jakarta lanjut berada dalam naungan Universiteit van Indonesië.

Sebelumnya, pada 8 Juli 1945, didirikan Universitas Islam Indonesia (UII) dengan nama awalnya Sekolah Tinggi Islam (STI). Perguruan tinggi ini didirikan oleh tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, KH. Abdulkahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Mas Mansyur, dan Mohammad Natsir di Jakarta. Kini, UII menjadi perguruan tinggi swasta yang pertama dan paling tua di Indonesia.

Sementara itu, pada 1949 berdirilah Universitas Gadjah Mada dari perjuangan bangsa Indonesia. Lewat Peraturan Pemerintah No. 23 tentang Peraturan Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universiteit, pemerintah Indonesia menggabungkan beberapa sekolah tinggi yang telah lebih dulu didirikan oleh tangan-tangan perjuangan. Sekolah tinggi tersebut, antara lain, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, dan Akademi Ilmu Politik yang terletak di Yogyakarta, Balai Pendidikan Ahli Hukum di Solo, serta Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Praklinis di Klaten. Selanjutnya, pada tahun yang sama berdiri pula Universitas Nasional.

Pada tahun 1950, nama Universiteit van Indonesië mengalami perubahan menjadi Universitas Indonesia. Kegiatan akademiknya resmi dimulai pada 2 Februari 1950. Dengan mengacu pada waktu pendiriannya sejak STOVIA pada 1851, maka Universitas Indonesia menjadi salah satu pendidikan tinggi pertama di Indonesia yang merupakan warisan kekuasaan Belanda.

Dari alur periodisasi tersebut, tampak bahwa pada umumnya, kelahiran perguruan-perguruan tinggi di Indonesia begitu lekat dengan penderitaan dan perjuangan rakyat – utamanya dalam perjuangan sosial-politik. Kehadirannya menjadi wujud perjuangan rakyat dan simbol kerinduan atas pengetahuan dan inklusivitas pendidikan. Corak demikian begitu berbeda dengan banyak perguruan tinggi Eropa yang cenderung elitis berasal dari pemberian penguasa. Oleh karena catatan tersebut, perguruan tinggi Indonesia sepatutnya mengemban tanggung jawab historis untuk turut menyejahterakan rakyat, berada di tengah rakyat, dan terlibat aktif dalam dinamika di akar rumput.

Namun, kenyataan yang terjadi justru kerap meninggalkan paradoks pada penyelenggaraannya. Kritik yang kerap muncul adalah tingginya biaya untuk kuliah. Berbagai kebijakan nasional tak kunjung melebarkan akses inklusif atas layanan pendidikan bagi rakyat. Kondisi demikian justru kian melebarkan jarak perguruan tinggi dengan makna “kerakyatan” dari corak embrionya dulu (Kompas, 16/07/2011, “Universitas Kerakyatan”).

Baca juga: Mimpi Besar Melanjutkan Kuliah

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih memberikan keterangan pers terkait jumlah mahasiswa baru yang diterima melalui jalur SBMPTN LTMPT 2022, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (23/6/2022). Mohammad Nasih mengungumkan sebanyak 1.925 peserta SBMPTN LTMPT 2022 diterima di Universitas Airlangga.

Pertumbuhan Aktual Perguruan Tinggi

Dalam konteksnya masa kini, pertumbuhan perguruan tinggi telah begitu masif dan mudah. Tidak ada lagi pihak eksternal, seperti penjajah, yang hadir untuk menghambat perkembangan wadah akademik nasional. Hal ini pun tampak dari tingkat kuantitatif perguruan tinggi di Indonesia. Mengacu pada laman Kemendikbud Riset dan Teknologi di Indonesia terdapat 3.115 perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2021. Jumlah tersebut telah mengalami pengurangan sebanyak 51 unit dibanding tahun sebelumnya.

Dalam rasio jenisnya, perguruan tinggi di Indonesia didominasi oleh PTS. Terdapat 2.990 unit PTS atau 93,98 persen dari seluruh perguruan tinggi yang ada. Sedangkan sisanya, sebanyak 125 unit, adalah jenis PTN. Dalam persebaran spasialnya, Sumatera menjadi pulau dengan jumlah perguruan tinggi, yakni berjumlah 1.489 unit. Sebaran terbanyak terletak di Provinsi Sumatera Utara dengan 221 unit. Di peringkat kedua, terdapat Pulau Jawa dengan 787 unit perguruan tinggi.

Meski begitu, bila mengacu berdasarkan wilayah administratifnya, perguruan tinggi terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 392 unit. Sedangkan di sisi lain, Kalimantan Utara menjadi wilayah tingkat provinsi dengan jumlah perguruan tinggi paling sedikit, yakni sembilan unit saja.

Dalam persebaran dan kehadirannya tersebut, perguruan tinggi saat ini berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Secara lebih spesifik, penyelenggaraannya berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Hal ini diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui produk hukum ini, ditetapkan fungsi-fungsi Kemendikbudristek seperti menetapkan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penetapan standar nasional bagi pendidikan tinggi.

Meski begitu, pada kenyataannya, tidak semua perguruan tinggi berada di bawah Kemendikbudristek semata. Mengacu pada buku Puspawarna Pendidikan Tinggi yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek pada 2016, diakui bahwa berdasarkan Pasal 7 UU Dikti, kewenangan penyelenggaraan pendidikan tinggi seharusnya berada di bawah satu kementerian. Namun pada realitanya, terdapat sejumlah perguruan tinggi yang kehadirannya justru berada di bawah dan dikelola kementerian lain.

Setidaknya pada 2016 terdapat 1.052 perguruan tinggi yang dinaungi Kementerian Agama, atau 23 persen dari total perguruan tinggi. Selain itu, terdapat 177 unit atau empat persen perguruan tinggi yang dikelola kementerian/lembaga lain. PTN yang di bawah naungan Kemenristekdikti berjumlah 122 PTN atau 3 persen. Dalam unit-unit khusus tersebut, penyelenggaraan pendidikan tinggi akan berada di bawah kementerian spesifik terkait. Oleh karenanya, kewenangan oleh Kemenristekdikti hanya terkait PTN dan PTS – di mana PTN sendiri berada secara penuh di bawah kementerian tersebut.

Baca juga: Gaji Lulusan Universitas Makin Kecil

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Potret bagian depan Institut Teknologi Bandung Kampus Cirebon di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (17/1/2022). Kampus tersebut mulai beroperasi sejak Senin untuk sejumlah program studi.

Peringkat dan Tren Perguruan Tinggi Indonesia

Secara periodik, sejumlah lembaga pemeringkatan perguruan tinggi akan mempublikasikan peringkat terbaru dari perguruan tinggi yang mereka nilai dari seluruh dunia – salah satunya yang kredibel adalah publikasi QS World University Rankings oleh Quacquarelli Symonds. Dalam publikasi yang dikeluarkan pada Juni 2022, mereka memberikan analisis pemeringkatan perguruan tinggi dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dalam laporan tersebut, berita baik tampak hadir dalam koridor pendidikan tinggi nasional. Universitas Gadjah Mada menempati peringkat ke-231 dalam rangking global, naik 23 peringkat dari tahun 2021. Tidak hanya itu, Institut Teknologi Bandung juga naik 68 peringkat dengan meraih peringkat 235. Sementara Universitas Indonesia berada di peringkat ke-248. Dengan capaian demikian, perguruan tinggi Indonesia pun telah masuk dalam 10 besar terbaik di kawasan Asia Tenggara (Kompas.id, 22/07/2022, “Meningkatkan Peringkat Perguruan Tinggi Kita”).

Meski tren secara kelembagaan menunjukkan perbaikan, namun tren dalam tingkat mikro masih menunjukkan stagnansi, atau peningkatan yang lamban. Hal ini tidak hanya mengenai rendahnya angka APK sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, namun juga soal keberlanjutan pendidikan tinggi di tiap jenjangnya.

Mengacu pada buku Statistik Pendidikan Tinggi 2020, persentase keberlanjutan kuliah jenjang S2 ke S3 hanyalah 13,86 persen. Sementara dari jenjang S1 ke S2 lebih rendah, dengan hanya mencapai 4,46 persen. Jika dihitung lebih lanjut, berarti tidak sampai satu persen mahasiswa sarjana yang melanjutkan pendidikan tinggi hingga jenjang Doktor.

Persentase keberlanjutan demikian terbilang sama sekali tidak besar. Padahal, keberlanjutan pendidikan tinggi selaras dengan peningkatan kualifikasi SDM Indonesia. Oleh karenanya, usaha lebih lanjut turut diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan demikian.

Tidak hanya keberlanjutan pada tiap jenjang perguruan tinggi itu sendiri, angka APK yang rendah juga turut menunjukkan masalah serius – bahwa keberlanjutan lulusan SMA/sederajat ke perguruan tinggi masih kecil. Apalagi bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki kualitas SDM baik.

Hal ini pun turut diangkat dalam webinar “Kompas Talks with Universitas Terbuka” dengan tema Menyusun Peta Jalan Pembelajaran Jarak Jauh pada Rabu (02/09/2020). Perhatian akan topik ini sendiri disampaikan oleh Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan, Mohammad Nasir. “Bahwa masalah Indonesia itu rakyat Indonesia yang ikut pendidikan tinggi baru 34,58 persen ini menyedihkan betul,” jelasnya. Ia turut membandingkan dengan Korea Selatan yang 98 persen masyarakat berusia 18–23 tahunnya telah mengenyam pendidikan tinggi.

Nasir pun berusaha memetakan permasalahan yang mungkin terjadi sebagai penyebab. Menurutnya, terdapat dua kemungkinan dari minimnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia. Yang pertama, adalah lulusan SMA maupun kejuruan terkendala dengan biaya. Sementara yang kedua, kecenderungan para lulusan tersebut untuk memilih terjun langsung dalam lapangan pekerjaan.

Baca juga: Semakin Awal Mempersiapkan Biaya Kuliah, Semakin Ringan Bebannya

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Suasana kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Minggu (21/3/2021). Hingga Maret 2021, Perguruan tinggi negeri ini masih menerapkan perkuliahan daring.

Program Pengembangan Perguruan Tinggi

Kemendikbudristek selaku kementerian yang memiliki tanggung jawab terbesar terhadap perguruan tinggi pun telah menetapkan sejumlah program. Tujuan besarnya adalah menciptakan progresivitas pengelolaan perguruan tinggi, keberlanjutan pendidikan tinggi, dan peningkatan kualitasnya di Indonesia.

Salah satu program yang telah diciptakan tersebut adalah Kampus Merdeka. Mengacu pada laman resminya (kampusmerdeka.kemdikbud.go.id), Kampus Merdeka adalah bagian dari kebijakan besar Merdeka Belajar oleh Kemendikbudristek agar para mahasiswa dapat mengasah kemampuan selaras dengan bakat dan minat lewat aktivitas terjun langsung ke dunia kerja.

Hal demikian juga sekaligus ditujukkan bagi persiapan pengalaman karier para mahasiswa perguruan tinggi. Program Kampus Merdeka pun diharapkan dapat menjawab tantangan perguruan tinggi Indonesia untuk tetap relevan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Hal terakhir ini termasuk kemajuan IPTEK, tuntutan dunia usaha dan dunia industri, juga dinamika masyarakat.

Dalam Kampus Merdeka, setidaknya terdapat 12 program yang dapat dipilih dan diikuti oleh mahasiswa. Beberapa program yang telah hadir sejak tahun 2021 adalah program Magang Merdeka, studi independen, Wirausaha Merdeka, dan Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).

Program pertama yang disebutkan dilakukan dengan para mahasiswa terlibat pada aktivitas kerja secara nyata di korporasi dan bidang spesifik. Program Studi Independen dijalani melalui studi di luar kuliah untuk mempelajari kompetensi yang spesifik dan bersifat praktis, sesuai dengan kebutuhan industri.

Sementara program Wirausaha Merdeka ditujukkan bagi pendidikan dan pengembangan mahasiswa dalam berwirausaha. Pesertanya akan dituntut dan dibimbing untuk membangun wirausahanya sendiri. Sementara IISMA adalah program mobilitas mahasiswa Indonesia selama satu semester ke salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia.

Selain program Kampus Merdeka, pemerintah juga telah menghadirkan program Kartu Indonesia Pintar atau KIP. Kehadiran KIP sendiri merupakan wujud pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) yang merupakan salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo. Dalam konteks perguruan tinggi, pemerintah lewat Kemendikbudristek menyediakan KIP-Kuliah. Disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, kehadira KIP-Kuliah difungsikan untuk membantu lulusan SMA/Sederajat yang memiliki potensi akademik namun mengalami kendala biaya.

Sejak tahun 2021, KIP-Kuliah berada dalam satu program dengan Merdeka Belajar. Dalam perubahan tersebut, turut disesuaikan alokasi uang kuliah dan biaya hidup sesuai dengan prodi pilihan dan lokasi daerah studinya. ”Lewat KIP kuliah, kami berharap anak-anak dari kelompok ekonomi rendah dapat menapaki strata ekonomi yang lebih baik lewat kesempatan kuliah di perguruan tinggi terbaik,” ujar Nizam (Kompas.id, 23/06/2022, “Ketahuan Curang, 200 Peserta SBMPTN Didiskualifikasi”).

Setiap tahunnya, untuk meningkatkan inklusivitas pendidikan tinggi, Kemendibudristek juga meningkatkan daya tampung penerima KIP-Kuliah. Pada tahun 2022, daya tampung KIP-Kuliah di jalur SBMPTN mencapai 226.955 orang. Jumlah tersebut meningkat kurang lebih 13 ribu peserta bila dibandingkan dengan tahun 2021 yang memiliki kuota 213.406 orang.

Baca juga: Kenali Minat agar Tidak Salah Jurusan Saat Kuliah

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Perwakilan wisudawan bersiap mengikuti upacara wisuda Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada di halaman Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (21/10/2020). Upacara tersebut digelar secara daring dan luring dengan menghadirkan 20 perwakilan wisudawan. Upacara wisuda yang baru pertama kali digelar UGM selama pandemi ini dilangsungkan dengan protokol kesehatan ketat dan diikuti 3.004 wisudawan program pascasarjana.

Meningkatkan Kualitas Perguruan Tinggi

Selain dimensi hambatan ekonomi, masalah yang juga muncul dalam perguruan tinggi adalah persebaran kualitas yang belum merata. Ketidakmerataan tersebut terjadi baik antara sesama PTN, antara PTN dengan PTS, maupun antara perguruan tinggi di pulau berbeda, khususnya antara yang berada di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.

Standar dari semua pendidikan tinggi memang ditentukan oleh Direktorat di Kemendikbudristek. Meski begitu, masih terdapat kesulitan untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pendidikan tinggi. Belum lagi adanya adanya ketidaksamaan materi pembelajaran antar perguruan tinggi, baik antar-PTN, antara PT di kota dan daerah, maupun antara PT di Jawa dan di luar Jawa.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi adalah lewat jalinan kerja sama dengan kampus luar negeri, terutama yang memiliki standar kualitas baik dalam kancah internasional. Kerja sama dalam sistem manajemen maupun akademik dapat menguntungkan kedua belah pihak. Bagi Indonesia secara khusus, kesempatan kerja sama demikian berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan sektoral (Kompas, 18/03/2005, “Perguruan Tinggi Harus Aktif Jaring Kerja Sama dengan Luar Negeri Humaniora”).

Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mewujudkan kerja sama demikian secara merata – sehingga berbagai kampus nasional dapat mengupayakan kerja sama demikian. Tak hanya itu, masing-masing perguruan tinggi pun juga harus terlibat aktif dalam upaya membangun jalinan kerja sama dengan perguruan tinggi asing.

Selain melalui cara kehadiran aktor eksternal (perguruan tinggi luar negeri), upaya peningkatan kualitas juga penting untuk dilakukan oleh aktor-aktor internal terkait. Caranya adalah dengan perbaikan metode mengajar yang merangsang minat mahasiswa.

Melalui kepemilikan minat, mahasiswa pun akan secara aktif mencari dan memperdalam ilmu yang diajarkan. Hal demikian disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Mubyarto, menganjurkan metode mengajar dengan praktik penelitian atau teaching-through-research sebagai metode kuliah utama. Dengan begitu, mahasiswa pun dapat melakukan giat praktik dan pengamatan dalam perkuliahan. Untuk mencapainya, para dosen terlebih dahulu menjadi pelopor penelitian.

Dosen yang sering melakukan penelitian akan menjadi kunci bagi peningkatan kualitas mahasiswa perguruan tinggi. Namun, untuk bisa mencapai kualitas dosen yang demikian, perguruan tinggi pun perlu menekankan sinergi dan dukungan terhadap dosen. Dengan kesempatan dan publikasi penelitian yang kerap, maka akan turut meningkatkan kualitas perguruan tinggi – baik secara kuantitatif (ranking) maupun kualitatif (pemahaman mahasiswa dan dosen). Pada titik ini, kegiatan riset menjadi elemen penting bagi pendidikan tinggi dan harus mendapatkan dukungan yang baik dari pihak perguruan tinggi. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Lulusan SMK Difasilitasi untuk Melanjutkan Kuliah Diploma Dua

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek. (2020). Statistik Pendidikan Tinggi 2020. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • Kementerian Ristekdikti . (2016). Puspawarna Pendidikan Tinggi . Jakarta: Kementerian Ristekdikti .
Arsip Kompas
  • Kompas. (2005, Januari 19). Prof Dr Mubyarto: Mendidik Mahasiswa pada Pendalaman. Jakarta: Harian Kompas.
  • Kompas. (2005, Maret 18). Perguruan Tinggi Harus Aktif Jaring Kerja Sama dengan Luar Negeri Humaniora. Jakarta: Harian Kompas.
  • Kompas. (2010, Juni 19). Universitas Kita. Jakarta: Harian Kompas.
  • Kompas. (2011, Juli 16). Universitas Kerakyatan. Jakarta: Harian Kompas.
  • Kompas. (2022, Juni 25). Langkan: Kesempatan Tembus PTN lewat Jalur Mandiri. Jakarta: Harian Kompas.
  • Kompas.id. (2022, Juni 23). Ketahuan Curang, 200 Peserta SBMPTN Didiskualifikasi. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/06/23/tembus-ptn-ketat-masih-ada-program-studi-kurang-peminat
  • Kompas.id. (2022, Juni 22). Meningkatkan Peringkat Perguruan Tinggi Kita. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/21/meningkatkan-peringkat-perguruan-tinggi-kita