KOMPAS/AGUS SUSANTO
Lanskap kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/6/2018). Jakarta masih menjadi magnet bagi pendatang baru untuk mengadu nasib. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan jumlah pendatang baru ke Jakarta pada tahun ini meningkat sekitar 2 persen dibandingkan 2017. Jumlah pendatang baru pada 2017 sebanyak 70.752 orang. Pembangunan infrastruktur dan transportasi daring, yang marak beberapa tahun terakhir ini, turut berkontribusi terhadap peningkatan arus urbanisasi.
Urbanisasi
- Makna etimologis urbanisasi adalah proses atau keadaan menjadikan kota/mengkota
- KBBI merumuskan urbanisasi secara sempit sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota.
- Urbanisasi merupakan bentuk migrasi penduduk, bukan mobilitas penduduk semata
- Kelahiran kota-kota kuno sejak tahun 5000 SM telah menunjukkan pola urbanisasi.
- Konsep urbanisasi modern baru terjadi mulai awal abad ke-19 di Inggris.
- Selama satu abad pertama peningkatan urbanisasi (1800–1900), London mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk hingga lima kali lipat.
- Di Asia Tenggara, urbanisasi mulai masif terjadi tahun 1980 dengan jumlah kenaikan penduduk di perkotaan mencapai 23,3 persen.
- Urbanisasi di Indonesia mulai jamak terjadi sejak periode 1970-an.
- Waktu tersebut selaras dengan prinsip ekonomi Orde Baru.
- Pada 1960, penduduk kota di Indonesia berjumlah 85,2 juta jiwa. Pada akhir abad ke-20 mencapai angka 100 juta jiwa.
- Perkembangan urbanisasi Indonesia begitu tinggi di Asia Tenggara pada 2014 dengan menyentuh angka 53 persen.
Kota besar masih menjadi daya tarik bagi pendatang yang ingin mencari pekerjaan dan kesempatan hidup yang lebih baik. Namun, tanpa keterampilan yang memadai, mimpi mereka dapat berbalik menjadi masalah sosial baru, seperti pengangguran dan kemiskinan.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi, ada kenaikan jumlah pendatang di Jakarta, hingga 40.000 orang, setelah Lebaran 2023.
Jumlah pendatang di Jakarta umumnya naik setiap tahun. Pada 2020, tercatat ada 113.814 pendatang. Angka ini naik menjadi 139.740 orang pada 2021, kemudian naik lagi menjadi 151.752 orang pada 2022 (Kompas, 28 April 2023).
”Mereka yang datang ke kota besar punya motivasi soal ekonomi sebagai akibat dari keterbatasan lapangan kerja (di tempat asal). Kota dianggap sebagai sumber ekonomi karena ada lapangan kerja,” kata sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito (Kompas, 27/4/2023).
Fenomena urbanisasi masih akan terus terjadi setiap tahun. Setidaknya ada sejumlah faktor yang mendorong adanya urbanisasi. Pertama, Jakarta masih menjadi fokus. Kedua, Jakarta tetap dianggap menjadi harapan para pencari kerja.
Orang setiap tahun berbondong-bondong menuju Jakarta. Kemudian berlanjut dengan cerita pilu. Mereka ada yang menjadi korban penipuan atau terjaring operasi yustisi sehingga harus dipulangkan ke daerah asal.
Kini, selain menuju Jakarta, pergerakan orang dengan menggunakan angkutan darat dari luar kota kini juga lebih banyak bertujuan kota-kota di pinggir Jakarta, seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan Bekasi.
Mereka tidak lagi berhenti di Jakarta, tetapi langsung menuju kota-kota itu. Saat ini, ada banyak orang yang bertujuan kota-kota itu dibandingkan dengan Jakarta, meskipun pada akhirnya sebagian pendatang tetap berupaya atau mencoba mengadu nasib di Jakarta.
Pertumbuhan pusat industri di beberapa kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur juga memperlemah anggapan urbanisasi yang selalu bertujuan Jakarta. Dengan upah minimum provinsi (UMP) yang didapat, para pekerja tergolong hidup layak di daerah. Mereka tidak perlu lagi ke Jakarta (Kompas, 28/4/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Spanduk dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berisi himbauan tidak mengajak berurbanisasi terpasang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dipadati para pemudik Lebaran, Kamis (31/7/2014). Arus balik pasca Lebaran menjadi salah satu celah besar arus urbanisasi menyerbu kota. Dinas Kependudukan DKI Jakarta akan menerapkan pengendalian administrasi kependudukan untuk mengatasi lonjakan jumlah penduduk pasca lebaran.
Artikel terkait
Apa itu Urbanisasi?
Urbanisasi atau dalam Bahasa Inggris urbanization berangkat dari terminologi urbanize atau “menjadikan kota”. Diambil dari etymonline.com, dalam kata urbanize terkandung dua elemen lingustik: urban dan -ize. Urban sendiri berasal dari Bahasa Latin urbanus yang memiliki arti berkaitan dengan kota, termasuk karakter dan kehidupan di dalamnya. Istilah Latin urbanus sendiri berasal dari urb yang berarti kota.
Lantas penggunaan imbuhan –ize digunakan sebagai elemen untuk menjadikan bentuk kata sebagai kata kerja atau verbs. Istilah -ize diambil dari penggunaannya pada era Inggris pertengahan, yaitu -isen (awalnya -izen). Istilah -isen sendiri berasal dari penggunaan di Prancis yang merupakan –izer. Pada tahun 1694, otoritas kebahasaan Prancis melakukan standarisasi pengejaan z menjadi s, sehingga merubahnya menjadi -iser. Hal ini pun turut merubah kebahasaan di Inggris kuno.
Sementara itu, akar linguistik -izer berasal dari istilah Yunani kuno -izein yang memiliki fungsi gramatikal menggeser makna kata benda atau kata sifat menjadi kata kerja–sebagaimana memiliki kesamaan fungsi dengan penggunaan –ize pada konteks kebahasaan kontemporer.
Melalui pemahaman demikian, hakikat makna etimologis dari urbanisasi (atau urbanization sebagai asal kata Bahasa Inggrisnya) dapat dirumuskan sebagai sebuah proses atau keadaan menjadikan kota. Pemahamannya tidak berhenti pada “menjadikan kota”, karena tataran kata urbanisasi tidak lagi berdiri sebagai kata kerja melainkan kata benda. Dengan mengacu pada pemahaman etimologis ini, maka dapat pula dirumuskan bahwa sejatinya terminologi urbanisasi sendiri mencakup pemaknaan dan kajian yang luas.
Hal ini tampak dari bagaimana literatur-literatur asing menerjemahkan dan menggunakan konsep urbanisasi dalam definisi yang luas. Seperti Sosiolog dari India Manzoor Hussain dan Iram Imitiyaz mendefinisikan urbanisasi sebagai sebuah proses menjadi urban. Lewat artikel ilmiah “Urbanization Concepts, Dimensions, and Factors”, mereka melihat definisi urbanisasi juga menyangkut dimensi ekonomi, sosial, dan kebudayaan di masyarakat.
Oleh karenanya, pergerakan penduduk dan manusia ke daerah urban hanyalah satu dari sekian bagian dari proses urbanisasi. Urbanisasi sebagai proses menjadi kota atau menjadi urban kemudian menghasilkan bentuk kehidupan baru yang padat di kota. Bentuk yang dihasilkan oleh urbanisasi demikian, menurut keduanya, menjadi sebuah langkah historis baru bagi evolusi umat manusia.
Pemahaman urbanisasi yang luas tersebut juga selaras dengan apa yang ditulis oleh Kingsley Davis dalam artikel “The Origin and Growth of Urbanization in The World”. Davis memberikan pemahaman bahwa urbanisasi merupakan proses urbanisme. Urbanisme sendiri ia rujuk sebagai kelahiran pusat-pusat kota. Ciri utamanya adalah peningkatan jumlah kepadatan penduduk.
Pemahaman-pemahaman terhadap urbanisasi yang demikian, juga diangkat oleh media kebahasaan Indonesia lewat Kompas (08/05/2000, “Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia”). Dituliskan bahwa ada tendensi kesalahan pemahaman definisi urbanisasi di kalangan masyarakat awam Indonesia. Urbanisasi acap dipahami semata sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Senyatanya, perpindahan dari desa ke kota tersebut hanyalah salah satu penyebab proses urbanisasi. Terdapat penyebab-penyebab lain yang kemudian mendukung definisi urbanisasi.
Pada akhirnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai pedoman linguistik nasional memberikan versi definisi yang sempit pada urbanisasi, daripada definisi-definisi sebelumnya. Dituliskan dalam KBBI, urbanisasi adalah “perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan)”. Meski begitu, KBBI juga memasukkan versi definisi yang luas. Pada definisi keduanya, urbanisasi dilihat lebih daripada perihal perpindahan penduduk itu sendiri. Di dalamnya terdapat pula perubahan unsur intrinsik pergeseran suasana desa menjadi kota.
Penggunaan definisi urbanisasi secara spesifik yang mengacu pada perpindahan penduduk semata digunakan oleh Herlianto dalam buku Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Ia melihat urbanisasi sebagai fenomena berduyun-duyun orang dari desa yang datang ke kota besar. Sementara itu, Shogo Koyano dalam buku Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara menyadari perbedaan definisi urbanisasi yang ada, dan memfokuskan definisinya pada gejala perpindahan dan pemusatan penduduk di kota.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Penumpang Kereta Api (KA) Tawang Jaya dari Semarang, Jawa Tengah, tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Minggu (9/6/2019). Sejak Kamis (6/6/2019), sekitar 90.000 penumpang dari berbagai kota tiba di stasiun ini.
Urbanisasi sebagai Migrasi
Pemahaman terhadap urbanisasi memiliki hubungan erat dengan konsep perpindahan penduduk. Pemahaman akan perpindahan penduduk secara umum memiliki afiliasi definisi yang dekat dengan konsep mobilitas dan juga migrasi penduduk. Oleh karena hubungan keduanya, pemahaman urbanisasi kerap diarahkan pada kedua konsep ini secara bergantian. Padahal, sesungguhnya kedua konsep ini merujuk pada karakter demografis yang berbeda.
Sebagaimana ditulis dalam Kompas (08/05/2000, “Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia”), ada perbedaan konsepsi antara mobilitas dan migrasi penduduk. Istilah pertama memiliki pemahaman sebagai “perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah yang baru”. Daerah administratif tingkat II sendiri merujuk pada pembagian wilayah kabupaten/kota madya.
Sementara itu, bentuk migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas provinsi dan memiliki niat dan keberlanjutan untuk menetap di daerah baru tersebut. Di Indonesia sendiri, data kependudukan lebih banyak didominasi oleh data data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk.
Perbedaan antara konsep migrasi dan mobilitas penduduk juga disoroti oleh Mavroudi dan Nagel dalam buku Global Migration: Pattern, Processes, and Politics. Menurut mereka, perlu ada pembeda yang signifikan dan esensial antara fenomena migrasi dengan bentuk-bentuk perpindahan penduduk lainnya seperti relokasi tempat tinggal dan budaya komuter. Migrasi, sebagaimana banyak terjadi dalam bentuk perpindahan penduduk dari desa ke kota, memiliki karakteristik yang kuat pada elemen waktu dan jarak. Penduduk yang melakukan migrasi melakukannya dalam jarak spasial yang jauh dan memiliki tujuan untuk menetap dalam skala waktu yang lama.
Oleh karena indikator ini jugalah, menurut Mavroudi dan Nagel, organisasi-organisasi internasional kerap mendefinisikan migrasi sebagai perpindahan penduduk yang terjadi antar-batas-negara dan menghabiskan waktu paling sedikit satu tahun di wilayah geografis baru tersebut. Dalam pemahaman yang demikian, fenomena urbanisasi tergolong sebagai karakter migrasi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (4/7/2018). Berdasarkan hasil survei pertengahan tahun lalu dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) sekitar 40 persen warga Jakarta masih merasa kurang nyaman hidup di Ibu Kota. Hasil ini membuat Jakarta masih berada di level tengah sebagai kota layak huni. Jakarta juga menghadapi beragam tantangan penataan kota, terutama dengan akan terus adanya urbanisasi dan kebutuhan ruang yang semakin besar, sementara ketersediaan ruang semakin sempit.
Artikel terkait
Sejarah Urbanisasi Dunia
Proses perpindahan penduduk atau migrasi secara umum sesungguhnya telah terjadi ribuan tahun dalam sejarah umat manusia. Dalam bentuk-bentuknya yang paling kuno pun, urbanisasi sesungguhnya telah menunjukkan gejalanya. Kembali mengacu pada Kingsley Davis, kemunculan kota-kota kuno di dunia sejak 6000 sampai dengan 5000 SM telah menunjukkan kehadiran pola-pola urbanisasi. Meski begitu, Davis menyoroti bahwa bentuk urbanisasi pada periodisasi lampau tersebut begitu berbeda dengan bentuk urbanisasi kontemporer.
Perbedaan-perbedaan tersebut tak lepas daripada bentuk kota-kota kuno pada masa itu. Kelahiran kota-kota tersebut bersamaan dengan intensifikasi agrikultur di wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kesuburan dan pengairan yang baik. Dalam daerah-daerah ini, kemudian terjadi peningkatan produktivitas ekonomi yang kemudian berdampak pada konsentrasi menetap oleh penduduk. Pada tahap-tahap selanjutnya, pertumbuhan kota kian didukung oleh penemuan tulisan, akuntansi, birokrasi, ilmu pengetahuan, hingga pemerintahan.
Meski begitu, bentuk-bentuk urbanisasi yang tercipta masih begitu minim. Pada masa kota-kota kuno, hingga tahun 1300 SM perkembangan pertanian masih begitu lambat. Begitu juga lahan pertanian yang luas tersebar. Dampaknya, pertanian–terutama di desa-desa–masih menjadi penyumbang bagi mata pencaharian banyak orang.
Selain itu, teknologi transportasi kebanyakan pada masa tersebut juga belum mampu mendukung bentuk migrasi dalam jarak yang masif dan waktu yang panjang. Gerobak dan kereta yang ditarik sapi merupakan alat transportasi jarak pendek. Sementara, alat transportasi jarak jauh (seperti karavan unta dan kapal) biasa diprioritaskan untuk membawa barang-barang mewah bagi para penguasa.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa kehadiran kota-kota awal dalam peradaban tidak diiringi dengan urbanisasi yang relevan. Kota pun masih menjadi ruang publik yang kosong. Dikatakan Davis, satu kota kuno pada tahun 600 SM bahkan tidak akan dapat mencapai jumlah populasi sebanyak 200.000 penduduk.
Satu-satunya kota kuno yang berhasil mewujudkan bentuk urbanisasi yang serupa dengan konteks masa kini adalah kota Roma dan Konstantinopel melalui Kerajaan Romawi. Mereka mampu menciptakan bentuk kota-kota besar yang mampu menampung kedatangan ratusan ribu orang dari luar.
Meski begitu, serupa dengan kota kuno lainnya, Roma dan Konstantinopel masih harus bergantung pada sektor pertanian dan dukungan dari luar. Agrikultur pun masih menjadi roda ekonomi pokok di kota ini, sehingga memunculkan hambatan urbanisasi yang sama dengan kota-kota lainnya.
Dalam rentang waktu yang begitu panjang, dengan meliputi berbagai periode zaman dan evolusi umat manusia, urbanisasi sejati yang selaras dengan konteks pemahaman kontemporer baru muncul pada awal abad ke-19. Kota London di Inggris menjadi kebangkitan masyarakat urban pertama sekaligus melahirkan fenomena urbanisasi. Dicatat oleh Davis, sejak tahun 1800, tercipta “revolusi perkotaan yang sebenarnya” dan “urbanisasi sejati”.
Mulai zaman ini, model produksi berbasis agrikultur mulai ditinggalkan. Penemuan mesin, bahan bakar fosil, dan pembangunan pabrik-pabrik telah mewujudkan bentuk produksi baru yang revolusioner. Perwujudan ini tidak hanya konsekuensi dari revolusi industri, tetapi juga katalis bagi revolusi perkotaan. Pemahaman “urbanisasi sejati” oleh Davis diterjemahkan dalam artian sebagian besar penduduk Inggris kini tinggal di ruang-ruang kota.
Kembali mengacu pada Mavroudi dan Nagel lewat buku Global Migration: Pattern, Processes, and Politics, disebutkan bahwa kondisi industrial demikian telah menyebabkan aliran migrasi yang masih. Sebabnya, ekonomi industrial menuntut suplai buruh bagi pusat-pusat industri baru. Sedikit berbeda dengan Davis, Mavroudi dan Nagel melihat urbanisasi sejati mulai terjadi sejak abad ke-17, di mana sistem kapitalisme telah mendominasi ekonomi Eropa.
Masa-masa ini menjadi periode masyarakat pra-industrial. Basis perdagangan yang terjadi masih bergantung pada produksi agrikultur namun dalam bentuk-bentuk yang kian komersil. Tak lagi sebatas berupa bahan pangan, melainkan juga kain wol, linen, dan pewarna alami.
Selama abad ke-19, urbanisasi menjadi gejala sosial dan demografis yang kian masif di seluruh Eropa. Dengan diawali dan dipimpin Inggris, negara-negara seperti Prancis, Belgia, Swiss, hingga Jerman menyusul terciptanya pengembangan dan kelahiran kota-kota baru. Industri manufaktur dan produksi besi menjadi basis ekonomi utama. Selain itu, kehadiran kereta api dan tranportasi air lewat kanal menjadi sarana transportasi perintis bagi kian masifnya urbanisasi.
Mavroudi dan Nagel mencatat masifnya pertumbuhan penduduk di kota-kota Eropa selama periode awal urbanisasi modern (dari tahun 1800 sampai dengan 1900). Kota London yang pada tahun 1800 telah menjadi kota terpadat di Eropa dengan 1.117.000 penduduk, memiliki 7.488.000 penduduk pada tahun 1900 atau mencapai pertumbuhan hingga 570 persen.
Pertumbuhan jumlah penduduk di Warsaw, ibu kota Polandia, meningkat dari jumlah 60.000 penduduk menjadi 423.000 penduduk atau sebesar 605 persen. Kota Berlin, Jerman, dengan pembangunan pabrik-pabriknya yang masif meningkat hingga 998 persen. Sementara, Kota Glasgow di Skotlandia bahkan mencapai pertumbuhan jumlah penduduk hingga 1266 persen.
Urbanisasi yang demikian masif di seluruh sudut kota di Eropa pada periode tersebut menegaskan pernyataan Davis bahwa kelahiran masyarakat urban, yang ditunjukkan melalui peningkatan proporsi populasi secara masif di kota-kota, baru mulai berkembang semenjak abad ke-19 dan ke-20. Dalam kedua abad ini, urbanisasi mengalami peningkatan dan perkembangan secara pesat–tidak hanya dalam konteks Eropa, melainkan juga dunia.
Sementara itu, gejala urbanisasi di benua-benua lain mulai tampak terutama sejak periode pasca-Perang-Dunia-Kedua. Kembali merujuk pada Shogo Koyano, pertumbuhan urbanisasi awal paling masif di luar Eropa terjadi di Amerika Latin. Tercepat berikutnya adalah negara-negara di Asia, baru Afrika. Perbedaan ini disebabkan oleh dependensi ekonomi tiap negara pada perekonomian dunia (di mana pada masa itu masih berkiblat pada Eropa dan Amerika).
Koyano juga menyoroti urbanisasi di Asia Tenggara. Semenjak tahun 1960, pertumbuhan penduduk di desa-desa meningkat pesat. Sementara luas lahan tani tetap, jumlah usia produktif kerja justru terus menerus bertambah di pedesaan. Di sisi lain, kota dengan industri manufakturnya terus menghadirkan kesempatan kerja. Alhasil, para penduduk desa yang kekurangan lahan mulai mencari kerja di kota untuk memperoleh pendapatan. Pada tahun 1980, jumlah kenaikan penduduk perkotaan di Asia Tenggara mencapai 23,3 persen.
Sejarah Urbanisasi di Indonesia
Sejarah urbanisasi di Indonesia sendiri diyakini oleh berbagai literatur dimulai sejak periode tahun 1970-an. Dalam dekade berikutnya, urbanisasi kemudian mulai berkembang secara pesat. Salah satu kajian yang menyampaikan hal ini adalah Gumilar R. Somantri dalam artikelnya berjudul “Kajian Sosiologis Fenomena Mudik”. Semenjak periode 1970-an, Somantri menyoroti perkembangan pesat kota-kota di Indonesia.
Menurutnya, periode 1970 menjadi momentum penting bagi urbanisasi karena bertepatan dengan perubahan model ekonomi Indonesia. Dengan naiknya rezim Orde Baru, terciptalah integrasi sistem ekonomi Indonesia pada model kapitalisme tersebut. Pembangunan dengan orientasi ekonomi pun menjadi objektif nasional.
Fitri Ramdhani Harahap dalam artikel “Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia” merumuskan tiga kondisi yang diciptakan Orde Baru sehingga menimbulkan konsekuensi urbanisasi. Pertama, dilaksanakannya kebijakan ekonomi makro yang dimulai sejak tahun 1967 hingga 1980 di mana kota menjadi pusat ekonomi. Kedua, hadirnya kebijakan substitusi impor dan penerimaan investasi asing pada sektor manufaktur dan industri berbasis pabrik. Hal ini berdampak pada polarisasi pembangunan yang kian terpusat di kota, secara khusus di Jakarta. Ketiga, perubahan dan pelaksanaan mekanisasi pada sektor pertanian sejak dekade 1980-an. Mekanisasi yang kian masif menyebabkan kaum muda dan sarjana yang akan terjun dalam dunia kerja justru kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor pertanian dan memilih untuk tidak kembali ke daerah asal.
Hal serupa juga disampaikan oleh Shogo Koyano. Menurutnya, periode 1970-an adalah titik balik perubahan Indonesia ke arah industrialisasi. Perkembangan industri nyatanya memengaruhi masyarakat Indonesia yang kian masuk dalam orientasi ekonomi. Periode 1970-an menjadi momentum perubahan Indonesia mulai membangun ketergantungan pda sektor industri lewat pelaksanaan program pembangunan nasional. Bersamaan dengan itu, pertumbuhan penduduk di perkotaan pun kian meningkat.
Sejak periode tersebut, Mardiansjah dan Rahayu dalam artikel “Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia” menuliskan, penduduk perkotaan di Indonesia pun mengalami peningkatan hingga lebih dari lima kali lipat dalam 40 tahun terakhir abad ke-20. Jumlah penduduk kota pada kisaran tahun 1960 hanya berjumlah 85,2 juta jiwa atau hanya 41,9 persen dari seluruh total penduduk Indonesia. Kini, penduduk kota di seluruh Indonesia telah mencapai angka 100 juta jiwa.
Meski begitu, selama dasawarsa 1971–1980 tingkat urbanisasi di kota-kota Indonesia secara keseluruhan masih tergolong rendah. Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia bersama dengan Thailand, menjadi negara dengan tingkat persentase urbanisasi terendah. Menurut Koyano, hal ini disebabkan oleh dependensi masyarakat masing-masing negara terhadap sektor pertanian, terutama padi, dan struktur demografis bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa berbeda.
Tingkat perpindahan masyarakat dari desa ke kota di Indonesia pada periode tahun 1980 pun hanya mencapai 20,21 persen. Angka ini termasuk kecil apabila disandingkan dengan tingkat urbanisasi di Filipina (36,21 persen), Malaysia (29,36 persen), dan rata-rata di seluruh negara berkembang (30,69 persen). Sementara Iwan Prasodjo dalam Dampak Urbanisasi bagi Pembangunan Manusia 2010–2016 mencatat bahwa pada tahun 1971, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di ruang kota hanya mencapai 17,5 persen dari total populasi penduduk nasional. Persentase kependudukan ini bertambah pada tahun 1980 dengan baru mencapai angka 22,4 persen.
Namun, meski tingkat urbanisasi di kota-kota Indonesia pada awalnya berjalan secara perlahan, urbanisasi di Kota Jakarta secara spesifik justru berjalan dengan sangat cepat. Pertambahan penduduk Jakarta pada tahun 1970 mengalami kenaikan dari 2.907 juta jiwa menjadi 4.576 juta jiwa atau setara kenaikan 4,5 persen per tahunnya. Sementara di kota lain yang sama-sama berada di Pulau Jawa, Yogyakarta misalnya, hanya mengalami pertambahan jumlah penduduk sebanyak 0,9 persen per tahun.
Merujuk Herlianto, pada tahun 1980 jumlah penduduk di Kota Jakarta telah mencapai angka 6,5 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat lebih dari 50 persen apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta pada tahun 1971 yang berjumlah 4,57 juta jiwa. Kian mengejutkan lagi bahwa pembangunan Kota Batavia sebagai cikal bakal Jakarta hanya diproyeksikkan untuk menampung 600 ribu penduduk saja.
Perkembangan urbanisasi di perkotaan Indonesia justru mulai meningkat begitu pesat pasca-1980, atau dituliskan Prasodjo, selama 43 tahun dalam periode hingga 2014. Selepas dasawarsa 1971, Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, mencatatkan laju urbanisasi mencapai 8 sampai 10 persen per tahun.
Perkembangan urbanisasi Indonesia meningkat pesat dengan menyentuh angka 53 persen pada tahun 2014. Persentase urbanisasi ini relatif tinggi apabila dibandingkan negara di Asia Tenggara selama periode 1993 sampai dengan 2014. Dalam waktu tersebut, persentase urbanisasi di Asia Tenggara meningkat dari 38,69 persen pada tahun 1993, menjadi 50,15 persen pada tahun 2014. Hanya negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang mencatatkan tingkat urbanisasi di atas 50 persen.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, sebagaimana dituliskan Prasodjo, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia terfokus pada tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya dan Medan. Di ketiga kota inilah tingkat urbanisasi terbesar terjadi. Data BPS yang dihimpun Prasodjo menunjukkan bahwa selama periode 2010–2016, Jakarta sebagai ibu kota negara mengalami pertumbuhan penduduk terbesar dengan persentase 6,61 persen. Selama enam tahun tersebut, penduduk Kota Jakarta meningkat dari 9,64 juta menjadi 10,27 juta, atau bertambah sebanyak 637.222 orang.
Jumlah ini sendiri belum mencakup pertumbuhan penduduk di daerah-daerah satelit yang menunjang suplai pekerja ke Jakarta. Prasodjo mengungkapkan bahwa terjadi pula peningkatan urbanisasi di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi di mana sebagian besar penduduknya tinggal dan mencari penghasilan di sekitar Kota Jakarta. Status ibu kota dan kota metropolitan menjadikan Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat kegiatan sosial, sekaligus pusat ekonomi.
Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, mengalami pertumbuhan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta dengan persentase 6,28 persen selama periode 2010–2016. Jumlah penduduk di Kota Medan bertambah sebanyak 131.798 orang. Dari jumlah 2,09 juta penduduk menjadi 2,23 juta. Sementara Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur mengalami pertumbuhan penduduk terendah, yakni 3,28 persen pada kurun waktu yang sama. Jumlah penduduk Surabaya mengalami pertambahan 90.791 orang, dari jumlah 2,77 juta pada 2010 menjadi 2,86 juta pada 2016.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Permukiman padat penduduk dengan latar belakang gedung -gedung bertingkat di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Senin (21/7/2014). Kepadatan penduduk yang tinggi di Jakarta berdampak pada meningkatnya kebutuhan pada barang, jasa dan perumahan. Namun daya dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan terutama pada perumahan semakin terbatas.
Bagaimana terjadinya Urbanisasi?
Dalam menjelaskan penyebab terjadinya urbanisasi, terdapat push-and-pull factor theory (teori pendorong dan penarik) sebagai penjelas yang paling umum digunakan. Faktor pendorong urbanisasi merujuk pada gejala-gejala yang tercipta di daerah-daerah asal terjadinya migrasi penduduk, yaitu desa. Herlianto merumuskan bahwa faktor pendorong urbanisasi adalah terbatasnya fasilitas penunjang kehidupan dan pendidikan di desa.
Selain itu, situasi agrikultur di desa juga menjadi pendorong. Secara spesifik, faktor yang timbul adalah terus terjadinya penyempitan lahan pertanian dan terhisapnya hasil pertanian desa secara masif ke kota-kota besar. Terkait ini, Mahatma Gandhi menguraikannya dalam kalimat “the blood of the arteries of the rural areas is sucked to fill the arteries of the urban areas”. Kondisi demikian menciptakan gambaran hidup yang lebih terjamin di kota.
Sementara itu, faktor penarik tercipta dari pancaran diri yang digambarkan oleh ruang-ruang perkotaan. Herlianto memaparkan, narasi-narasi yang muncul di TV, radio, surat kabar, maupun media lainnya mengilustrasikan kehidupan di kota sebagai indikator kehidupan modern yang penuh kebanggaan dengan status sosial lebih tinggi. Pekerjaan kantor di kota seolah lebih bermartabat daripada pekerjaan berbasis agrikultur di deaa.
Selain itu, kota juga memancarkan wacana keberlimpahan uang dan kesempatan pekerjaan. Faktor keberlimpahan ini memberikan gagasan rasa aman dan kehidupan terjamin. Selain itu, terdapat pula fasilitas transportasi, pendidikan, rekreasi, dan perbelanjaan yang jauh lebih memadai. Kota telah memproduksi citra magnetik bagi masyarakat desa. Dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, penduduk desa berharap untuk dapat melakukan mobilitas sosial dan meningkatkan taraf hidup yang lama. Masyarakat pinggiran pun berbondong-bondong meninggalkan desanya untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota metropolitan.
Urbanisasi pun menjadi strategi masyarakat desa untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Sebagaimana ditulis oleh I Dewa Gede Karma Wissana dalam artikel Does Expenditure Patterns Shape Differently for Rural Household with Migrants? Evidence from Indonesia Family Life Survey, strategi migrasi dari desa ke kota banyak terjadi dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Melakukan urbanisasi dianggap sebagai cara paling masuk akal dalam mencapai tujuan perbaikan kesejahteraan hidup, terutama untuk mengatasi ketidakpastian yang kian tercipta pada sektor pertanian dan perkebunan.
Kondisi spesifik terjadi di Surabaya. Sebagai kota besar di daerah Jawa Timur, arus urbanisasi di Surabaya bahkan pernah melebihi Jakarta pada periode 1982-an. Hal ini bisa terjadi karena sektor pertanian di Jawa Timur sudah mencapai titik jenuh dan menjadi faktor pendorong. Sementara itu, industri berbasis jasa dan perdagangan di Kota Surabaya menunjukkan peningkatan permintaan angkatan kerja yang tinggi. Hal ini pun menjadi faktor penarik urbanisasi dari Kota Surabaya.
Meski begitu, menurut Usman Pelly dalam buku Urbanisasi dan Adaptas: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, menuliskan bahwa teori push-and pull-factor saja tidak cukup untuk menjelaskan terjadinya urbanisasi. Menurut Pelly, ada faktor-faktor lain yang jauh lebih besar sekaligus spesifik dalam memengaruhi terjadinya urbanisasi. Faktor pendorong dan penarik yang berorientasi pada dimensi ekonomi dan demografi memang punya kapasitas untuk merangsang, tetapi terlalu makro dan tidak mencakup dimensi lain secara menyeluruh.
Dalam kajiannya terhadap urbanisasi di Kota Medan, Pelly memasukkan faktor “misi budaya” sebagai pemberi pengaruh melalui dimensi kultural. Didefinisikan oleh Pelly, misi budaya merupakan “seperangkat tujuan yang diharapkan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tertentu, yang didasarkan pada nilai-nilai dominan dari pandangan dunia (asal) masyarakat tersebut”.
Dengan pemahaman demikian, faktor misi budaya memengaruhi tujuan daripada urbanisasi itu sendiri. Selanjutnya, misi budaya jugalah yang akan memberikan pengaruh pada bagaimana pendatang di kota beradaptasi dengan lingkungan barunya. Hal ini menjadi penting untuk dikaji karena persoalan kemiskinan di desa saja (sebagaimana merupakan faktor pendorong) tidak cukup untuk menjadi alasan bermigrasi. Dicontohkan oleh Pelly, misi budaya bangsa Belanda ke negara-negara berkembang adalah penyebaran merkantilisme. Sementara, misi budaya masyakarat Minangkabau ke Kota Medan, selain pencarian pekerjaan, adalah juga upaya penyebaran agama Islam.
Dampak Urbanisasi
Oleh karena kehadiran misi budaya ini, kemudiam Pelly menyoroti bahwa para migran yang datang ke daerah baru akan tetap memiliki asosiasi dengan kelompok-kelompok kulturalnya berasal. Dengan demikian, jumlah masih penduduk pendatang di kota adalah masyarakat yang sesungguhnya masih terikat oleh “loyalitas-loyalitas primordial yang sangat intens”. Rutinitas mudik pun menjadi perwujudan konkret dari kondisi demikian.
Somantri dalam Kajian Sosiologis Fenomena Mudik menuliskan bahwa para migran dari pedesaan menganggap ruang kota semata sebagai ruang solusi ekonomi – sehingga status kota hanyalah “tempat singgah” semata. Oleh karena hal tersebut, fenomena mudik muncul bagi para pendatang yang telah bermigrasi cukup lama di kota. Somantri mencatat bahwa para migran di kota merasa perlu untuk pulang dan bersentuhan kembali dengan asal-usul tradisional mereka. Dengan pandangan terhadap ruang kota yang demikian, masyarakat kota pun tidak terlibat secara nyata dan aktif dalam proses menjaga dan menumbuhkembangkan ruang kota.
Primordialisme lewat kerekatan pada budaya atau daerah asal menjadi salah satu permasalahan laten di kota-kota tempat tujuan urbanisasi. Ikatan persatuan yang didasarkan pada preferensi terhadap budaya atau daerah salah adalah bentuk yang rentan. Problem sosial ini termasuk pula dalam masalah-masalah umum yang timbul akibat urbanisasi seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kemacetan, dan daerah kumuh (slum area). Bahkan, primordialisme sedikit banyak juga menjadi penyebab dari tidak kunjung membaiknya permasalahan-permasalahan lain tersebut di perkotaan.
Menurut Herlianto, meski secara data kuantitatif tingkat urbanisasi di negara maju lebih pesat, tetapi secara kualitatif degradasi kualitas lingkungan kota yang lebih parah akan terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurutnya, keterbelakangan akibat urbanisasi bukanlah suatu masalah yang belum selesai – melainkan bagian dari perubahan dan perkembangan yang pasti tercipta sebagai bentuk kapitalsime. Jadi, kemiskinan, kemacetan, dan ketimpangan, atau segala permasalahan sosial-kontemporer yang ada, adalah bagian integral dari perkembangan ekonomi kapitalisme itu sendiri.
Pada akhirnya, kembali merujuk pada Kingsley Davis, urbanisasi kini terjadi dan akan terus terjadi. Ia menuliskan “The process of urbanization has moved rapidly in the entire world since 1800, and the peak is not yet in sight.” Umat manusia pun masih akan dihadapkan pada bentuk-bentuk permasalahan lain yang mungkin timbul akibat urbanisasi. Untuk itu, diperlukan solusi struktural yang masif bagi proses ‘mengkota’ ini di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
Davis, K. (1955). “The Origin and Growth of Urbanization In The World”. The American Journal of Sociology Volume 60, No. 5, 429-437.
Harahap, F. R. (2013). “Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia” . Journal Society Vol. 1 No. 1, 35-45.
Hussain, M., & I. Imitiyaz. (2018). “Urbanization Concepts, Dimensions, and Factors”. International Journal of Recent Scientific Research Vol. 9, Issue 1(I), 23513-23523.
Mardiansjah, F. H., & P. Rahayu. (2019). “Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antarkawasan Makro Indonesia”. Jurnal Pengembangan Kota Volume 7 No. 1 , 91-110.
Prasodjo, I. (2018). “Dampak Urbanisasi bagi Pembangunan Manusia 2010-2016”. Jurnal Ekonomi/Volume XXIII, No. 03, 305-318.
Somantri, G. R. (2007). Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Universitas Indonesia.
Wisana, I. D. (2012). “Does Expenditure Patterns Shape Differently for Rural Household with Migrants? Evidence from Indonesia Family Life Survey.”Banjarmasin: The 11th IRSA International Conference, Lambung Mangkurat University.
Herlianto. 1986. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung: Penerbit Alumni.
Koyano, S. 1996. Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mavroudi, E., & C. Nagel. 2016. Global Migration: Pattern, Processes, and Politics. New York: Routledge.
Pelly, U. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.
Tjiptoherijanto, P. 2000. Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Kompas