Paparan Topik | Hari Pramuka

Sejarah dan Tantangan Gerakan Pramuka di Indonesia

Organisasi Gerakan Pramuka resmi diperkenalkan di Indonesia pada 14 Agustus 1961. Gerakan pramuka terus beradaptasi untuk menjawab tantangan zaman.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Kontingen Jambore Pramuka Dunia Anggota Kontingen Jambore Pramuka Dunia ke-23 siap untuk foto bersama Presiden Joko Widodo seusai pelepasan kontingen di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/7/2015). Kontingen yang akan mengikuti kegiatan di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, itu terdiri atas 465 orang dari 29 kwartir daerah dan KBRI Tokyo. Dalam sambutannya, Presiden meminta kepada kontingen untuk menampilkan pramuka Indonesia yang berkarakter baik.

Fakta Singkat

Sejarah Singkat Pramuka

  • 1912, gerakan kepanduan masuk ke Indonesia
  • 1942–1945: gerakan kepanduan dilarang pada zaman Jepang
  • 1945, Pandu Rakyat Indonesia (PRI) diakui sebagai satu-satunya organisasi kepanduan
  • 1961, seluruh organisasi kepanduan dilebur menjadi Organisasi Gerakan Pramuka. Secara resmi diperkenalkan pada 14 Agustus 1961.

Lambang Pramuka

Silhouette Tunas Kelapa, karya (Alm.) Sunardjo Atmodipuro, bermakna “Cikal Bakal Indonesia”

Anggota Pramuka

  • Siaga (7–10 tahun)
  • Penggalang (11–15 tahun)
  • Penegak (16–20 tahun)
  • Pandega (21–25 tahun)

Jumlah Anggota

Jambore Nasional

  • Pertama: 16–22 April 1973 di Situbaru, Jakarta
  • Kesepuluh: 14–21 Agustus 2016 di Cibubur, Jakarta

Ketua Kwartir Nasional

  • Pertama: Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1961–1974)
  • Kedelapan: Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Budi Waseso (2018–2023)

Sebagai gerakan, pramuka mengambil inspirasi dari kepanduan (boy scout) yang didirikan pada awal abad 20. Gerakan kepanduan diilhami oleh Lord Robert Baden-Powell pada tahun 1907 dengan tujuan untuk membangun mental, moral, dan jasmani remaja melalui berbagai latihan dan permainan.

Awalnya, Baden-Powell mengadakan kegiatan perkemahan selama sembilan hari bersama 20 anak laki-laki di Pulau Brownsea, Inggris. Ia menanamkan semangat kerja keras dan kepercayaan diri melalui kegiatan tersebut. Berdasarkan pengalaman tersebut, Baden-Powell menemukan bahwa kegiatan permainan di alam terbuka dapat digunakan sebagai sarana untuk membina watak dan moral anak-anak. Ia juga yakin bahwa metode yang ia terapkan menarik bagi kaum muda.

Pada Januari 1908, Baden-Powell menerbitkan buku edisi pertama berjudul Scouting for Boys. Buku itu sukses terjual lebih dari 100 juta eksemplar, menjadikannya salah satu buku terlaris sepanjang masa. Dalam buku tersebut Baden-Powell memaparkan metode pelatihan untuk anak laki-laki berupa panduan keterampilan yang dapat diadopsi oleh organisasi pemuda. Yang mengejutkan, anak-anak muda menanggapi buku tersebut dengan antusias dan mulai mengorganisasi diri mereka ke dalam apa yang 100 tahun kemudian menjadi salah satu gerakan pemuda sukarela terbesar di dunia.

Kegiatan yang diawali oleh Baden-Powell tersebut kemudian berkembang ke luar Inggris. Belanda membawa kegiatan tersebut ke tanah jajahannya, termasuk Hindia Belanda pada tahun 1912. Kegiatan kepanduan di Hindia Belanda kemudian berkembang sebagai sarana mewujudkan cita-cita kemerdekaan (Kompas, 3/5/1996).

Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, terdapat lebih dari 71 organisasi kepanduan di Indonesia. Presiden Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1961 menyatukan mereka dalam sebuah organisasi dengan nama gerakan pramuka. Tanggal itu hingga sekarang ditetapkan sebagai Hari Gerakan Pramuka.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pramuka Panegak dan Pandega Jawa Timur mengkuti deklarasi Pramuka sebagai Perekat NKRI sekalus pelepasan kontingen untuk Raimuna Nasional IX Tahun 2017 di Kwarda Pramuka Jatim di Surabaya, Selasa (8/8/2017). Diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk terus mempertahankan keutuhan NKRI.

Kepanduan pada masa Hindia Belanda

Meskipun mengadaptasi kegiatan kepanduan dunia, terdapat perbedaan sifat kepanduan yang terbentuk di Indonesia pada zaman Hindia Belanda.

Kepanduan masuk ke Indonesia pada tahun 1912 dengan berdirinya cabang Nederlands Padvinders Organisatie (NPO) oleh P.Y. Smits dan Majoor de Yager di Jakarta. Pada 4 September 1914, NPO berganti nama menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Pemimpin dan mayoritas anggota NIPV merupakan orang Belanda.

Organisasi ini dilirik oleh pemimpin gerakan kemerdekaan yang menilai bahwa gerakan kepanduan dapat meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia. Pada tahun 1916 (ada pula yang menyebut 1920), muncul perhimpunan kepanduan yang pertama, yakni Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang bertujuan untuk menjadi tempat pembibitan (ketentaraan Mangkunegaran).

Selanjutnya, terbentuk banyak kepanduan di Indonesia yang merupakan cabang perkumpulan orang dewasa dengan unsur politik dan keagamaan di dalamnya. Beberapa kepanduan yang terbentuk pada saat itu, antara lain, National Padvinders Organisatie (NPO) bentukan Algemeene Studieclub, Serikat Islam Afdeeling Pandu (SIAP) bentukan Serikat Islam, Hizbul Wathon bentukan Muhammadiyah, Nationale Padvinderij bentukan Budi Utomo, Jong Java Padvinderij bentukan Jong Java (kemudian menjadi Pandu Kebangsaan), Nationale Islamitische Padvinderij (Natipij) bentukan Jong Islamieten Bond, Indonesische Padvinders Organisatie (INPO) bentukan Pemuda Indonesia, Pandu Pemuda Sumatra 9PPS) bentukan Jong Sumatra, Jong Indonesische Padvinders Organisatie (JIPO) bentukan kaum teosof, Surya Wirawan bentukan PBI, serta Siswa Proyo bentukan Taman Siswa.

Munculnya berbagai gerakan kepanduan tersebut menarik minat NIPV. Kepanduan Hindia Belanda tersebut melonggarkan anggaran dasarnya agar organisasi kepanduan lain masuk ikut bergabung. Upaya tersebut hanya menarik satu organisasi pandu lain, yakni JIPO bentukan kaum teosof, yang kemudian bergabung dengan NIPV. Keengganan organisasi pandu untuk bergabung adalah bahwa NIPV dianggap berbeda haluan NIVP dengan gerakan kepanduan lain. Berbagai gerakan kepanduan mengarahkan tujuan untuk Indonesia Bersatu.

Di sisi lain, keberadaan kelompok-kelompok tersebut ditentang oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Menyiasati larangan tersebut, K.H. Agus Salim kemudian mengganti kata “padvindery” dengan “pandu” atau “kepanduan”.

Mengikuti kesadaran organisasi pemuda untuk menyatukan gerakan pada akhir tahun 1920-an, muncul semangat untuk menyatukan berbagai organisasi kepanduan. Upaya tersebut tampak dalam pendirian Persaudaraan Antar Pandu Indonesia (PAPI) oleh Sunario SH pada 1927. PAPI tidak bertahan lama karena di tingkat organisasi pemuda sendiri terjadi peleburan (fusi) pada tahun 1929 setelah Sumpah Pemuda. Setelah diadakan konferensi pengurus-pengurus besar kepanduan Indonesia pada 15 Desember 1929, diputuskan dua badan fusi kepanduan nasional, yakni kepanduan nasional dan kepanduan Islam.

Sebagai kelanjutan, didirikan Komisi Besar pada tahun 1930 untuk mempersiapkan rencana organisasi persatuan kepanduan nasional. Organisasi tersebut akan menerapkan asas kepanduan dunia yang diadaptasi dengan adat istiadat dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus bercita-cita mencapai Indonesia Merdeka. Pada awal tahun 1931, berdirilah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dengan 57 cabang awal.

Di luar KBI, terdapat pula persatuan kepanduan lain, misalnya pada tahun 1933, didirikan Kepanduan Rakyat Indonesia. Selanjutnya, dibentuk federasi kepanduan pada April 1938 oleh berbagai kepanduan yang berasaskan Islam (Hizbul Wathon, SIAP, Natipij, Al Kasyaf wal Fajrie) yakni Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI). Badan tersebut beranggotakan wakil-wakil dari KBI, SIAP, maupun Natipij.

Upaya menarik lebih banyak kepanduan ke dalam federasi terus dilakukan. Pada 19 Februari 1941, berlangsung konferensi kepanduan di Surakarta yang menghasilkan beberapa keputusan. Keputusan tersebut, antara lain, badan federasi terbuka untuk semua kepanduan Indonesia, Merah Putih diakui sebagai bendera persatuan, akan diadakan perkemahan besar pada Juli 1941 dengan nama Perkemahan Kepanduan Indonesia, kepanduan yang tergabung NIPV dilarang ikut serta.

Pada masa kependudukan Jepang, Kepanduan di Indonesia sempat mandek. Tokoh Kepanduan banyak ditarik masuk Keibondan, Peta, dan Seinendan yang digunakan untuk mengumpulkan dan melatih pemuda untuk siap berperang membela Jepang. Selain itu, Jepang melarang berdirinya perkumpulan apapun dari rakyat Indonesia. Gerakan Kepanduan dianggap Jepang sebagai gerakan yang berbahaya karena dapat meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia.

IPPHOS

Latihan Kemiliteran Pramuka tanggal 25 Januari 1962.

Kepanduan pada Masa Kemerdekaan

Satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, berbagai tokoh kepanduan berkumpul di Yogyakarta. Mereka berencana menghimpun organisasi kepanduan di seluruh Indonesia dan mengadakan kongres.

Kongres berhasil diadakan di Surakarta pada 27–29 Desember 1945 dan berhasil membentuk Pandu Rakyat Indonesia (PRI) yang diakui oleh pemerintah RI sebagai satu-satunya organisasi kepanduan. Ketika Belanda kembali masuk ke Indonesia, PRI dilarang. Ini mendorong munculnya organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).

Pada tahun 1960, dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 tentang Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana, diarahkan agar kepanduan ditertibkan. Arahan ini menjadi cikal bakal kelahiran Pramuka.

Berbagai organisasi kepanduan digabung dalam Gerakan Pramuka karena pada tahun 1960 gerakan kepanduan pecah, ditandai dengan adanya 100 organisasi kepanduan yang berkumpul dalam tiga federasi, yaitu Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO), Persatuan Organisasi Pandu Putri Indonesia (POPPINDO), dan Perserikatan Kepanduan Putri Indonesia. Ketiga federasi ini memang sudah bergabung di dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (PERKINDO). Namun, dari 100 organisasi kepanduan, hanya 60 organisasi yang masuk dalam federasi gabungan tersebut dengan jumlah 500.000 anggota. Selain itu juga, kepanduan di bawah PERKINDO berafiliasi dengan organisasi politik atau massa dengan kepentingan yang berbeda satu sama lain sehingga melemahkan gerakan.

Berangkat dari Tap MPRS di atas, Presiden/Mandataris MPRS mengumpulkan tokoh kepanduan di Istana Negara pada 9 Maret 1961. Pada pertemuan tersebut, Presiden meminta agar kepanduan diperbaharui dan organisasi yang ada digabung menjadi satu dalam nama Pramuka, yang merupakan singkatan dari praja muda karana.

Pada 5 April 1961, dalam Keputusan Presiden RI Nomor 112 Tahun 1961 tentang Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka, terbentuk susunan keanggotaan pembentukan gerakan Pramuka yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr. A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa), serta Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial).

Nama-nama yang sama kemudian dimasukkan sebagai panitia dalam Keputusan Presiden RI Nomor 121 tahun 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka yang menjadi bagian Lampiran Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka tanggal 20 Mei 1961 yang ditandatangani oleh Pejabat Presiden, Ir. Juanda.

Melalui Keppres 238/1961, Gerakan Kepanduan Indonesia akhirnya menjadi Gerakan Praja Muda Karana. Semua organisasi kepanduan bergabung di dalam Gerakan Pramuka dan Pancasila adalah dasar gerakan tersebut.

Selain itu, Gerakan Pramuka bersifat bukan badan pemerintah (non-governmental), dijalankan dengan asas demokrasi, dan dipimpin oleh kepengurusan yang dimulai dari Kwartir Nasional, Kwartir Daerah, Kwartir Cabang, dan Kwartir Ranting yang dipilih secara musyawarah.

Pada 14 Agustus 1961, Organisasi Gerakan Pramuka mulai diperkenalkan. Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas), dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari) dilantik oleh Presiden. Tanggal 14 Agustus kemudian ditetapkan sebagai Hari Pramuka.

Dalam perkembangannya, gerakan pramuka di Indonesia kemudian dimassalkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Untuk mendukung kegiatan pramuka, pemerintah mengirim wakilnya dalam kegiatan kepramukaan dunia serta membangun berbagai bumi perkemahan sebagai wahana kegiatan pramuka (Kompas, 3/5/1996).

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Suasana Jambore Nasional Pramuka yang dilaksanakan di Cibubur Jakarta Timur, 16/4/1973.

Lambang, metode, dan keanggotaan Pramuka

Lambang gerakan pramuka berupa gambar siluet tunas kelapa. Lambang ini merupakan karya (alm.) Sunardjo Atmodipuro. Lambang tunas kelapa, buah kelapa/nyiur, yang dalam keadaan tumbuh dinamai “cikal”, merupakan kiasan bagi “Cikal Bakal Indonesia”. Maknanya, seorang pramuka adalah inti bagi kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Buah kelapa/nyiur yang dapat bertahan lama dalam berbagai situasi menunjukkan bahwa pramuka adalah pribadi yang sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu mengatasi berbagai tantangan hidup.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, gerakan pramuka bertujuan membentuk kepribadian anggota. Tujuan ini diwujudkan melalui kegiatan pramuka yang meliputi pendidikan dan pelatihan, pengembangan, pengabdian masyarakat dan orang tua, dan permainan yang berorientasi pada pendidikan. Metode belajar kepramukaan bersifat interaktif dan progresif yang diwujudkan dengan cara mengamalkan kode kehormatan pramuka; kegiatan belajar sambil melakukan; kegiatan berkelompok, bekerja sama, dan berkompetisi; kegiatan yang menantang; kegiatan di alam terbuka; kehadiran orang dewasa untuk memberikan dorongan dan dukungan; penghargaan berupa tanda kecakapan; dan pemisahan satuan antara putra dan putri.

Warga negara Indonesia yang berusia 7 sampai dengan 25 tahun memiliki hak untuk ikut dalam pendidikan kepramukaan. Jenjang pendidikan dimulai dari pramuka siaga (usia 7–10 tahun), pramuka penggalang (usia 11–15 tahun), pramuka penegak (usia 16–20 tahun), dan pramuka pandega (usia 21–25 tahun).

Empat nama jenjang pendidikan dan peserta didik ini memiliki maknanya masing-masing. Kata “siaga” merupakan kiasan dari perjuangan Budi Utomo pada tahun 1908 yang mulai membangun kesiagaan rakyat (kesadaran). Kata “penggalang” menggambarkan perjuangan pemuda Indonesia pada tahun 1928 yang menggalang kesatuan bangsa. Kata “penegak” mengacu pada peristiwa 17-8-1945 yang merupakan hari ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan. Kata “pandega” mengandung arti “ahli” atau “pemuka” yaitu pelopor yang menginisiasi pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945.

Kegiatan siaga yang diikuti oleh anak usia 7–10 tahun berfokus pada kegiatan yang menggembirakan, mengingat mereka masih tergolong anak-anak, tetapi tetap menyisipkan pendidikan karakter. Pada fase penggalang, kegiatannya sudah mulai bersifat dinamis dan menantang. Pada fase penegak, peserta sudah mulai diajari peningkatan keterampilan dalam berbagai kegiatan di masyarakat atau alam sekitar. Terakhir, kegiatan pandega mulai mendorong pramuka untuk berani menjadi pelopor, berinisiatif mengadakan kegiatan di masyarakat atau membentuk kelompok seperti dalam bidang olahraga, kesenian, atau advokasi. Pramuka Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega menjadi bagian dari anggota Gerakan Pramuka dengan jumlah terbanyak di dunia. Berdasarkan World Organization of the Scout Movement (WOSM) Membership Census, anggota Gerakan Pramuka di Indonesia berjumlah 24.756.268 orang dari total 45.790.500 di dunia.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Sejumlah anggota Pramuka pada acara kedirgantaraan di Lapangan Terbang Pondok Cabe, Tangerang, 31/7/1988.

Pelaksanaan Jambore Internasional dan Nasional

Jambore internasional pertama diadakan pada tahun 1920 di arena Olympia, Inggris secara indoor. Di acara penutupan, Baden-Powell memberikan pesan-pesan perdamaian kepada seluruh peserta. Pesan perdamaian ini sangat relevan mengingat Jambore pertama pada tahun 1920 itu digelar setelah Perang Dunia I berakhir (1918).

Jambore yang diadakan setiap empat tahun sekali ini kemudian ditunda ketika Perang Dunia II terjadi (1939). Baden-Powell, yang meninggal pada 8 Januari 1941 di Nyeri, Kenya, tidak menduga bahwa dunia begitu cepat jatuh kembali ke dalam peperangan. Akibatnya, Jambore pada tahun 1941 dan 1945 harus dibatalkan.

Jambore kemudian diadakan lagi di Prancis pada tahun 1947 dan terus berlangsung tanpa gangguan hingga Jambore ke-24 di Amerika Serikat pada tahun 2019. Pada tahun 2023 nanti, Jambore Pramuka Dunia ke-25 akan digelar di Korea Selatan pada 1–12 Agustus. Dalam buletin berjudul #Draw Your Jamboree, terbit pada Februari 2021, Jambore di Korsel bertemakan “Draw Your Dream!”. Jambore di Korea Selatan nanti mendorong anak muda di seluruh dunia untuk berani mewujudkan mimpi.

Di level nasional juga terdapat jambore yang diikuti oleh pramuka dari masing-masing daerah di Indonesia. Jambore Nasional merupakan kegiatan khusus untuk peserta didik Pramuka Penggalang yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan spiritual. Jambore Nasional dilakukan dengan perkemahan besar yang dilakukan dalam prinsip belajar sambil bekerja; membuat cerita sebagai pembungkus kegiatan; menyelenggarakan kegiatan dengan banyak gerak dan mengurangi ceramah; merancang kegiatan yang sederhana, mudah dipahami, dan gampang dilaksanakan; dan melakukan demonstrasi, peninjauan, cerdas tangkas, tebak tepat, dan lain-lain. Prinsip ini pertama kali ditetapkan dalam Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 132/KN/76 Tahun 1976 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Perkemahan Besar Penggalang.

Di Indonesia, pelaksanaan Jambore Nasional pertama dimulai pada tanggal 16–22 April 1973 di Cibubur, Jakarta. Sejak tahun 1973 sampai sekarang, Indonesia sudah menyelenggarakan 10 kali Jambore Nasional. Sama seperti Jambore pertama, Jambore terakhir, yaitu ke-10, berlangsung di Cibubur, Jakarta pada 14–21 Agustus 2016.

Pada tahun 2021, dalam pemaparan Kwartir Nasional, Jambore Nasional XI Tahun 2021 rencananya akan dilaksanakan pada 12–21 Agustus 2021 di Cibubur, tepatnya di Bumi Perkemahan Pramuka. Dalam Jambore ke-11 ini, kegiatan yang dilaksanakan menyentuh tema teknologi dan seni budaya, keterampilan kepramukaan dan peminatan, wisata dan pengenalan masyarakat, desa wawasan global, dan petualangan.

JAMBORE NASIONAL 

Tempat Pelaksanaan
1.     Situbaru, Jakarta 16–22 April 1973
2.     Sibolangit, Sumatera Utara 3–7 Juli 1977
3.     Cibubur, Jakarta 18–25 Juni 1981
4.     Cibubur, Jakarta 21–28 Juni 1986
5.     Cibubur, Jakarta 15–22 Juni 1991
6.     Cibubur, Jakarta 26 Juni — 4 Juli 1996
7.     Baturaden, Jawa Tengah 3–12 Juli 2001
8.     Jatinangor, Jawa Barat 26 Juni — 4 Juli 2006
9.     Teluk Gelam, Sumatera Selatan 2 Juli — 9 Juli 2011
10.  Cibubur, Jakarta 14–21 Agustus 2016
11.  Cibubur, Jakarta 12–21 Agustus 2021

Sumber: “Jambore Nasional Gerakan Pramuka Tahun 1973–1996” dan PramukaDIY. 

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Umum Kwarnas Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia menerima para pemuka pramuka Indonesia di tempat kerjanya, 24/10/1977, di jalan Prapatan, Kwitang Jakarta. Sri Sultan juga dikenal sebagai Bapak Pandu Indonesia atau Bapak Pramuka Indonesia.

Kwartir Nasional

Gerakan Pramuka di Indonesia dipimpin oleh Kwartir. Dalam UU 12/2010, Kwartir adalah organisasi yang berada di setiap tingkatan wilayah, dimulai dari Kwartir Ranting, Cabang, Daerah, dan Nasional. Kwartir Ranting merupakan organisasi Gerakan Pramuka di kecamatan, Kwartir Cabang di kabupaten/kota, Kwartir Daerah di provinsi, dan Kwartir Nasional memimpin Gerakan Pramuka di seluruh Indonesia.

Kwartir Nasional, disingkat Kwarnas, berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Pengurus Kwarnas dipimpin oleh Ketua Kwarnas. Ketua Kwarnas 2018–2023 dijabat oleh Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Budi Waseso. Sedangkan, Ketua Kwarnas pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjabat pada 1961–1974.

KETUA KWARNAS DARI MASA KE MASA

Ketua Kwarnas Periode Kepemimpinan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX 1961–1974
Letjen. TNI (Purn.) M. Sarbini 1974–1978
Letjen. TNI (Purn.) Mashudi 1978–1993
Letjen. TNI (Purn.) Himawan Soetanto 1993–1998
Letjen. TNI (Purn.) Rivai Harahap 1998–2003
Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH 2003–2013
Dr. Adhyaksa Dault, S.H, M.Si 2013–2018
Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Budi Waseso 2018–2023

Diolah dari berbagai sumber

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo memberikan selamat kepada para pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Masa Bakti 2018-2023 di Halaman Istana Merdeka Jakarta, Kamis (27/12/2018). Para pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Masa Bakti 2018-2023 merupakan hasil Munas Gerakan Pramuka di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 25-29 September 2018. Pada kegiatan itu, Komjen Pol (Purn.) Budi Waseso terpilih sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka 2018-2023.

Tantangan Pramuka Indonesia

Pada masa pandemi Covid-19, Kwartir di semua wilayah di Indonesia tetap aktif menjalankan berbagai kegiatan. Di Semarang, Kwartir Ranting Banyumanik menjalankan acara pembukaan kegiatan bedah rumah. Kegiatan ini berasal dari APBD Kota Semarang dan dilaksanakan di 16 Kwartir Ranting yang berada di Kota Semarang.

Kwartir Ranting di Pontianak Timur, Kalimantan Barat, juga ikut turun dalam aksi pencegahan penularan Covid-19. Mereka juga ikut dalam tanggap bencana banjir di Desa Segedong dan Purun Kecil Kabupaten Mempawah dan terlibat dalam mencari 17 kapal nelayan di perairan Kalimantan Barat bersama tim pemerintah.

Di tingkat Nasional, Kwarnas menggagas Gerakan Nasional Pramuka Pendonor Plasma Konvalesen. Anggota pramuka yang menjadi penyintas Covid-19 didorong untuk menjadi pendonor.

Selain terlibat dalam gerakan sosial di masyarakat, Kwartir juga tetap rutin menyelenggarakan kegiatan yang bersifat internal. Salah satunya, Dewan Kerja Nasional dan Komisi Binamuda Kwarnas menyelenggarakan Jamboree On The Internet (JOTI) Special Edition yang berlangsung pada 3–5 April 2021. Kegiatan ini terhubung dengan JOTI Special Edition yang diselenggarakan oleh World Organization of the Scout Movement (WOSM). Disebut spesial, karena JOTI selalu diselenggarakan setiap tahun pada pekan ke-3 bulan Oktober. JOTI Special Edition diselenggarakan pada bulan April untuk merespons kebijakan social distancing pada masa pandemi. Dalam JOTI, jutaan pramuka dari 171 negara berkumpul dan berkegiatan secara digital. Dalam pertemuan tersebut, mereka saling berbagai informasi, pengetahuan, serta keterampilan.

KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Anggota Pramuka Peduli Kwartir Cabang Banyumas bersiap menuruni jembatan dengan tali-temali di Jembatan Sokaciri di Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (1/1/2021).

Selama pandemi Covid-19, kegiatan pramuka memiliki tantangannya sendiri. Terbiasa berkegiatan di lingkungan luas sekolah atau alam, aktivitas kepramukaan yang dijalankan secara daring dapat menimbulkan kebosanan. Selain itu, posisi pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah mengaburkan identitas utama pramuka yang bersifat sukarela. Ditakutkan, siswa kehilangan minat terhadap kegiatan pramuka. Oleh karena itu, kegiatan pramuka harus kreatif agar siswa antusias untuk mengikuti (Kompas, 15/8/2020).

Kreativitas dan inovasi kegiatan agar kepramukaan dapat menjadi gerakan yang menarik selalu menjadi sorotan dari tahun ke tahun. Salah satunya, ide pembina pramuka di sekolah-sekolah di Yogyakarta pada tahun 2019 dengan melakukan kegiatan kepramukaan di sekolah dengan melibatkan siswa dalam kerja sosial. Setelah mengikuti kerja sosial, siswa menuliskan refleksi terkait pengalaman mereka dalam mengikuti kerja sosial tersebut. Tulisan tersebut kemudian diperesentasikan dan hasilnya dibukukan. Selain menjalani kegiatan sosial, kegiatan kepramukaan juga dapat dikemas dalam kegiatan riset. Siswa diminta untuk mengamati lingkungan sekitar perkemahan dan mengembangkan ide untuk menjalankan riset yang dapat membantu mengatasi persoalan masyarakat setempat.

Dua model kegiatan di atas sangat menarik karena mampu memberikan warna pada kecenderungan kegiatan pramuka yang kerap didominasi oleh unsur-unsur indoktrinasi bertajuk ideologi atau paham kebangsaan. Kegiatan inovasi di atas dapat menimbulkan perasaan semangat dalam diri siswa karena kegiatan tersebut membuat mereka dapat bersumbangsih lebih bagi orang lain.

Pada zaman penjajahan, gerakan kepanduan diarahkan ke depan, yakni untuk meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia. Pada zaman ini, pembekalan keterampilan yang terhubung dengan masa depan pada pramuka sangatlah penting. Presiden Joko Widodo menyatakan, ”Pramuka bukan sekadar tahu bahasa morse, tetapi harus bisa tahu coding, artifisial, dan bahasa digital yang lain. Pramuka harus mampu merevitalisasi diri, tetapi tidak melupakan semangat persatuan, yakni Pancasila.” Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa pramuka harus menjadi wadah yang relevan pada setiap zaman agar dapat menjadi gerakan yang menarik para remaja.

Pada peringatan Hari Pramuka ke-60 pada tanggal 14 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka,  menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota Gerakan Pramuka karena dimasa pandemi ini Pramuka diseluruh Indonesia bahu membahu dengan seluruh elemen bangsa membantu penanganan pandemi covid-19 dilingkungannya masing-masing.

“Inilah Jiwa Pramuka sejati yang tertuang dalam Dwi Darma, Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka, untuk terpanggil rela berkorban membantu sesama tanpa melihat perbedaan, suku, agama dan golongan”, kata Presiden Joko Widodo yang menjadi Pembina Upacara Hari Pramuka Tingkat Nasional Tahun 2021 secara daring, Sabtu (14/8/2021)

Dari Istana Bogor, pada peringatan Hari Pramuka kali ini Presiden Joko Widodo mengatakan seluruh anggota Gerakan Pramuka harus menjadi contoh, teladan, tangguh mengahadapi setiap tantangan, menggalang kepedulian kepada sesama, bersedia berkorban, suka menolong, membantu meringankan beban keluarga, saudara dan tetangganya.

“Pramuka juga harus menjadi pelopor kedisiplinan terutama disiplin dalam menjalankan Protokol Kesehatan, disiplin memakai Masker, menjaga jarak, disiplin mencuci tangan tiap saat dan disiplin untuk menghindari kerumanan”, ucap Joko Widodo

Pramuka itu tutur Presiden harus berada dibarisan terdepan untuk melindungi diri, melindungi teman-teman dan keluarga yang kita sayangi, kalau ada yang tidak mematuhi protokol Kesehatan harus diingatkan diberi penjelasan, diberi pengertian.

“Kalau ada yang berusia diatas 12 Tahun yang belum divaksin, ajak mereka untuk segera divaksin, karena kunci untuk bisa keluar dari pandemi adalah kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan dan Pramuka harus terus bekerja tanpa henti, mendorong dan membantu dalam program percepatan vaksinasi untuk mencapai Kekebalan Komunal”, tegas Presiden Jokowi.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan kepada segenap anggota Gerakan Pramuka untuk giat belajar di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Kuasai ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya, seperti selalu mengejar kemajuan teknologi, mengikuti perkembangan zaman dengan cepat, fleksibel dan harus cerdik. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Perwakilan Pramuka mengikuti kegiatan sosialisasi dan edukasi tentang pandemi Covid-19 yang digelar oleh Tim Velox Badan Intelijen Negara di Gedung Sasana Hinggil Dwi Abad, kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Minggu (8/8/2021).

Referensi

Arsip Kompas
  • “Dua Puluh Dua Juta Pramuka pun Berkabung * In Memoriam”, Kompas, 3 Mei 1996, hlm. 28.
  • “Meremajakan Pramuka”, Kompas, 15 Agustus 2020
Buku dan Jurnal
Internet