Paparan Topik | Hari Anak Nasional

Menutup Celah Perdagangan Anak

Pada masa pandemi ini aktivitas anak-anak dengan dunia digital sangat tinggi. Hal tersebut membuka celah anak terhubung dengan dunia luar tanpa sepengetahuan orang tua. Pada kondisi itu, posisi anak menjadi rawan tanpa pengawasan ketat dari orang tua.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Bali mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang yang menempatkan seorang remaja perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, menjadi korban. Hal itu disampaikan Hal itu diterangkan Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Bali Ajun Komisaris Besar Suratno (tengah). Polisi menghadirkan tiga tersangka yang sudah ditahan dalam pemaparan hasil pengungkapan kasus TPPO itu di Polda Bali, Denpasar, Selasa (28/1/2020).

Fakta Singkat

Jumlah Kasus Perdagangan Anak
35 kasus dengan 234 anak sebagai korban (Januari–April 2021)
149 kasus (2020)
244 kasus (2019)

Regulasi
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lembaga Terkait
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan dua definisi penting tentang perdagangan orang dan klasifikasi usia individu disebut sebagai anak.

Dalam UU tersebut yang dimaksud perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Sementara, pada UU tersebut yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Di Indonesia masalah perdagangan orang  sangat kompleks karena terkadang hadir dalam bentuk yang tidak terlalu menonjol seperti dalam kasus tenaga kerja. Umumnya masyarakat hanya memahami perdagangan orang dalam bentuk perekrutan dan pengiriman pekerja migran apalagi yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan perbudakan.

Angka kasus perdagangan anak

Situasi pandemi mengakibatkan keluarga semakin rapuh hingga mengakibatkan pengawasan pada anggota keluarga berkurang, atau bahkan orang tua menuntut anak untuk ikut menanggung beban ekonomi. Tidak mengherankan dalam situasi pandemi angka laporan perdagangan anak terbilang tinggi, yaitu 234 anak per Januari–April 2021.

Sementara itu sepanjang tahun 2020 diketahui ada 149 laporan kasus, sedangkan pada tahun 2019 ada 244 perdagangan anak dengan beragam bentuk seperti pelacuran, pekerja anak hingga adopsi ilegal, bahkan ditemukan anak yang bertindak sebagai perantara dengan mucikari.

Salah satu tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 76 adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan anak.

Pada masa pandemi KPAI tetap melakukan pengawasan terhadap titik rentan korban eksploitasi seksual anak dan pekerja anak. Dalam hasil laporan KPAI tentang perdagangan anak, sejak Januari hingga April 2021, KPAI telah menangani 35 laporan kasus  Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban  234 orang anak. Dari jumlah tersebut 83 persen kasus kekerasan seksual atau prostitusi anak.

Secara umum, di Indonesia tindakan perdagangan orang pada masa pandemi angkanya justru meningkat, seperti dalam siaran pers Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 29/7/2021 dengan Nomor: B-256/SETMEN/HM.02.04/07/2021.  Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, berdasarkan data Sistem Informasi  Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada perempuan dan anak meningkat 62,5 persen.

Selain itu, dalam kurun waktu 2015–2019  ada sebanyak 2.648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2.319 perempuan dan 329 laki-laki. Data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) tersebut menunjukkan kasus TPPO semakin meningkat khususnya pada perempuan.

Bahkan, pernah terjadi penyebaran pamflet yang tanpa izin disisipkan dalam salah satu surat kabar nasional edisi 9 Februari 2021. Pamflet itu berisi ajakan menikah pada usia 12–21 tahun dengan konten dan promosi Aisha Wedding yang ditengarai menjurus pada perdagangan orang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan Kementrian Komunikasi dan Informatika segera menyelidiki lebih lanjut konten tersebut. Kekhawatiran muncul karena data pribadi anak-anak yang tertarik dalam situs tersebut disalahgunakan untuk tindakan perdagangan anak ataupun eksploitasi seksual ekonomi.

Data perdagangan anak akan jauh lebih besar jika prostitusi atau pekerja seks komersil anak dipandang sebagai TPPO, karena 30 persen pekerja seks di Indonesia berusia anak-anak. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) pada 2020 lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban TPPO, dan 1 dari 4 korban tersebut adalah anak-anak. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah data terbaru Kedubes Amerika Serikat 2020 bahwa di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 – 80.000 pekerja seks anak dan dewasa  yang banyak terdapat di industri pertambangan di Maluku, Jambi dan Papua.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Polisi menghadirkan dua tersangka saat pengungkapan kasus kejahatan perdagangan orang dan perlindungan anak dengan korban tiga anak dibawah umur di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020). Kejahatan kekerasan dan perdagangan anak tersebut dilakukan di Apartemen Kalibata City Jakarta Selatan. Para korban ditawarkan untuk melayani transaksi seksual melalui aplikasi Michat. Polisi menahan enam tersangka dalam kasus tersebut.

Regulasi dan perlindungan

Indonesia telah memperbaharui undang-undang tentang perlindungan anak  dengan beberapa peraturan.  Di antaranya, UU Nomor 23 Tahun 2002; UU Nomor 35 tahun 2014; Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; serta UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/2002 menjadi Undang-undang

Untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kemudian dibentuk kelompok tugas di seluruh provinsi serta kabupaten/kota. Unit layanan penanganan kekerasan hadir dengan beragam nama, yaitu Women Crisis Centre (WCC), Pusat Pelayanan Terpadu  (PPT), serta Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang di dalamnya terdapat unsur SKPD terkait, rumah sakit atau layanan medis. Kemudian, dibentuk Aparat Penegak Hukum (APH), Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan organisasi keagamaan.

Selain itu pemerintah juga membuat Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kemudian di kuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP TPPO). Hingga kini, terbentuk 32 Gugus Tugas Provinsi dan 25 Gugus Tugas Kabupaten/Kota.

Untuk mempermudah penangangan kasus kekerasan dan TPPO Kemenkes mengembangkan aplikasi sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). Hal ini dimaksudkan agar ada pendokumentasian data kekerasan melalui sistem pencatatan dan pelaporan, baik lintas kabupaten maupun lintas provinsi, melalui sistem aplikasi yang terpadu dan komprehensif. Dengan demikian, ketika ditemukan kasus maka lebih mudah untuk dilakukan pengusutan dan penyelidikan karena tersedia data dan informasi yang cukup serta mempermudah alur pengusutan dan bukti cukup dihadapkan ke pengadilan.

Kasus-kasus perdagangan anak

Dalam catatan KPAI terdapat sejumlah kasus perdagangan anak, di antaranya:

  • Di Mojokerto anak-anak dibawah umur dijual melalui modus membuka sewa rumah kos harian, dibantu oleh reseller di bawah umur.
  • Kasus prostitusi online karena adanya laporan dari masyarakat terkait kegiatan prostitusi di salah satu hotel di Pontianak, terdapat 41 anak di bawah umur yang terlibat prostitusi.
  • Polda Metro Jaya mengungkap Hotel Alona milik artis Cynthiara Alona dijadikan sebagai tempat praktik prostitusi. Modusnya adalah menawarkan anak di bawah umur di media sosial.
  • Kasus di Tebet Jakarta Selatan: pelaku menawarkan layanan Booking Out (BO) ke lelaki hidung belang dengan menggunakan aplikasi media sosial dan ditampung di sebuah Hotel. Terdapat 15 orang yang diamankan yang terdiri dari joki, pelanggan, dan pekerja seks komersial (PSK) yang melibatkan anak.
  • Di Kota Bogor, pelaku berinisial DAP berusia 17 tahun dan tersangka lainnya merupakn penyedia tempat buat PSK menjajakan perempuan dibawah umur melalui jejaring social
  • Penjualan bayi di Medan terungkap pada Jumat tanggal 12 Februari 2021
  • Pengawas norma ketenagakerjaan perempuan dan anak Dinas Ketenagakerjaan Jawa Barat menarik 7 anak yang dipekerjakan di sebuah pabrik rambut palsu di Kab Bogor, yang mempekerjakan anak usia 16 hingga 17 tahun yang menyalahi aturan ketenagakerjaan.

Hasil kajian KPAI

Dari beragam kasus perdagangan anak yang terjadi, KPAI mendapatkan sejumlah temuan.

  1. Profil Anak Korban
    Usia anak korban prostitusi disebutkan paling rendah adalah 12–17 tahun 98%, dan sisanya di bawah umur itu, artinya di bawah 18 tahun. Sedangkan eksploitasi ekonomi melanda mereka sejak usia 16–17 tahun, dan perdagangan anak yang merupakan bayi. Hal ini menjadi warning pada peran orang tua bahwa usia rentan anak masuk dan terlibat dalam jaringan prostitusi bukan lagi usia remaja akhir jelang 18 tahun, melainkan fase remaja awal, dengan kapasitas siswa Sekolah Dasar.
  2. Pendidikan Anak
    Persentase status korban yang masuk dalam eksploitasi dan pekerja anak adalah 67% mereka tercatat sebagai siswa yang masih aktif bersekolah dan 33% mereka putus sekolah. Hal ini menunjukkan pintu kontrol dan pengawasan pendidikan harus ditingkatkan, baik pencegahan dalam hal edukasi kespro dan internet sehat, serta kuratif adanya monitoring, penjangkauan dan perlindungan yang terhubung dengan lokus-lokus penanganan perlindungan anak, serta bekerja sama dengan pihak orang tua. KPAI menekankan kepada Kemendikbud untuk mendorong Dinas Pendidikan Provinsi hingga Kota dan Kabupaten untuk pro aktif menjamin tetap terpenuhinya Pendidikan korban.
  3. Medium yang digunakan
    Melihat trend kasus, medium anak menjadi korban eksploitasi seksual dijelaskan 60 % menggunakan jejaring media sosial dan 40% secara konvensional didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik. Dalam aksinya, pelaku (mucikari/germo) memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga, di antaranya memanipulasi usia, dan ajakan-ajakan yang sifatnya open booking (istilah prostitusi online) seluruhnya difasilitasi dan berinteraksi menggunakan transaksi elektronik dan aplikasi media sosial. Hal ini secara efektif memudahkan proses rekruitmen hingga eksekusi yang dilakukan jaringan dalam menyasar anak-anak di bawah umur. Dalam konteks penegakkan hukum KPAI mendorong kepolisian dan unit cyber untuk menindak maraknya cyber crime pada anak, deteksi dini operasi, tindak lanjut dan proses hukum. Kemudian menggunakan aturan perundangan sesuai aturan yang berlaku.
  4. Apa saja medium online yang paling sering digunakan
    Para pelaku menggunakan aplikasi Michat 41%, Whatsapp 21%, Facebook 17%, tidak diketahui 17% dan hotel yang dipesan secara virtual nama Reddoorz 4%. Terkait Michat sebagai aplikasi yang banyak disalahgunakan pemerintah diharapkan menaruh perhatian serius dalam mengevaluasi. KPAI mendorong peran Kemkominfo untuk proaktif pada penyedia aplikasi agar mempersulit penyalahgunaan, dan menindak untuk tidak segan men-take down serta mencabut izin beroperasi di Indonesia.
  5. Lokasi Kejadian
    Presentasi lokasi kejadian yang paling sering digunakan saat ini di hotel-hotel sebanyak 41%, 23% Apartemen masih dijadikan tempat prostitusi, selanjutnya indekos menempati 18% dan di wisma 18%. Selanjutnya, munculnya hotel yang secara virtual menyediakan bisnis perhotelan namun sering kali digunakan untuk kegiatan prostitusi, bahkan dijadikan penampuangan dan prostitusi terhadap anak. Hendaknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menindak, termasuk mencabut izin usaha serta diproses secara hukum. Dalam keterlibatan apartemen, baik broker ataupun penyewa, yang memberikan kemudahan pada pelaku untuk menjadikan tempat prostitusi pada anak, KPAI terus mendorong Kemenpupera dan Pemerintah Daerah berkomitmen, menindak tegas dan memberikan sanksi.
  6. Undang-undang yang digunakan
    Pada kasus prostitusi dan eksploitasi anak Aparat Penegak Hukum, menggunakan peraturan 27% UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak; 25% menggunakan UU No. 21/2007 tentang TPPO; kemudian 11 % menggunakan UU No. 19/2016 tentang ITE; 10% UU No. 17/2016 tentang PA atas revisi kedua UU Perlindungan Anak (pemberatan hukuman); 10% menggunakan KUHAP; dan 17% tidak disebutkan secara jelas UU yang dikenakan. Untuk itu, KPAI terus memonitor dan mendorong implementasi aturan perundangan terutama UU TPPO yang memberikan daya dorong perlindungan korban melalui rehabilitasi psiko-sosial (anak TIDAK langsung dipulangkan kepada orang tua, namun perlu di-asessment dan direhab oleh lembaga berwenang), serta kewajiban pelaku memberikan restitusi terhadap korban. Setelah itu, UU Perlindungan Anak yang secara komprehenif memberikan perlindungan, rehabilitasi dan efek jera pada pelaku. Untuk itu, hendaknya sudah tidak menggunakan KUHAP dalam perkara anak.
  7. Hasil pengawasan 7 pekerja anak di Kab. Bogor
    Anak bekerja 8 jam sehari di pabrik rambut palsu Kabupaten Bogor menjadi temuan bahwa program pemerintah terkait menurunkan pekerja anak pada masa pandemi mendapat banyak tantangan. Peningkatan angka kemiskinan dan banyak orang tua terkena PHK menjadi pemicu anak memilih kerja ketimbang melanjutkan pendidikan. KPAI menyambut baik program Presiden RI untuk menurunkan angka pekerja anak dengan melakukan pengawasan dan mendorong Kemenaker dan KPPPA sebagai leading sector secara komprehensif.

Pendampingan orang tua

Mengatasi kasus perdagangan anak tidaklah mudah karena berbagai tantangan yang ada. Salah satu yang belakangan terjadi adalah lemahnya pengawasan orang tua yang mengakibatkan terjadi penyalahgunaan teknologi dan media sosial dapat menjadi pintu masuk dalam perdagangan anak. KPAI menemukan bahwa 60 persen kasus prostitusi anak pada tahun 2021 dijaring lewat media sosial, di mana seorang anak dijanjikan sesuatu yang menggiurkan hingga mereka mudah dimobilisasi kemudian dieksploitasi secara seksual. Untuk menghadapi ini kepolisian telah membentuk tim CyberCrime yang akan mengawasi kasus-kasus perdagangan anak di dunia maya.

Tantangan lainnya adalah masih adanya perbedaan pemahaman aparat hukum tentang hak asasi manusia, Konvensi Hak Anak, UU Perlindungan Anak yang diatur dalam Palarmo Statuta, serta CEDAW.

Mencegah perdagangan anak menjadi tanggung jawab semua unsur masyarakat, mulai keluarga sebagai kelompok inti tempat anak mendapatkan perlindungan. Upaya yang dilakukan adalah dengan sosialisasi, edukasi, literasi dan penyadaran sosial agar masyarakat tidak menjadi korban. (LITBANG KOMPAS)