Paparan Topik | UU Cipta Kerja

Sebelas Isu Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja

Salah satu tujuan terbitnya UU Cipta Kerja adalah mempermudah kegiatan berusaha di Indonesia. Terdapat sebelas isu kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dibandingkan dengan aturan sebelumnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pekerja menyelesaikan pembangunan jalan tol Cengkareng-Batu Ceper-Cikunir di Jalan Daan Mogot, Batu Ceper, Kota Tangerang, Banten, Minggu (12/4/2020). Tol sepanjang 14,19 kilometer ini menelan biaya investasi sekitar Rp 3,5 triliun. Ruas tol ini akan menambah variasi rute yang dapat digunakan untuk menuju dan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Tangerang. Proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan menjadi salah satu proyek yang masih terus berjalan di tengah pandemi Covid-19.

Fakta Singkat

Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja

  • Dibahas dalam Bab III dan Bab IV UU Cipta Kerja

Beberapa Isu Kemudahan Berusaha dalam UU Cipta Kerja

  1. Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (RBA)
  2. Perizinan Dasar (tata ruang, lingkungan, bangunan)
  3. Imigrasi
  4. Paten
  5. Merek
  6. Perseroan terbatas (PT)
  7. Penghapusan Izin Gangguan
  8. Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)
  9. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
  10. Perpajakan
  11. Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) diterbitkan, salah satunya, untuk memberikan kepastian hukum bagi pengusaha untuk berinvestasi. Potensi ataupun prospek perubahan yang mungkin terjadi dapat dilihat dengan membandingkan UU Cipta Kerja, beserta turunannya, dengan aturan yang berlaku sebelumnya.

Jika dielaborasi, tema kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dibahas dalam Bab III dan Bab VI. Dua isu terkait kemudahan berusaha dalam Bab III “Peningkatan Ekosistem Investasi dan Perizinan Berusaha” adalah penerapan perizinan berusaha berbasis risiko serta penyederhanaan perizinan dasar, yakni perizinan tata ruang, lingkungan, serta bangunan.

Selain dua hal tersebut, terdapat pula sembilan isu terkait kemudahan berusaha dalam Bab VI “Kemudahan Berusaha” UU Cipta Kerja. Kesembilan isu tersebut terkait dengan tema imigrasi, paten, merek, perseroan terbatas (PT), penghapusan izin gangguan, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), larangan praktik monopoli dan persaingan usaha, perpajakan, serta pendapatan daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Dengan demikian, minimal terdapat 11 isu terkait kemudahan berusaha yang dapat dilihat dalam UU Cipta Kerja yang kemudian juga dibahas lebih lanjut dalam aturan turunannya (Tabel 1).

Perbandingan UU Cipta Kerja, beserta aturan turunannya, dengan aturan yang berlaku sebelumnya dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah perubahan yang terjadi dapat dianggap mempermudah kegiatan berusaha di Indonesia atau belum.

Baca juga: Penerapan UU Cipta Kerja

Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Perubahan menonjol dalam UU Cipta Kerja kali ini yaitu menggunakan paradigma sistem perizinan biasa menjadi perizinan berbasis risiko (risk based approach/RBA). Paradigma tersebut menggunakan penilaian atas tingkat risiko sebagai pertimbangan pemberian izin atas setiap kegiatan usaha yang dilakukan. Oleh karena itu, semakin tinggi potensi risiko kegiatan usaha, semakin banyak pula perizinan yang dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya.

Dalam elaborasinya, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha (Pasal 7 UU Cipta Kerja). Sedangkan, penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.

Penilaian tingkat bahaya yang dimaksud meliputi aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, serta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Penilaian tingkat bahaya sendiri dilakukan dengan memperhitungkan jenis kegiatan usaha, kriteria usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan sumber daya, serta risiko volatilitas.

Sedangkan, hasil penilaian terhadap potensi terjadinya bahaya memiliki empat kemungkinan, yakni hampir tidak mungkin terjadi, kemungkinan kecil terjadi, kemungkinan terjadi, serta hampir pasti terjadi.

Dari penilaian terhadap tingkat bahaya dan potensi terhadinya bahaya inilah akan diketahui tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, mulai dari kegiatan berisiko rendah, menengah, serta tinggi. Kegiatan usaha yang dinilai berisiko rendah, misalnya, membutuhkan izin berupa nomor induk kegiatan berusaha (NIB). Selain berfungsi sebagai legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha, NIB sendiri merupakan bukti pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha sekaligus sebagai identitas pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya (Pasal 8 UU Cipta Kerja).

Kegiatan usaha yang berisiko menengah membutuhkan izin berupa NIB serta sertifikat standar. Sertifikat standar sendiri dibedakan antara sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko menengah rendah dan menengah tinggi (Pasal 9 UU Cipta Kerja).

Sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko menengah rendah berupa pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. Sedangkan, sertifikat standar bagi kegiatan berusaha berisiko menengah tinggi berupa sertifikat standar yang diterbitkan oleh pemerintah pusat atau daerah berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan berusaha oleh pelaku usaha.

Sedangkan, kegiatan berusaha yang berisiko tinggi memerlukan perizinan berusaha berupa NIB serta izin. Izin yang dimaksud adalah persetujuan pemerintah pusat atau daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 10 UU Cipta Kerja).

Untuk mendukung perubahan paradigma perizinan di atas, pemerintah juga menerapkan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS). Penerapan OSS yang telah dibuat sejak 2018 ini diperluas dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 5/2021, untuk menyelenggarakan perizinan berusaha berbasis risiko (Tabel 2). Berbagai aturan turunan UU Cipta Kerja akan “ditanam” di dalam OSS sehingga pelaku usaha dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan NIB, sertifikat standar, serta izin.

Perizinan Dasar Berusaha

UU Cipta Kerja berupaya untuk menyederhanakan persyaratan dasar perizinan berusaha yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, serta persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.

Terkait perizinan pemanfaat ruang, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya mengubah kewenangan pemberi dan pencabut izin dari sebelumnya oleh pemerintah pusat dan daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa pemberian dan pencabutan izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan pusat dan daerah (Pasal 27 UU 26/2007). Sedangkan, UU Cipta Kerja mengubahnya menjadi, pemberian dan pencabutan izin pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, menugaskan pemberian izin kepada menteri. Dalam hal ini, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan oleh menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang (Menteri Agraria dan Tata Ruang). Sedangkan, izin pemanfaatan ruang di perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusah pemerintahan di bidang kelautan (Menteri Kelautan dan Perikanan).

PP 21/2021 juga mengatur bahwa pelaksanaan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha diperoleh melalui OSS yang juga digunakan untuk memperoleh izin berusaha berdasarkan risiko (Tabel 3).

Terkait perizinan dasar persetujuan lingkungan, UU Cipta Kerja mempertahankan perlunya tiga jenis dokumen lingkungan, yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), serta Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Pemanfaatan Lingkungan Hidup (SPPL).

Akan tetapi, UU Cipta Kerja memperlakukan Amdal secara berbeda dibandingkan dengan aturan sebelumnya, yakni UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam aturan sebelumnya, Amdal dipahami sebagai kajian yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha. Sedangkan, UU Cipta Kerja memahami Amdal sebagai kajian yang digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaran berusaha serta termuat dalam perizinan berusaha.

UU Cipta Kerja mengeksplisitkan Amdal sebagai hal yang terintegrasi dengan perizinan berusaha. Hal tersebut termuat dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja serta Pasal 1 PP 22/2021 dengan pernyataan, “…serta termuat dalam perizinan berusaha”.

Integrasi tersebut semakin nyata dalam penegasan bahwa persetujuan lingkungan (yang salah satunya juga memuat Amdal) akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya perizinan berusaha (Pasal 3 PP 22/2021). Dalam aturan sebelumnya, hubungan izin lingkungan dan izin usaha diatur dalam Pasal 40 UU 32/2009 yang menyebutkan bahwa dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dibatalkan (Tabel 4).

Poin lain terkait perizinan lingkungan adalah dihapusnya Komisi Penilai Amdal yang dalam UU 32/2009 bertugas memeriksa dokumen lingkungan dari usaha atau kegiatan. UU Cipta Kerja mendirikan Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup untuk melakukan uji kelayakan lingkungan hidup. Lembaga inilah yang kemudian akan membentuk tim uji kelayakan lingkungkungan hidup yang berkedudukan di pusat dan daerah. Secara lebih perinci, tim ini dijelaskan dalam Bab II bagian keenam PP 22/2021.

Perizinan dasar yang juga disederhanakan dalam UU Cipta Kerja adalah izin mendirikan bangunan. UU Cipta Kerja menghapus izin mendirikan bangunan (IMB) dan menggantikannya dengan persetujuan bangunan gedung (PBG).

Dalam aturan sebelumnya, yakni PP 36/2005, perizinan untuk mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku adalah izin mendirikan bangunan (IMB) gedung. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yakni PP 16/2021, perizinan tersebut adalah persetujuan bangunan gedung (PBG) (Tabel 5).

Perbedaan definisi antara IMB dan PBG terletak dalam keterangan kesesuaian persyaratan. IMB memberlakukan kesesuaian dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. Sedangkan, PBG menggunakan kesesuaian dengan standar teknis bangunan gedung. Persyaratan administratif yang dituntut dalam IMB tak lagi disebutkan dalam PBG. Selain itu, IMB digunakan untuk satu fungsi bangunan sedangkan PBG dapat digunakan untuk fungsi campuran.

Imigrasi, Merek, dan Paten

Unsur kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja secara khusus dibicarakan dalam Bab VI. Beberapa isu yang dapat dicermati adalah imigrasi, merek, paten, perseroan terbatas (PT), penghapusan izin gangguan, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), larangan praktik monopoli dan persaingan usaha, perpajakan, serta pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Terkait imigrasi, UU Cipta Kerja memperluas cakupan visa kunjungan juga untuk kegiatan prainvestasi. Selain itu, visa tinggal terbatas (vitas) juga diperluas untuk kegiatan rumah kedua bagi WNA. Sebelumnya, dalam UU 6/2011, visa kunjungan diberikan kepada WNA dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau meneruskan perjalanan ke negara lain (Pasal 38 UU 6/2011).

Cakupan tersebut diperluas dalam UU Cipta Kerja dan kemudian ditegaskan kembali dalam aturan turunannya, yakni PP 48/2021. Dalam PP 48/2021, disebutkan bahwa visa kunjungan juga dapat diberikan kepada WNA dalam rangka kegiatan prainvestasi (Pasal 89 PP 48/2021).

Terkait vitas, UU 6/2011 mengatur bahwa vitas diberikan kepada WNA sebagai rohaniawan, tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, lanjut usia, dan keluarganya, serta orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas.

Aturan terkait vitas diperluas dalam UU Cipta Kerja, yakni juga diberikan kepada WNA sebagai rumah kedua (Pasal 39 UU Cipta Kerja). Hal tersebut juga ditegaskan kembali dalam aturan turunannya, yakni PP 48/2021 (Pasal 102) (Tabel 6).

Kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja juga meliputi paten dan merek. Pengurusan kedua hal tersebut dipercepat.

Dalam hal paten, UU Cipta Kerja memberikan kelonggaran kewajiban pelaksanaan paten. Sebelumnya, dalam UU 13/2016, pemegang paten diwajibkan membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia (Pasal 20 UU 13/2016). Kewajiban tersebut diperlonggar dalam UU Cipta Kerja terkait pelaksanaan paten-produk dan paten-proses.

Pelaksanaan paten-produk diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi paten. Sedangkan, pelaksanaan paten-proses diatur sebagai kegiatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Dalam hal ini, UU Cipta Kerja memberikan kemudahan dengan memasukkan unsur impor dalam pelaksanaan paten.

Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga mempercepat keputusan permohonan paten, dari 12 bulan (Pasal 124 UU 13/2016) menjadi 6 bulan (Pasal 107 UU Cipta Kerja).

Terkait merek, UU Cipta Kerja menambah kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan dan mempercepat proses pengajuan merek. Dalam aturan lama, yakni UU 20/2016, terdapat enam kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan. Kriteria tersebut ditambah menjadi tujuh dalam UU Cipta Kerja. Kriteria yang ditambahkan adalah “mengandung bentuk yang bersifat fungsional”.

Selain itu, pemeriksaan substantif terkait permohonan merek dipercepat, dari paling lama 150 hari (Pasal 23 UU 20/2016) menjadi paling lama 90 hari (Pasal 108 UU Cipta Kerja) (Tabel 7).

Perseroan Perseorangan dan BUM Desa

Kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja dapat juga dilihat dari kemudahan pendirian perseroan serta bentuk badan hukum Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Dalam Pasal 109, UU Cipta Kerja mengubah berbagi ketentuan dalam UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. UU Cipta Kerja mempermudah pendirian perseroan sehingga dapat didirikan oleh satu orang. Akan tetapi, perseroan tersebut harus memenuhi syarat sebagai usaha mikro dan kecil.

Dalam aturan sebelumnya, perseoran didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 7 UU 40/2007). Aturan tersebut kemudian diperlonggar oleh UU Cipta Kerja dengan kemungkinan pendirian perseroan oleh satu orang. UU Cipta Kerja mengatur bahwa perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh satu orang (Pasal 109 UU Cipta Kerja). Hal tersebut kembali ditegaskan dalam PP 8/2021 yang menyatakan bahwa perseroan perorangan termasuk dalam perseroan yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil (Pasal 2 PP 8/2021).

Perseroan yang didirikan oleh satu orang tersebut akan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada menteri dan mendapatkan sertifikat pendaftaran secara elektronik (Pasal 6 PP 8/2021). Aturan terkait legalitas perseroan perseorangan tidak dibahas dalam UU 40/2007. Akan tetapi, secara umum, UU 40/2007 menyatakan bahwa pendirian perseroan memerlukan akta notaris (Tabel 8).

Selain membuka kemungkinan pembentukan perseroan perseorangan, UU Cipta Kerja juga menetapkan status Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) menjadi badan hukum.  Dalam aturan lama, yakni UU 6/2014 tentang Desa, BUM Desa dipahami sebagai badan usaha. Sedangkan, dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, PP 11/2021, BUM Desa dipahami sebagai badan hukum.

UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa BUM Desa dapat membentuk unit usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Hal ini merupakan perluasan dan penegasan dari aturan sebelumnya. Dalam aturan sebelumnya, yakni UU 6/2014, disebutkan bahwa BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi tanpa keterangan kemampuan membentuk unit usaha berbadan hukum. Dari aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni PP 11/2021, unit usaha BUM Desa dipahami sebagai badan usaha berbadan hukum yang melaksanakan fungsi dan tujuan BUM Desa (Pasal 1 PP 11/2021). Dengan penegasan tersebut, BUM Desa yang merupakan badan hukum dapat membentuk unit usaha yang juga berbadan hukum (Tabel 9).

Kemudahan pembentukan perseroan dengan perseroan perseorangan tanpa akta notaris serta penetapan BUM Desa sebagai badan hukum dapat dianggap sebagai upaya pemerintah untuk mempermudah masyarakat dalam memulai usaha.

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Upaya pemerintah untuk semakin mempermudah kegiatan usaha dalam UU Cipta Kerja juga dapat dilihat dari larangan praktik monopoli dan persaingan usaha.

UU Cipta Kerja mengubah tiga hal penting dari UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perubahaan pertama terkait dengan tempat pengajuan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam aturan sebelumnya, keberatan atas putusan KPPU diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 44 UU 5/1999). UU Cipta Kerja mengubah ketentuan tersebut sehingga keberatan atas putusan KPPU diajukan ke pengadilan niaga (Pasal 118 UU Cipta Kerja). Ketentuan tersebut juga dipertegas dalam Pasal 19 PP 44/2021.

Perubahan kedua terkait dengan sanksi atas pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam aturan lama, disebutkan bahwa sanksi minimal 1 miliar dan maksimal 25 miliar (Pasal 47 UU 5/1999). Sedangkan, UU Cipta Kerja hanya mengatur sanksi minimal dan menghilangkan sanksi maksimal (Pasal 118 UU 11/2020). Ketentuan yang sama juga diperjelas dengan aturan turunannya, yakni sanksi minimal 1 miliar rupiah (Pasal 6 PP 44/2021).

Ketiga, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan sanksi pidana tambahan atas bentuk pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam aturan sebelumnya, diatur adanya kemungkinan pidana tambahan. Pidana tambahan yang dapat diberikan berupa pencabutan izin usaha, larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris selama 2-5 tahun, atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Ketentuan sanksi pidana tambahan tersebu dihapus dalam UU Cipta Kerja dan tidak lagi disebut dalam aturan turunannya, PP 44/2021 (Tabel 10).

Pajak

UU Cipta Kerja menyesuaikan beberapa UU Perpajakan yang ada, yakni UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, UU 42/2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Beberapa penyesuaian tersebut meliputi beberapa tema seperti penghapusan PPh dividen bagi wajib pajak dalam dan luar negeri, perubahan subjek pajak dalam dan luar negeri, serta ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

UU Cipta Kerja menghapus PPh dividen bagi wajib pajak badan dalam dan luar negeri. Dalam ketentuan sebelumnya, diatur PPh bagi dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak badan (WP Badan) dalam negeri dengan kepemilikan saham paling rendah 25 persen dikenai PPh (Pasal 4 UU 36/2008). Dalam UU Cipta Kerja, dividen dari dalam negeri yang diterima wajib pajak badan dalam negeri dengan kepemilikan saham berapapun tidak dikenai PPh.

Selanjutnya, UU Cipta Kerja juga menghapus dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga membuka kemungkinan penghapusan dividen yang diterima dari luar negeri yang memenuhi satu dari beberapa syarat tertentu (Pasal 111 UU Cipta Kerja).

Senada dengan penghapusan dividen di atas, UU Cipta Kerja juga memasukkan sisa hasil usaha (SHU) koperasi sebagai hal yang dikecualikan dari objek pajak. Ketentuan tersebut sebelumnya belum tercantum dalam UU 36/2008.

Selain penghapusan dividen, UU Cipta Kerja juga mengecualikan pajak penghasilan bagi WNA. WNA yang telah tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan diperlakukan sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN). Akan tetapi, mereka ini akan dikenai PPh hanya atas penghasilan mereka dari Indonesia untuk 4 tahun pertama (Pasal 111 UU Cipta Kerja). Dalam aturan sebelumnya, WNA tersebut diperlakukan sebagai SPDN dan PPh dikenakan atas penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 36/2008).

Di sisi lain, WNI yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dapat ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN) dengan memenuhi beberapa persyaratan. Dalam aturan sebelumnya, WNI tersebut diperlakukan sebagai SPDN atas dasar kewarganegaraan dan dikenai PPh atas penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia (Pasal 2 UU 38/2008) (Tabel 11).

Izin Gangguan dan PDRD

Sebagai upaya penyederhanaan perizinan berusaha, UU Cipta Kerja mencabut keharusan mendapatkan izin gangguan. Konsekuensinya, UU Cipta Kerja juga mengapus aturan terkait retribusi izin gangguan. Selain itu, UU Cipta Kerja menetapkan kebijakan fiskal terkait PDRD termasuk penetapan tarif yang berlaku nasional.

Izin gangguan (hinder ordonantie/HO) selama ini diatur dalam peraturan daerah sesuai dengan Permendagri 27/2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah. Penerapan izin tersebut mendasarkan pada Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan. Dalam UU Cipta Kerja, Staatsblad tersebut dihapus (Pasal 110 UU Cipta Kerja).

Konsekuensi terhadap penghapusan izin gangguan, UU Cipta Kerja juga menghapus retribusi izin gangguan dan objek retribusi izin gangguan dengan mencabut Pasal 141 huruf c dan Pasal 144 dari UU 28/2009.

Selain menghapus ketentuan izin gangguan dan retribusi terhadapnya, UU Cipta Kerja juga memberikan kemungkinan bagi pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemda (Pasal 114 UU 11/2020).

Ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam PP 10/2021, yakni “Pemerintah Pusat sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian tarif pajak dan/atau retribusi yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai pajak dan/atau retribusi” (Pasal 3 PP 10/2021). Penyesuaian tarif terkait program prioritas nasional tersebut akan ditetapkan kemudian dalam perpres (Tabel 12).

Baca juga: Pekerjaan Rumah Menanti Pasca-Cipta Kerja

Kemudahan Berusaha Indonesia

Berbagai isu terkait kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja di atas secara umum dibuat untuk mempermudah calon pengusaha untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Sebagai salah satu ukuran, setiap tahun Bank Dunia menyusun ranking kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB) dari 190 negara.

Untuk melihat dampak UU Cipta Kerja terhadap kenaikan skor dan peringkat EODB Indonesia, kesebelas isu dalam kluster kemudahan berusaha UU Cipta Kerja di atas dapat dimasukkan dalam tiap indikator EODB.

Dari tabel “Indikator Kemudahan Berusaha dan UU Cipta Kerja” dapat dilihat, terdapat lima indikator yang didukung dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja, yakni indikator starting a business, dealing with construction permits, registering property, paying taxes, trading across border, serta enforcing contracts.

Berdasarkan skor dan ranking OEDB Indonesia 2020, hampir semua indikator kemudahan berusaha Indonesia yang masih lemah telah mendapatkan perhatian dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja. Hanya satu indikator yang secara skor masih lemah dan belum mendapatkan perhatian dalam isu kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja adalah trading across border (Tabel 13). Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa skor maupun peringkat EODB Indonesia akan meningkat pada tahun mendatang. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Internet
Produk Hukum

Aturan Pendukung

  • UU 11/2020 tentang Cipta Kerja
  • UU 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
  • UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
  • UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • UU 36/2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
  • UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  • UU 6/2014 tentang Desa
  • UU 6/2011 tentang Keimigrasian
  • PP 36/2005 tentang Bangunan Gedung

Aturan Turunan UU Cipta Kerja

  • PP 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
  • PP 8/2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil
  • PP 11/2021 Badan Usaha Milik Desa
  • PP 16/2021 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
  • PP 21/2021 Penyelenggaraan Penataan Ruang
  • PP 22/2021 Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • PP 24/2018 Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan
  • PP 44/2021 Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  • PP 48/2021 Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian