Pada 28 Oktober 1928 di halaman depan gedung Indonesische Clubhuis yang sekarang bernama Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106, Jakarta. Duduk dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Sunario, dr Sumarsono, dr Sapuan Sastrosatomo, dr Zakar, Antapermana, Prof Drs Moh Sigit, dr Muljotarun, Mardani, Suprodjo, dr Siwy, dr Sudjito, dr Maluhollo. Berdiri dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Moh Yamin, dr Suwondo (Tasikmalaya), Prof dr Abu Hanafiah, Amilius, dr Mursito, Mr Tamzil, dr Suparto, dr Malzar, dr M Agus, Mr Zainal Abidin, Sugito, dr H Moh Mahjudin, dr Santoso, Adang Kadarusman, dr Sulaiman, Siregar, Prof dr Sudiono Pusponegoro, dr Suhardi Hardjolukito, dan dr Pangaribuan Siregar.
DOK KOMPAS
Pemondokan dengan bangunan utama dan 14 paviliun, berdiri di atas lahan seluas 1.041 meter persegi, menjadi cikal bakal lahirnya gelora perjuangan pemuda Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Gedung di Jalan Kramat Raya 106 ini adalah milik Sie Kong Liong, seorang Tionghoa yang dekat dengan Mohammad Hatta.
Pada masa kata “Merdeka” haram diucapkan, Sie Kong Liong justru menyediakan tempat bagi para pemuda untuk bersatu, mengumpulkan semangat, menyusun pergerakan demi bisa memekikkan kata “merdeka”. Risiko ini tidak kecil karena gerakan politik diawasi dengan ketat, dan pada tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda baru saja menumpas gerakan komunis.
Pondokan ini awalnya dihuni para anggota Jong Java, mahasiswa yang mayoritas menuntut ilmu di Sekolah Dokter Hindia di Gedung Stovia (Jalan Abdurahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat) dan sekolah hukum (Rechts Hogeschool). Lambat laun penghuni pondokan ini semakin beragam mulai dari suku, agama, ras, dan komunitas.
Nama-nama besar pernah tinggal di sini antara lain Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, AK Gani, dan Roesmali. Di sinilah terjadi berbagai pertemuan mahasiswa untuk berdiskusi politik. Para anggota Jong Java dan Jong-Jong lain berbaur, menyamakan satu semangat, persatuan pemuda.
Puncaknya terlaksanalah Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Berlangsung di tiga tempat berbeda selama dua hari, Gedung Kramat Raya 106 dipilih sebagai tempat kongres di hari terakhir, sekaligus penutupan. Di sinilah Sumpah Pemuda dikumandangkan, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” menggema untuk pertama kalinya.
1908
Museum Sumpah Pemuda awalnya adalah rumah tinggal milik Sie Kong Liong. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20. Sejak 1908 Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal dengan nama Commensalen Huis.
1925
Anggota Jong Java mulai menempati Gedung Kramat 106 sebagai pemondokan mereka. Mayoritas dari mereka menempuh Sekolah Dokter Hindia di Gedung Stovia (Jalan Abdurahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat) dan sekolah hukum (Rechts Hogeschool). Mereka pindah ke Gedung Kramat 106 dari pemondokan di Jalan Kwitang Nomor 3 yang dianggap sudah sempit untuk berlatih kesenian dan berdiskusi. Tarif pemondokan saat itu 12,5 sampai 20 gulden Hindia Belanda, sudah termasuk tiga kali makan dalam sehari dan mencuci pakaian.
September 1926
Penghuni Gedung Kramat 106 mulai beragam, lintas suku, bahasa, dan agama. Selain pemuda Jong Java, ada pemuda Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain-lain. Para mahasiswa penghuni pemondokan kemudian mendirikan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan menjadikan pemondokan sebagai pusat kegiatan PPPI.
1927
Sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuninya. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
27 Oktober 1928
Rapat pertama di Kongres Pemuda II dilangsungkan di Gedung Katholieke Kongelingen Bond (KJB) atau Perhimpunan Pemuda Katholik. Rapat pertama ini berlangsung dari pukul 19:30-23:30. Gedung ini telah dibongkar. Di atas lahannya, kini berdiri Gedung Pertemuan Gereja Katedral Jakarta. Gedung KJB dipilih sebagai lokasi kongres diduga karena panitia juga ingin menyampaikan pesan bahwa keinginan bersatu yang muncul pada saat itu tidak hanya milik pemuda dari kelompok agama, suku, atau etnis tertentu.
28 Oktober 1928
Rangkaian Kongres Pemuda II di hari terakhir dibagi menjadi 2 rapat. Rapat pagi hari dilangsungkan di Gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Pada sesi pagi, banyak yang hadir dan harus berdiri karena gedung bioskop tempat diselenggarakan rapat tidak cukup menampung banyaknya peserta. Dikarenakan alasan ini, rapat terakhir di malam harinya, Gedung Kramat Raya 106 atau yang telah dinamai Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw menjadi tempat pamungkas sekaligus menjadi tempat tercetusnya Sumpah Pemuda.
1934-1937
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Setelah para pelajar tidak melanjutkan sewanya pada tahun 1934, gedung disewakan kepada Pang Tjem Jam selama tahun 1934–1937. Pang Tjem Jam menggunakan gedung itu sebagai rumah tinggal.
1937-1948
Pada tahun 1937-1948 gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga. Berdasarkan keterangan keluarga Loh Jing Tjoe, dalam zaman revolusi fisik tahun 1946, gedung ini dipergunakan oleh pemuda untuk mengadakan gerakan, sebagai tempat persembunyiannya. Keluarga Loh Jing Tjoe pada masa ini mengungsi ke Sukabumi dan rumah itu hanya dijaga oleh Loh Jing Tjoe sendiri. Loh Jing Tjoe bersedia menyediakan rumah ini sebagai tempat persembunyian dari gerakan pemuda karena ia sendiri seorang keturunan Tionghoa yang menaruh perhatian besar akan perjuangan kemerdekaan Indonesia, disamping itu menurut keluarganya Loh Jing Tjoe sangat kenal baik dengan Mohammad Hatta.
1948-1951
Hingga tahun 1951, gedung ini masih disewa oleh Loh Jing Tjoe. Sesudah revolusi fisik gedung ini dijadikan hotel oleh Loh Jing Tjoe dengan nama “Hotel Hersia”. Hotel berjalan sebagai hotel umum sampai tahun 1951.
1951-1970
Pada tahun 1951–1970, Gedung Kramat 106 yang telah menjadi Hotel Hersia disewa Inspektorat Bea dan Cukai. Mula-mula hotel dipergunakan oleh Bea Cukai sebagai tempat penampungan sementara. Kemudian oleh Bea Cukai dijadikan kantor pada bagian depannya. Karena pada bagian depan telah dijadikan kantor maka bagian yang dijadikan kantor itu dilakukan perombakan dengan menutup ruangan depan dengan papan yang tadinya terbuka. Penggunaan hotel sebagai kantor ini atas persetujuan almahum Loh Jing Tjoe.
3 April 1973
Gedung Kramat 106 dipugar oleh Pemda DKI Jakarta.
20 Mei 1973
Setelah pemugaran, Gubernur Ali Sadikin meresmikan pemondokan Liong ini sebagai sebuah museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.
16 Agustus 1979
Pengelolaan Gedung Kramat 106 atau Gedung Sumpah Pemuda diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
7 Februari 1983
Dengan dikeluarkannya SK Mendikbud No. 029/O/1983, Gedung Sumpah Pemuda dijadikan UPT di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan nama Museum Sumpah Pemuda.
2000
Museum Sumpah Pemuda dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2012
Pengelolaan Museum Sumpah Pemuda beralih ke tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
27 Desember 2013
Bangunan utama Gedung Museum Sumpah Pemuda ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 254/M/2013.
Referensi
Sumpah Pemuda: Dari Semua Golongan, untuk Satu Indonesia. KOMPAS, 29 Oktober 2017.
Museum Sumpah Pemuda: Kisah Pemondokan Sie Kong Liong. KOMPAS, 26 Oktober 2015.
Semangat Pembauran ”Jong Kos”. KOMPAS, 31 Oktober 2018.
Pesan dari Tempat Kongres Pemuda II. KOMPAS, 1 November 2018.
Sumpah Pemuda: Dari Semua Golongan, untuk Satu Indonesia. KOMPAS, 29 Oktober 2017.
Museum Sumpah Pemuda: Kisah Pemondokan Sie Kong Liong. KOMPAS, 26 Oktober 2015.
Layar Saudjana: Museum Sumpah Pemuda. KOMPAS Siang, 30 Oktober 2013.
Penulis
Agustina Rizky Lupitasari
Editor
Inggra Parandaru