Paparan Topik | Kebudayaan

Makna Ritual Ngaben di Bali

Malebu/Atiwa tiwa atau yang lebih populer disebut Ngaben menjadi puncak ritual awal upacara kematian di Masyarakat Bali, yang dilanjutkan dengan Atma Wedana. Seiring berkembangnya teknologi, kayu bakar berevolusi ke kompor pembakaran serta yang terkini, krematorium.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Lembu hitam sebagai tempat menempatkan jenazah I Gusti Adhi Putra, salah satu warga Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (13/1/2018) siang, pada upacara Ngaben (pembakaran jenazah) di setra (kuburan) desa. Tempat pembakaran ini dipercaya sebagai simbol memperlancar jalan roh sang jenazah menuju siwaloka atau surga dan lembu hitam digunakan untuk keturunan kasta kesatria dengan tingkat upacara ngaben madya serta utama.

Fakta Singkat

  • Pitra Yadnya atau upacara kematian merupakan satu dari Panca Yadnya. Empat Yadnya yang lainnya adalah Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, dan Butha Yadnya.
  • Melakukan Pitra Yadnya adalah swadharma atau kewajiban.
  • Dalam Pitra Yadnya, empat tingkat usia menjadi pokok dasar dalam menentukan jenis tata upacara yg harus dilakukan. Empat tingkat usia tersebut adalah Usia Sebelum Kepus Pungsed, Usia Sesudah Kepus Pungsed, Usia 105 Hari sampai Sebelum Gigi Tanggal, dan Usia Setelah Gigi Tanggal dan seterusnya.
  • Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa stula sarira (badan kasar/jasad manusia) dan suksma sarira (jiwa/roh manusia) menjadi dasar adanya 2 prosesi Pitra Yadnya yaitu Ngaben dan Atma Wedana.
  • Terdapat 3 jenis pengabenan berdasarkan sasaran pengabenan dan kkedudukan sosial dan ekonomi yaitu Yama Purwana Tatwa, Nywasta atau Recadana, dan Sawa Wadana.
  • Seiring berkembangnya teknologi, Teknik pembakaran juga mengalami pergeseran. Mulai dari dibakar menggunakan kayu bakar, kompor pembakaran hingga kini muncul krematorium.

Terdapat sebuah istilah keagamaan dalam Hindu, yakni Pitra Yadnya, yang memiliki arti yaitu upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan atau nyangaskara jenazah atau roh keluarga yang meninggal dengan berbagai macam sajen dan alat alat upakara sebagai sarananya.

Pitra Yadnya merupakan satu dari Panca Yadnya. Empat Yadnya yang lainnya adalah Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, dan Butha Yadnya. Pitra Yadnya sendiri terdiri dari 2 kata, yakni “Pitra” yang berarti orangtua dengan artian lebih luasnya adalah leluhur. Kemudian kata “Yadnya” yang berarti pengorbanan yang didasari hati tulus ikhlas nan suci. Sehingga “Pitra Yadnya” berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus suci kepada leluhur, terutama kepada orangtua.

Melakukan Pitra Yadnya adalah swadharma atau kewajiban. Di agama Hindu, terdapat paham bahwa seseorang lahir membawa beban utang yang besar. Agama Hindu percaya bahwa selama di dalam rahim, seseorang memiliki hutang kepada ayahnya atas kama putih nya (sperma) dan kama bang nya (ovum) dari ibunya.

Agama Hindu percaya bahwa stula sarira (jasad) berasal dari lima elemen pokok dari alam semesta (Pancamahabutha) yaitu pratiwi (zat tanah), apah (zat cair), teja (zat panas dan cahaya), bayu (udara), dan akasha (ether). Mereka yang hidup dianggap memiliki hutang kepada 5 elemen dasar ini dan harus dikembalikan ketika tiada. Itulah mengapa, upacara Pitra Yadnya ini wajib hukumnya untuk dilakukan khususnya oleh seorang anak bagi orangtuanya. Selain untuk membayar hutangnya, namun juga untuk secara tulus mengembalikan jasad orangtuanya atas hutangnya terhadap alam semesta melalui upacara pembakaran atau ngaben.

Sebuah upacara besar bernama Karya Agung Pitra Yadnya Pelebon (Upacara Agung Pembakaran Jenazah) Raja Gianyar Dr Meester Ide Anak Agung Gde Agung di gelar di Puri Agung Gianyar (24/9/1999). Tampak para pembawa sesajen mengiringi tempat jenazah menuju tempat pembakaran jenazah. (KOMPAS/Johnny TG).

Dalam Pitra Yadnya, empat tingkat usia menjadi pokok dasar dalam menentukan jenis tata upacara yg harus dilakukan. Empat tingkat usia beserta tata upacaranya antara lain:

  • Usia Sebelum Kepus Pungsed (belum lepas tali pusarnya)

Bagi bayi yang meninggal sebelum lepas tali pusarnya, dalam agama Hindu dipercaya masih sebagai makhluk suci warga cucupu manik (rahim) sehingga tidak dikenai upakara apapun atas dirinya. Namun, jika dibuatkan upakara (sesajen), hal itu bertujuan untuk menyucikan ibunya dan sanak catur (empat teman) yang menyertainya ketika lahir seperti ari-ari dan sebagainya. Bayi ini juga tidak diperciki tirtha dan tidak dikenai tepung tawar, dikarenakan bayi ini belum terhitung sebagai makhluk buana agung (dunia) ini. Jasad bayi ini juga tidak perlu dibakar atau melalui proses ngaben.

  • Usia Sesudah Kepus Pungsed (setelah lepas tali pusarnya)

Sebagian besar sama tata upacaranya dengan bayi yang belum lepas tali pusarnya, namun karena sudah pernah dilakukan upacara terkait kelahirannya saat lepas tali pusar, maka perlu dilakukan upacara ngeluharang Bhatara Kumara atau mempersilakan Dewa Pengasuh Bayi kembali ke Khayangan karena yang diasuh telah tiada. Upacara sama seperti bayi yang belum kepus pungsed, hanya sampai di penguburan, tanpa ada pengabenan.

  • Usia 105 Hari sampai Sebelum Gigi Tanggal

Usia ini dianggap sudah menuju dewasa sehingga perlu dilakukan pembakaran/ngaben dengan dipercikkan air suci yang disebut Tirtha Panglepas Rare atau Tirtha Pangentas yang dibuat dari air kelapa yang lebih muda dari kelapa muda. Meskipun dilakukan pengabenan, namun upacara bagi jasad seusia ini tidak perlu dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana sebab jiwanya belum dibebani oleh karma.

  • Usia Setelah Gigi Tanggal dan Seterusnya

Pada usia ini, Hindu menganggapnya sudah dewasa dan tata laksana upacaranya dilakukan sama dengan orang dewasa. Mulai dari pengabenan hingga Atma Wedana.


Ngaben sebagai Puncak Prosesi Pertama dalam Pitra Yadnya

Pengembalian tubuh manusia ke Pancamahabutha menjadi alasan besar, mengapa jenazah perlu dibakar melalui proses Ngaben. Pembakaran dilakukan supaya wujud lahiriah ini kembali kepada induk asalnya masing-masing, 5 unsur alam semesta. Namun lebih lanjut, orang Hindu percaya bahwa dengan musnahnya jasad menjadi mahabutha, hilanglah daya ‘kemanusiaannya’, sehingga hanya tersisa jiwanya yang suci.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, pantai berperan penting dalam kegiatan upacara dan persembahyangan. Di tepi Pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar (8/11/2004), ratusan warga Banjar Tapakgangsul, Denpasar, mengadakan upacara persembahyangan nganyut dan nyekah. Ini merupakan bagian dari rangkaian upacara ngaben, yaitu menyucikan abu jenazah ke laut. Upacara ngabennya sendiri telah berlangsung tahun lalu. (KOMPAS/Cokorda Yudistira).

Tubuh manusia atau badan kasar yang juga disebut stula sarira inilah sasaran dari prosesi Pitra Yadnya pertama dalam prosesi Ngaben. Sedangkan jiwa atau badan halus yang juga disebut suksma sarira inilah yang setelah pengabenan perlu dilakukan upacara Atma Wedana sebagai penyuciannya. Paham fundamental ini yang menjadi dasar adanya 2 prosesi dalam Pitra Yadnya atau upacara kematian dalam masyarakat Bali pemeluk agama Hindu ini.

Lontar selalu menjadi pedoman hidup bagi pemeluk agama Hindu. Berdasarkan lontar yang ada, terdapat 3 jenis pengabenan yang disesuaikan dengan keadaan mendiang serta status sosial dan ekonomi keluarga. Tiga jenis pengabenan tersebut, yaitu:

  • Yama Purwana Tatwa

Pengabenan yang paling sederhana yang hampir tak dikenal oleh masyarakat Bali dikarenakan Ngaben sudah selalu bercirikan kemewahan dengan upakara yang sangat banyak. Selain tata upacaranya yang sederhana, jenis pengabenan ini selalu sasarannya adalah sawa (jenazah) baru secara nyata, bukan yang dititip, atau telah dikubur terlebih dahulu.

  • Nywasta atau Recadana

Dalam jenis pengabenan yang sering disebut juga Swastagni ini, tidak ada sawa namun upacara ini dilakukan dengan satu ‘badan remat’ sebagai pengganti sawa. Prosesi pengabenan ini sama dengan Yama Purwana Tatwa, sangat sederhana namun tanpa mengurangi makna.

  • Sawa Wedana

Inilah jenis ngaben terbesar yang menjadi pilihan bagi mereka dengan kemampuan kedudukan sosial tinggi. Berbeda dengan kedua jenis ngaben sebelumnya, pada Sawa Wedana, dapat ditempuh baik dengan sawa maupun tidak.

Ribuan warga dan wisatawan menyaksikan upacara pelebon atau ngaben Ida Dwagung Peliatan, Raja Puri Agung Peliatan IX, di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (2/11/2010). (KOMPAS/Benny Dwi Koestanto)

Dengan adanya 3 pilihan Ngaben ini, sejatinya membuat Ngaben tidak wajib dilaksanakan secara bermewah-mewahan. Namun bagi mereka dengan status sosial yang tinggi tidak dibenarkan pula jika melakukan prosesi sangat sederhana. Itulah mengapa terdapat pembagian kasta di masyarakat Bali, untuk dapat disesuaikan dengan penyelenggaraan upacara-upacara keagamaannya juga.


Dari Kayu Bakar ke Kompor Pembakaran dan Krematorium

Prosesi pembakaran jenazah menggunakan kayu bakar di ritual ngaben saat ini mulai ditinggalkan dan banyak bermunculan jasa kompor pembakaran, dan juga krematorium. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah lamanya waktu membakar jenazah menggunakan kayu bakar. Dengan kompor pembakaran, proses ngaben hanya perlu sekitar 3 jam untuk dapat menjadi abu. Dengan menggunakan kompor pembakaran juga menghapus perlakuan kekerasan terhadap mayat yang seringkali dilakukan saat melakukan pembakaran dengan kayu bakar, seperti harus memotong dan mencacah jenazah lebih kecil supaya dapat terbakar dengan cepat dan sempurna.

Persiapan Ngaben di Pantai Sanur Bali. (KOMPAS/Ida Setyorini).

Penggunaan kompor pembakaran ini pada awalnya tidak diterima, namun beberapa pemuka agama Hindu di Bali kemudian menyatakan persetujuannya dengan beberapa alas an antara lain bahwa dalam sastra agama Hindu disebutkan bahwa pengabuan jenazah menggunakan api namun tidak secara mutlak disebutkan peralatan untuk menyalakan api tersebut. Kemudian, diskursus bahwa pengabenan menggunakan kompor pembakaran membuat mendiang gentayangan, tidak dapat dibuktikan. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, terdapat ritual metuwunan, yaitu memanggil roh yang telah dibakar. Dan hal seperti gentayangan tersebut tidak terbukti.

Selanjutnya, pada tahun 2000-an, muncul teknologi baru pembakaran jenazah yaitu melalui Krematorium. Pada tahun 2014, teknologi pembakaran ini akhirnya mendapatkan legitimasi dari agama Hindu melalui paruman sulinggih atau pertemuan para ahli agama yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Klungkung tepatnya pada tanggal 19 November 2014. Melalui pertemuan dini diputuskan bahwa ngaben di crematorium dibenarkan dengan alas an antara lain, tidak adanya sumber sastra agama Hindu yang melarang ngaben di crematorium, fleksibilitas ajaran agama Hindu, dan juga terkait api citta yang merupakan api dari pikiran jnana (pikiran) sulinggih tetap jadi sarana utama kremasi, sebelum dilanjutkan dengan api sekala seperti kayu bakar, bbm, dan listrik.

Keluarga dari jenazah Nyoman Sukerana menghancurkan abu setelah dikremasi di Krematorium Yayasan Bodhisattva, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung (1/11/2012). Setelah dihancurkan oleh keluarga, abu tersebut dilarung ke laut. (KOMPAS/Herlambang Jaluardi)

Pergeseran teknologi ini menjadi jawaban masyarakat Bali atas perkembangan jaman dan penerapan usaha efisiensi di berbagai lini prosesi upacara. Meskipun begitu, prosesi Ngaben ini tetap selalu magis dan sarat makna, membuat siapapun tertarik untuk menyaksikannya.

Referensi

Arsip Harian Kompas
Buku
  • Kaler, I Gusti Ketut. 1993. Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma Naradha
  • Atmadja, Nengah Bawa, Atmadja, Anantawikrama Tungga, dan Maryati, Tuty. 2015. (Ngaben + Memukur) = (Tubuh + Api) + (Uparengga + Mantra) = (Dewa Pitara + Surga): Perspektif Teori Sosial Ketubuhan terhadap Ritual Kematian di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari

Editor
Santi Simanjuntak

Artikel terkait