Kuartet komika Indra Jegel, Oki Rengga, Bene Dion, dan Boris Bokir, tampil dengan baluran cat warna perak dan emas di sekujur tubuh demi merayakan keberhasilan film mereka Agak Laen (2024) tembus total penonton tujuh juta orang. Mereka tampil di atas skydeck halte Bundaran HI, Selasa (27/2/2024) sore, menyapa orang-orang yang lalu lalang.
Fakta Singkat
Hari Film Nasional
- Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional, setiap tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional (HFN)
- Tanggal 30 Maret dipilih mengacu pada hari pertama dimulainya shootingfilm Darah dan Doa, yaitu 30 Maret 1950, garapan sutradara Usmar Ismail.
- Peringatan HFN pada 30 Maret sudah diusulkan sejak tahun 1962 dalam keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi-organisasi perfilman.
- Pada 2023, industri film nasional berhasil menarik lebih dari 55 juta penonton, sebanyak 20 judul film Indonesia yang tayang di bioskop mencapai 1 juta penonton.
- Sepanjang 2023, ada 50 judul film Indonesia yang berhasil membentangkan layarnya di 24 festival film internasional di 18 negara.
- Pada 2024, pengamat sekaligus peneliti film, Hikmat Darmawan, memperkirakan, industri film Tanah Air bisa menarik 50 – 60 juta penonton.
- Ada tujuh sektor dalam penguatan ekosistem perfilman nasional, mulai dari pendidikan film, kreasi, produksi, distribusi, ekshibisi, literasi dan apresiasi, hingga arsip film.
Tanggal 30 Maret merupakan hari istimewa bagi insan perfilman Indonesia karena diperingati sebagai Hari Film Nasional. Hal ini termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional.
Dalam butir keputusannya, dinyatakan bahwa penetapan Hari Film Nasional ini adalah upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia, serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional, dan internasional.
Adapun tanggal 30 Maret dipilih mengacu pada hari pertama dimulainya shooting film Darah dan Doa, yaitu 30 Maret 1950, garapan sutradara Usmar Ismail.
Merujuk arsip Kompas, peringatan HFN pada 30 Maret sudah diusulkan sejak tahun 1962 dalam keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi-organisasi perfilman.
Darah dan Doa menjadi sejarah perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama setelah Indonesia merdeka dan diproduksi studio film lokal, yaitu Perusahan Film Nasional Indonesia (Perfini). Sebelumnya, seluruh film yang dipertunjukkan di Indonesia hanyalah film-film yang diimpor dari luar negeri.
Sebenarnya, sebelum Darah dan Doa, produksi film cerita paling awal di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng. Film ini diproduksi di Indonesia dan menampilkan cerita tentang legenda terkenal dari Jawa Barat. Namun, film tersebut dibuat oleh perusahaan film asing dan disutradari oleh orang asing, yakni seorang Jerman bernama G. Kruger, bersama orang Belanda bernama L. Heuveldop.
Usmar Ismail pun sebelum menyutradarai Darah dan Doa juga sudah pernah menyutradarai dua film, Tjitra dan Harta Karun. Namun, film tersebut dibuat Usmar Ismail ketika masih bergabung dengan perusahaan Belanda bernama South Pasific Film Corporation.
Baru pada 1950 didirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia oleh Usmar Ismail dan kawan-kawan. Produksi pertamanya adalah film Darah dan Doa. Film drama perang ini berlatar era aksi Belanda pada akhir dekade 1940-an, terinspirasi dari kisah yang ditulis oleh sastrawan Sitor Situmorang tentang tentang pasukan Divisi Siliwangi yang melakukan perjalanan panjang atau longmarch dari Yogyakarta ke Jawa Barat usai mendapat serangan dari Belanda yang ingin mengusik kembali Indonesia pasca-kemerdekaan.
Gayus Siagian dalam bukunya Sejarah Film Indonesia menyebutkan bahwa film Darah dan Doa diberi predikat nasional, karena berbeda dengan film-film sebelumnya, modal untuk film ini adalah modal nasional. Demikian juga tim produksinya, mulai dari sutradara, penulis skenario, artis-artisnya, dan lain-lainnya adalah orang-orang Indonesia.
Tim produksinya, antara lain, Usmar Ismail (sutradara dan penulis skenario), Max Tera (kameramen dan editor), Basuki Resobowo (artistik), dan GRW Sinsu (penata musik). Pemain-pemainnya, antara lain, Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, Suzzana, Rd Ismail, Muradi, dan sebagainya.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Catatan Positif Awal Tahun
Pada awal tahun 2024, industri perfilman Indonesia menunjukkan aura yang positif. Hal ini salah satunya ditandai dengan tingginya antusiasme masyarakat untuk datang ke bioskop, menonton film Indonesia.
Adanya antusiasme itu dapat dilihat dari salah satu film karya dalam negeri, Agak Laen, yang meraih sukses besar pada awal tahun 2024. Sejak pertama kali tayang pada 1 Februari lalu, film bergenre horor komedi ini sudah ditonton lebih dari 8,9 juta orang, tercatat sebagai salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa. Film ini juga melebarkan layar ke luar negeri, antara lain, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Amerika Serikat.
Kesuksesan film besutan rumah produksi Imajinari dan disutradarai oleh Muhadkly Acho ini memberikan angin segar dan membawa sinyal positif bagi dunia perfilman Indonesia. Hal ini membuktikan adanya apresiasi yang tinggi dari masyarakat terhadap film lokal yang baik.
Selain Agak Laen, per Maret, tercatat ada 3 film Indonesia lainnya yang tayang pada awal tahun 2024 yang terbilang cukup sukses dilihat dari jumlah penontonnya yang lebih dari satu juta orang. Di antaranya adalah Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 karya Benni Setiawan (rilis 11 Januari 2024); Kereta Berdarah karya Rizal Mantovani (1 Februari 2024); dan Pemandi Jenazah karya Hadrah Daeng Ratu (22 Februari 2024).
Capaian tersebut menunjukkan adanya peluang animo penoton film Indonesia yang besar. Pengamat sekaligus peneliti film, Hikmat Darmawan, memperkirakan pada 2024 industri film Tanah Air bisa menarik 50 – 60 juta penonton.
Para sineas Indonesia perlu memanfaatkan momentum itu dengan memproduksi film-film yang berkualitas. Dengan begitu, orang rela mengeluarkan uang untuk menonton film-film Indonesia.
Direktur Utama PT Produksi Film Negara (Persero) atau PFN, Dwi Heriyanto, memproyeksikan, apabila perfilman Indonesia bisa menarik hingga 60 juta penonton pada 2024, perputaran uang pun akan mengalir deras. Jika harga per tiket Rp 40.000 per orang, omzet sepanjang tahun mencapai Rp 2,4 triliun. Angka ini belum termasuk pendapatan dari kanal media over the top (OTT), layanan berbasis internet yang berperan sebagai distributor konten.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Terus Bertumbuh
Beberapa tahun terakhir, industri film di Indonesia bisa dikatakan sedang mengalami pertumbuhan. Ini dapat dilihat dari tren jumlah penonton yang terus meningkat dan keberhasilan sejumlah film Indonesia menembus berbagai festival film internasional.
Mengacu data Badan Perfilman Indonesia, angka penonton film nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka penonton film Indonesia yang hanya 16 juta pada 2015, tumbuh menjadi 37,2 juta pada 2016, 42,7 juta pada 2017, 50 juta pada 2018, dan menjadi 51,2 juta penonton pada 2019.
Akibat pandemi Covid-19, jumlah penonton sempat anjlok ke 19 juta penonton pada 2020. Setahun setelahnya, angkanya makin turun ke 4,5 juta penonton. Namun, setelah pandemi, pada 2022, industri perfilman kembali menggeliat dengan sukses menarik 54,07 juta penonton.
Pada 2023, industri film nasional berhasil menarik lebih dari 55 juta penonton. Sebanyak 20 judul film Indonesia yang tayang di bioskop mencapai 1 juta penonton, meningkat dari tahun 2022 dengan 12 judul film. Dari 20 film yang mencapai 1 juta penonton, 7 di antaranya ditonton lebih dari 2 juta penonton. Penghitungan ini belum termasuk film-film karya sineas Tanah Air yang tayang di platform layanan streaming.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat bahwa dari seluruh subsektor pariwisata dan ekonomi kreatif, film menjadi salah satu yang memiliki pertumbuhan paling positif. Sebagai industri yang tumbuh positif, sektor film memiliki peluang investasi yang besar. Economic Adviser & Senior Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan bahwa film memiliki Intellectual Property (IP) tinggi di mana satu film nilainya ditaksir bisa mencapai Rp 15 triliun.
Film Indonesia juga semakin sering terlibat dan masuk nominasi di festival-festival film internasional bergengsi, seperti Busan International Film Festival, Berlin International Film Festival, Toronto International Film Festival, hingga Venice International Film Festival.
Sepanjang 2023, sedikitnya ada 50 judul film Indonesia yang berhasil membentangkan layarnya di 24 festival film internasional di 18 negara. Menurut catatan Kemendikbudristek, ini menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah. Selain itu, ada pula enam kelas atau proyek film internasional yang diikuti sineas Indonesia (“Film Indonesia Semakin Mencuri Perhatian Dunia”, Kompas, 18 Desember 2023).
Salah satu film Indonesia yang berhasil masuk dalam jajaran festival internasional adalah Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja. Film yang mengangkat isu sosial terkait cyber bullying ini tayang di Toronto International Film Festival (TIFF) pada September 2023 lalu. Budi Pekerti juga sempat “mampir”, antara lain, di SXSW Sydney 2023 Screen Festival, Taipei Golden Hours Film Festival, dan India International Film Festival (IFFI).
Banyaknya karya sineas Indonesia yang menembus berbagai festival film intersional menunjukkan bahwa film Indonesia bisa diterima secara luas dan semakin diperhitungkan di kancah internasional. Di sisi lain, keterlibatan di festival film internasional merupakan kesempatan sineas untuk menguji karyanya, melihat ekosistem perfilman di negara lain, pertukaran pengetahuan, dan memperluas jejaring internasional.
Grafik:
Masih Banyak Pekerjaan Rumah
Di balik industri perfilman Tanah Air yang terus berkembang ke arah yang positif, ada sejumlah tantangan mendasar yang menjadi pekerjaan rumah dan perlu segera ditemukan solusinya untuk memaksimalkan potensi perkembangan industri perfilman.
- Keragaman Genre
Dari segi genre, misalnya, saat ini, genre horor masih menjadi genre yang paling banyak di produksi sineas Indonesia. Ini tidak bisa dilepaskan dari minat masyarakat Indonesia pada hal-hal mistis. Budayawan Mochtar Lubis pernah menyebutkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah percaya takhayul.
Besarnya minat ini terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Oktober 2017, di mana mayoritas responden (82 persen) mengatakan pernah menonton film horor. Minat yang tinggi terhadap film horor dibuktikan juga oleh kemunculan film-film bermuatan horor yang terus mendapat apresiasi masyarakat. Saat ini saja, ada 3 film horor yang menduduki posisi 10 besar film terlaris di Indonesia, satu di antaranya menjadi pemuncak klasmen dengan penonton lebih dari 10 juta orang.
Sineas Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman tersebut—bukan berati tidak boleh membuat film horor. Keberanian sineas Indonesia untuk melakukan inovasi dan eksplorasi genre lainnya sangat penting untuk memperkaya sajian film Indonesia, sehingga kian berwarna, kian beragam.
Potensi minat penonton Indonesia terhadap genre lain sudah ada. Film Mencuri Raden Saleh karya Angga Dwimas Sasongko contohnya. Film tentang pencurian lukisan ini tergolong baru di Indonesia, namun ditonton lebih dari 2 juta orang.
- Pembajakan
Pekerjaan rumah lainnya yang menjadi masalah klasik dan masih belum terselesaikan hingga hari ini adalah masalah pembajakan film. Masalah ini sudah lama meresahkan karena merugikan seluruh pelaku rantai produksi dan distribusi film.
Pada 2017, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia meriset pembajakan film di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang. Menurut penelitian di empat kota ini, total kerugian bisa mencapai Rp 1,495 triliun per tahun. Adapun kerugian secara nasional diprediksi mencapai Rp 5 triliun (“Kerugian akibat Pembajakan Film Rp 5 Triliun”, Kompas, 4 Mei 2018).
Angka tersebut diperkirakan terus meningkat tiap tahun, terutama jika dilihat dari semakin maraknya pembajakan di platform digital. Padahal, uang yang hilang akibat pembajakan bisa dipakai untuk kemajuan dan keberlangsungan industri film. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pemerintah dan penegak hukum untuk serius dan tegas melindungi film Indonesia dari pembajakan.
Sosialiasi juga diperlukan untuk bisa meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya penghargaan hak cipta film. Aktivitas menonton film bajakan bagi sebagian masyarakat masih dianggap sebagai hal yang lumrah. Itu sebabnya, perlu edukasi terus-menerus tentang hak kekayaan intelektual dan dampak mengonsumsi konten bajakan.
- Kendala produksi dan distribusi
Dalam hal konsumsi, saat ini film sering terkendala dengan kuota tayang, lama tayang, hingga kelas layar, dan pada saat yang bersamaan harus bertarung menghadapi gempuran film-film Hollywood.
Korea Selatan mungkin bisa dijadikan contoh. Korea Selatan melakukan kebijakan proteksi untuk mengimbangi hegemoni film asing terutama Hollywood. Negara mengharuskan film nasional mendapatkan masa putar 146 hari dalam masa waktu satu tahun. Televisi Korea juga mewajibkan distribusi 45 persen tayangan prime time diisi oleh film dan animasi Korea. Dampaknya, dominasi Hollywood di negara itu berkurang (“Perfilman Indonesia Berjuang Tanpa Banyak Perlindungan di Negeri Sendiri”, Kompas, 8 Maret 2020).
Terkait produksi dan distribusi, industri film Indonesia juga masih terbebani pajak tinggi, regulasi yang berbelit, hingga masih adanya “pungutan liar”. Masalah ini sudah banyak dikeluhkan para sineas. Regulasi yang jelas, adanya subsidi dan insentif untuk produksi dan distribusi film tentu akan sangat membantu perkembangan perfilman.
Dari segi distribusi, persebaran layar bioskop masih belum merata di semua daerah di Indonesia. Jumlah layar bioskop hingga saat ini ada sebanyak 2.088 layar di 417 bioskop, yang mana sekitar 80 persen berada di Jawa.
Penyebaran layar bioskop yang tidak merata mempersempit akses masyarakat untuk menonton film nasional. Ini membuat potensi penonton Indonesia belum tergarap maksimal. Padahal, menurut Hikmat Darmawan, jika layar bioskop merata potensi penonton film di Indonesia dapat mencapai 80 juta dengan asumsi proporsi jumlah penduduk sejak 2010 (“Industri Film Indonesia Akan Makin Atraktif pada 2024”, Kompas, 6 Februari 2024).
Di sisi lain, ketimpangan persebaran layar bioskop juga jadi salah satu penyebab sulitnya menghilangkan kultur pembajakan dalam industri film Indonesia. Sulitnya akses mendorong masyarakat menonton film dari DVD bajakan atau mengunduh versi digital dari situs ilegal.
- Sumber daya manusia dan ekosistem perfilman
Sementara dari sisi sumber daya manusia (SDM), kendati jumlahnya banyak, lulusan pendidikan tinggi ataupun menengah perfilman masih dinilai belum sesuai dengan kebutuhan industri. Sehingga banyak dari mereka belum terserap dalam industri perfilman.
Ada beberapa faktor penyebab hal itu. Di antaranya adalah kurikulum lembaga pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri film. Selain itu, pengajar yang memiliki kompetensi perfilman masih kurang. Pengajar umumnya mendapat pelatihan, tetapi tidak pernah menjadi praktisi (“Lulusan Perfilman Belum Sesuai Kebutuhan Industri”, Kompas, 6 Maret 2023).
Faktor lainnya, perekrutan tenaga kerja di industri film pun umumnya bersifat tertutup dan hanya merekrut tenaga kerja yang sudah dikenal. Akibatnya, pekerja film baru yang tidak memiliki koneksi sulit diserap industri.
Kondisi kerja para insan film juga belum sepenuhnya aman. Isu sistem kerja yang belum aman masih sering dikeluhkan oleh para pelaku industri perfilman, terutama terkait keselamatan dan kesehatan kerja, jam kerja, hingga risiko kekerasan seksual.
Berdasarkan survei yang dilakukan Indonesian Cinematographers Society (ICS) bersama Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), dari 401 responden survei, sebanyak 54,11 persen orang bekerja selama 16 – 20 jam per hari. Ada pula responden yang bekerja lebih dari 20 jam (7,2 persen) dan 12 – 16 jam (32,4 persen) (“Susun Sistem Kerja Perfilman yang Aman dan Nyaman”, Kompas, 7 Maret 2023).
Menurut Ketua Indonesian Film Directors Club (IFDC) Ifa Isfansyah, durasi kerja yang lama akan berpengaruh ke waktu dan kualitas tidur para pekerja film. Hal ini juga memengaruhi kualitas hidup pekerja film. Kondisi kerja seperti ini juga tidak mendukung kreativitas. Padahal, ruh industri film adalah kreativitas.
Terkait keselamatan kerja, pekerja film masih banyak yang belum mendapat pelatihan soal keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Padahal, banyak pekerjaan dalam produksi film yang berhubungan dengan ketinggian, misalnya saat kru film bekerja di atas perancah (steger/scaffolding). Kondisi ini rentan menyebabkan kecelakaan kerja. Adanya pelatihan K3 dan jaminan sosial ketenagakerjaan penting karena sebagian pekerjaan perfilman berisiko.
Ruang kerja film juga mesti didesain agar aman dari kekerasan seksual. Sebab, selama ini kekerasan seksual masih dialami sejumlah pekerja film di tempat kerja. Tanpa aturan dan panduan yang jelas, semua orang bisa jadi pelaku atau korban.
Kontrak kerja perfilman juga mesti diperhatikan. Menurut produser film, Nia Dinata, produksi film kerap melibatkan banyak pekerja lepas sehingga belum ada kekuatan kontrak kerja antara mereka dengan perusahaan film. Posisi mereka rentan jika terjadi konflik kerja (“Susun Sistem Kerja Perfilman yang Aman dan Nyaman”, Kompas, 8 Maret 2023).
Untuk itu perlu adanya kepastian kontrak yang jelas. Ini diperlukan agar pekerja film memperoleh hak yang proporsional, misalnya hak atas tunjangan hari raya, pembayaran upah, kesehatan, dan keselamatan kerja.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Deretan film Indonesia yang disiarkan melalui layanan streaming Netflix. Keberadaan layanan over the top atau OTT melalui streaming internet ini menjjadi pilihan para sineas di tanah air untuk memperkenalkan karyanya ke penonton yang lebih luas di berbagai belahan dunia.
Butuh Dukungan Pemerintah
Industri perfilman Indonesia masih luas dan terbuka lebar untuk terus berkembang. Namun, untuk mencapai potensi terbaiknya, diperlukan dukungan dari pemerintah. Dukungan tersebut diharapkan berlangsung secara konsisten tanpa gangguan kepentingan politik tertentu.
Dukungan itu bisa diwujudkan dengan membuat kebijakan dan program-program yang memfasilitasi perfilman. Misalnya, bantuan dalam proses perizinan, bantuan pendanaan produksi, hingga memasarkan film-film karya sineas Tanah Air.
Dukungan pemerintah dalam sektor pendidikan perfilman juga diperlukan. Menurut sutradara Joko Anwar, untuk meningkatkan kualitas dunia perfilman Indonesia harus ditopang oleh SDM yang memiliki kapasitas mumpuni (“Dukungan Pemerintah pada Industri Film Perlu Konsisten”, Kompas, 6 Februari 2023).
Hal itu bisa dilakukan, misalnya dengan membangun sekolah perfilman atau setidaknya membuka jurusan terkait film. Beasiswa pendidikan film juga dibutuhkan untuk membuka peluang dan kesempatan munculnya sineas-sineas muda bertalenta.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Ahmad Mahendra mengatakan bahwa pemerintah selalu berkomitmen mendukung pengembangan film. (“Film Indonesia Semakin Mencuri Perhatian Dunia”, Kompas, 18 Desember 2023). Saat ini, Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media memfokuskan tujuh sektor dalam penguatan ekosistem perfilman nasional, mulai dari pendidikan film, kreasi, produksi, distribusi, ekshibisi, literasi dan apresiasi, hingga arsip film. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Muhlisiun, A. 2016. “Film “Darah dan Do’a” sebagai Wacana Film Nasional Indonesia”. Panggung, 26(3), 298238.
- “Kerugian akibat Pembajakan Film Rp 5 Triliun”, Kompas, 4 Mei 2018.
- “Perfilman Indonesia Berjuang Tanpa Banyak Perlindungan di Negeri Sendiri”, Kompas, 8 Maret 2020.
- “Pelaku Industri Film Berharap Pemerintah Bantu Fasilitasi Produksi hingga Distribusi”, Kompas, 31 Maret 2021.
- “Talenta Sineas Muda Indonesia Perlu Didukung”, Kompas, 5 Februari 2023.
- “Dukungan Pemerintah pada Industri Film Perlu Konsisten”, Kompas, 6 Februari 2023.
- “Lulusan Perfilman Belum Sesuai Kebutuhan Industri”, Kompas, 6 Maret 2023.
- “Susun Sistem Kerja Perfilman yang Aman dan Nyaman”, Kompas, 7 Maret 2023.
- “Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk Pekerja Film Penting Diadakan”, Kompas, 8 Maret 2023.
- “Film Indonesia Semakin Mencuri Perhatian Dunia”, Kompas, 18 Desember 2023.
- “Menjaga Kesehatan Ekosistem Film Indonesia”, Kompas, 29 Desember 2023.
- “Industri Film Indonesia Akan Makin Atraktif pada 2024”, Kompas, 6 Februari 2024.
- “Wajah Perfilman Nasional Di Hari Film Nasional”, diakses dari bpi.or.id pada 21 Maret 2024.
- “Siaran Pers: Film Jadi Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Tumbuh Positif pada 2023”, diakses dari kemenparekraf.go.id pada 21 Maret 2024.