Paparan Topik | Dana Desa

Mengenali Struktur Pemerintahan dan Dana Desa

Desa sebagai wilayah administratif terkecil di Indonesia mengandung keberagaman dan keunikan tersendiri. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menguatkan eksistensi desa melalui otonomi kekuasaan, terutama lewat pemerintahan dan dana desa.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Ratusan perangkat desa bersama mahasiswa menghelar aksi menuntut pembayaran honor perangkat desa yang tertunda selama 16 bulan, di Kantor Bupati Konawe, Sulawesi Tenggara, Rabu (11/3/2020). Total sebanyak lebih 5.000 orang perangkat desa dari 294 desa tidak menerima honor lebih dari satu tahun.

Fakta Singkat

Pemerintahan Desa

  • Secara terminologi, otonomi daerah berarti hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Secara peraturan perundangan, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem nasional.
  • Asas otonomi dalam penyelenggaraan desa baru terlaksana melalui UU Desa yang disahkan pada Januari 2014.
  • Tatanan kelembagaan desa terdiri atas kepala desa, perangkat desa, dan BPD.
  • BPD menjadi representasi demokrasi dengan pelibatan masyarakat desa. Ruang demokrasi tersebut diwujudkan melalui musyawarah desa.
  • UU Desa menetapkan musyawarah desa ditetapkan sebagai forum tertinggi untuk mengambil keputusan di desa.
  • Sumber-sumber keuangan desa terdiri atas Dana Desa dari APBN, Alokasi Dana Desa dari APBD kabupaten/kota, PAD sebagai hasil usaha desa, hibah dari pihak ketiga, dan sumber-sumber lain yang sah.
  • Wewenang desa atas penggunaan keuangan terbatas, dimana Dana Desa diatur oleh aturan-aturan dari pusat dan Alokasi Dana Desa diatur oleh peraturan daerah.

Tidak seperti biasanya, kemacetan luar biasa terjadi pada kisaran pukul 12 siang di Jalan Protokol Gatot Subroto. Kendaraan yang melintas harus berhimpitan dengan massa demontrasi yang berada di depan gerbang Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Massa unjuk rasa ini berasal dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), yang anggotanya terdiri atas kepala dan aparat desa.

Unjuk rasa ini dilakukan sebagai upaya pemerintah desa untuk menyuarakan sejumlah tuntutan mereka. Pertama, agar revisi Undang-Undang (UU) Desa yang baru segera disahkan pada 5 Desember 2023. Kedua, agar DPR menambah masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun. Ketiga, menuntut tambahan dana desa sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demontrasi sendiri akhirnya berujung ricuh, dimana massa juga berhadapan dengan 2.200 personel gabungan yang diterjunkan Polres Metro Jakarta Pusat. Awalnya, massa melempari botol air mineral ke petugas yang berjaga. Kian siang, massa demo lantas membakar material-material seperti kardus di gerbang Kompleks Parlemen (Kompas.id, 23/11/2023, Apdesi Minta RUU Desa Segera Disahkan).

Demonstrasi demikian adalah yang kesekian kali dilakukan oleh para aparat desa. Terakir kali, mereka melakukan demonstrasi di titik serupa pada 17 Januari lalu. Ribuan kepala desa yang bergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) memadati jalanan. Tuntutannya tak jauh berbeda, yakni merevisi UU Desa agar masa jabatan kepala desa mencapai sembilan tahun.

Kali itu, demontrasi berakhir damai. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menemui massa aksi di depan gedung DPR untuk memberikan penjelasan. Menurut Sufmi Dasco, revisi UU Desa hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Sementara dalam kacamata para kepala desa, waktu enam tahun begitu kurang untuk menuntaskan pekerjaan. Apalagi dengan polarisasi yang pasti tercipta pasca pemilihan kepala desa (Kompas.id, 17/1/2023, Ribuan Kepala Desa Meminta Revisi UU Desa).

Dalam konteks peristiwa demikian, UU Desa yang secara formil dikenal sebagai UU Nomor 6 Tahun 2014, tampaknya menjadi sumber polemik tersendiri. Meski begitu, UU Desa pulalah yang secara historis memberikan kekuasaan dan hak asal usul kepada desa-desa di Indonesia.

Melalui UU Desa, masyarakat dimampukan untuk lebih mengatur dirinya berdasarkan adat dan tradisi yang dipeluk melalui pemerintahan desa. Pemberian kuasa demikian merupakan pengejawantahan dari semangat otonomi pada masa Reformasi, yang diwujudkan melalui pelembagaan pemerintah desa dan konsolidasi anggaran. Artinya, terlepas dari segala kritiknya baru-baru ini, UU Desa telah menjadi pedoman utama bagi penyelenggaraan desa di seluruh Indonesia.  

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Massa memadati kawasan Silang Monas, Jakarta, saat unjuk rasa yang dilakukan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Kamis (16/12/2021). Aksi yang diikuti oleh para perangkat desa termasuk kepala desa dari berbagai daerah tersebut memprotes pemerintah agar merevisi Perpres 104 2021 tentang rincian APBN 2022 terutama yang mengatur penggunaan dana desa.

Sekilas tentang UU Desa

Merujuk pada artikel Kompaspedia, 4/12/2023, Undang-Undang Desa: Sejarah, Otonomi, dan Makna Desa, UU Desa disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Januari, 2014. Pengesahan tersebut dilaksanakan setelah melalui pencanangan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang begitu lama, setidaknya sejak tahun 2009. Periode panjang tersebut diwarnai dengan sejumlah unjuk rasa untuk mengawal perumusan RUU dan beberapa catatan pelanggaran janji oleh pemerintah.

Kehadiran UU Desa pada 2014 dinilai oleh banyak pihak sebagai nafas segar bagi kelansungan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, produk perundangan yang pernah ada sebelumnya justru sama sekali merusak tatanan adat yang ada di desa. Sebut saja UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Dampak paling parah muncul dari UU Nomor 5 Tahun 1979 sebagai salah satu produk perundangan pertama atas desa yang juga selama sekian tahun bertahan dan mengakarkan pengaruhnya.  Produk hukum Orde Baru tersebut melanggengkan penyeragaman desa yang sejatinya unik (baik dari sisi pemerintahan, kelembagaan, dan kultur) dan membuka jalan bagi ekstraksi sumber daya alam.

Desa yang terus mengalami represi sebagai institusi kekuasaan terkecil dinilai menemukan pelipurnya setelah kehadiran UU Desa. Perubahan signifikan yang kemudian dihadirkan mencakup penetapan wewenang kelembagaan desa yang selaras dengan kultur/adat lokal dan konsolidasi anggaran desa melalui pusat dan daerah. Keduanya memungkinkan desa memiliki kekuasaan untuk melaksanakan pembangunan secara otonom.

 KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN 

Peserta aksi berjalan menjauhi Kompleks Parlemen, Jakarta, setelah aksi demonstrasi selesai, Kamis (23/11/2023). Peserta aksi yang tergabung kedalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen. Mereka meminta Rancangan Undang-Undang Desa untuk segera disahkan pada 5 Desember 2023. Ini merupakan unjuk rasa yang kesekian kalinya yang dilakukan APDESI. Sebelumnya APDESI meminta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk direvisi. Menurut sejumlah pihak, RUU ini dinilai sarat kepentingan politis terkait Pemilu 2024.

Konsep Otonomi Daerah

Bahasa dan istilah memiliki posisi yang vital dalam penerjemahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, istilah “otonomi” tidak memiliki posisi prioritas dalam UU Nomor 5 Tahun 1979. Pada bagian penjelasannya, UU tersebut tidak secara tegas dan jelas memberikan hak otonomi pada desa.

Bahkan, meskipun Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1979 menyatakan bahwa desa memiliki hak menyelenggarakan rumah tangganya, namun hal tersebut tidaklah termasuk dalam hak otonomi desa. Hal-hal demikian membuat desa memiliki kuasa yang lemah dalam formasi birokrasi negara, sehingga membuka jalan bagi kuasa eksternal untuk masuk dan merusak tatanan desa.

Keruntuhan otoritarianisme Orde Baru membuka jalan bagi konsep otonomi sebagai elemen penting amanat reformasi. Melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa otonomi daerah perlu sebagai perwujudan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, dan terakomodasinya potensi dan keanekaragaman daerah.

Secara terminologis, KBBI mendefinisikan otonomi sebagai pemerintahan sendiri. Sementara “otonomi daerah” adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara secara legal, lewat Pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah didefinisikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, definisi tersebut diperbaharui melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Ribuan kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia yang melakukan unjuk rasa menutup jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023). Ribuan kepala desa yang tergabung ke dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR.

Meski UU ini sudah tidak lagi sepenuhnya berlaku karena sejumlah pasal yang dicabut maupun diubah, namun pemahaman akan konsep-konsep yang ada di dalamnya masih relevan untuk digunakan. Pasal 1 nomor 2 juga menetapkan bahwa asas otonomi menjadi prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Makna otonomi ini menjadi penting dalam konteks desa, yang notabene merupakan tingkat pemerintahan terkecil di daerah. Sesuai dengan amanat reformasi dan definisi dari otonomi itu sendiri, maka penerapan otonomi harus dijalankan hingga ke tingkat desa. Maka dari itu, konsep otonomi juga turut diakomodasi dalam UU Desa.

Pada Pasal 1 nomor 14 dituliskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Salah satu pengejawantahan dari pasal tersebut tertera pada Pasal 81 ayat (4), dimana pembangunan lokal berskala desa dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak desa.

Selain itu, asas pengaturan yang terkandung dalam UU Desa juga mensyaratkan adanya kemandirian desa – yang dipahami sebagai proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri.

Pada dasarnya, UU Desa mengamanatkan agar pembangunan desa ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta menanggulangi masalah kemiskinan. Meski mengandung asas otonomi, namun pemerintah tetap harus melaksanakan pembangunan yang didasarkan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Oleh karena itu, pembangunan di wilayah perdesaan dapat dinilai dari terpenuhinya target dari setiap tujuan SDGs Desa.

Pemerintahan Desa

Dalam melaksanakan asas otonomi, UU Desa membentuk tatanan pemerintah desa sebagai penyelenggaran pemerintahan desa. Tidak hanya itu, untuk mengakomodasi kultur dan partisipasi masyarakat, tatanan birokrasi tersebut juga dilengkapi dengan kelembagaan yang mewakili masyarakat desa, yakni Badan Permusyawaratan Desa atau BPD.

Pasal 1 UU Desa mendefinisikan pemerintahan desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam konteks tersebut, pemerintahan desa diselenggakaran oleh pemerintah desa yang terdiri atas pejabat setingkat kepala desa dan perangkat desa.

Desa dipimpin oleh kepala desa atau sebutan lainnya sesuai dengan lokalitas desa tertentu. Pasal 26 ayat (1) UU Desa menetapkan bahwa tugas utama kepala desa adalah menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam tugas tersebut, kepala desa memiliki sejumlah wewenang, termasuk memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa, menetapkan peraturan desa, dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa.

Kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat desa melalui pemilihan kepala desa yang dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Mereka yang terpilih akan menjabat selama enam tahun dan memiliki hak untuk kembali menjabat tiga kali masa jabatan. Menjelang berakhirnya masa jabatannya, kepala desa akan memperoleh pemberitahuan tertulis dari lembaga BPD.

Untuk mengemban tugas dan wewenangnya, kepala desa memperoleh dukungan bantuan dari perangkat desa. Pasal 48 menetapkan bahwa perangkat desa terdiri atas sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Perangkat desa ini diangkat oleh kepala desa setelah melalui konsultasi dengan camat.

Selain kedua elemen pemerintahan tersebut, desa juga memiliki BPD. Kehadirannya menjadi perwakilan dari seluruh penduduk desa. Pengisian anggota BPD ini dilakukan secara demokratis untuk mewakili wilayah-wilayah dalam desa. Sama seperti kepala desa, satu masa jabatan BPD adalah enam tahun dan dapat dipilih maksimal tiga kali berturut-turut.

Komposisi BPD terdiri atas masing-masing satu orang ketua, wakil ketua, dan sekretaris. Anggota BPD terdiri atas minimal lima orang anggota dan maksimal sembilan anggota. Jumlah ini didasarkan pada aspek-aspek kewilayahan, komposisi jenis kelamin, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

Sebagai representasi wakil rakyat desa, Pasal 55 UU Desa menetapkan tiga fungsi yang harus diemban anggota BPD. Pertama, membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa. Kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Ketiga, melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Selain ketiga organ tersebut, komponen penting lain dalam pelaksanaan pemerintahan desa adalah musyawarah desa, atau biasa disingkat musdes. Pasal 54 mendefinisikan musdes sebagai forum untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Musdes diikuti oleh BPD, pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa.

Dalam konteks penyelenggaraan desa, musdes menjadi forum tertinggi untuk mengambil keputusan di desa. UU Desa telah mengamanatkan agar dana desa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, salah satu kekuatan musdes adalah sebagai ruang wajib yang harus dilalui dalam mencapai keputusan penggunaan dan pengelolaan dana desa.

Penyelenggaraan musdes, terutama dengan elemen keterlibatan seluruh masyarakat desa di dalamnya, menjadi pengejawantahan amanat UU Desa. Pelaksanaan dan pelembagaan musdes memberikan penguatan bagi peran masyarakat desa sehingga mampu menjaga adat dan lokalitasnya. Selain itu, peran tersebut juga harus disinergikan melalui BPD dengan pemerintah desa (Kompas.id, 11/11/2019, Di Musdes, Peran Masyarakat Terus Dikuatkan).

Dana Desa

Selain tatanan pemerintah, UU Desa juga menetapkan sumber-sumber pendapatan anggaran bagi desa. Variasi sumber keuangan membantu desa untuk mampu melaksanan pembangunan secara mandiri. Mengacu pada Pasal 72 UU Desa, terdapat beberapa macam sumber keuangan desa.

Yang pertama adalah pendapatan asli desa atau PAD. Yang tergolong dalam sumber ini adalah hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan pendapatan lain-lain yang secara murni milik dan berasal dari kegiatan Desa. Kedua, adalah Dana Desa. Sumber dari dana desa berasal dari alokasi APBN, yang disalurkan kepada desa melalui Kementerian Keuangan.

Ketiga, terdapat Alokasi Dana Desa. Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab menyalurkan dana ini ke desa melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Besaran alokasinya berasal dari dana perimbangan yang dihitung minimal sebesar 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah Dana Bagi Hasil (DBH). Yang keempat, pemerintah kapubaten/kota juga wajib menyalurkan hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang didapatnya ke desa.

Sumber keuangan desa yang kelima adalah hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Artinya, desa bisa memperoleh dana-dana segar dari pihak di luar pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, dari perusahaan yang beroperasi di wilayah desa. Sementara sumber keuangan keenam adalah pendapatan lain-lain desa yang sah.

Dari macam-macam sumber tersebut, alokasi pendapatan terbesar dan pasti yang dimiliki desa adalah Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Kedua sumber keuangan tersebut memiliki sistem penyaluran yang diregulasikan secara formal. Aktor penyalurnya, yakni pemerintah pusat dan daerah, diharuskan untuk menyalurkan dana tersebut setiap tahunnya. Sementara besaran saluran dana ditentukan oleh produk kebijakan tersendiri. Dana Desa ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Alokasi Dana Desa ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) dari wilayah terkait.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tiap tahunnya, alokasi Dana Desa yang disalurkan pemerintah pusat menunjukkan tren kenaikan kecuali pada tahun 2022. Sejak 2015 sampai 2023, sebanyak Rp 537,7 triliun anggaran pusat telah digelontorkan untuk alokasi Dana Desa. Hal tersebut berimbas baik kepada pembangunan desa, terutama dengan kian menurunnya jumlah desa dengan status “tertinggal”.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Untuk penganggaran tahun 2023, pemerintah pusat telah menganggarkan alokasi Dana Desa sebesar Rp 70 triliun. Jumlah tersebut meningkat 3,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan setara dengan 2,28 persen dari total APBN 2023. Dana ini akan dikucurkan ke rekening-rekening desa, dengan besaran Dana Desa setidaknya lebih dari Rp 1 miliar per desa – menggambarkan besarnya alokasi keuangan yang bisa diperoleh desa.

Mengacu pada Kompas.id (11/7/2023, Mendorong Efisiensi dan Efektivitas Dana Desa), keuangan sejak tahun 2015 keuangan desa mayoritas dialokasikan oleh pemerintahan desa untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur fisik. Dengan mengutip dari penelitian SMERU, terdapat sejumlah alasan mengapa hal demikian dapat terjadi.

Pertama, masih terdapat paradigma bahwa hasil dari anggaran desa haruslah kasatmata. Hal ini vital untuk memenuhi pengawasan dan pelaporan kepada pusat. Pembangunan fisik memenuhi kriteria ini.

Kedua, pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan posyandu dinilai lebih adil. Dimana penggunaannya dapat dirasakan oleh semua warga desa.

Ketiga, pembangunan fisik dinilai lebih mudah untuk dilakukan. Ditambah lagi, pada masa awal berlakunya UU Desa, banyak desa yang masih belum memiliki  infrastruktur yang memadai.

Hampir delapan tahun sudah desa memperoleh akses atas keuangannya. Pembangunan infrastruktur fisik masih menjadi pilar utama, mengesampingkan isu-isu kemiskinan, pangan, dan kesehatan. Untuk itu, keberagaman alokasi dana desa menjadi salah satu hal yang turut disoroti agar mencapai keberagaman.

Keuangan Desa dan Prioritas Nasional

Meski memiliki sumber anggaran tersendiri yang secara konsisten telah dialokasikan, namun penggunaan dana desa tidak terlepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pusat. Pemerintah desa memang memegang kontrol atas penggunaan anggaran. Namun penggunaan tersebut harus sinkron dengan prioritas yang ditetapkan oleh pusat, terutama dalam kerangka pembangunan nasional.

Prioritas penggunaan desa sendiri ditetapkan oleh pusat secara berkala, sesuai dengan konteks situasi yang tengah berlangsung. Untuk tahun anggaran 2023, prioritas penggunaan Dana Desa ditetapkan melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023.

Melalui Pasal 5 ayat (2), ditetapkan bahwa penggunaan Dana Desa harus selaras dengan percepatan pencapaian tujuan SDGs. Untuk itu, pemerintah desa harus mengalokasikan Dana Desa bagi pemulihan ekonomi masyarakat desa, program prioritas nasional, serta mitigasi dan penangananan bencana (alam dan non-alam).

Termasuk dalam pemulihan ekonomi adalah perihal seperti dukungan terhadap Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang dikerjakan oleh masyarakat desa dan pengembangan desa wisata. Sementara termasuk dalam program prioritas nasional untuk tahun 2023 termasuk persoalan stunting, perluasan akses layanan kesehatan, dan pemberian Bantuan Langsung Tuani (BLT). Sementara untuk alokasi pemerintahan misalnya, hanya boleh masimal tiga persen dari Dana Desa.

Sementara untuk tahun anggaran 2024, konsep-konsep dalam prioritas tersebut tampak akan sedikit bergeser. Prioritas penggunaan Dana Desa 2024 ditetapkan melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rincian Prioritas Penggunaan Dana Desa. Ditetapkan, bahwa penggunaan Dana Desa difokuskan pada dua prioritas, yakni pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Keduanya diarahkan untuk mencapai percepatan pencapaian tujuan SDGs desa.

Termasuk dalam proritas pembangunan desa adalah pencegahan dan penurunan stunting, perluasan akses layanan kesehatan, dan pembangunan sarana/prasarana untuk pengentasan kemiskinan. Sementara termasuk dalam prioritas pemberdayaan masyarakat adalah promosi kesehatan dan gerakan masyarakat hidup sehat dalam rangka pencegahan dan penurunan stunting, pengembangan seni budaya lokal, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam rangka mitigasi dan penanganan bencana alam dan non-alam.

Berbeda dengan Dana Desa, prioritas penggunaan Alokasi Dana Desa ditentukan oleh pejabat bupati/walikota setempat. Prioritas ini ditetapkan secara formil melalui Peraturan Bupati/Walikota. Meski begitu, karena berada di bawah pusat, maka arah ketentuan yang ditetapkan oleh bupati/walikota pun tidak jauh berbeda dengan arah ketetapan pusat. Sementara untuk sumber-sumber keuangan desa lainnya, terkhusus PAD, dapat diatur dengan wewenang desa secara penuh. Desa memiliki hak penuh atas PAD karena telah memperolehnya dengan usaha sendiri.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Massa yang tergabung kedalam Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) membubarkan diri setelah selesai aksi di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/7/2023). Mereka menuntut masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Mereka juga menuntut dana desa ditetapkan sebesar 10 persen berasal dari APBN dan kepala desa mendapatkan dana operasional sebesar 5 persen dari dana desa.

Otonomi Desa dan Benturan Aturan

Arahan-arahan dari pusat dan daerah terhadap Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, hingga derajat tertentu, memberikan keterbatasan wewenang bagi desa untuk menentukan cara penggunaan anggaran yang mereka miliki. Oleh sebab itu, Kompas.id (22/9/2023, Dana Desa Harus Disinkronkan dengan Prioritas Nasional) mencatat bahwa kerap terjadi benturan antara keinginan desa dengan kehendak pusat.

Akibatnya, timbul skeptisisme terhadap musyaearah desa sendiri. Relevansi dan kekuatan musdes menjadi dipertanyakan ketika ada aturan yang  aturan pusat yang dapat masuk dan secara segera menggeser keputusan musdes, seperti misalnya aturan dari Peraturan Presiden (Perpres). “Ngapain ada musyawarah desa kalau kemudian ada aturan yang lebih besar dari perencanaan (di desa)”, kata Asrul, warga Desa Tuliskriyo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Mengacu pada buku Desa Kuat, Indonesia Hebat! oleh Sudjatmiko dan Zakaria, musdes sendiri sejatinya memang memiliki kuasa untuk menetapkan rencana penggunaan keuangan desa. Dalam perencanaan desa, pemerintah desa, BPD, dan masyarakat wajib terlebih dahulu melaksanakan musdes untuk menetapkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa dan RAPB Desa. Nantinya, hasil musdes ini akan ditetapkan melalui Peraturan Desa atau Perdes.

Untuk itu, ketentuan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa seharusnya turut mempertimbangkan kearifan lokal dari desa tersebut. Selama ini dari desa biasanya sudah memiliki perencanaan tersendiri. M. Nasyirudin, dosen Universitas Islam Balitar (Unisba), menuturkan agar aturan demikian bisa disederhanakan. Apalagi, pola perencanaan desa yang diatur dalam peraturan kementerian yang dinilai sudah baik sering kali masih berbenturan dengan peraturan di daerah. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Sudjatmiko, B., & Zakaria, Y. (2014). Desa Kuat, Indonesia Hebat! Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.
Arsip Kompas
Dokumen Hukum
Internet