Paparan Topik | Pemilihan Umum

Pemilu 1955: Jejak Demokratis Pertama di Indonesia

Pemilihan umum di Indonesia diadakan ketika Republik berusia sepuluh tahun. Namun, di usianya yang masih muda tersebut Pemilu 1955 dikenal sebagai pemilu paling demokratis.

IPPHOS

Presiden Soekarno sedang memasukkan tanda gambar yang telah dicoblosnya ke dalam kotak suara (29/9/1955).

Fakta Singkat

Penetapan Undang-Undang Pemilu 1955

Pelaksanaan

  • 29 September 1955 pemilihan anggota Parlemen
  • 15 Desember 1955 pemilihan anggota Konstituante

Jumlah Peserta Pemilu

Pemilu Anggota Parlemen:

  • Peserta: 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perorangan 
  • Memperebutkan 260 kursi

Pemilu Anggota Konstituante:

  • 39 parpol, 23 ormas, dan 29 perorangan
  • Memperebutkan 520 kursi

Jumlah Pemilih Terdaftar

  • 43.104.464

Suara Sah DPR

  • 37.785.299

Suara Sah Konstituante

  • 37.837.105

Artikel terkait

Pemerintah Indonesia pada awal kelahirannya telah memikirkan untuk mengadakan pemilihan umum anggota Parlemen dan Konstituante. Program ini dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk membagi kekuasaannya berdasarkan Trias Politica, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemilihan ini direncanakan digelar pada awal tahun 1946.

Namun, serbuan tentara Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali membuyarkan rencana ini. Tidak hanya itu, gejolak di daerah-daerah juga membuat sektor keamanan terbagi-bagi untuk urusan meredam pemberontakan. Akhirnya, pemerintah pun menundanya sampai keamanan negara stabil dahulu sebelum memulai hajatan pesta demokrasi.

Baru tahun 1952 rencana pemilihan umum benar-benar diseriusi oleh Kabinet Wilopo. Saat itu Kabinet Wilopo mengajukan Rancangan Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang tidak lama kemudian disahkan menjadi undang-undang. Inilah yang menjadi tanda dimulainya Pemilihan Umum 1955.

Penetapan Pemilu 1955

Ketika berdiri pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia masih belum memiliki lembaga perwakilan rakyat. Karenanya, pada 18 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sesuai dengan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung terbentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Dalam ingatan Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Sekitar Proklamasi anggota KNP pertama waktu itu berjumlah 60 orang. Mereka ditunjuk oleh Presiden dan Wakil Presiden yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat berbagai kalangan. Pada 29 Agustus 1945 inilah KNP dilantik oleh Presiden Soekarno. Namun, dalam perkembangan selanjutnya anggota KNP terus bertambah seiring dengan kebutuhan akan tokoh-tokoh penting.

KNP dibentuk hanya sebagai lembaga perwakilan sementara saja karena kebutuhan mendesak demi terjaminnya Indonesia diakui sebagai negara oleh dunia internasional. Oleh karena itu, pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mengumumkan rencana pemilihan umum pada Januari 1946. Tujuan pemilu ini adalah untuk memenuhi amanat UUD 1945 mengenai aturan-aturan tentang kedaulatan rakyat.

Penyelenggaraan pemilu ini juga sejalan dengan usulan Sutan Sjahrir dalam Sidang II KNP pada 16–17 Oktober 1945 tentang perubahan mengenai pembagian kekuasaan dalam negara. Pemerintah pun merespon melalui Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir dalam sidang itu segera menetapkan “Maklumat Wakil Presiden No X” tanggal 16 Oktober 1945.

Dalam Maklumat Wakil Presiden No. X menyatakan, “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Madjelis Permusjawaratan Rakjat dan Dewan Perwakilan Rakjat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis2 besar haluan Negara, serta menjetudjui, bahwa pekerdjaan Komite Nasional Pusat se-hari2 berhubung dengan gentingnya keadaan didjalankan oleh sebuah Badan Pekerja jang dipilih diantara mereka dan jang bertanggung-djawab kepada Komite Nasional Pusat.”

Pada kesempatan sidang itu juga, pada tanggal 17 Oktober 1945, dibentuk Badan Pekerja KNP (BP-KNP) terdiri dari 15 tokoh. Badan ini diketuai oleh Sutan Sjahrir dan Mr Amir Sjarifuddin sebagai wakil ketua, sedangkan Mr Soewandi sebagai penulis. Anggota-anggota adalah Mr Sjafruddin Prawiranegara, KH Wachid Hasjim, Mr Hindromartono, Mr Sunario Kolopaking, dr A Halim, Subadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, S Mangunsarkoro, Adam Malik, Tadjuludin, dan dr Sudarsono.

BP-KNP juga mendorong pemerintah untuk menerbitkan suatu peraturan supaya masyarakat diberikan kesempatan mendirikan partai politik. Melalui Wakil Presiden Mohammad Hatta dikeluarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang anjuran pendirian partai-partai untuk memperkuat perjuangan. Sejak saat itulah muncul banyak partai-partai politik untuk menyambut pemilu.

Kendati situasi negara sedang labil BP-KNP mengeluarkan Pengumuman BP KNP No. 16 yang bernada suatu kepastian bahwa pemilu akan dilaksanakan pada awal tahun 1946. Kenyataannya, baru pada tahun 1948 baru lahir UU No. 27 tentang Susunan Anggota DPR dan Pemilihan Anggota-anggotanya, disusul Peraturan Pemerintah No. 9/1950 sebagai peraturan pelaksana UU tersebut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan situasi negara yang kacau pada masa revolusi.

Pada 17 Oktober 1952, terjadi peristiwa yang membuat pemilu menjadi persoalan politik yang penting. Tercatat dalam buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia karya Herberth Feith, pada hari itu sekelompok besar perwira tinggi angkatan darat dengan didukung oleh demonstran hasil rekayasa tentara mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen sementara. Namun, Presiden Soekarno menolak usulan ini.

Peristiwa ini memperlihatkan adanya pertarungan kekuasaan antara golongan-golongan tertentu dalam pimpinan angkatan darat dengan Presiden Soekarno. Keadaan darurat pun sempat berlaku dan bahaya akan adanya perang saudara nyata di depan mata. Meskipun bahaya ini dapat dihindari, ketegangan politik tetap tinggi.

Krisis ini semakin meningkat setelah parlemen sementara tidak dapat menjalankan cita-cita kemerdekaan yang baru dicapai. Pergantian kabinet yang berumur pendek membuat kehidupan politik semakin tidak stabil. Kabinet Wilopo saat itu pun dituntut oleh dua persoalan, yakni penyelesaian masalah angkatan darat dan desakan untuk mengadakan pemilu secepatnya.

Pada November 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilu yang baru dengan didukung oleh kalangan politisi yang vokal. Dalam waktu empat setengah bulan kemudian, rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dengan beberapa perubahan. Kemudian, muncullah Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang yang baru ini menetapkan pemilihan umum. Ini mengubah kebijakan pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang memilih sistem tidak langsung. Selain itu, pemilu diadakan dua pemilihan, yakni memilih untuk Parlemen dan Konstituante.

Undang-undang pemilu ini membagi Indonesia dalam 16 daerah pemilihan. Dengan sistem perwakilan proporsional setiap daerah pemilihan mendapatkan sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya. Namun, dalam ketentuannya setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum enam kursi di Konstituante dan tiga kursi di Parlemen. Di setiap daerah pemilihan, kursi diberikan kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara yang mereka peroleh.

Herbert Feith mencatat bahwa partai, organisasi, “perkumpulan pemilih”, dan perorangan berhak untuk mengajukan diri sebagai calon anggota Parlemen dan Konstituante. Namun, setiap calon harus didukung dengan tanda tangan pemilih yang terdaftar, 200 tanda tangan untuk calon pertama dalam suatu daftar, dan 25 untuk setiap calon lainnya.

Sedangkan organisasi pengelenggara pemilu menjadi tanggung jawab bersama antara Kementerian Kehakiman dan Kementerian Dalam Negeri. Namun, kekuasaan terbesar diberikan kepada Panitia Pemilihan Indonesia yang anggotanya terdiri dari multi partai yang dipercaya untuk mengorganisasi dan membuat peraturan mengenai pemilihan.

Pendaftaran pemilih dimulai pada Mei–November 1954. Saat itu tercatat sebanyak 43.104.464 yang memenuhi syarat, yakni warga negara Indonesia minimal berumur 18 tahun. Baru pada Desember 1954 partai-partai mulai mengajukan daftar calon masing-masing. April 1955, Panitia Pemilihan Indonesia mengumumkan bahwa pemilu untuk anggota Parlemen pada 29 September 1955 dan pemilu untuk anggota Konstituante pada 15 Desember 1955.

IPPHOS

 Rapat pleno Komite Nasional Pusat di Solo (25/2/1946).

Sosialisasi Pemilu

Pemilihan umum menjadi hajatan politik pertama sejak Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Banyak dari masyarakat yang belum mengetahui apa itu pemilu dan bagaimana caranya untuk berpartisipasi. Apalagi pemilihan kali ini dilakukan secara langsung di mana masyarakat memilih langsung partai mana yang akan lolos ke Parlemen maupun Konstituante.

Tahapan selanjutnya setelah ketetapan pemilu sudah diketok adalah sosialisasi. Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat luas mengenai proses pelaksanaan pemilu berikut dengan tujuan diadakannya. Melalui kegiatan ini nantinya banyak dari masyarakat yang mau terlibat langsung dalam pesta demokrasi ini.

Pemerintah bersama dengan Panitia Pemilihan Indonesia menggunakan media massa termasuk pemasangan baliho, pamflet, dan poster di tempat-tempat strategis. Mereka tidak hanya menjelaskan tentang persyaratan siapa saja yang berhak untuk memilih, namun juga menyosialisasikan bagaimana mendaftar sebagai calon anggota Parlemen dan Konstiuante.

Mengenai siapa saja yang memiliki hak pilih dan yang tidak memiliki hak pilih disosialisasikan dalam berbagai media. Menurut buku Naskah Sumber Arsip: Jejak Demokrasi Pemilu 1955 yang ditulis oleh ANRI, orang yang memiliki hak pilih adalah WNI baik laki-laki maupun perempuan, telah berusia 18 tahun atau sudah/pernah kawin, berpikiran sehat, dan sedang tidak menjalankan hukuman.

Sedangkan seseorang yang ingin mencalonkan sebagai calon anggota Parlemen dan Konstituante juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu WNI laki-laki/perempuan, sudah berusia 25 tahun, tidak kehilangan hak pilih, tidak sedang menjalani hukuman, tidak terganggu ingatannya, dan menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan dan menyetujui posisinya dalam urutan daftar calon anggota Parlemen dan Konstituante.

Selain itu, angkatan bersenjata dan kepolisian saat itu juga memiliki hak pilih. Mereka didaftarkan di asramanya masing-masing. Apabila pada saat pemilihan mereka bertugas di daerah lain, mereka dapat menggunakan hak pilihnya.

Panitia Pemilihan Indonesia juga melakukan penyuluhan ke desa-desa di mana penduduknya sulit menjangkau informasi tentang pemilu. Bahkan sosialisasi pemilu juga dilaksanakan dengan penyebaran pamflet dari udara menggunakan pesawat L4J Piper Cub milik AURI. Pesawat ini terbang dari Landasan Udara Halim Perdanakusuma dan menyebarkan pamflet di atas kota-kota.

Baca juga: Memecah Misteri Hari Lahir KPU

IPPHOS

Suasana Pemilihan Umum di Daerah Jakarta Raya pada tgl 29 September 1955.

Partai Politik dan Kampanye

Setelah diumumkan bakal diadakan pemilu untuk anggota Parlemen dan Konstituante, partai-partai politik untuk melancarkan kampanyenya. Seperti yang diketahui, Pemilu 1955 akan diikuti oleh 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perorangan untuk pemilu anggota Parlemen untuk memperebutkan 260 kursi. Sementara pemilu anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas, dan 29 perorangan memperebutkan 520 kursi.

Namun, tidak diketahui secara pasti kapan kampanye tersebut dimulai karena kepastian kapan diadakannya pemilu saat itu masih belum ditetapkan. Namun, dalam catatan Herbert Feith dituliskan bahwa, pada 4 April 1953 ketika rancangan undang-undang pemilu disahkan menjadi undang-undang, dapat dianggap sebagai awal masa kampanye tahap pertama. Baru pada 31 Mei 1954 dianggap sebagai kampanye tahap kedua ketika gambar partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia.

Ketika itu partai-partai yang berkembang tidak hanya mereka yang telah lama dibentuk sejak zaman Hindia Belanda, namun juga partai-partai baru mulai berkembang. Setidaknya terdapat lima golongan partai yang berkembang saat itu, yakni radikal nasionalisme, tradisional Jawa, Islam, sosial demokrat, dan komunisme. Program dan aktivitas partai yang mereka jalankan mencerminkan ideologi yang mereka anut sehingga tidak heran apabila mereka memiliki pendukung yang loyal.

Herbert Feith membagi relasi antarparpol ini berdasarkan eranya. Pada tahun 1945–1949 semua parpol bahu-membahu untuk melawan Belanda pada masa revolusi. Organisasi ekstra parpol pun dikerahkan dan saling bekerja sama dengan parpol lainnya. Namun, sejak kemenangan atas Belanda pada tahun 1950–1953, parpol memusatkan perhatian untuk saling bersaing.

Seperti terlihat sejak tahun 1953 gambar-gambar parpol mulai terlihat di jalanan Ibu Kota Jakarta. Bahkan gambar-gambar parpol ini saling bersaing dengan diletakkan saling berdekatan supaya tidak kalah dalam bersaing. Mereka juga biasanya memuat nama-nama anggota parpolnya yang akan mereka pilih dalam Pemilu 1955 nantinya.

Selain itu, banyak parpol juga mulai menyelenggarakan pertemuan-pertemuan di setiap tingkatannya mulai dari alun-alun kota, balai desa, rapat umum atau rapat anggota, pertemuan perempuan, pertemuan pemuda, ceramah umum, pemutaran film, perayaan ulang tahun atau pawai, perayaan hari besar agama, acara kebudayaan, lain-lain. Dalam pertemuan tersebut, parpol mengundang pembicara dari Jakarta atau tokoh partai setempat.

Di dalam pertemuan tersebut, biasanya partai memperagakan cara memilih lambang atau tanda gambar partai yang bersangkutan. Tanda gambar ini biasanya disertai dengan semboyan partai di bagian atasnya. Kemudian lambang partai ini dipasang di jalanan kota dan desa, rumah-rumah pribadi, bangunan umum, kendaraan umum, pohon-pohon, iklan di bioskop, kalender, dan lain-lain. Selain itu, anggota parpol juga membagikan kartu-kartu kecil berisi lambang partai ke masyarakat luas.

Selama kampanye semua partai besar menyadari betapa pentingnya memiliki anggota sebanyak mungkin. Karenanya, kebanyakan dari parpol membuka pendaftaran anggota partai tanpa uang pendaftaran dan iuran wajib. Apalagi mereka yang sudah mendaftar akan mendapatkan kartu anggota yang membuat mereka semakin loyal. Tugas mereka pun kemudian menjadi juru kampanye di tingkat paling bawah untuk menggaet suara partai.

Parpol juga membentuk anak-anak organisasinya ketika kampanye makin berlanjut. Mereka kemudian membentuk serikat buruh, perhimpunan petani, organisasi veteran, organisasi perempuan, organisasi pemuda, dan lain-lain. Selain itu, parpol biasanya juga menerbitkan media cetaknya sendiri untuk menggiring opini tentang partainya. Namun, metode ini sangat jarang digunakan karena biayanya yang cukup besar.

Semakin mendekati bulan pemilihan banyak parpol mengubah metode kampanyenya. Perubahan ini seturut dengan merosotnya pertemuan-pertemuan di tingkat kota. Bagi mereka loyalitas pendukung tidaklah cukup untuk meraup suara sebanyak-sebanyaknya dalam pemilu. Apalagi saat itu banyak parpol yang terlalu fokus menggaet suara di kota-kota besar seperti Jakarta. Mereka melupakan daerah pemilihan yang berasal dari desa. Sejak saat itu, banyak parpol mulai mengembangkan cabang-cabang kantornya hingga ke pedesaan.

Salah satu kampanye tingkat desa yang paling efektif ketika itu adalah kegiatan kesejahteraan sosial. Para anggota parpol melakukan aktivitas non-politik, seperti pembangunan saluran air, pembagian alat-alat pertanian, membantu korban banjir, dan lain sebagainya. Kegiatan ini dilakukan sambil berkampanye untuk memilih parpol yang bersangkutan dalam Pemilu 1955.

Baca juga: Rekam Jejak Surat Suara Pemilu

IPPHOS

Suasana Pemilihan Umum untuk Konstituante Jakarta Raya pada tgl 15 Desember 1955.

Pelaksanaan dan Hasil Pemilu

Pemilu dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk pemilihan anggota Parlemen dan tanggal 15 Desember 1955 untuk pemilihan anggota Konstituante. Hajatan politik pertama kali di Indonesia ini berjalan dengan cukup sukses terlihat dari antusiasme masyarakat yang berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara. Bagi mereka, pesta demokrasi yang dilakukan secara langsung ini memberikan harapan untuk perbaikan kondisi negara yang lebih baik.

Tercatat pada pemilu tanggal 29 September 1955, sebanyak 37.875.299 orang atau sekitar 87,65 persen dari 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih setahun sebelumnya, memberikan suara sah. Pada pemilu 15 Desember 1955 pun tingkat partisipasi pemilih juga tinggi. Hanya saja, pada pemilihan anggota Konstituante ini jumlah pemilihnya agak menurun beberapa persen saja dibandingkan dengan pemilihan parlemen sebelumnya.

Keunikan yang terjadi pada saat pemilihan umum tahun 1955 ini pelaksanaannya di daerah-daerah tidak dilakukan secara bebarengan. Penyebabnya karena kesulitan komunikasi dan administrasi serta persoalan-persoalan khusus di beberapa daerah yang mengalami gangguan keamanan. Namun, keterlambatan pemilihan di beberapa daerah tidaklah terlalu lama, hanya satu atau dua hari saja.

Pemungutan suara ini dilakukan di berbagai tempat biasanya gedung-gedung umum seperti sekolah atau di bangunan murah yang dibangun dari bambu di tempat-tempat khusus. Rata-rata ada dua atau tiga tempat pemungutan suara di setiap desa. Menurut aturan dari Panitia Pemilihan Indonesia, harus ada satu tempat pemungutan suara setiap 300 dan 1000 orang pemilih. Ada juga beberapa pemilih dari desa-desa terpencil yang jarang penduduknya harus berjalan hampir tujuh kilometer atau lebih ke tempat pemungutan suara.

Pemungutan suara dilaksanakan pada pukul delapan pagi, dengan dibuka oleh ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara sambil membacakan sejumlah petunjuk. Panitia pun menunjukkan kotak suara yang kosong. Setelah itu barulah dimulai pemungutan suara.

Seorang pemilih kemudian mendatangi dua orang panitia yang bertugas di dekat pintu masuk lokasi pemilihan. Biasanya ia menunjukkan undangan pemilihan yang telah dibagikan pada hari sebelumnya. Setelah itu, anggota panitia akan memeriksa namanya pada daftar dan mempersilahkannya untuk masuk.

Pemilih akan menunggu gilirian untuk dipanggil ke meja ketua Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara. Di sini ia akan diberi surat suara yang sebelumnya telah ditandatangani oleh ketua dan dua anggota panitia. Dengan membawa surat suara, ia pergi menuju ke bilik pemilihan lalu mencoblos partai yang ia pilih. Setelah itu, surat suara bisa dimasukkan ke dalam kotak suara dan selanjutnya bisa meninggalkan lokasi pemungutan suara.

Setelah semua pemilih melakukan pencoblosan, Panitia Penyelenggaraan Pemungutan Suara kemudian melaksanakan penghitungan suara di tempat pemungutan suara setempat. Sebelum penghitungan suara dimulai, kotak suara dibuka terlebih dahulu di depan para saksi dan petugas keamanan yang mengawal lokasi tersebut. Setelah kotak suara dibuka, seluruh surat suara dikeluarkan seluruhnya barulah dimulai penghitungan suara.

Hasil dari penghitungan suara di setiap lokasi pemungutan suara kemudian segera dilaporkan kepada Panitia Pemilihan Indonesia. Mereka inilah yang kemudian merekap semua hasil suara dari seluruh Indonesia. Hasil keseluruhan yang diperoleh partai-partai dalam Pemilu Parlemen dan Konsituante dipaparkan dalam tabel berikut ini

Sumber: “Romantisme Partai Politik Lokal”. KOMPAS, 21 Juli 2005

Berkaca dari hasil Pemilu Parlemen dan Konstituante tahun 1955, empat besar dikuasi oleh PNI, Masyumi, dan PKI. Keempat parpol tersebut telah diprediksi mendapatkan kursi paling banyak di Parlemen dan Konstituante. Setidaknya keempat partai tersebut sejak lima tahun terakhir juga menguasai kabinet. Begitupun juga partai-partai lain yang pernah menjadi perwakilan di dalam kabinet setidaknya masuk dalam sepuluh besar suara terbanyak.

Beberapa partai daerah dan partai-partai yang baru dibentuk belum meraup suara terbanyak. Mereka hanya mendapatkan satu atau dua kursi saja. Mereka yang maju dengan menggunakan jalur organisasi dan perorangan pun juga gagal mendapatkan jatah kursi di Parlemen dan Konstituante.

Ada beberapa faktor yang memungkinkan partai-partai besar mendapatkan suara banyak pada Pemilu 1955. Pertama, berdirinya partai sejak zaman kolonial telah menjadi faktor penting karena mereka berjuang dalam membasmi kolonialisme. Kedua, keterwakilan partai di dalam kabinet juga memiliki pengaruh karena para menteri-menterinya telah banyak dikenal oleh masyarakat.

Meskipun pada 29 September 1955 dan 15 Desember 1955 telah diadakan pemilihan di tingkat nasional, tetapi pada tahun-tahun berikutnya akan diadakan pemilihan di tingkat daerah. Mereka inilah yang kemudian menjadi anggota Parlemen dan Konstituante Daerah. Keterpilihan partai-partai di daerah pun berbeda-beda dengan di tingkat nasional karena menyesuaikan dengan dinamika di daerahnya masing-masing.

Referensi

Buku
  • Feith, Herberth. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: KPG.
  • Hatta, Mohammad. 1970. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas.
  • Pamungkas, Mudanto, dkk. 2019. Naskah Sumber Arsip: Jejak Demokrasi Pemilu 1955. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
  • Puspoyo, Widjanarko. 2012. Dari Soekarno hingga Yudhoyono, Pemilu Indonesia 1955-2009. Solo: Era Adicitra Intermedia.
Arsip Kompas
  • “Angka-Angka Pemilu Tahun 1955”. Kompas, 24 April 1971.
  • “Karakteristik dari Pemilu ke Pemilu: Pemilu 1955, Sukses di tengah Situasi Labil”. Kompas, 20 Mei 1997.
  • “Eksperimen Demokrasi di Tengah Pluralisme Politik”. Kompas, 9 Maret 1999.
  • “Kita Kenang Perdana Menteri Mohammad Hatta”. Kompas, 6 Juli 2002.
  • “Demokratis dan Murah”. Kompas, 4 Januari 2014.
  • “Pembelajaran dari Era Partai Ideologis”. Kompas, 2 April 2017.
  • “Jejak pemilihan ‘Ultra Demokratis’”. Kompas, 12 Januari 2019.
  • “Misteri Hari Lahir KPU”. Kompas, 20 September 2021.