Paparan Topik | Tragedi Mei 1998

Reformasi: Gerakan Perubahan untuk Perbaikan

Pada Mei 2023 ini, peristiwa Reformasi 1998 mencapai usia seperempat abad. Sebagai sebuah gerakan menuju perbaikan, reformasi juga terjadi di berbagai negara.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Di Kampus UI Salemba, Rabu (23/9/1998) sekitar 200 alumni dari berbagai perguruan tinggi menggelar apel siaga “Meluruskan Kembali Arah Reformasi”. Sejumlah tokoh gerakan reformasi, seperti sosiolog Selo Soemardjan, Sri Edi Swasono, Ali Sadikin, mantan Rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri dan Ketua Umum Ikatan Alumni UI Hariadi Darmawan memberikan orasi di atas panggung di depan Gedung Fakultas Kedokteran.

Reformasi

  • Pada 21 Mei 2023 ini, peristiwa Reformasi 1998 memasuki peringatan yang ke-25.
  • Puncak perjuangan reformasi di Indonesia terjadi pada 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Soeharto
  • KBBI mendefinisikan reformasi sebagai perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu negara.
  • Reformasi di Arab Saudi (2016-sekarang) dilakukan dengan proses sekularisasi dan modernisasi. Tujuannya adalah melepaskan ketergantungan terhadap komoditas minyak dan mencapai Visi Saudi 2030.
  • Reformasi di Singapura (1965-sekarang) terkait dunia pendidikan dilangsungkan secara konsisten dan terus menerus, sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang melek dengan kebutuhan zaman.
  • Reformasi Uni Soviet pada era Mikail Gorbachev (1985-1991) ditandai dengan program “glasnost” (keterbukaan) dan “perestroika” (restrukturisasi).
  • Reformasi Gorbachev, meski menghentikan Perang Dingin dan membuka Uni Soviet pada sistem yang lebih demokratis, berdampak pada pecahnya Uni Soviet itu sendiri menjadi 15 negara berbeda.
  • Reformasi Jepang, yang disebut sebagai Restorasi Meiji (1968-1912), menjadi kali pertama Jepang membuka diri dengan budaya dan teknologi Barat. Restoasi Meiji menjadi momen kebangkitan Jepang dari

Dua puluh lima tahun sudah sejarah menyimpan catatan Reformasi 1998. Peristiwa yang ditandai dengan demo besar-besaran tersebut berhasil membebaskan masyarakat Indonesia dari belenggu Orde Baru.

Meski gelombang demonstrasi mulai masif sejak 1997, namun momentum puncak perjuangan tercapai pada 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Soeharto. Sejak itu pula, bangsa Indonesia memasuki “era pasca-Soeharto” atau disebut sebagai era Reformasi.

Perjuangan pada 1998 mengangkat istilah “reformasi” yang kemudian diikuti dengan harapan adanya perbaikan di berbagai bidang. Untuk menuju perbaikan besar-besaran tersebut, maka perombakan pun terjadi dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama pada sistem hukum, perwakilan rakyat, dan keterbukaan pemerintah.

KOMPAS/EDDY HASBY

Aksi mahasiswa, Jumat (8/5/1998) di berbagai kota, berlangsung damai, kecuali di Solo, Yogyakarta, Samarinda, dan di Jakarta. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menggelar aksi demo khususnya di depan gedung MPR/DPR dan di sekitar kampus Universitas Trisakti Jalan Kyai Tapa. Aksi saling lempar batu, terjadi di jalur tol dalam kota antara kelompok mahasiswa yang bergerak dari Semanggi dengan aparat keamanan yang mengamankan kompleks MPR/DPR. Jumlah mahasiswa yang begitu besar, merangsek aparat.

Reformasi 1998: Berbuah Demokrasi

Pada berbagai perombakan dan perbaikan yang terjadi, setelah Reformasi 1998 muncul iklim demokrasi yang diharapkan membuka kebebasan berpendapat seluas-luasnya. Dalam buku Demokrasi, Agama, Pancasila. Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now, Magnis-Suseno menuliskan bagaimana demokrasi merupakan capaian paling utama dan terbesar oleh para reformator. Ia menuliskan, “…demokrasi, hasil terbagus Reformasi.” Demokrasi inilah yang dihidupkan dalam perbaikan sistem perwakilan dan pelaksanaan pemerintah dengan sistem check and balances sebagai upaya saling mengontrol.

Keterwakilan masyarakat begitu kontras tampak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, atau pemilu pertama sejak Reformasi 1998. Sebanyak 48 partai politik menjadi peserta Pemilu 1999. Pemilu ini merupakan pemilu dengan jumlah peserta pemilu yang sangat banyak, bahkan bila dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu tiga dekade sebelumnya.

Pada era Orde Baru hanya terdapat tiga partai politik peserta pemilu, yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hadirnya variasi partai memberikan akses kemudahan bagi masyarakat untuk mengirimkan perwakilan atau suaranya.

Pada era Orde Baru, produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung menjadi alat kekuasaan untuk mencapai tujuan rezim berkuasa. Salah satunya adalah TAP MPR Nomor 4 Tahun 1983 tentang Referendum yang isinya mengembalikan wewenang untuk merubah UUD kepada masyarakat melalui referendum. Mengacu pada artikel akademik Tinjauan Yuridis Terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum oleh Indrawati, TAP MPR tersebut justru bertentangan terhadap UUD 1945.

Pada pasal 37 UUD 1945, MPR telah diamanatkan untuk melakukan perubahan UUD. Oleh karena itu, memang telah menjadi wewenang lembaga tersebut untuk melakukan amademen tanpa perlu berlama lagi mengembalikan wewenang tersebut pada masyarakat.

Sementara dari sosok Soekarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), telah disampaikan pada 18 Agustus 1945, bahwa UUD yang dibuat tersebut sifatnya sementara sehingga pada waktu mendatang memenag harus dilakukan perubahan kembali.

Penolakan pemerintah untuk melakukan amandemen UUD 1945 tak lepas dari sejumlah poin di dalamnya yang memberikan besarnya kewenangan dan kelanggengan berkuasa pada sosok Presiden.

Mengacu pada laman resmi Mahkamah Konstitusi (mkri.id), UUD 1945 sebelum amandemen memberikan kekuasaan penuh pada tangan Presiden dan belum memiliki mekanisme checks and balances antara lembaga negara sehingga bisa seimbang satu sama lain.

Beberapa hal tersebut berlawanan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi bernegara yang dilawan dalam peristiwa Reformasi 1998. Perjuangan reformasi tidak hanya menjatuhkan sosok rezim Soeharto, namun juga menjadi titik kebangkitan sistem politik, ekonomi, hukum, dan birokrasi yang lebih demokratis.

Pada skala gobal, konsep dan peristiwa reformasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Reformasi adalah suatu fenomena global yang muncul sebagai upaya perlawanan dan perbaikan dari situasi yang tidak ideal dan tidak menguntungkan bagi sekelompok besar bangsa. Peristiwa-peristiwa reformasi juga dapat ditemukan pada catatan historis negara-negara lain.

Apa itu reformasi?

Pemahaman konsep reformasi dapat diperoleh secara terminologis maupun etimologis. Secara terminologis, definisi atas reformasi dapat ditemukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalamnya, KBBI merumuskan kata “reformasi” sebagai “perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu negara”. Perubahan untuk perbaikan menjadi kunci dalam terminologi reformasi.

Sementara secara etimologis, kata “reformasi” berasal dari Bahasa Inggris “reform”. Kata tersebut memiliki arti “membuat perubahan untuk memperbaiki keadaan”. Sementara dirunut dari akar bahasanya, reform sendiri lahir dari gabungan frasa Latin “re-” yang berarti “kembali” dan “formare” yang berarti “untuk membentuk”. Dengan demikian, “reformare” sebagai asal perdana dari reformasi memiliki arti harafiah “untuk membentuk kembali”.

Dalam tren masa kini, makna reformasi lantas berkembang dengan tidak hanya merujuk pada perjuangan fisik dan keringat yang melibatkan gelombang demonstrasi layaknya Reformasi 1998. Konsep reformasi kembali pada awal maknanya seperti yang dicatatkan dalam KBBI, yakni perubahan drastis untuk perbaikan.

Selain itu, dalam pemahaman terminologis, konsep reformasi juga berbeda dengan revolusi. Keduanya rentan mengalami kerancuan sehingga penggunaannya menjadi tidak sesuai dengan terminologi masing-masing dan konteks kalimat. Kembali mengacu pada KBBI, “revolusi” didefinisikan sebagai “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”.

Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa revolusi dan reformasi sama-sama merujuk pada suatu giat perubahan. Meski begitu, keduanya berbeda dalam upaya perubahan tersebut. Pada satu sisi, reformasi terjadi melalui jalan-jalan yang sah dan secara jelas mencapai kondisi yang lebih baik. Sementara revolusi pada sisi lain, dicapai melalui jalur kekerasan. Karena revolusi cenderung ditempuh dengan cara kekerasan, maka belum tentu pula revolusi mencapai suatu kondisi yang lebih baik.

KOMPAS/EDDY HASBY

Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.

Arab Saudi: Reformasi Sosial-Ekonomi

Selama ini, Arab Saudi terkenal sebagai salah satu penghasil minyak dan gas alam terbesar. Keduanya bahkan menjadi komoditas utama yang menyangga ekonomi nasional Saudi. Pada 2019, cadangan minyak dalam perut Arab Saudi diperkirakan mencapai 268,5 miliar barel. Sementara pada 2022, Arab Saudi menorehkan produksi minyak bumi hingga lebih dari 10 juta barel per hari. Kedua data tersebut menjadikan Arab Saudi sebagai salah satu pemain terbesar dalam industri minyak global.

Meski begitu, mengacu pada Kompas.id (21/3/2023, “Reformasi Saudi”), sejak periode waktu 2014-2016 pemerintah Saudi mulai menyadari rentannya ekonomi negara mereka. Pada kisaran waktu tersebut, akibat percekcokan antara Saudi dan Iran soal pemangkasan produksi minyak, harga minyak di pasar global anjlok hingga 70 persen. Anjloknya harga ini berdampak besar pada ekonomi Saudi yang 80 persen pendapatan negaranya ditopang oleh minyak.

Sektor bisnis, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dalam negeri mengalami pelambatan. Pemerintah harus memotong biaya operasional mereka. Sementara di sektor pendapatan, Saudi mengalami kerugian hingga 118 miliar dollar AS, atau setara dengan 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2016.

Krisis minyak tersebut telah mendorong pemerintah Saudi untuk memutar otak dan memperbaikin kondisi perekonomian nasional. Spesifik untuk menanggulangi masalah krisis 2016 tersebut, sebagai contoh pemerintah mengambil kebijakan meminjam uang dari lembaga donor internasional (seperti IMF), memangkas anggaran untuk sektor pelayanan publik dan subsidi minyak, menaikkan pajak, serta menangkapi koruptor untuk memaksa mereka mengembalikan kas negara.

Selain itu semua, pemerintah Saudi juga melahirkan Visi Saudi 2030 atau ru’yah al-su’udiyah. Visi Saudi 2030 adalah agenda jangka panjang nasional yang diprakarsai oleh Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi agar mengurangi ketergantungan pada komoditas minyak dan gas. Di dalamnya, turut diagendakan pula pengembangan sumber-sumber ekonomi, pelayanan publik, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, kesehatan, dan lainnya.

Sebagai contoh, di sektor rekreasi pemerintah Saudi membangun kebun-kebun binatang, menjadikan padang gurun sebagai lahan pertanian, dan menghidupkan kembali berbagai dunia hiburan. Termasuk dalam yang terakhir disebutkan adalah membuka kembali gedung-gedung bioskop yang sudah mati selama hampir 40 tahun karena dilarang oleh kelompok Islam militan-konservatif. Kelompok yang terakhir disebutkan telah mengontrol kebijakan kebudayaan dan keagamaan pemerintah selama dekade-dekade sebelum 2016.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Mustofa Ibrahim Al Mubarak (kiri) berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Rabu (10/10/2012). Al Mubarak menjelaskan sejumlah hal, mulai dari perkembangan hubungan Indonesia dengan Arab Saudi hingga reformasi yang terus dilakukan di negara tersebut. Duta Besar Arab Saudi diterima Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun dan jajaran pimimpin redaksi Kompas .

Selain itu, pemerintah Saudi juga menggalangkan program Green Riyadh. Proyek besar ini melakukan penghijauan padang-padang pasir Riyadh menjadi kawasan hijau. Setidaknya ditanam 7,5 juta pohon untuk melakukan transformas hijau. Terdapat pula program Al-Ula Project untuk menggali situs-situs arkeologis dan sejarah. Tujuannya, menjadikan kawasan Al-Ula di Arab Saudi bagian utara sebagai salah satu pusat arkeologi dunia dan destinasi turisme warisan.

Dalam prospek ekonomi yang ambisius tersebut, Visi Saudi 2030 telah sedari awal tidak mencakup dimensi ekonomi semata. Dalam reformasi ekonomi, diperlukan pula perbaikan pada dimensi sosial dan budaya sebagai implikasi eratnya hubungan antar dimensi kehidupan. Singkatnya, reformasi ekonomi mengharuskan adanya reformasi sosial.

Oleh sebab itu, mengacu pada artikel akademik Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi dan Wahabi oleh Mahmud Hibatul Wafi, bersamaan dengan dijalankannya program-program reformasi ekonomi, Kerajaan Saudi juga tengah melakukan reformasi sosial-budaya secara masif. Hal ini terutama berkaitan dengan ajaran Keislaman yang dianut Saudi selama ini, secara khusus Wahabisme.

Sebagai latar belakang, Wafi menuliskan bahwa selama ini pemerintah Saudi begitu erat dengan pengaruh prinsip Wahabi. Lembaga agama, termasuk para ulama dan institusi keagamaan, menentukan arah pembangunan Saudi dengan perspektif militansi-konservatisme Islam. Hal-hal keagamaan dan perawatan terhadap eksistensi Islam Wahabi menjadi fokus pemerintah, sehingga tidak fokus pada masalah perekonomian karena sudah dimanjakan oleh berkah minyak. Kondisi demikian berdampak pada kurangnya progresivisme dan kemajuan negara.

Dalam upaya mencapai kemajuan dan modernitas tersebut, maka Muhammad bin Salman mengarahkan Saudi pada reformasi sosial untuk menjadi negara yang lebih sekuler dan inklusif menuju “Saudi baru”. Perempuan diberikan hak-hak yang lebih luas untuk berdinamika dalam ruang publik dan gedung-gedung bioskop dibuka. Para ulama yang dinilai menyebarkan ajaran ekstremisme ditangkapi, lembaga Polisi Syariat dibekukan, dan sistem pendidikan dimoderasi.

Reformasi demikian jelas berdampak luas pada internal Saudi sendiri. Setelah terus berjalan dalam struktur koridor Islam konservatif sejak 1932, kini struktur tersebut tengah direformasi. Banyak kelompok yang kontra, terutama para ulama Wahabi sendiri yang selama ini memperoleh posisi penting dan begitu didengar dalam politik Saudi. Mereka yang kontra menilai proses reformasi tersebut salah arah, menodai keislaman, bahkan disebut sebagai tanda-tanda akhir zaman.

Singapura: Reformasi Pendidikan

Sebagai suatu negara yang berdiri sendiri, usia Singapura terbilang muda. Pada 1959, Inggris melepaskan kekuasannya atas wilayah Singapura. Setelah mencoba bergabung dengan Malaysia, Singapura melepaskan diri pada Agustus 1965 dan berdiri menjadi suatu negara otonom sendiri. Meski ‘baru’ berusia 58 tahun, negara Singapura telah dikenal memiliki kualitas pendidikan yang sangat baik.

Sebagai contoh, pada 2021 Singapura menduduki peringkat ke-21 sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Rangking tersebut turut menempatkan Singapura sebagai negara dengan pendidikan terbaik di Asia Tenggara. Peringkat tersebut dilaporkan dalam laporan Best Countries Report 2021 yang disusun oleh World Report dan Wharton School of the University of Pennsylvania. Sementara dua perguruan tingginya, National University of Singapore dan Nanyang Technological University menempati peringkat 11 dan 12 terbaik di dunia oleh QS World University Rangkings 2022.

Mengacu pada artikel akademik Governance and Bureaucracy in Singapore: Contemporary Reforms and Implications oleh Shamsul Haque, kualitas pendidikan yang baik telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah Singapura agar melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pemerintah Singapura, terutama sejak dipimpin oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew (1959-1990), menyadari betul keterbatasan negara mereka yang miskin sumber daya alam, berukuran kecil, dan diapit oleh negara-negara besar. Untuk itu, sumber daya manusia berkualitas menjadi modal penting pembangunan nasional dan menjaga suara negara di kancah internasional.

Berbeda dengan reformasi ekonomi dan sosial Saudi yang baru mulai dilakukan sejak 2016, reformasi pendidikan di Singapura berlangsung konstan sejak kemerdekaannya pada 1965. Berangkat dari kualitas sumber daya manusia yang rendah, reformasi pendidikan di Singapura berlangsung secara bertahap dalam lima fase yang memiliki objektif reformasi tersendiri. Selain itu, perjalanan reformasi pendidikan di Singapura juga diisi oleh evaluasi dan hilir-mudik program-program pendidikan sebagai upaya perbaikan secara terus menerus.

Baca juga: Sebaran Lokasi Tragedi Mei 1998

KOMPAS/NELI TRIANA

Serombongan siswa taman kanak-kanak salah satu sekolah di Singapura didampingi para guru berwisata sekaligus belajar di lapangan di Botanical Garden (5/6/2014). Taman dan hutan kota ini bisa diakses gratis sepanjang hari. Taman-taman serupa dengan luasan bervariasi mudah ditemukan di seluruh penjuru Singapura. Keberadaan ruang terbuka hijau menjadi penyeimbang kota sekaligus Negara yang dipenuhi gedung tinggi itu.

Mengacu pada artikel Singapore’s Educational Reforms Toward Holistic Outcomes (Un)Intended Consequences of Policy Layering oleh Dennis Kwek, Jeanne Ho, dan Hwei Ming Wong, kelima fase tersebut adalah:

  1. Fase Survival-Driven (1965-1978)
  2. Fase Efficiency-Driven (1979-1997)
  3. Fase Ability-Based, Aspiration-Driven (1997-2011)
  4. Fase Student-Centric, Values- Driven (2011-2019)
  5. Fase Learn For Life (2020 – Sekarang)

Fase Survival-Driven menjadi periodisasi pertama diwujudkannya reformasi pendidikan oleh pemerintah Singapura. Konteks situasi yang melatarbelakanginya adalah masa-masa awal kemerdekaan Singapura. Sebagai suatu negara yang begitu belia dan baru berdiri, ada kebutuhan mendesak untuk mendidik dan mempersiapkan anak-anak Singapura menuju sistem ekonomi baru.

Sebelumnya dalam masa penjajahan, Singapura hanya ditunjang oleh dinamika ekonomi di pelabuhan. Dalam era yang lebih maju, dinamika ekonomi pun berkembang menjadi bentuk ekonomi terbuka dengan basis ekspor.

Pemerintah merdeka Singapura pun mengarahkan fokus baru terhadap pembangunan masyarakatnya, yakni mengembangkan keterampilan dan sikap kerja strategis untuk mengakomodasi ekonomi terbuka. Untuk itu, kurikulum pendidikan nasional Singapura mulai menerapkan fokus-fokus pembelajaran pada bahasa, sains, dan matematika untuk mendukung kebutuhan ekonomi.

Pada tahap lebih lanjut, kualitas sumber daya manusia yang dilahirkan oleh fase survival driven tidak memadai. Pendidikan dengan basis tujuan ekonomi membuat adanya ketimpangan, – secara khusus antara murid yang memiliki kemampuan dan kesempatan dengan yang tidak. Atas dasar tersebut, pemerintah mengimplementasikan reformasi struktural.

Salah satunya adalah dengan melakukan pelacakan kemampuan atau “streaming”. Dengan demikian, siswa dimungkinkan dengan kemampuan dan bakat yang berbeda dapat belajar dengan kecepatan mereka sendiri. Streaming diterapkan di tingkat sekolah dasar dan menengah. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, pemerintah Singapura menetapkan kebijakan diferensiasi sekolah yang dirancang untuk melayani siswa dengan kemampuan berbeda.

Fase ketiga, Ability-Based dan Aspiration-Driven yang dimulai pada 1997, diwujudkan dengan melanjutkan sekaligus mengembangkan reformasi pendidikan pada fase Efficiency-Driven. Fase ketiga ini sendiri hadir untuk tidak lagi mempersiapkan masyarakatnya pada basis ekonomi semata, melainkan juga kualitas kompetitif dan kompeten di era global. Untuk itu, dua kebijakan pendidikan utama yang diterapkan oleh pemerintah Singapura adalah deregulasi dan desentralisasi institusi sekolah.

Institusi-institusi pendidikan diberikan otonomi yang lebih dalam menjalankan pengembangan organisasinya. Pemerintah masih mengawasi melalui Undang-Undang Wajib Belajar yang diterbitkan tahun 2000, namun semata untuk

Pada fase ini juga, Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong memperkenalkan konsep “Thinking schools, learning nation” (TSLN) untuk pertama kali, tepatnya pada Juli 1997. TSLN lantas menjadi tema sentral bagi arus utama reformasi pendidikan di Singapura. “Thinking schools” merujuk pada gagasan agar sekolah mendidik untuk menanamkan kemandirian dan keterampilan berpikir kritis siswa. Sementara “learning nation” bertujuan untuk menumbuhkan kebiasaan belajar berkelanjutan.

Reformasi pendidikan melalui TSLN diupayakan sehingga sumber dana manusia Singapura sesuai dengan tantangan di era globalisasi dan informasi. Strategi utama perwujudan gagasan TSLN adalah mencakup pengajaran eksplisit untuk keterampilan berpikir kritis dan kreatif, mengurangi konten mata pelajaran, revisi model penilaian, dan penekanan pendidikan pada proses bukan pada hasil.

Melanjutkan TSLN, pemerintah Singapura kembali menggagas konsep “Teach Less, Learn More” (TLLM) pada 2005. Konsep TLLM menekankan pada pedagogi kelas yang mendorong guru untuk dapat berefleksi tentang cara mengajar di kelas dan bagaimana ia mengajar demi meningkatkan kualitas proses belajar murid. Dengan guru yang dapat berefleksi untuk memunculkan ide-ide inovatif proses pembelajaran, Menteri Pendidikan Singapura Tharman Shanmugaratnam berharap reformasi pendidikan dapat dimulai dari bawah.

Pada kedua fase selanjutnya, dari 2011 hingga saat ini, Singapura terus mengembangkan pedagogi mengajar yang kian meninggalkan penekanan pada capaian-capaian akademis semata. Lebih daripada itu, sekolah dan guru mendorong siswanya untuk menjadi agen perubahan yang dapat berinovasi dan berkolaborasi sehingga mereka siap menghadapi kehidupan, bukan hanya ujian. Salah satu perwujudannya adalah dikembangkannya Ujian Lulus Sekolah Dasar (PSLE) pada 2021.

Uni Soviet: Reformasi Politik dan Ekonomi

Sejak tahun 1924 hingga 1953, Uni Soviet dipimpin oleh seorang sosok sosialis yang terkenal dengan kediktatorannya dan paham komunismenya, yakni Joseph Stalin. Chris Ward dalam bukunya Stalin’s Russia menggambarkan bagaimana dalam kepemimpinan Stalin, Uni Soviet yang awalnya harus menelan banyak kekalahan dalam Perang Dunia II akhirnya mampu memukul mundur pasukan Nazi, Jerman. Meski begitu, rezim Stalin juga ditandai dengan banyaknya penduduk dan golongan politik yang dibunuh, ketegangan dengan negara-negara Barat, dan kemiskinan yang begitu buruk di seluruh Soviet.

Atas situasi demikian, sejak meninggalnya Stalin, pemimpin-pemimpin Uni Soviet melakukan reformasi politik dengan upaya “de-Stalinisasi”. Mulai dari Nikita Khrushchev, Leonid Brezhnev, hingga Mikhail Gorbachev. Nama terakhir sendiri, yang memimpin Soviet dari 1985-1991, menjadi salah satu yang paling menonjol, terutama dengan gerakan reformasinya merubah kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan luar negeri Uni Soviet.

Naiknya Gorbachev sebagai presiden terjadi ketika Soviet tengah berada dalam kondisi yang berat. Ekonomi nasional tengah jatuh dan standar hidup rakyat terpuruk. Militer mereka terjebak dalam perang Afghanistan. Sementara tekanan dari Amerika Serikat kian besar dengan dinamika panas Perang Dingin.

Usaha reformasi Gorbachev ditandai dengan pelaksanaan dua program besar, “glasnost” (keterbukaan) dan “perestroika” (restrukturisasi). Glasnost adalah konsep reformasi politik yang dimaksudkan untuk mendorong demokratisasi. Melalui glasnost, Gorbachev ingin memberikan kesempatan lebih besar untuk dialog dan kritik terhadap seluruh aparat Uni Soviet. Kontrol negara atas media maupun opini publik mengendur, gerakan reformasi demokratik menggema di seluruh Uni Soviet. Keterlibatan masyarakat dalam proses politik pun meluas.

Sementara perestroika ditujukan untuk memperkenalkan kebijakan pasar bebas bagi industri dan masyarakat Uni Soviet. Untuk itu, salah satu hal yang dilakukan oleh yang diterapkan oleh Gorbachev adalah dengan mencabut kontrol harga oleh pemerintah di sejumlah pasar. Meski begitu, struktur birokrasi komunis masih tetap bercokol. Sedikit terbukanya sistem pasar liberal ini menjadi antipoda tersendiri dari sistem ekonomi sosialis yang selama ini diterapkan Soviet.

Meski mencanangkan transisi ekonomi menuju pasar bebas dan berada dalam situasi ekonomi yang masih lesu, Gorbachev masih memberikan prioritas pada pendanaan militer. Setidaknya 10 hingga 20 persen dari total pendapatan nasional diarahkan ke industri pertahanan. Adanya dukungan dari para inovator teknologi dan wirausahawan pun masih diarahkan ke hal-hal yang berkaitan dengan industri pertahanan.

Tindakan reformasi Gorbachev ini memberikan pertentangan yang demikian luas dari kalangan internal Soviet. Para pengkritiknya menyatakan bahwa glasnost dan perestroika membuat Uni Soviet mundur dari karakter sosialisme mereka. Atas hal tersebut, Gorbachev mengelak dengan menyebutkan bahwa tujuan reformasi adalah justru untuk menyempurnakan sosialisme Soviet dengan menggunakan potensinya sepenuhnya.

Kritik terhadap Gorbachev tersebut tidak sepenuhnya salah. Reformasi tersebut justru menjadi mempercepat keruntuhan Uni Soviet. Glasnost dan perestroika membuka pertentangan antara kelompok moderat, konservatif, dan radikal tentang sistem komunisme di Uni Soviet. Sejak 1990, atau lima tahun kekuasaan Gorbachev, pengaruh komunisme Soviet mulai runtuh di negara-negara bagiannya.

Baca juga: Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya

REUTERS

Ribuan penduduk Moskwa hari Rabu (21/8/1991) menyambut gembira laporan kudeta di Uni Soviet gagal. Kekuatan rakyat menjadi faktor penting dalam mendorong kembalinya Presiden Mikhail Gorbachev ke tampuk kekuasaan.

Akhirnya, Mikhail Gorbachev memilih mengundurkan diri dari kursi pemimpin tertinggi Uni Soviet pada 25 Desember 1991. Tepat keesokan harinya, pada 26 Desember 1991, Uni Soviet resmi bubar. Negara-negara bagian mulai melepaskan diri dan kantor-kantor pemerintahan Uni Soviet diambil alih oleh pemerintah Rusia. Sebanyak 15 negara baru lahir dari keterpecahan Uni Soviet tersebut.

Meski tidak berakhir baik bagi kesatuan spasial dan bangsa Uni Soviet, reformasi Mikhail Gorbachev telah mengakhiri isolasi, membongkar dogma-dogma ideologis komunisme, dan menampilkan wajah baru Uni Soviet. Keruntuhan Soviet ini juga dinilai sebagai momen yang Perang Dingin dengan Amerika Serikat (Kompas.id, 2/9/2022, Gorbachev Mengubah Arah Sejarah).

Berbagai langkah dan kebijakan reformasi tersebut membuat nama Mikhail Gorbachev begitu disanjung oleh publik internasional, terutama di negara-negara barat. Kunjungannya ke Washington, New York, London, Paris, Berlin, Amsterdam, New Delhi, dan Oslo disambut baik. Puncaknya, Gorbachev dimahkotai Hadiah Nobel Perdamaian pada 1990. Meski begitu, situasi begitu berbeda terjadi di negerinya sendiri. Ia tak diakui sebagai pemimpin reformasi, melainkan sebagai arsitek kehancuran Soviet.

Jepang: Reformasi Nasional

Dalam sejarah perjalanan negerinya, Jepang beberapa kali melakukan upaya reformasi besar. Salah satu yang dilakukan dikenal dengan nama “Restorasi Meiji”. Dari ketiga upaya reformasi yang telah dijelaskan sebelumnya, reformasi Meiji di Jepang ini menjadi yang tertua. Restorasi Meiji, atau juga dikenal dengan Meiji Ishin, terjadi dalam rentang waktu 1868-1912. Reformasi ini tercatat sebagai awal kebangkitan negeri Jepang.

Sebagai latar belakang, dimulainya Restorasi Meiji ditandai dengannya turunnya kekuasaan diktaktor militer Dinasti Tokugawa. Pada 3 Januari 1968, Shogun Keiki Yoshinobu yang juga disebut Tokugawa Yoshinobu menyerahkan kekuasaannya pada Kaisar Mutsuhito atau Meiji Tenno yang saat itu masih berusia lima tahun. Dalam kepemimpinan Dinasti Tokugawa yang telah berlangsung selama 260 tahun, Jepang dikenal sebagai suatu kerajaan tradisional dengan menganut feodalisme.

Naiknya Kaisar Meiji juga bersamaan dengan tren intelektual yang tengah tumbuh di kalangan masyarakat Barat. Masyarakat Jerman mengenalnya sebagai periode Aufklarung, sementara dalam bahasa yang lebih umum dikenal sebagai Periode Pencerahan atau Age of Englighment.

Pada masa ini, akal dan budi manusia memperoleh kedudukan yang baru dan luar biasa – dimana keduanya dipercaya menjadi pembimbing manusia untuk memahami dunia dan memperoleh pencerahan. Kepercayaan metafisis ditinggalkan, sementara ilmu-ilmu pengetahuan berbasis bukti menjadi arah penunjuk baru.

Sejak kekuasaan Meiji, dilakukan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jepang. Meiji memutuskan untuk mengubah situasi Jepang yang tradisional dengan mencapai kemajuan ekonomi dan militer, dimana untuk itu juga perlu melakukan reformasi sosial. Salah satu langkah awal yang diambil adalah dengan mengeluarkan deklarasi Charter Oath pada 6 April 1868.

KOMPAS/M SUPRIHADI

Kastil Kumamoto dibangun tahun 1601-1607 oleh Shogun Kato Kiyomasa. Kastil ini pernah terbakar hebat saat restorasi Meiji, kemudian dipugar kembali oleh Pemerintah Jepang. Foto diambil pada (10/11/2007).

Melalui Charter Oath, Meiji membentuk majelis yang akan bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Majelis ini bertanggung jawab untuk membahas persoalan-persoalan rakyat dan menghapus semua aturan feodalistis. Sebagai hasil, pada akhir tahun 1873, Jepang telah mengakui kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia.

Selain itu, salah satu seruan dari deklarasi Charter Oath adalah keharusan mencari ilmu pengetahuan ke seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk memperkuat fondasi pemerintahan kekaisaran. Oleh karena itu, Meiji juga mengirimkan 50 pejabatnya ke negara Barat yang dinilai lebih modern, terutama Amerika dan Eropa. Disana mereka belajar tentang pemerintahan, perdagangan, industri, dan militer.

Sekembalinya dari Amerika dan Eropa, para pejabat ini ditugasi untuk menggerakkan Jepang dan mengejar kemajuan-kemajuan Barat. Hal-hal yang dilakukan antara lain membangun jaringan rel kereta api dan jalan raya, reformasi agraria dengan meredistribusi lahan-lahan yang dulu dikuasai para tuan tanah zaman feodal, dan membangun angkatan bersenjata modern.

Selain itu, juga dilakukan reformasi birokrasi dan politik. Meiji mau seutuhnya meninggalkan sistem politik feodalistik, sehingga dibentuklah pemerintahan parlementer. Parlemen ini disebut National Diet, dimana namanya sendiri berangkat dari istilah Latin diaeta yang secara harafiah berarti cara hidup dengan Kaisar sebagai kepala yang berdaulat.

Pada 1889, untuk pertama kalinya, Jepang memiliki konstitusi yang meniru model Eropa. Konstitusi ini turut menempatkan Kaisar untuk membawahi militer, baik angkatan darat dan laut. Kaisar juga membawahi kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Namun, dibentuk pula kelompok dewan negarawan yang disebut sebagai genro. Mereka yang tergabung dalam genro lah yang memegang kekuasaan senyatanya untuk menjalankan roda pemerintahan negara (Kompas.id, 11/2/2018, Meiji).

Selain itu semua, Meiji secara khusus meletakkan perhatian pada bidang pendidikan. Pendidikan dinilai menjadi sumber menghasilkan orang-orang hebat, yang pada kelanjutannya menjadi penggerak reformasi Jepang. Untuk itu, ditetapkan bahwa anak berusia enam tahun ke atas wajib mengenyam pendidikan. Selain itu, juga dibangun sistem pendidikan dengan standar Barat (Kompas.id, 31/12/2019, Bukan Rumah Mereka).

Setelah belajar dari Barat, Jepang yang baru pun muncul dari Periode Meiji. Westernisasi dan modernisasi intensif memberikan kemajuan masif bagi masyarakat Jepang menuju negara industri modern dan meninggalkan era feodalistis. Perubahan dan kemajuan besar dalam sektor ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hingga militer menjadi fondasi bagi kemajuan Jepang modern saat ini. Restorasi Meiji menjadi langkah awal Jepang mencapai modernisasi.

Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia

Dalam usia peristiwa Reformasi 1998 yang mencapai usia 25 tahun, Indonesia bukan berarti berhenti melakukan giat-giat reformasi. Justru dalam Era Reformasi ini, upaya check and balances untuk perbaikan dapat lebih terbuka dilakukan. Meski pemberitaan dan dampaknya tidak sebesar Reformasi 1998 yang berhasil menjatuhkan suatu rezim, namun masyarakat Indonesia di Era Reformasi masih menyaksikkan sejumlah peristiwa reformasi vital. Termasuk dua di antaranya adalah reformasi industri kereta api Indonesia dan reformasi agraria.

Reformasi perkeretaapian Indonesia, misalnya, terjadi dalam masa kepengurusan Iganius Jonan sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Ketika pertama menduduki jabatan pada 2009, Jonan dihadapkan dengan situasi defisit keuangan hingga Rp 82,6 miliar, rendahnya standar kualitas lokomotif, kerusakkan gerbong-gerbong kereta, dan buruknya stasiun. Dalam faktor manusia, kualitas kerja karyawan KAI belum tentu memadai dan fasilitas perjalanan KAI biasa dipenuhi dengan kegiatan informal seperti pedagang kaki lima, calo tiket, dan pencopet.

KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI

Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (kiri) bersama Bupati Sidoarjo Syaiful Illah (kanan) saat melihat fasilitas Kereta Jenggala, Senin (24/11/2014) di Stasiun Sidoarjo, Jatim. Kereta perintis yang melayani rute Sidoarjo-Mojokerto pulang pergi ini memiliki fasilitas pendingin ruangan dan tempat duduk yang nyaman dengan tarif Rp 4.000 per penumpang.

Sejak 2012, Jonan menerapkan sistem satu karcis satu tempat duduk. Sistem baru ini membuat kereta api jarak jauh tidak lagi disesaki oleh penumpang. Sterilisasi stasiun, pembelian tiket melalui layanan online, penyediaan air conditioner di gerbong kereta, hingga peningkatan keamanan diwujudkan oleh Jonan. Dalam upaya reformasi KAI, Jonan juga menerapkan sistem meritokrasi untuk meningkatkan prestasi internal karyawan (Kompaspedia, 14/5/2021, Kereta Ekonomi Riwayatmu Dulu).

Hingga ia melepas jabatan Direktur KAI pada 2014, Jonan telah berhasil membalikkan berbagai situasi tersebut. Dibandingkan 2009, KAI mampu meningkatkan capaian jumlah penumpang hingga 50 persen pada 2014. Muatan barang yang diangkut juga meningkat dua kali lipat hingga hampir 30 juta ton per tahun. Lebih daripada itu, persepsi publik terhadap perkeretaapian Indonesia pun membaik.

Sementara konsep reformasi agraria kembali hadir dan terdengar sejak keruntuhan rezim Orde Baru. Setelah sempat disuarakan oleh pemerintahan Soekarno, terutama melalui diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), reforma agraria tak lagi terdengar di era kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Lama tersebut, reformasi agraria lebih dikenal sebagai nama landreform, sementara pada konteks masa kini dikenal sebagai reforma agraria.

Pada tahun 2001, tepatnya melalui TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, reforma agraria secara formil disebut sebagai pembaruan agraria. Pada Pasal 2, pembaruan agraria ini didefinisikan sebagai “suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Setelah mengalami pasang surut konsistensi pada era presiden-presiden sebelumnya, kini Presiden Joko Widodo tengah mewujudkan kembali reforma agraria. Pada hakikatnya, tujuan dari reforma agraria adalah untuk melakukan redistribusi tanah dan penyelesaian konflik kepemilikan tanah, secara khusus terhadap masyarakat dan petani kecil.

Reforma agraria dalam era Jokowi memperoleh perhatian serius, terutama dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 sebagai payung hukum. Redistribusi tanah dipercepat guna mengejar ketertinggalan dari legalisasi aset atau sertifikasi tanah gratis melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Tak hanya itu, masyarakat yang telah memperoleh sertifikasi tanah diberdayakan secara ekonomi

Selain itu, turut dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang berisi kolaborasi antara Menteri dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bersama para gubernur, dan bupati/walikota seluruh Indonesia. (Kompas.id, 24/9/2021, Tantangan Reforma Agraria). Dinamika tersebut dimonitor Presiden Jokowi melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria yang dibentuk Kepala Staf Kepresidenan pada 2021. Hingga kini, proses reforma agraria masih berlangsung dan perlu mendapat perhatian masyarakat. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Magnis-Suseno, F. (2021). Demokrasi, Agama, Pancasila. Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Ward, C. (1993). Stalin’s Russia. London: Edward Arnold.
Artikel Akademik
  • Haque, M. S. (2004). Governance and Bureaucracy in Singapore: Contemporary Reforms and Implications. International Political Science Review Volume 25, Nomor 2, 227-240.
  • Indrawati, Y. (1995). Tinjauan Yuridis Terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum . Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Nomor 6 Volume 25, 492-500.
  • Wafi, M. H. (2018). Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi dan Wahabi. Jurnal Islamic World and Politics Volume 2 Nomor 1, 228-239.
Arsip Kompas
  • Kompas.id. (2023, Maret 21). Reformasi Saudi . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/15/reformasi-saudi
  • Kompas.id. (2019, Januari 10). Arab Saudi Umumkan Miliki Cadangan Minyak Sebesar 268,5 Miliar Barel. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/utama/2019/01/10/arab-saudi-umumkan-miliki-cadangan-minyak-sebesar-2685-miliar-barel
  • Kompas.id. (2022, September 2). Gorbachev Mengubah Arah Sejarah . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/01/gorbachev-mengubah-arah-sejarah
  • Kompas.id. (2018, Februari 11). Meiji. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/internasional/2018/02/11/meiji
  • Kompas.id. (2019, Desember 31). Bukan Rumah Mereka. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2019/12/31/bukan-rumah-mereka/
  • Kompas.id. (2021, Mei 14). Kereta Ekonomi Riwayatmu Dulu. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/data/foto/kereta-ekonomi-riwayatmu-dulu
  • Kompas.id. (2021, September 24). Tantangan Reforma Agraria. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/24/tantangan-reforma-agraria