KOMPAS/SIWI NURBIAJANTI
Ki Manteb Soedharsono saat sedang mendalang bersama Ki Enthus Susmono, dan Ki Joko Edan, dalam pentas wayang satu kelir tiga dalang di Taman Rakyat Slawi Ayu, di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (9/1/2014) malam.
Fakta Singkat
- Wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna yakni ‘hamayang’ yang berarti bayang-bayang.
- A.J. Hazeu dan J.L.A. Brandes berpendapat wayang adalah kesenian asli dari Jawa.
- Berdasarkan bukti-bukti arkeologis berupa prasasti, wayang setidaknya telah dikenal di Indonesia sejak abad ke-9 Masehi.
- Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tidak kurang dari 100 jenis wayang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
- Pada 7 November 2003, wayang diakui UNESCO sebagai a masterpiece of the oralandintangible heritage of humanityatau adikarya warisan budaya lisan dan tak benda manusia.
- Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018, setiap tanggal 7 November diperingati sebagau Hari Wayang Nasional.
Wayang merupakan warisan adiluhung bangsa. Telah tumbuh dan berkembang menjadi aset budaya nasional yang sangat berharga.
Sejak 7 November 2003, wayang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia. UNESCO menetapkan wayang sebagai a masterpiece of the oralandintangible heritage of humanity atau adikarya warisan budaya lisan dan tak benda manusia.
Pada tahun 2018, penetapan itu kemudian menjadi dasar pemerintah untuk peringatan Hari Wayang Nasional setiap 7 November melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap kebudayaan Indonesia serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan dan pengembangan wayang Indonesia.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Festival Wayang Indonesia – Pertunjukan Wayang Kancil yang dibawakan dalang muda Woro Mustika Siwi mengawali Festival Wayang Indonesia 2014 di Taman Fatahillah kawasan Kota Tua Jakarta, Jumat (13/6/2014). Festival yang berlangsung hingga 15 Juni akan menampilkan sejumlah pertunjukan wayang seperti Wayang Golek Sunda, Wayang Cirebon dan Wayang Topeng Malang.
Apa itu Wayang?
Merujuk KBBI, wayang adalah boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional, biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.
Menurut Sri Mulyono dalam Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang: Sebuah Tinjauan Filosofis, istilah wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna. Kata wayang, hamayang dalam bahasa Jawa Kuna berarti bayang-bayang. Wayang berasal dari akar kata ‘yang’ mendapat awalan ‘wa’ sehingga menjadi wayang. Kata-kata dalam bahasa Jawa yang berakar kala ‘yang’, misalnya: layang, dhoyong, puyang, reyong dan sebagainya berarti selalu bergerak, lidak lelap, atau samar-samar.
Sementara Amir Metosedono dalam Asal-Usul, Jenis dan Cirinya, wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna, dari kata ‘wod’ dan ‘yang’, artinya gerakan yang berulang-ulang dan tidak menetap. Dengan arti kata itu maka dapat dikatakan bahwa wayang berarti wujud bayangan yang samar-samar, selalu bergerak-gerak dengan tempat yang tidak tetap
Djulianto Susantio menjelaskan, munculnya wayang ditafsirkan karena bayangan lukisan manusia dipandang dapat merupakan tontonan yang menghibur. Pada awalnya, gambar bayangan tersebut diwujudkan di atas daun tal. Karena daun tal dianggap terlalu kecil, selanjutnya gambar dipindahkan ke atas kulit lembu atau sapi.
Gambar yang ditatah tersebut kemudian diberi latar kain putih. Dengan bantuan sinar lampu, penonton dapat melihat bayangan hitam pada layar. Itulah yang disebut pertunjukan wayang, yang artinya melihat bayangan (wayangan).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Wayang Kulit Padat Pentas wayang kulit dengan lakon “Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu)” dengan dalang Ki Suh Agung pada pameran temu Komunitas Lima Gunung di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (18/12/2013).
Asal Usul Wayang
Wayang memiliki perjalanan historis yang panjang. Dunia wayang pun telah menarik perhatian para cendekiawan sebagai obyek studi. Tidak sedikit sarjana, baik sarjana dari luar maupun Indonesia yang telah meneliti tentang wayang.
Berdasarkan penelitian para ahli, ada dua pendapat mengenai asal-usul wayang paling dominan. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu.
Pendapat pertama didukung oleh G.A.J. Hazeu dan J.L.A. Brandes. Menurut G.A.J. Hazeu dalam desertasinya yang berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Toonel di Leiden pada tahun 1879, berpendapat bahwa pertunjukan wayang berasal dari kebudayaan Jawa, mengingat peralatan atau sarana pertunjukan yang digunakan seperti : wayang, kelir, blencong, dalang, dan kotak merupakan istilah Jawa dan bukan dalam bahasa Sanskrit.
Seperti Hazeu, J.L.A. Brandes berpendapat bahwa wayang berasal dari Jawa dan termasuk sepuluh unsur kebudayaan yang telah ada di Jawa sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Menurutnya, wayang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sosial, kultural dan religius masyarakat Jawa. Brandes juga menyatakan bahwa India mempunyai bentuk wayang yang berbeda dengan wayang di Jawa.
Sedangkan pendapat kedua didukung oleh W.H. Rassers dan N. J. Krom. W.H. Rassers mengatakan bahwa wayang bukan ciptaan asli dari budaya Jawa. Menurutnya pertunjukan wayang di Jawa merupakan tiruan dari India, karena di India telah lama diketahui adanya permainan bayangan yang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Pernyataan Rassers didukung N. J. Krom, yang berpendapat bahwa di India Barat telah ada permainan bayangan oleh masyarkaat Hindu yang awal mulanya dimainkan di kalangan istana dan lama kelamaan menyebar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, ia menduga wayang di Jawa adalah hasil perpaduan antara Hindu dan Jawa.
Bahkan ada pula pendapat wayang berasal dari kebudayaan Cina Kuno. Pendapat ini disebutkan oleh Prof G. Schlegel dalam bukunya berjudul Chineesche Brauche und Spiele in Europa, yang mengatakan bahwa pada pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-banyang semacam wayang. Pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia.
Pendapat itu diperkuat dengan adanya persamaan kata antara bahasa Cina ‘Wa-yaah’ (Hokian), ‘Wo-yong’ (Kanton), dan ‘Woying’ (Mandarin), artinya bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Fragmen Gatotkaca Lahir – Kelompok masyarakat peduli budaya Sorjan menggelar pementasan fragmen berjudul “Gatotkaca Lahir” di Perempatan Tugu, Yogyakarta, Senin (24/7/2017). Pementasan tersebut untuk mengingatkan para pemimpin agar memiliki integritas, tegas, dan memiliki karakter terpuji seperti Gatotkaca dalam dunia pewayangan.
Adapun berdasarkan bukti-bukti arkeologis berupa prasasti. Wayang setidaknya telah dikenal di Indonesia sejak abad ke-9 Masehi. Hal ini diketahui dari Prasasti Penampihan, dibuat pada masa pemerintahan raja Balitung sekitar tahun 820 Saka atau 898 Masehi. Pada bait 17 dikatakan: “nta je ringgit inadegaken hyang marmanya sinung kmita hyang sang hyang sagdaji prasasti mat a nda balitung utungga dewa”. (Diadakan pertunjukan wayang untuk para Hyang).
Prasasti lainnya yang juga menyebutkan wayang adalah Prasasti Wukayana berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi. Pada sisi belakang dari prasasti ini dijumpai kalimat: “si galigi mawayang buat hyang macarita bimma ya kumara”. (seseorang yang bemama Galigi yang berperan sebagai dalang memainkan wayang untuk penghormatan kepada para hyang dengan mengambil cerita Bimma Kumara).
Berdasarkan dua prasasti tersebut, pertunjukan wayang dimungkinkan berkaitan dengan kebiasaan manusia dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh nenek moyang.
Sementara berdasarkan sumber kesusastraan, wayang telah disebutkan dalam Kakawin Arjunawiwaha. Prasasti ini berasal dari masa pemerintahan Airlangga dan dikarang oleh Mpu Kanwa sekitar abad ke-11 Masehi. Syair 9 kakawin ini menyebutkan:
“hana nonton ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh towin yan walulang inukir molah mangucap haturing wang tresneng wisaya malaha tar wihikana ri tattawanya maya sahana hananing bhawa siluman”. (orang dapat terpengaruh cerita wayang tanpa menyadari bahwa wayang hanyalah benda yang terbuat dari kulit, digerak-gerakkan dengan perantaraan seorang dalang).
Dari kakawin tersebut diketahui bahwa pada waktu itu telah dikenal pertunjukan wayang yang terbuat dari kulit, diukir dan diucapkan dengan kata-kata serta dapat membuat penonton terpengaruh jalan ceritanya.
Kakawin lainnya yang mengandung informasi tentang wayang adalah Kakawin Bharatayudha yang dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada jaman pemerintahan Raja Jayabaya. Pada bagian muka yang dikarang oleh Mpu Sedah, memperlihatkan bahwa pada waktu itu telah dikenal wayang yang menggunakan kekayon, di Jawa biasa disebut gunungan. Sementara pada bagian belakang kakawin, Mpu Panuluh menuliskan bahwa pertunjukan wayang tersebut diiringi dengan gamelan.
Perkembangan Wayang
Merujuk Suwardi Endraswara dalam buku Antropologi Wayang: Simbolisme, Mistisme, dan Realisme Hidup, wayang pada awalnya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan saat itu. Umumnya dilakukan pada malam hari dan dipandu seorang yang disebut syaman (orang sakti). Ditujukan untuk menuju ‘Gusti Murbeng Dumadi’ atau Sang pencipta alam semesta.
Lakon-lakon yang digelar mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan atau doa restu untuk memulai suatu hajat atau tugas, terutama bila tugas tersebut berat. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat pada waktu itu yang percaya arwah nenek moyang sebagai pelindung, senang memberi bantuan dan menjaga anak turunnya agar terhindar dari malapetaka
Selanjutnya wayang lambat laun terus berkembang tahap demi tahap. Masuknya kebudayaan Hindu ke Jawa membawa pengaruh pada pentas dan cerita wayang. Berbagai sumber sejarah menunjukkan bahwa pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi hubungan bangsa Indonesia dengan pusat agama Hindu di India terjalin dengan baik. Dimulai dengan perdagangan kemudian meluas ke jalur pendidikan, perkawinan, budaya dan kesenian.
Pada masa Hindu wayang telah populer di tengah masyarakat. Pada masa ini Kitab Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India banyak mengilhami dan dijadikan tuntunan dalam pengembangan karakter dan cerita wayang. Pertunjukan wayang yang semula menceritakan mitos nenek moyang kemudian secara berlahan-lahan berganti ke epos Mahabarata dan Ramayana.
Dalam perkembangannya, di Jawa pujangga-pujangga Jawa kemudian juga menerjemahkan kitab-kitab tersebut dalam bahasa Jawa Kuno dan diceritakan kembali dengan memasukan falsafah Jawa. Menghasilkan Mahabharata dan Ramayana versi Jawa. Misalnya Arjunawiwaha, Bharatayuda, Kresnayana, Gatotkaca Sraya, dan lain-lainnya.
Artikel Terkait
Kisah-kisah dalam kitab Mahabharata dan Ramayana pada masa selanjutnya sangat berpengaruh besar terhadap masyarakat, khususnya di Jawa dan Bali. Pada keluarga Jawa dan Bali, banyak orang tua yang kemudian menamai anaknya dengan nama-nama tokoh wayang yang karakternya diidolakan, seperti Yudhistira, Bima, Arjuna, dan lainnya. Nama tempat juga banyak yang meminjam nama-nama yang terdapat dalam kisah tersebut, misalnya sungai Praga dan sungai Serayu.
Ketika kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu mulai menurun dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam, ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak pada tahun 1479 Masehi dengan raja Raden Patah yang telah memeluk Islam. Cerita dalam pertunjukan wayang mulai ditambahkan dengan nilai-nilai yang sesuai ajaran keislaman.
Pada masa Islam ini pertunjukan wayang banyak dimanfaatkan sebagai sarana dakwah dan penyebaran agama Islam. Dipelopori oleh Wali Sanga khususnya Sunan Kalijaga, cerita wayang yang semula kental dengan pengaruh Hindu diubah untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Agama Islam tidak mengenal Trimurti dan dewa-dewa yang pantheistis, maka para dewa diubah kedudukannya, bukan sebagai Tuhan melainkan hanya sebagai pelaksana perintah Tuhan, mirip dengan kedudukan malaikat.
Wayang kemudian terus berkembang dari zaman ke zaman, sebagai sarana informasi, dakwah, pendidikan, hiburan, hingga pemahaman filosofis. Pertunjukan wayang sering digelar berkaitkan dengan upacara adat seperti ulang tahun desa, perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dan lain sebagainya. Bahkan juga digunakan untuk kampanye politik.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Siluman kelabang (kanan) merayu Siluman Laba-laba (kiri) untuk menemui Biksu Tong Sam Cong dalam pargelaran wayang Potehi berjudul Sang Angkara di halaman Museum Wayang Kota Tua, Jakarta, Rabu (28/5/2014). Pargelaran ini mencoba mengakulturasikan kesenian Tiongkok, Jawa, dan Sunda.
Cerita Panji, Cerita Menak, dan Damarwulan
Meski yang paling populer adalah kisah-kisah yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Sebenarnya, tidak sedikit pertunjukan wayang yang mengambil tema dari dari cerita-cerita asli Nusantara sendiri, seperti cerita Panji, cerita Menak, dan Damarwulan.
Merujuk laman museumnasional.or.id, cerita panji merupakan cerita asli Indonesia yang berkembang pada masa abad ke-12 Masehi. Cerita Panji berasal dari Jawa Timur, di mana kisahnya sebagian besar berisi kisah cinta antara raden Panji Asmarabangun atau Panji Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala dan Dewi Sekartaji atau Dewi Candra Kirana dari Kerajaan Panjalu Kediri. Cerita tersebut kemudian dibalut nilai kepahlawanan, keberanian, keteguhan, dan kasih sayang.
Berdasarkan bukti arkeologis, cerita tersebut sudah muncul di sejumlah relief candi di Jawa Timur, antara lain Candi Miri Gambar, Candi Surawana, dan Candi Perwara pada Candi Tegowangi. Kisah Panji menyebar dan dikenal di seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, serta populer juga di Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Sementara cerita Menak merujuk “Wayang Golek Menak sebagai Media Dakwah Islam” oleh Kun Zachrun Istanti, ialah cerita yang kisah-kisahnya disadur dari kitab “Qissai Emr Hamza” sebuah karya sastra Persia pada zaman pemerintahan Sultan Harus Al-Rayid. Di daerah Melayu kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah.
Kitab Menak banyak menceritakan kisah dan ajaran Islam sehingga sering digunakan sebagai media untuk berdakwah. Tokoh cerita utamanya adalah Amir Ambyah atau Amir Hamzah. Tokoh Amir Ambyah memiliki banyak sekali julukan antara lain Wong Agung Menak, Wong Agung Jayengrana, dan Wong Agung Jayengresmi. Sebutan Wong Agung Menak ini yang kemudian digunakan oleh pujangga-pujangga Jawa untuk menamakan kitabnya sebagai “Serat Menak”.
Cerita lainnya yang kerap dijadikan lakon pertunjukan wayang adalah Hikayat Damarwulan, salah satu naskah kuno Melayu yang diperkirakan mulai ditulis pada masa akhir keruntuhan Majapahit. Hikayat Damarwulan menceritakan tentang perjuangan Prabu Damarwulan menyatukan dua wilayah Majapahit yang berkonflik, yakni Majapahit Brangwetan dan Majapahit Brangkulon.
Kisah Damarwulan ini merupakan cerita rakyat yang populer di Jawa, khususnya Jawa Timur. Selain banyak diceritakan dalam pertunjukan wayang, kisah Damarwulan juga banyak digunakan dalam pertunjukan ketoprak, pertunjukan seni rakyat yang menggabungkan antara unsur drama, tari, suara, musik, dan sastra.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Dewi Kunthi (pertama kanan) menceritakan pelecehan yang dilakukan Kurawa kepadanya dalam lakon Kresna Duto yang dipentaskan Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (16/11/2018), malam. Kresna Duta atau Duta Kresna adalah lakon wayang orang dari sebuah episode dalam Udyogaparwa, buku kelima epos Mahabharata. Lakon ini adalah inisiatif dari Yayasan Paramarta Karya Budaya, Ikatan Ahli Sarjana Indonesia (IASI) Jerman, dan Diaspora Indonesia in Bremen. Pemeran pertunjukan ini adalah kolaborasi dari Paguyuban Wayang Orang Bharata, Sriwedari, dan RRI Solo, serta Institut Seni Indonesia Surakarta.
Jenis-Jenis Wayang
Sejak awal kemunculannya, seni pertunjukan bayang-bayang atau wayang terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Wayang pun tak hanya ada di Jawa, tapi juga menyebar dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia, sepert Sumatera, Bali, Kalimantan, dan NTB. Bahkan wayang juga dikenal di negara-negara Asia Tenggara, di anataranya Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Transformasi wayang yang terus berlangsung selama berabad-abad silam menghasilkan berbagai macam jenis wayang. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tidak kurang dari 100 jenis wayang tumbuh dan berkembang di Indonesia dengan berbagai variasi dan ciri khasnya masing-masing.
Wayang Kulit adalah wayang yang terbuat dari pahatan kulit. Wayang jenis ini merupakan wayang yang paling populer di Indonesia, berkembang di berbagai daerah, seperti di Kalimantan Selatan ada wayang kulit Banjar dan Sumatera Selatan ada wayang kulit Palembang.
Di Jawa, wayang kulit juga disebut sebagai wayang purwa, pementasan ceritanya umumnya bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Istilah ‘purwa’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘pertama’, yang terdahulu. Wayang purwa berarti wayang zaman dulu. Di Bali wayang purwa disebut sebagai wayang parwa.
Wayang Beber adalah wayang yang dilakonkan dengan cara membentangkan layar berupa kain atau kertas bergambar. Alur cerita dalam gambar tersebut “dihidupkan” oleh sang dalang dengan cara menggulung layar. Satu gulungan umumnya berisi tiga hingga empat jagong atau bab.
Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang paling tua usianya dan berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya wayang Beber melukiskan cerita-cerita wayang dari kitab Mahabharata, tetapi kemudian beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari kerajaan Jenggala pada abad ke-11 dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit sekitar abad ke-14 hingga 15. Biasa dimainkan pada bulan purnama dalam upacara ruwatan atau penolak bala.
Wayang Beber dikenal dan berkembang di Jawa dan Bali. Wayang Beber tertua terdapat di Dukuh Karangtalun, Desa Gedompol, Donorojo, Pacitan, Jawa Timur.
Wayang Golek adalah wayang berbentuk tiga dimensi yang berbahan dasar dari kayu. Wayang ini khas dari Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat diperkirakan mulai mengenal wayang golek sejak 1455 Saka atau 1533 Masehi termuat dalam Prasasti Batutulis. Pendapat lain mengatakan bahwa penyebaran wayang golek di Jawa Barat semasa Pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak. Lalu, wayang golek disebarkan oleh Wali Songo.
Ada tiga jenis Wayang Golek, yaitu wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek cepak populer di Cirebon dengan cerita bersumber dari babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana namun dengan pengantar bahasa Sunda. Adapun wayang golek modern adalah wayang golek kreasi baru dengan menggabungkan teknologi modern, misalnya pencahayaan warna warni.
Wayang Suluh adalah wayang yang berbentuk seperti manusia yang digambar miring dan diberi pegangannya seperti wayang kulit. Wayang Suluh diciptakan oleh Raden Mas Soetarto Harjowahono, di Surakarta pada tahun 1920-an.
Bentuk tokoh-tokohnya baik dari segi potongan maupun pakaiannya mirip dengan orang dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya menceritakan tentang perjuangan melawan penajajah dan cerita-cerita keseharian.
Wayang Wong adalah pertunjukan wayang di mana yang menjadi wayang adalah sekelompok orang yang menggantikan boneka-boneka. Seni wayang orang sudah tercatat dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M), menyebut pertunjukan ini dengan istilah Jawa Kuno, Wayang Wwang.
Wayang Wong populer di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Di Yogyakarta, wayang orang dikembangkan Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Adapun di Surakarta, wayang orang dikembangkan Mangkunegara I sekitar 1760 dan maju pesat di masa Mangkunegara V.
Namun, pada akhir abad ke-19 seni ini mulai berkembang ke luar tembok keraton. Pelopor wayang orang komersial muncul dari kalangan pengusaha keturunan Tionghoa atas persetujuan keraton. Tujuannya untuk mencari uang.
Cerita-cerita yang diangkat dalam Wayang Wong biasanya berbasis pada epos kolosal yaitu Mahabharata dan Ramayana.
Wayang Menak adalah wayang yang ceritanya bersumber dari serat menak yang berasal dari kitab “Qissai Emr Hamza” sebuah karya sastra Persia pada zaman pemerintahan Sultan Harus Al-Rayid. Di daerah Melayu kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah.
Wayang menak terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging. Namun ada juga yang terbuat dari kayu (golek). Wayang menak berkembang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok. Di Lombok wayang menak dikenal dengan wayang sasak.
Wayang Jemblung adalah kesenian wayang yang berkembang di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Wayang Jemblung memiliki keunikan, yakni dimainkan tanpa iringan alat musik kesenian gamelan, atau hanya dengan bunyi suara dari mulut, dan dilakukan dengan cara dialog.
Kata Jemblung tersebut berasal dari julukan gemblung yang artinya edan atau gila. Cerita yang disajikan diambil dari cerita wayang Purwa, Panji, atau Menak bahkan cerita Ketoprak seperti babad tanah Jawa. Sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Banyumasan.
Wayang Suket adalah wayang yang terbuat dari rumput (suket) yang dianyam menyerupai wayang. Rumput yang digunakan adalah kasuruan, jenis rumput yang hanya tumbuh pada bula Suro, bulan pertama dalam sistem kalender Jawa.
Tidak jelas kapan wayang suket pertama kali muncul. Namun berdasarkan beberapa sumber, wayang suket diciptakan oleh Mbah Gepuk memiliki nama asli Kasan Wikrama Tunut. Ia lahir di Desa Wlahar, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga pada tahun 1905. Mbah Gepuk sendiri adalah seorang petani sekaligus seorang seniman. Wayang suket kerap dijadikan mainan para gembala dan anak-anak, di mana mereka membuatnya dari rumput di ladang.
Wayang Krucil atau Klithik adalah wayang yang mirip wayang kulit namun menggunakan wayang yang terbuat dari kayu pipih dengan tangan terbuat dari kulit sehingga mudah digerak-gerakkan oleh dalang. Bentuknya pun lebih kecil dari wayang kulit pada umumnya.
Pergelaran wayang krucil tidak menggunakan layar atau kelir, sehingga penonton dapat langsung melihat wajah sang dalang, tetapi adapula yang menggunakan kelir namun diberikan lubang segi empat di depan dalangnya (menyerupai jendela).
Gamelan yang mengiringi pergelaran wayang krucil lebih sederhana, yaitu saron, kendang, kethuk-kenong, dan kempul, tanpa menggunakan gong.
Wayang krucil cenderung bercerita seputar lakon domestik. Baik itu cerita tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, perjalanan Walisongo, hingga perjuangan para pahlawan mengusir kolonial.
Wayang Kancil adalah wayang yang ceritanya terutama mengambil dari dongeng Kancil. Wayang kancil tokohnya adalah binatang-binatang, seperti kancil, macan, gajah, kerbau, sapi, binatang merangkak seperti buaya, kadal, binatang melata seperti ular, dan binatang unggas seperti semua jenis burung, serta binatang-binatang lainnya yang berhubungan dengan dongeng Kancil.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Wayang Menak Gaya Kebumen dalam Pekan Wayang Menak dan Gelar Kain Nusantara, di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/1/2004).
Nilai Filosofi dalam Wayang
Wayang tidak sekadar bayangan dalam layar, melainkan juga bayangan kehidupan, wajah manusia, dan berbagai peristiwa. Ketua Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia Sri Teddy Rusdy mengatakan bahwa wayang disebut sebagai wewayanganing ngaurip atau gambaran tentang kehidupan. Pertunjukan wayang sejak dari penyajian gending-gending patalon hingga selesai pertunjukan merupakan lambang dari filosofi perjalanan hidup manusia, terutama dalam budaya Jawa.
Menurut Frans Magnis-Suseno dalam Wayang dan Panggilan Manusia, wayang adalah potret kehidupan. Gambaran kehidupan manusia konkret dengan segala sifat karakter-karakter unik yang ada pada aneka ragam manusia individual, partikular. Dalam menonton wayang, penonton akan bertemu dengan tokoh yang memiliki pribadi yang beraneka macam. Ada dewa, brahmana, ksatria, hingga raksasa, serta punakawan.
Dunia wayang banyak menonjolkan peperangan atau konflik antara baik dan buruk. Misalnya dalam kisah Mahabharata, dua prisnsip tersebut dikisahkan melalui pertentangan antara Pandawa dan Kurawa. Dalam Mahabharata para Pandawa adalah pihak yang luhur dan Kurawa adalah pihak yang tidak baik.
Meski demikian, pertentangan antara keduanya tidaklah hitam-putih, melainkan jauh lebih kompleks. Walaupun Pandawa dalam Mahabharata berada pada sisi yang luhur, mereka tidak bisa begitu saja diidentifikasikan sebagai yang baik. Mereka tetaplah manusia, tidak berada di atas kritik.
Sebagai contoh adalah Prabu Yudhistira, Pandawa yang tertua, memang amat halus dan berbudi luhur. Namun ia tidak dapat menolak tantangan untuk bermain dadu dan karena itu mencelakakan saudara-saudaranya. Bima, Pandawa nomor dua, memiliki hati yang lurus, setia, dan jujur, tetapi sekaligus kasar dan haus darah.
Contoh lainnya adalah Sri Kresna yang dikenal sebagai titisan dewa Wisnu adalah seorang raja terpandang saudara para Pandawa dan Kurawa. Dengan demikian Kresna pun adalah saudara dari dua kubu tersebut. Namun di sana telah terdapat sebuah contoh tentang ketidakadilan karena Kresna selalu menjadi pembela dan pelindung pihak Pandawa, termasuk seringkalinya ia melakukan provokasi-provokasi demi kemenangan Pandawa.
Sebaliknya, meskipun pihak Kurawa diceritakan sebagai pihak yang antagonis, namun tidak mutlak buruknya. Misalnya Sengkuni, figur wayang yang mungkin paling dibenci, memiliki banyak nasihat yang sebenarnya wajar saja kepada rajanya, Duryudana, jika dilihat dari segi kewajiban seorang patih yang harus mengutamakan kepentingan negaranya.
Di pihak Kurawa pun ada banyak orang yang baik bahkan dikagumi, seperti Bisma dan Durna, juga Karna. Di antara dewa-dewa tidak sedikit yang membela Kurawa.
Dalam hal ini, cerita Mahabharata dalam dunia wayang memperlihatkan kompleksitas kehidupan, menggambarkan manusia sebagai mahluk yang kompleks. Di mana tidak ada orang yang sama sekali buruk dan yang baik pun masih memiliki kekurangan atau kelemahan.
Baik dan buruk selalu ada, beriringan. Dunia damai tanpa Kurawa bukan dunia bahagia, tetapi dunia yang hambar, tanpa arti. Masing-masing memainkan perannya yang khas yang diperlukan untuk mempertahankan keselarasan.
Bayu Anggoro dalam “Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah Perkembangan Seni Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan dan Dakwah”, tiap-tiap bagian dalam pertunjukan wayang secara khusus wayang kulit juga melambangkan fase-fase kehidupan atau tingkatan tertentu dalam dari kehidupan.
Adegan pertama, yakni jejer, melambangkan kelahiran bayi dari kandungan ibu diatas dunia serta perkembangan masa kanak-kanak sampai meningkat hingga dewasa. Selanjutya, perang gagal, melambangkan perjuangan manusia muda untuk melepaskan diri dari kesulitan serta penghalang dalam perkembangan hidupnya.
Babak ketiga, perang kembang, melambangkan peperangan antara baik dengan buruk yang akhirnya dimenangkan oleh pihak yang baik. Perang kembang lazimnya berlangsung setelah lepas tengah malam. Melambangkan orang mengakhiri masa muda sampailah masa dewasa.
Babak perangbrubuh, melambangkan kehidupan manusia yang akhirnya mencapai kebahagiaan hidup hingga penemuan jati diri. Dan terakhir, tancep kayon, melambangkan berakhirnya kehidupan artinya pada akhirnya manusia mati, kembali ke alam baka menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
Kelompok seni Wayang Beber yang fenomenal, pentas di pendopo Museum Ronggowarsito Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (29/3/2016) dalam upaya mengenalkan wayang tertua di Indonesia pada pecinta wayang di Kota Semarang dan Jawa Tengah. Wayang Beber dari Sanggar Lung, Desa Nanggungan, Kecamatan Rejosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur ini terus bertahan. Menurut ki dalang Wayang Beber, Rudhi Prasetyo, pertunjukkan wayang ini sudah mulai jarang di daerahnya.
Unsur-Unsur Pertunjukan Wayang
Unsur manusia:
Dalang adalah orang yang mengatur dan memainkan wayang, tokoh sentral dalam pertunjukan wayang. Seorang dalang harus mahir memainkan atau menggerakan tokoh wayang, memiliki kemampuan bercerita untuk menggambarkan suasana dan menjelaskan tokoh wayang, serta mampu menggunakan tata bahasa dan suara yang tepat untuk setiap tokoh wayang, seperti para dewa, pendeta, raksasa, ksatria, dan lain-lain. Selain itu, dalang juga harus memiliki keahlian guyon atau bercanda untuk membuat pertunjukan wayang lebih menarik. Seorang dalang yang baik juga harus menguasi gending-gending Jawa sekaligus ahli tentang gamelan.
Keahlian dalang dapat diperoleh melalui proses belajar namun kadangkala diperoleh melalui bakat turun temurun. Dalang mendapat sebutan ‘Ki’ yaitu singkatan dari kiai atau yang patut dimuliakan dan dihormati.
Niyaga atau pengrawit adalah sebutan bagi orang yang menabuh gamelan dalam pertunjukan wayang. Peranan niyaga dalam pertunjukan wayang adalah membantu dalang dalam mengiringi pertunjukan wayang, sehingga jalannya pertunjukan serasa lebih hidup.
Oleh sebab itu, seoarang niyaga harus memiliki kemahiran khusus untuk memainkan gending sesuai dengan cerita yang dimainkan atau sesuai permintaan dalang. Mampu memahami lakon dan isi dari cerita wayang yang dipertunjukkan.
Waranggana adalah penyanyi wanita atau yang lebih dikenal dengan sebutan pesinden. Waranggana memiliki peran melantunkan tembang-tembang yang disesuaikan dengan jalan cerita atau lakon wayang. Peranan yang lain adalah sebagai pengisi suasana agar lebih semarak, akrab, dan menarik.
Seorang waranggana harus memiliki suara yang merdu, paham tentang irama dan laras, dan menguasai bentuk-bentuk gending dan tembang-tembang.
Penyimping adalah orang yang membantu dan mempersiapkan segala kebutuhan dalang dalam pertunjukan wayang, misalnya menata wayang-wayang yang akan digunakan sesuai urutan adegannya, memasang dan mengatur sumbu blencong, hingga menyiapkan konsumsi untuk dalang. Untuk menjalankan tugasnya dengan baik, seorang penyimping harus memiliki pengetahuan tentang lakon-lakon wayang yang akan dimainkan dan penataan .
Unsur benda:
- Wayang adalah boneka tiruan yang digunakan untuk menampilkan tokoh dalam sebuah pertunjukan. Wayang umumnya terbuat dari pahatan kulit atau kayu, namun ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti kertas dan daun. Adapula yang dimainkan oleh manusia secara langsung atau disebut wayang wong.
- Kelir adalah layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang. Dalam pertunjukan wayang, kelir merupakan simbol dari langit atau angkasa. Kelir biasanya terbuat dari kain mori berwarna putih yang dibentangkan.
- Kayon atau gunungan adalah wayang yang bentuknya seperti daun besar. Fungsi paling utama gunungan adalah sebagai pembuka dan penutup sebuah babak dalam satu pertunjukan. Fungsi lainnya sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak). Gunungan digunakan juga untuk visualisasi gunung, hutan, api, lautan, prahara, angin, dan semisalnya.
- Gamelan adalah seperangkat alat musik yang mengiringi pagelaran wayang, antara lain: gong, gambang, kenong, saron, demung, bonang, gendang, kempul, siter, dan lain sebagainya.
- Debog ayau gedebog adalah batang pohon pisang yang ditempatkan di bawah kelir sebagai tempat untuk menancapkan wayang yang akan dimainkan dan dipamerkan dalam pertunjukan. Dalam pertunjukan wayang, debog melambangkan bumi tempat berpijak bagi tokoh-tokoh dalam cerita wayang. Oleh karena itu, terdapat aturan khusus dalam menyusun posisi wayang di debog. Biasanya wayang yang bersifat protagonis akan disusun di sebelah kanan. Sedangkan yang memiliki sifat antagonis disusun di sebelah kiri.
- Belencong adalah lampu minyak yang secara khusus digunakan dalam pertunjukan wayang. Blencong akan dinyalakan selama pertunjukan wayang untuk menampilkan bayangan wayang dalam kelir.
- Cempala adalah piranti dalang yang terbuat dari kayu yang berfungsi antara lain memberikan tekanan-tekanan pada gerak wayang, sebagai tanda pergantian dialog (ginem) antar tokoh wayang, mengiringi vokal dalang misalnya ada-ada, sebagai tanda untuk meminta gending iringan berhenti (suwuk), dan lain sebagainya.Cara penggunaannya ialah dengan memukulkannya pada bagian-bagian tertentu dari kotak wayang.
Selain itu, cempala juga berfungsi memunculkan suara-suara tertentu dengan ritme-ritme terentu pula sesuai dengan kebutuhan pertunjukan wayang kulit. Ketika dalang sedang memegang wayang maka tugas yang membunyikan keprak menggunakan cempala adalah kaki kanan dalang.
- Kepyak adalah sebuah perangkat atau alat yang terbuat dari logam (besi, baja, perunggu) berjumlah 2 atau 3 lempeng dengan lebar sekitar 15 cm dan panjang sekitar 20 cm yang memiliki fungsi sebagai penguat penonjolan-penonjolan gerak wayang. Kata keprak/kecrek/keprek diambil dari bunyi yang muncul dari alat tersebut ketika dipukul, yaitu crek, prek ataupun prak.
- Eblek adalah tempat untuk menata wayang yang terbuat dari anyaman bambu. Berfungsi untuk meletakkan wayang yang tidak atau belum dikelirkan, namun sudah dipilah menurut jenis dan golongan wayang, sehingga dalang lebih mudah dalam mencari maupun menyimpan kembali wayang yang akan atau setelah digunakan.
- Kotak wayang adalah tempat penyimpanan wayang yang terbuat dari kayu, bentuk empat persegi panjang. Dalam pementasan wayang, kotak wayang juga berfungsi untuk menimbulkan efek-efek suara tertentu dengan cara dipukulkan dengan cempala.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pentas Wayang Golek Sunda Pentas wayang golek Sunda oleh dalang Ki Nana Taryana dengan lakon “Dawala Gugat” di Museum Wayang, Jakarta, Minggu (8/9/2013). Museum ini tiap Minggu menggelar pentas wayang berbagai jenis sebagai upaya melestarikan dan memopulerkan wayang sebagai warisan
budaya Nusantara.
Wayang Sarana Penyampaian Pesan
Sebagai gambaran atau bayangan manusia, wayang juga kerap dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dan aspirasi rakyat bawah. Banyak dalang menghidupkan tokoh punakawan dan tokoh-tokoh wayang lainnya untuk menghadirkan pandangan dunia tentang mencapai kebahagiaan hidup, kepedulian sosial, pembebasan hegemoni kekuasaan, keberanian menyampaikan kritik dengan terselubung humor, dan kesadaran keilahian.
Salah satu lakon lakon carang (bukan cerita pakem, namun menggunakan tokoh-tokoh Ramayana dan Mahabharata) yang populer adalah Petruk Jadi Ratu. Menurut Suwidi Tono dalam artikelnya “Petruk Jadi Ratu” di Kompas edisi 25 Oktober 2017, lakon ini wujud sarkasme atas sebuah periode saat wibawa kerajaan ambruk, para bangsawan dan elite kerajaan sibuk berebut kuasa, adigang adigung adiguno (pamer jabatan dan kepongahan), dan nasib kawulo (rakyat) ditinggalkan. Menggambarkan merajalelanya wabah ketidakpatutan.
Sebagai kawulo, Petruk geram dengan situasi tersebut, lantas muncul nafsu rumongso iso (merasa bisa dan memproklamasikan diri menjadi raja. Namun, seperti kondisi yang dikritiknya, ia juga segera jatuh terjerembap ke kubangan buruk kekuasaan: gila kuasa-hormat-kemewahan. Setelah ditegur ayah sekaligus gurunya, Kiai Semar, Petruk lantas sadar, iso rumongso (bisa merasa) dan kembali melakoni perannya sebagai rakyat biasa yang berupaya tidak jadi beban negara.
Lakon lainnya yang juga populer adalah Semar Mbangun Khayangan. Lakon ini menceritakan keprihatinan Semar terhadap nasib masyarakat Amerta yang semakin sengsara karena diabaikan oleh pemerintah.
Dalam lakon Semar Mbangun Khayangan ini pemimpin digambarkan sebagai sosok yang hanya mendengar pendapat para petinggi, tidak mementingkan kebutuhan rakyatnya, dan tak mampu bersikap adil. Oleh karena itu, Semar pun berpikir mencari jalan keluar, salah satunya ingin membangun khayangan.
Khayangan yang dimaksud bukanlah istana yang megah dengan segala isinya, melainkan mentalitas dan jiwa para pemimpin. Semar menginginkan para pemimpin memikirkan nasib rakyatnya, tidak bertindak semaunya, dan tidak meremehkan peran masyarakat. Sebab para pemimpin tak akan berarti apa-apa tanpa rakyat kecil. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Ahmad Yunus, dkk. 1995. Kesenian Dalang Jemblung Sebagai Sarana Penyebaran Nilai Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Bayu Anggoro. 2018. “Wayang dan Seni Pertunjukan” Kajian Sejarah Perkembangan Seni Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan dan Dakwah”. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam)2(2): 257-268.
- Frans Magnis-Suseno. 1995. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kun Zachrun Istianti. 1996. “Wayang Golek Menak sebagai Media Dakwah Islam”. Jurnal
- Rita Istari. (2003). “Kesenian Wayang Pada Masa Klasik Di Jawa”. Berkala Arkeologi, 23(2): 51–60.
- Sri Mulyono. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang: Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta: Gunung Agung.
- Sri Mulyono. 1989. Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung.
- Supriyono, dkk. 2008. Pedalangan Jilid 1 dan 2. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
- Suwardi Endraswara. 2017. Antropologi Wayang: Simbolisme, Mistisme, dan Realisme Hidup. Yogyakarta: Morfolingua.
- “Panji Semirang dan Perjuangan Menuju Kebahagiaan”, Kompas, 24 Oktober 2023.
- “Makna Simbolis Raut Golek”, Kompas, 21 Juli 2018.
- “Wayang Dinamis Mengikuti Perubahan Zaman”, Kompas, 26 November 2021.
- “Manuver Dalang Cilik Wayang Beber”, Kompas, 16 November 2019.
- “Wayang Suket, Mainan Tradisional yang Tak Lekang oleh Waktu”, Kompas, 7 April 2019.
- “Keteladanan Wayang untuk Membangun Karakter Bangsa”, Kompas, 9 November 2021.
- “Estafet dari Kelir ke Layar Modern”, Kompas, 7 November 2021.
- “Religiositas Pertunjukan Wayang”, Kompas, 27 Februari 2022.
- “Wayang: Aset Budaya Nasional Sebagai Refleksi Kehidupan dengan Kandungan Nilai-nilai Falsafah Timur”, diakses dari jendela.kemdikbud.go.id
- “Wayang Golek dan Perkembangannya”, diakses dari pariwisataindonesia.id
- “Wayang Suket Purbalingga”, diakses dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id
- “Wayang Krucil Malangan”, diakses dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id
- “Wayang Suluh”, diakses dari muspen.kominfo.go.id
Artikel terkait