Paparan Topik | Vaksinasi Covid-19

Vaksin Covid-19: Cara Kerja, Tipe, dan Pengembangannya

Kehadiran vaksin Covid-19 dianggap sebagai cahaya terang dalam kegelapan pandemi Covid-19. Dari sejarah penanggulangan wabah penyakit, terbukti bahwa vaksin mampu mencegah berbagai penyakit. Di antaranya, BCG, polio, Hepatitis B, campak, rubela, influenza, dengue, hingga human papillomavirus atau HPV.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Spanduk sosialisasi tentang vaksin terpasang di Jalan Abdul Muis, Jakarta, Senin (23/11/2020). Pemerintah menargetkan pemberian vaksin Covid-19 akan dilaksanakan pada Januari 2021 mendatang.

Fakta Singkat

Vaksin Covid-19

  • Dipercepat sekitar 12-18 bulan
  • Dibuat dengan virus yang dilemahkan, virus yang mati, atau salah satu bagian struktur virus

Cara Kerja Vaksin
Melatih tubuh untuk mengenali, melawan, mengingat virus atau bakteri yang masuk ke tubuh.

Isi Vaksin
Antigen, bahan pembantu, bahan pengawet, stabilisator, surfaktan, residu, dan pengencer

Pembuatan Vaksin
Tahap eksplorasi, uji praklinik, uji klinik, prakualifikasi, izin regulator, produksi massal

Berbagai jenis vaksin Covid-19 telah berhasil dikembangkan hingga tahap akhir serta menunggu izin untuk digunakan. Berbeda dengan obat, vaksin bekerja dengan cara melatih dan mempersiapkan perlindungan alami tubuh untuk mengenali dan melawan virus atau bakteri.

Dengan vaksinasi, diharapkan penyebaran virus penyebab Covid-19, yakni SARS-CoV-2, dapat dikurangi bahkan dihentikan sehingga akan terbentuk kekebalan kelompok atau sering disebut herd immunity. Kekebalan kelompok tersebut akan terbentuk ketika lebih dari 70 persen populasi telah divaksin.

Vaksinasi merujuk pada proses memasukkan vaksin ke dalam tubuh. Sedangkan, vaksin sendiri merupakan zat aktif pada virus atau bakteri yang dapat menimbulkan reaksi sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus atau penyakit tertentu. Kebanyakan vaksin dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara suntikan, tetapi ada pula yang diberikan melalui mulut (oral), maupun semprotan ke hidung. Selain itu, terdapat pula istilah imunisasi yang berarti reaksi dari tubuh setelah mendapatkan vaksin.

Setelah vaksinasi, tubuh mampu mengenali, melawan, dan mengingat. Tubuh akan mengenali virus atau bakteri pembawa penyakit. Selanjutnya, tubuh akan melawan penyakit dengan memproduksi antibodi. Selain itu, tubuh akan mengingat penyakit dan cara melawannya. Bila terserang kembali, antibodi dapat segera menghancurkan virus atau bakteri sebelum jatuh sakit.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Tim riset uji klinis calon vaksin Covid-19 menyimulasikan penyuntikan vaksin produksi Sinovac, China, kepada sukarelawan di gedung Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). Sebelum disuntik vaksin, calon sukarelawan akan menjalani pemeriksaan kesehatan, Selasa (11/8/2020).

Cara kerja vaksin

Vaksin bekerja dengan memanfaatkan respons alami tubuh terhadap infeksi patogen, baik bakteri, virus, maupun jamur. Saat patogen menginfeksi tubuh, sistem imunitas tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan patogen. Oleh karena itu, terdapat ribuan jenis antibodi di dalam tubuh yang terbentuk berdasarkan antigen patogen yang menyerang. Tiap antibodi tersebut terlatih untuk mengingat setiap antigen secara spesifik.

Sistem imunitas dalam tubuh manusia memiliki kemampuan untuk mengingat. Setiap kali terbentuk antibodi, terbentuk pula sel ingatan pembentuk antibodi. Dengan demikian, sistem imunitas akan merespons dan memproduksi antibodi yang spesifik sesuai antigen yang menyerang. Ketika tubuh terpapar patogen yang pernah masuk dalam tubuh, antibodi akan merespons dengan lebih cepat dan lebih efektif karena sel memori sudah siap menghasilkan antibodi untuk melawan antigen.

Sekali vaksin masuk dalam tubuh, umumnya tubuh mampu menghasilkan sistem kekebalan tubuh melawan penyakit dalam jangka waktu beberapa tahun, puluhan tahun, bahkan seumur hidup. Untuk menciptakan antibodi yang dapat bertahan lama dan membentuk sel memori, beberapa vaksin membutuhkan beberapa dosis.

Selain bertujuan untuk melindungi diri sendiri, vaksinasi juga dapat melindungi komunitas dan membentuk kekebalan kelompok. Hal ini disebabkan karena tidak semua orang dapat divaksin. Beberapa orang dengan kondisi kesehatan yang buruk serta sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya karena HIV, atau karena alergi, tidak dapat divaksin. Mereka dapat terlindungi dari infeksi patogen ketika hidup di tengah mereka yang telah divaksin karena patogen kesulitan untuk menyebar. Semakin banyak orang yang divaksin, semakin kecil risiko penyebaran suatu penyakit karena patogen.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Peneliti menunjukkan tempat produksi vaksin di Gedung 43 PT Bio Farma, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/8/2020). Jika uji klinis berhasil, vaksin Covid-19 akan diproduksi di gedung ini.

Isi vaksin

Vaksin berisi antigen, bahan pembantu, bahan pengawet, stabilisator, surfaktan, residu, dan pengencer.

Antigen merupakan virus atau bakteri yang telah dibunuh atau dilemahkan sehingga dapat melatih tubuh untuk mengenali dan melawan penyakit apabila menyerang tubuh di kemudian hari. Antigen yang digunakan merupakan antigen dari organisme penyebab penyakit maupun blueprint dari antigen yang telah dilemahkan atau dibuat tidak aktif. Antigen maupun blueprint tersebut berfungsi untuk memicu pembentukan antibodi dalam tubuh.

Beberapa vaksin juga mengandung bahan pembantu untuk meningkatkan respons imunitas terhadap vaksin, misalkan sejumlah kecil garam aluminium. Selain itu, vaksin juga berisi bahan-bahan pengawet untuk menjaga vaksin tetap aman dan efektif digunakan. Berbagai unsur tambahan dalam vaksin dimasukkan untuk menjaga vaksin tidak terkontaminasi saat dibuka dan digunakan untuk lebih dari satu orang.

Vaksin juga berisi stabilisator untuk mencegah reaksi kimia yang terjadi saat vaksinasi dan menjaga agar komponen vaksin tidak menempel pada botol vaksin. Sedangkan, surfaktan dalam vaksin akan menjaga bahan-bahan dalam vaksin tercampur menjadi satu serta mencegah pengendapan dan penggumpalan. Di sisi lain, vaksin juga memuat bahan-bahan residu sebagai akibat dari proses produksi vaksin. Jejak residu ini sangat kecil, dalam ukuran per juta atau per miliar.

Bahan lain yang terdapat dalam vaksin adalah pengencer. Pengencer digunakan untuk mengencerkan vaksin dalam konsentrasi yang tepat sebelum digunakan. Pengencer yang paling banyak digunakan dalam vaksin adalah air steril.

Kebanyakan bahan yang ada dalam vaksin merupakan komponen yang secara alami ada di alam maupun dalam makanan yang kita makan. Seluruh bahan yang digunakan dalam vaksin telah dites dan dimonitor untuk memastikan keamanannya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Vaksin dipindahkan ke dalam suntikan saat digelar rangkaian simulasi pemberian vaksin anti Covid 19 di Puskesmas Tapos, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (22/10/2020). Simulasi ini bertujuan untuk menyiapkan infrastruktur puskesmas yang ditunjuk sebagai pelayanan pemberian vaksin tersebut.

Pembuatan vaksin

Vaksin dikembangkan sejak berpuluh tahun yang lalu melalui berbagai tahap pengujian mulai dari eksplorasi, uji praklinik, hingga uji klinik yang memakan waktu bertahun-tahun untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

Fase eksplorasi dimulai dengan penentuan bibit vaksin, atau antigen yang akan digunakan untuk memicu respons imunitas. Setelah mendapatkan kandidat vaksin yang tepat, vaksin akan diujikan ke hewan atau uji praklinik untuk mengetahui keamanan dan efektivitasnya dalam mencegah penyakit. Apabila terbukti mampu memicu respons kekebalan, vaksin kemudian dicobakan pada manusia dalam tahap klinik.

Fase uji klinik pada manusia terbagi menjadi tiga fase. Fase I menguji keamanan, efektivitas, dan dosis tepat dari vaksin. Pada fase ini, vaksin akan diujicobakan kepada sekelompok orang dengan jumlah di bawah 100 orang untuk menguji respons imunitas yang dihasilkan. Umumnya, pada fase ini vaksin dites pada anak muda yang sehat. Ketika hasilnya aman dan efektif, uji klinik pada manusia akan masuk fase berikut.

Fase II merupakan uji keamanan, efek samping, hingga kemampuan vaksin dalam memicu respons imunitas dengan jumlah subjek yang lebih banyak, antara 400 hingga 600 orang. Sukarelawan dalam fase ini memiliki karakteristik yang sama, misalkan umur atau jenis kelamin, sebagai sasaran vaksin. Terdapat berbagai percobaan dalam fase ini untuk mengavaluasi tiap karakteristik kelompok sukarelawan dan berbagai formulasi vaksin. Di dalam fase ini, mulai diikutkan kelompok kontrol sebagai pembanding yang tidak diberi vaksin (plasebo). Gunanya, perubahan yang terjadi dapat dipastikan akibat vaksin. Apabila terbukti aman dan efektif, dilakukan uji klinik fase III.

Fase III merupakan uji terhadap efek samping penggunaan vaksin yang mungkin terjadi dengan jumlah subjek mencakup ribuan hingga puluhan ribu orang. Dalam fase ini, vaksin diujicobakan di berbagai negara di berbagai polulasi. Dalam tahap ini pula, digunakan kelompok kontrol yang hanya diberi plasebo. Setelah melalui uji klinik tahap ketiga itulah, vaksin ditetapkan aman, efektif, dan berkhasiat.

Selama fase II dan III, sukarelawan dan ilmuwan yang mengadakan studi melakukan “blinding”. Mereka tidak tidak diberitahu, mana sukarelawan yang mendapatkan vaksin dan yang mendapatkan produk pembanding atau plasebo. Setelah pengujian selesai, ilmuwan dan sukarelawan baru diberitahu, siapa yang menerima vaksin, siapa yang menerima produk pembanding atau plasebo.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memperlihatkan lengannya usai menjalani penyuntikan dosis kedua calon vaksin Covid-19 produksi Sinovac, China, atau plasebo di Puskesmas Garuda, Kota Bandung, Senin (14/9/2020).

Selanjutnya, vaksin akan diajukan untuk persetujuan penggunaan dan peredaran. Persetujuan produksi vaksin diberikan bertahap. Pertama, persetujuan permulaan yang mengikuti pengujian klinik. Regulator akan mengkaji kualitas, keamanan, dan efikasi vaksin setelah mempelajari data-data uji klinik. Efikasi merupakan langkah observasi untuk mengetahui besaran daya perlindungan vaksin terhadap infeksi.

Setelah diperkenalkan untuk digunakan, keamanan dan efektivitas vaksin terus dimonitor. Uji ini sering disebut pula post marketing study untuk memastikan dampak vaksin dan keamanan penggunaan dalam skala luas dan waktu yang lama.

Setelah vaksin mendapatkan persetujuan dari regulator, perusahaan perlu mengirimkan contoh vaksin kepada WHO untuk tahap prakualifikasi. WHO kembali akan memastikan kualitas, keamanan, dan efikasi vaksin untuk digunakan dalam program vaksinasi secara global.

Selama kedaruratan kesehatan global seperti pandemi Covid-19, WHO emergency use listing procedure (EUL) dapat digunakan untuk mengizinkan penggunaan vaksin. Prosedur UEL diaktifkan dalam keadaan pandemi agar kehadiran produk-produk yang dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia di seluruh dunia dipercepat di pasar. EUL merupakan proses yang cepat sekaligus ketat untuk menghadirkan produk yang memiliki dampak bagi semua orang yang membutuhkan pada waktu yang terbatas dengan berdasar pada evaluasi risiko versus keuntungan.

Begitu vaksin disetujui oleh regulator, proses produksi vaksin dimulai secara massal. Vaksin kemudian akan dibuat secara mandiri oleh perusahaan yang melakukan pengembangan vaksin. Selanjutnya, vaksin akan didistribusikan ke seluruh negara. Mengingat vaksin, termasuk Covid-19, membutuhkan kondisi penyimpanan temperatur dingin, dibutuhkan manajemen rantai dingin untuk memastikan mutu vaksin terjaga hingga sampai kepada pengguna.

Di Indonesia, tahap pengembangan vaksin perlu mengikuti 10 tahap hingga sampai pada produksi skala komersial.

  1. Sintesis dengan penentuan bibit vaksin.
  2. Uji nonklinik pada hewan.
  3. Formulasi, sertifikasi, cara pembuatan obat yang baik (CPOB), serta uji coba peningkatan produksi skala laboratorium ke skala industri (scale up).
  4. Protokol dan dokumen uji klinik.
  5. Lolos kajian etik oleh komite etik.
  6. Persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK) oleh BPOM.
  7. Uji klinik dengan tiga fase yang sesuai dengan protokol yang disetujui dan kaidah cara uji klinik yang baik (CUKB).
  8. Registrasi di BPOM.
  9. Evaluasi dan penerbitan nomor izin edar oleh Komite Nasional Penilai Obat.
  10. Produksi skala komersial.

Pengembangan Vaksin Covid-19

Seluruh proses pengembangan vaksin, dari praklinik hingga produksi dapat memakan waktu hingga satu dekade. Dalam kasus pandemi Covid-19, pengembangan terhadap vaksin SARS-CoV-2 dipercepat menjadi sekitar 12 hingga 18 bulan. Percepatan dilakukan dengan menjalankan beberapa fase secara paralel untuk mempercepat hasil. Percepatan ini telah mendapatkan izin dari para ilmuwan dan regulator.

Berbagai negara dan organisasi bekerja sama melalui skema COVAX yang diinisiasi oleh WHO dan aliansi vaksin dunia (GAVI) untuk berinvestasi dalam pengembangan kapasitas produksi dan distribusi.

Secara umum, seperti yang dijelaskan oleh Department of Health & Human Service, Amerika Serikat, ada tiga cara utama untuk membuat vaksin. Pertama, adalah menggunakan virus yang lemah (dilemahkan) seperti pada vaksin MMR dan cacar air (chickenpox). Kedua adalah menggunakan virus mati (inactivated) seperti pada vaksin flu dan polio. Ketiga adalah menggunakan salah satu bagian dari struktur virus (subunit) seperti pada vaksin HPV dan herpes zoster (shingles).

Dua metode pertama, yaitu virus yang dilemahkan dan virus yang inaktif didapat dengan menumbuhkan virus di laboratorium atau pabrik. Menumbuhkan virus memang tidak semudah menumbuhkan bakteri, yang akan segera berkembang dengan pemberian makanan yang tepat.

Pada virus, karena ia tidak bisa hidup dengan sendirinya, ia memerlukan sel lain untuk mereplikasi. Karena itu, untuk menumbuhkan virus, yang pertama kali dilakukan para peneliti adalah mengidentifikasikan tipe sel yang bisa membuat virus bisa bereplikasi. Lalu, bersama dengan sel inang tersebut, virus akan ditumbuhkan di dalam tabung besar (bioreactors). Alternatif lain, beberapa virus—diduga termasuk SARS-CoV-2 ini—bisa ditumbuhkan dalam telur ayam yang sudah berembrio.

Virus bisa membuat kita sakit karena begitu masuk ke tubuh kita, mereka bereplikasi dalam jumlah yang besar. Namun, dalam vaksin dengan metode virus yang dilemahkan, ketika dimasukkan ke tubuh kita, karena mereka lemah maka daya replikasi mereka lemah.

Menurut  situs Children’s Hospital of Philadelphia, jika virus yang secara alamiah masuk ketubuh bereplikasi ribuan kali dalam satu kali infeksi, virus lemah dalam vaksin itu hanya bereplikasi tak lebih dari 20 kali. Karena tidak banyak bereplikasi itulah, mereka tidak menyebabkan sakit. Namun, replikasi virus itu tetap mampu membuat produksi memori sistem sel B yang suatu saat di kemudian hari bermanfaat untuk melawan virus

Keuntungan dari vaksin virus yang lemah adalah dengan satu atau dua dosis pemberian saja maka bisa didapatkan kekebalan dengan durasi yang sangat panjang. Namun, kelemahan vaksin dengan metode ini adalah tidak bisa diberikan pada orang-orang yang memiliki sistem imun yang lemah, seperti penderita AIDS atau kanker.

Sedangkan vaksin dengan metode virus inaktif, virus dimatikan dengan zat kimia. Dengan membunuh virus, tidak dimungkinkan replikasi dan tidak mungkin menyebabkan penyakit ketika disuntikkan dalam tubuh kita. Namun, virus tetap bisa dikenali oleh tubuh kita sehingga sistem imun seluler tetap bisa melawan virus di kemudian hari.

Dua keuntungan vaksin metode ini adalah, pertama vaksin tidak akan menyebabkan penyakit dalam tubuh seseorang ketika mendapatkan vaksin tersebut. Kedua, vaksin ini bisa diberikan pada orang-orang dengan sistem imun yang lemah. Namun, kekurangannya adalah, pendekatan ini mengharuskan kita mendapatkan beberapa dosis agar terbentuk kekebalannya.

Pada jenis vaksin yang menggunakan salah satu bagian virus, harus dipastikan bahwa satu bagian itu bisa memberikan perlindungan dari penyakit yang disebabkan oleh keseluruhan virus tersebut. Kelebihannya, vaksin jenis ini bisa diberikan untuk orang-orang dengan sistem imun yang lemah dan kekebalan yang panjang durasinya sudah terbentuk dengan dua dosis saja.

BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Vaksin buatan Sinovac ditempatkan di ruangan dengan suhu 2-8 derajat Celcius di PT Bio Farma, Bandung, Senin (7/12/2020). Vaksin disimpan sampai BPOM memastikan keamanan dan efektivitas vaksin.

Sejauh ini, pengembangan vaksin untuk Covid-19 berfokus pada penggunaan salah satu bagian dari virus corona, yaitu spike protein atau duri-duri yang menyelubungi permukaan virus. SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19, seperti yang sudah diterakan oleh para peneliti, terdiri dari material genetik yang dibungkus membran yang memiliki duri-duri dari protein. Virus berikatan dengan reseptor dan kemudian masuk ke dalam sel di saluran pernafasan kita menggunakan duri-duri tersebut.

Vaksin yang berasal dari salah satu bagian virus merupakan cara paling aman karena tidak menggunakan seluruh bagian virus. Namun, memproduksi vaksin jenis ini membutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai virus tersebut, salah satunya adalah sekuens materi genetik virus. Perusahaan farmasi asal Prancis Sanofi menggunakan metode ini untuk membuat vaksin Covid-19.

Menurut perusahaan bioteknologi China, Sino Biological, menumbuhkan virus korona juga berhadapan dengan ancaman kesehatan bagi pekerja laboratorium. Jika tidak bisa dilemahkan secara sempurna, virus bisa bocor dan menginfeksi masyarakat. Hal ini pernah terjadi pada pembuatan virus polio di Afrika.

Selain ketiga cara utama di atas, ada beberapa metode baru yang digunakan beberapa perusahaan dalam ‘perlombaan’ membuat vaksin demi melawan Covid-19 ini. Johnson & Johnson menggunakan rekayasa genetik untuk memodifikasi adenovirus yang tidak berbahaya sehingga menyerupai SARS-CoV-2. Perusahaan Inovio mengembangkan vaksin DNA, sedangkan Moderna membuat vaksin mRNA.

Berdasarkan pemantauan WHO hingga 8 Desember 2020, terdapat 214 kandidat vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan di seluruh dunia. Di antaranya, terdapat 52 vaksin yang ada dalam tahap pengujian klinik dan 162 vaksin yang ada dalam tahap praklinik.

Di antara vaksin yang telah masuk tahap klinik, terdapat 13 vaksin Covid-19 yang telah masuk fase III. Vaksin tersebut merupakan vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh:

  1. Sinovac
  2. Wuhan Institute of Biological Product/Sinopharm
  3. Beijing Institute of Biological Product/Sinopharm
  4. Bharat Biotech
  5. Universitas Oxford/AstraZeneca
  6. CanSino Biological Inc./Beijing Institute of Biothecnology
  7. Gamaleya Research Institute
  8. Janssen Pharmaceutical Companies
  9. Novavax
  10. Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical/Institute of Microbiology-Chinese Academy of Sciences
  11. Moderna/NIAID
  12. BioNTech/Fosun Pharma/Pfizer
  13. Medicago Inc. ***

(LITBANG KOMPAS)

Referensi