KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Vaksin Covid-19 CoronaVac buatan Sinovac Biotech, China yang digunakan untuk vaksinasi terhadap tenaga kesehatan di Rumah Sakit Sari Asih, Tangerang Selatan, Banten, Senin (18/1/2021). Sebanyak 1,4 juta tenaga kesehatan menjadi prioritas utama pemberian vaksin tahap pertama. Vaksinasi mulai dilakukan secara bertahap kepada seluruh tenaga kesehatan dan tenaga medis di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Fakta Singkat
Upaya Keluar dari Pandemi Covid-19
- Kekebalan alami (infeksi Covid-19)
- Vaksinasi Covid-19
- Kekebalan kelompok (herd immunity)
Beberapa dampak jangka panjang Covid-19
- Batuk
- Kemampuan penciuman/pencecapan berkurang
- Kelelahan
- Kecemasan
- Pegal
Kondisi medis yang membuat orang tidak dapat menerima vaksin
- Berpenyakit kronis atau sedang menjalani pengobatan yang memengaruhi sistem imun
- Alergi terhadap bahan vaksin
- Berpenyakit berat atau demam menjelang vaksin
Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa Covid-19 telah menjadi pandemi. Sejak saat itu, seluruh negara di dunia mengupayakan berbagai hal untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Saat beberapa vaksin Covid-19 sudah usai menjalani serangkaian tes dan siap untuk dibagikan, strategi program vaksinasi pun mulai disusun.
Sepanjang 2020, sebelum munculnya vaksin Covid-19, strategi untuk mengatasi pandemi difokuskan pada upaya untuk menurunkan penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dan mengurangi kematian.
Dalam upaya menurunkan penyebaran virus, WHO menyarankan berbagai strategi yang dapat ditempuh dalam lima kata kunci, yakni temukan, tes, isolasi kasus, karantina kontak, dan pembatasan sosial. Sedangkan, untuk mengurangi kematian, strategi yang disarankan adalah memperluas layanan kesehatan, menambah sarana kesehatan penting/vital, dan memperkuat tenaga medis.
Setelah berbagai vaksin Covid-19 telah sampai di ujung uji klinis, strategi mengatasi pandemi difokuskan pada kata kunci kekebalan. Kekebalan yang didapatkan dengan vaksinasi diharapkan menghambat penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Dengan program vaksinasi yang mulai dijalankan di berbagai negara, diharapkan terbentuk kekebalan kelompok (herd immunity) untuk menghambat bahkan menghentikan penyebaran Covid-19. Dengan demikian, dunia dapat terbebas dari pandemi Covid-19.
Selain vaksinasi, kekebalan kelompok dapat terbentuk dengan membiarkan terinfeksi Covid-19. Akan tetapi, cara tersebut sangat berisiko dan memakan waktu yang sangat lama. Vaksinasi merupakan langkah strategis untuk menghasilkan kekebalan kelompok dengan risiko yang lebih kecil dan waktu yang lebih cepat. Upaya menghasilkan kekebalan kelompok dengan vaksinasi tetap perlu dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan hingga herd immunity benar-benar terwujud.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja berada di antara deretan kursi kosong di salah satu kafe yang berada di Pantai Senggigi, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis (28/1/2021). Pembatasan sosial selama pandemi berdampak besar bagi sejumlah usaha yang bergerak dalam bidang jasa pariwisata.
Artikel Terkait
Kekebalan Alami
Salah satu cara untuk mendapatkan kekebalan tubuh dari Covid-19 adalah dengan membiarkan terinfeksi Covid-19 agar tubuh menghasilkan kekebalan alami melalui antibodi. Akan tetapi cara ini sangat berisiko mengingat tingkat kematian yang besar dari penyakit Covid-19. Di sisi lain, belum dapat dipastikan durasi antibodi yang dihasilkan tubuh dalam melindungi seseorang dari infeksi virus SARS-CoV-2.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat keparahan infeksi Covid-19 dapat dikategorikan menjadi empat, yakni ringan (mild disease), sedang (moderate disease), berat (severe disease), dan kritis (critical disease). Di luar kategori tersebut, National Institutes of Health dari Amerika Serikat menyebutkan pula kategori tanpa gejala (asymtomatic) atau bisa disebut juga pragejala (pre-symtomatic). Dengan demikian, terdapat lima kelompok dari mereka yang terinfeksi Covid-19.
Pertama, orang tanpa gejala. Orang yang terinfeksi pada tingkat ini telah melakukan tes virologis (dengan tes nucleic acid maupun tes antigen) dan didapati positif Covid-19. Akan tetapi, mereka tidak menunjukkan gejala manapun yang sejalan dengan tanda-tanda infeksi Covid-19, seperti batuk, kelelahan, sesak napas, demam, dan hilangnya kemampuan penciuman dan pengecapan rasa.
Kedua, gejala ringan. Mereka yang mengalami gejala ringan ini telah dites positif Covid-19 dan memiliki beberapa gejala, seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, pegal-pegal, mual dan muntah, kehilangan kemampuan penciuman dan pencecapan. Kelompok ini tidak mengalami sesak napas atau napas pendek dan tidak pula terdapat keanehan pada foto rontgen parunya (abnormal imaging).
Pasien dengan kelompok ini dapat dirawat jalan atau tinggal di rumah dan berkontak dengan rumah sakit melalui telepon. Akan tetapi, pasien usia lanjut usia, terutama yang memiliki penyakit-penyakit lainnya (with underlying comorbidities), ada dalam kondisi yang lebih berbahaya. Oleh karena itu, tenaga medis perlu memonitor pasen-pasien ini sampai secara klinis sembuh.
Ketiga, gejala sedang. Pasien pada tahap ini mengalami pneumonia yang ditandai dengan tanda-tanda pneumonia, seperti demam, batuk, napas sesak dan pendek, atau napas terengah-engah, dengan pernapasan saturasi oksigen (SpO2) >= 90 persen pada udara ruangan.
Pengukurun napas terengah-engah pada anak-anak dapat dibuat dengan mengukur jumlah napasnya. Untuk anak usia kurang dari dua bulan, jumlah napas >= 60 per menit. Anak usia 2-11 bulan jumlah napas >= 50. Sedangkan, anak usia 1-5 tahun jumlah napas >= 40. Selain itu, tes rontgen, CT scan, serta ultrasound dapat membantu memeriksanya.
Keempat, gejala berat. Pada tahap ini, pasien mengalami tanda-tanda pneumonia berat, seperti demam, batuk, sesak napas, napas terengah-engah, dan dengan rata-rata pernapasan untuk orang dewasa lebih dari 30 kali napas per menit, serta SpO2<90 persen pada udara ruangan.
Pada anak-anak, tandanya adalah tekanan pernapasan tinggi yang membuat penarikan napas sangat berat dan dalam, tidak dapat menyusui atau minum, tidak sadar, serta napas ternegah-engah. Napas terengah-engah pada bayi kurang dari 2 bulan berarti tarikan napas >= 60 per menit, pada bayi 2-11 bulan berarti napas >= 50, serta pada bayi 1-5 tahun berarti napas >= 40.
Kelima, pasien kritis. Pada tingkatan ini, pasien mengalami persoalan pernapasan yang akut (acute respiratory distress syndrome), kondisi sepsis (inflamasi di sekujur tubuh) yang merupakan respons atas penyebaran virus, masalah pada jantung, cytokine storm (menyebarnya protein antibodi di seluruh tubuh), dan persoalan makin beratnya penyakit-penyakit bawaan lainnya (exacerbation of underlying comorbidities). Pasien ini perlu dirawat di ICU.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pasien orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 mengikuti senam pagi bersama tenaga medis dan relawan di rumah singgah karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (26/5/2020). Sejak beroperasi pada 20 April 2020, Sebanyak 110 pasien menjalani perawatan di tempat tersebut. Kini sekitar 40 pasien OTG dan pasien dengan gejala ringan Covid-19 yang masih menjalani perawatan. Pasien yang menjalani perawatan tidak dipungut biaya.
Mereka yang terinfeksi Covid-19, baik ringan maupun berat, bahkan yang tak bergejala, akan mengembangkan antibodi dalam tubuh mereka. Kesimpulan ini disampaikan oleh seorang epidemiologis WHO, Dr. Maria Van Kerkhove. Menurutnya, setelah sembuh dari Covid-19, tubuh orang yang terinfeksi oleh virus SARS-CoV-2 akan mengembangkan antibodi sejak beberapa minggu setelah infeksi.
Akan tetapi, di sisi lain, belum ada hasil riset yang menunjukkan secara tuntas seberapa kuat respons imun dan seberapa lama antibodi ini akan bertahan. Berdasarkan hasil studi yang sudah ada, diketahui bahwa antibodi yang dihasilkan tubuh pasien Covid-19 dapat bertahan selama beberapa bulan. Beberapa pasien menunjukkan bahwa imunitas terhadap Covid-19 bertahan hingga sekitar enam bulan dan mungkin lebih lama lagi. Akan tetapi, dari penelitian atas virus korona lainnya (misalnya SARS), diketahui bahwa imunitas ini tidak akan bertahan seumur hidup.
Oleh karena itu, Dr. Maria Van Kerkhove menyarankan agar setiap orang tetap menjalankan prosedur kesehatan yang baik untuk mencegah penularan Covid-19, seperti memakai masker, mencuci tangan, menggunakan handsanitizer, menjaga jarak, serta dan menghindari kerumunan.
Artikel Terkait
Dampak Jangka Panjang Covid-19
Selain menimbulkan beragam gejala dalam lima kategori di atas, beberapa pasien yang terinfeksi Covid-19 juga mengalami dampak jangka panjang. Data global dari WHO menunjukkan bahwa pada umumnya orang sembuh dari Covid-19 setelah dua hingga enam minggu.
Pada sebagian orang, beberapa gejala covid-19 masih ada sampai kira-kira beberapa minggu bahkan bulan sejak dinyatakan sembuh. Gejala tersebut mulai dari batuk, kurangnya kemampuan penciuman dan pengecapan, hingga kelelahan. Hal ini dapat terjadi bahkan pada mereka yang mengalami infeksi ringan Covid-19. Akan tetapi, orang pada tahap tersebut sudah tidak dapat menularkan Covid-19 pada orang lain.
Pada beberapa orang lain lagi, infeksi Covid-19 meninggalkan dampak medis jangka panjang terutama pada mereka yang terinfeksi pada taraf sedang sampai kritis. Orang dengan dampak medis jangka panjang ini juga sudah tidak dapat menularkan Covid-19 pada orang lain. Dampak medis jangka panjang ini dapat dialami bahkan oleh orang muda maupun anak-anak yang tidak memiliki penyakit bawaan manapun. Data statistik WHO menunjukkan bahwa dari pasien Covid-19 berusia 18-34 tahun dan tanpa penyakit bawaan, sejumlah 20 persen di antaranya melaporkan adanya gejala berkepanjangan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Petugas medis merawat pasien dengan Covid-19 di Rumah Sakit Pertamina Jaya, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (30/4/2020). RSPJ merawat pasien untuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP) maupun pasien yang telah terkonfirmasi positif Covid 19, dengan gejala klinis sedang, berat, dan kritis. RSPJ menyediakan 160 tempat tidur (bed) dan 65 ruang isolasi untuk pasien Covid-19.
Akan tetapi, karena pandemi Covid-19 masih berjalan, belum ada hasil penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana dampak jangka panjang pada mereka yang terinfeksi ringan. Di sisi lain, terdapat beberapa faktor yang ditengarai dapat meningkatkan risiko dampak medis jangka panjang, antara lain tekanan darah tinggi, obesitas, serta kondisi kesehatan mental.
Secara umum, beberapa dampak medis jangka panjang Covid-19 meliputi:
- Jantung: dampak pada otot jantung hingga bahaya gagal jantung.
- Paru-paru: dampak pada jaringan paru-paru hingga bahaya gagal paru (restrictive lung failure).
- Otak dan sistem syaraf: kehilangan pembauan (anosmia), hambatan saluran darah ke paru (pulmonary embolism), serangan jantung dan stroke, kerusakan daya kognisi seperti memori dan daya konsentrasi.
- Kesehatan mental: kecemasan, depresi, stres post-trauma, maupun kesulitan tidur.
- Otot dan tulang: pegal dan sakit pada pergelangan maupun otot-otot, serta kelelahan.
Artikel Terkait
Vaksinasi Covid-19
Upaya lain untuk mendapatkan kekebalan tubuh dari penyakit Covid-19 adalah dengan cara vaksinasi. Akan tetapi, tidak semua orang dapat divaksinasi karena kondisi tertentu. Selain itu, jangka waktu imunitas yang dihasilkan vaksin Covid-19 masih belum dapat ditentukan dengan pasti.
Vaksinasi merujuk pada proses memasukkan vaksin ke dalam tubuh. Sedangkan, vaksin sendiri dibuat dari patogen, virus atau bakteri, yang telah dimatikan atau dilemahkan. Ketika dimasukkan dalam tubuh, vaksin akan menimbulkan reaksi sistem kekebalan tubuh (antibodi) untuk melawan virus atau penyakit tertentu.
Patogen atau organisme buruk dalam vaksin itu sendiri tidak berbahaya karena telah dilemahkan atau dimatikan. Hanya bagian tertentu saja dari patogen tersebut yang digunakan supaya sistem imun manusia dapat mempelajarinya dan menghasilkan antibodi.
Bagian tertentu dari patogen yang menyimpan informasi tentang patogen itu disebut antigen. Vaksin-vaksin yang diproduksi dengan teknologi terkini malahan dibuat bukan dari patogen yang dilemahkan dan bukan pula antigen melainkan informasi buatan, semacam blueprint, atas antigen tersebut.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Tenaga kesehatan mendapat suntikan vaksin Covid-19 di Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, Kamis (28/1/2021). Sekitar 3.300 orang tenaga kesehatan di DI Yogyakarta mengikuti vaksinasi massal Covid-19 di tempat itu. Kegiatan tersebut diharapkan menjadi salah satu terobosan untuk mendorong peningkatan jumlah vaksinasi Covid-19. Acara tersebut mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 kepada Nakes Terbanyak se-DIY.
Dengan vaksinasi, seseorang menjadi lebih kebal terhadap penyakit tertentu karena tubuh telah siap dengan antibodinya ketika patogen menyerang.
Walaupun efektif untuk melatih tubuh melawan Covid-19, tidak semua orang dapat divaksin. Karena beberapa kondisi medis, beberapa orang tidak dapat menerima vaksin tertentu. Selailn itu, beberapa orang yang lain mesti menunggu lebih lama untuk dapat menerimanya sampai kondisi medisnya membaik. Mereka adalah kelompok usia lanjut atau bayi, orang yang sakit serius di rumah sakit, mereka yang hidup dengan HIV/AIDS, orang yang sedang menjalani kemoterapi, serta mereka yang memiliki sistem imun yang tidak baik.
Beberapa kondisi medis yang membuat orang tidak dapat menerima vaksin, antara lain (lihat catatan akhir):
- Memiliki penyakit kronis atau sedang menjalani pengobatan, seperti kemoterapi, yang dapat memengaruhi sistem imun.
- Alergi berat terhadap bahan-bahan penyusun vaksin. Akan tetapi, kasus ini sangat jarang terjadi.
- Mengalami penyakit berat atau demam tinggi pada hari menjelang vaksin sehingga dapat memengaruhi sistem imun.
Selain adanya kelompok yang tidak dapat divaksin, durasi kekebalan yang dihasilkan dari vaksin Covid-19 yang telah beredar belum dapat dipastikan. CDC Amerika Serikat menjelaskan bahwa hingga Januari 2021, para peneliti belum dapat memastikan berapa lama imunitas yang diperoleh dari vaksin Covid-19 dapat bertahan. Hal ini dikarenakan vaksin Covid-19 baru saja ditemukan dan diberikan beberapa bulan. Durasi imunitas ini pun dapat beragam dari satu jenis vaksin ke vaksin lainnya.
Artikel Terkait
Herd Immunity
Upaya selanjutnya untuk mengatasi pandemi adalah menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok. Herd immunity merupakan perlindungan tidak langsung terhadap suatu penyakit menular yang muncul ketika sebagian besar dari suatu populasi telah menjadi imun terhadap suatu penyakit.
Ketika suatu kelompok populasi telah menjadi kebal terhadap penyakit, mereka tidak lagi dapat menyebarkan penyakit tersebut kepada orang lain. Dengan demikian, dengan terbentuknya herd immunity, rantai penularan penyakit dengan sendirinya akan terputus dan wabah akan berhenti.
Kekebalan suatu kelompok populasi terhadap suatu penyakit dapat tercapai, baik melalui pengalaman terinfeksi maupun melalui vaksinasi. Mencapai kekebalan kelompok dengan membiarkan sebagian besar populasi terinfeksi dapat menyebabkan kasus kematian besar. Sebaliknya, vaksinasi dapat menciptakan herd immunity tanpa harus membiarkan sebagian besar populasi mengalami risiko terinfeksi bahkan mati. Oleh karena itu, WHO pun lebih mendukung tercapainya herd immunity melalui vaksinasi.
Dengan vaksinasi, tubuh dilatih untuk melawan virus pembawa penyakit tanpa harus benar-benar terinfeksi penyakit. Dengan antibodi yang telah terbentuk setelah vaksinasi, seseorang menjadi kebal terhadap suatu penyakit dan tidak dapat menjadi pembawa virus atau patogen bagi orang lain.
Dengan semakin banyaknya orang memiliki antibodi terhadap penyakit tertentu, semakin kecil kemungkinan orang untuk menularkan penyakit tertentu kepada orang lain. Kekebalan kelompok lantas tercapai ketika sebagian besar dari populasi tersebut telah menjadi imun terhadap suatu virus. Dengan demikian, vaksinasi dapat memutus rantai penularan virus atau penyakit.
Di sisi lain, herd immunity ini juga melindungi berbagai kelompok rentan yang tidak dapat menerima vaksin. Beberapa kelompok orang tidak dapat menerima vaksin karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan (lihat catatan akhir). Berbagai kelompok tersebut akan bergantung pada terbentuknya herd immunity dari orang-orang yang menerima vaksinasi.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Iklan sosialisasi manfaat vaksin terpasang pada neon boks pilar penyangga Moda Raya Terpadu (MRT) di kawasan Staisun Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (12/12/2020). Pemerintah menargetkan jumlah sasaran vaksinasi Covid-19 sekitar 107 juta orang, 67 persen dari populasi berusia 18-59 tahun. Dari jumlah itu, hanya 32 juta orang masuk skema vaksin program pemerintah, sementara 75 juta penduduk lainnya menjadi sasaran vaksin mandiri. Rendahnya sasaran vaksinasi Covid-19 dengan skema program pemerintah atau gratis dikhawatirkan mengakibatkan pencapaian target cakupan imunisasi nasional untuk membentuk kekebalan komunitas sulit tercapai.
Untuk mencapai herd immunity, sebagian besar anggota populasi perlu menjadi kebal. Proporsi anggota populasi yang perlu menjadi kebal untuk untuk mencapai herd immunity bervariasi dari satu penyakit ke penyakit yang lain, tergantung dari tingginya kemampuan penularan penyakit tersebut.
Sebagai contoh, kekebalan kelompok terhadap penyakit campak memerlukan 95 persen dari populasi tervaksinasi. Sejumlah lima persen sisanya akan terlindungi dari risiko penularan campak karena 95 persen yang lain telah tervaksinasi dan kebal terhadap penyakit campak. Dengan demikian, campak tidak lagi akan menyebar dalam populasi tersebut. Berbeda dengan campak, herd immunity terhadap penyakit polio memerlukan kekebalan 80 persen populasi terhadap penyakit polio.
Besarnya proposi dari populasi yang perlu divaksinasi demi menghentikan penyebaran Covid-19 dan tercapainya herd immunity sampai sekarang belum diketahui. Besaran proporsi tersebut mungkin bervariasi pula, tergantung pada situasi masyarakat, efektivitas vaksin, pengaturan prioritas proses vaksinasi, dan faktor-faktor lainnya. Hal ini merupakan bidang penelitian penting yang masih didalami.
Dari sejarah penanganan pandemi, campak menjadi contoh penyakit yang penularannya berhasil ditekan dengan vaksinasi untuk menghasilkan kekebalan kelompok. Penyakit campak disebabkan oleh morbilivirus dan masuk golongan virus RNA. Hingga saat ini, diketahui bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dapat terinfeksi dan menjadi media penularan virus ini.
Sebelum dilakukan vaksinasi, pada tahun 1980 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia yang telah terinfeksi campak. Sejumlah 2,6 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit ini dan sebagian besar adalah anak di bawah usia lima tahun. Dengan program vaksinasi, sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi. Hasilnya, pada tahun 2012 kematian akibat campak telah mengalami penurunan sebesar 78 persen secara global.
Mengingat belum ada hasil penelitian terhadap proporsi vaksinasi Covid-19 untuk menghasilkan herd immunity hingga akhir 2020, berbagai negara mempertimbangkan efficacy rate vaksin Covid-19 untuk menentukan jumlah minimal populasi yang divaksin. Efikasi dipahami sebagai tingkat kemanjuran vaksin atau kemampuan vaksin mencegah penyakit.
Berdasarkan penelitian Bartsch, SM dan kawan-kawan dalam American Journal of Preventive Medicine yang diterbitkan Oktober 2020, dihasilkan beberapa skenario berdasarkan simulasi untuk mencegah epidemi. Semakin tinggi persentase efikasi, semakin kecil cakupan populasi yang harus divaksin. Demikian pula sebaliknya. Pertama, efikasi vaksin harus mencapai sekurangnya 60 persen saat vaksinasi dilakukan kepada 100 persen populasi. Kedua, efikasi vaksin harus mencapai 75 persen saat vaksinasi diberikan kepada 75 persen populasi. Ketiga, efikasi vaksin harus mencapai 80 persen saat cakupan vaksinasi diberikan kepada 60 persen populasi.
Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia menggunakan skenario efficacy rate 60 persen dan cakupan 100 persen penduduk yang harus divaksin untuk menghasilkan herd immunity. Jumlah penduduk yang divaksin di atas adalah mereka yang berusia >= 18 tahun dan bisa divaksin, yakni 181,5 juta jiwa. Mengikuti hasil penelitian Bartsch di atas, upaya menghasilkan herd immunity dengan skenario ini tetap perlu dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan hingga kekebalan kelompok benar-benar terwujud. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Catatan Akhir
Untuk program vaksinasi Covid-19, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan keterangan tentang orang-orang yang tidak dapat menerima vaksin buatan Sinovac yang akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Mereka yang tidak dapat menerima vaksin ini adalah:
- Sedang demam (≥ 37,5 0C), maka vaksinasi ditunda sampai pasien sembuh dan terbukti bukan menderita Covid-19 dan dilakukan skrining ulang pada saat kunjungan berikutnya.
- Pernah terinfeksi Covid-19 secara positif.
- Wanita yang sedang mengandung atau menyusui.
- Di bawah 18 tahun.
- Memiliki tekanan darah tinggi di atas 140/90.
- Mengalami gejala ISPA seperti batuk, pilek, sesak napas dalam 7 hari terakhir.
- Memiliki riwayat kontak dengan seorang anggota keluarga yang berkontak dekat, diduga, terkonfirmasi positif, atau sedang dirawat karena sakit Covid-19.
- Riwayat alergi berat atau mengalami gejala sesak napas, bengkak dan kemerahan setelah divaksinasi Covid-19 sebelumnya (untuk mereka yang hendak menerima vaksin kali ke-2).
- Menjalani terapi aktif jangka panjang terhadap penyakit kelainan darah.
- Menderita penyakit jantung (gagal jantung, penyakit jantung coroner).
- Menderita penyakit Autoimun Sistemik (SLE, Lupus, Sjogren, vaskulitis, dan autoimun lainnya).
- Menderita penyakit ginjal (penyakit ginjal kronis atau sedang menjalani hemodialysis, dialysis peritoneal, transplantasi ginjal, sindroma nefrotik dengan kortikosteroid).
- Menderita penyakit Reumatik Autoimun ataupun Rhematoid Arthritis.
- Menderita penyakit saluran pencernaan kronis.
- Menderita penyakit Hipertiroid/hipotiroid karena autoimun.
- Menderita penyakit kanker, kelainan darah, imunokompromais/defisiensi imun, dan penerima produk darah/transfusi.
- Menderita penyakit Diabetes Melitus, kecuali penderita DM tipe 2 terkontrol dan HbA1C di bawah 58 mmol/mol atau 7,5% dapat diberikan vaksinasi.
- Menderita HIV, bila CD4 <200 atau tidak diketahui maka vaksinasi tidak diberikan.
- Memiliki penyakit paru (asma, PPOK, TBC), vaksinasi ditunda sampai kondisi pasien terkontrol baik. Untuk Pasien TBC dalam pengobatan dapat diberikan vaksinasi, minimal setelah dua minggu mendapat Obat Anti Tuberkulosis.
Vaksin Covid-19 lainnya memiliki ketentuan yang berbeda terkait kriteria penerima vaksin, misalnya vaksin mRNA dari Pfizer-BioNTech, Moderna, Oxford-AstraZeneca.
Referensi
- https://covid19.go.id/p/regulasi/keputusan-direktur-jenderal-pencegahan-dan-pengendalian-penyakit-nomor-hk0202412021
- https://jhu.pure.elsevier.com/en/publications/vaccine-efficacy-needed-for-a-covid-19-coronavirus-vaccine-to-pre
- https://jhu.pure.elsevier.com/en/publications/vaccine-efficacy-needed-for-a-covid-19-coronavirus-vaccine-to-pre/fingerprints/
- https://setkab.go.id/en/govt-unveils-criteria-for-people-unable-to-receive-sinovacs-vaccine/
- https://vk.ovg.ox.ac.uk/vk/herd-immunity
- https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/different-vaccines/Pfizer-BioNTech.html
- https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/different-vaccines/Moderna.html
- https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/facts.html
- https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/should-not-vacc.html
- https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/overview/clinical-spectrum/
- https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/imunisasi%20campak%202018.pdf
- https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020
- https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/risk-comms-updates/update-36-long-term-symptoms.pdf?sfvrsn=5d3789a6_2
- https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/media-resources/science-in-5/episode-18—covid-19—immunity-after-recovery-from-covid-19
- https://www.who.int/news-room/feature-stories/detail/how-do-vaccines-work
- https://www.who.int/news-room/q-a-detail/herd-immunity-lockdowns-and-covid-19
- https://www.who.int/news-room/q-a-detail/vaccines-and-immunization-what-is-vaccination?adgroupsurvey={adgroupsurvey}&gclid=CjwKCAiAxp-ABhALEiwAXm6IyREVFxLinZaEtR9y2qtb3YqDGy5b4352s92imoWxcedGoNdb7dc5ZxoCfGQQAvD_BwE
- https://www.who.int/publications/i/item/clinical-management-of-covid-19