Paparan Topik | Bandung Lautan Api

Sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada 24 Maret 1946. Peristiwa tersebut melibatkan tentara Indonesia, laskar pejuang, dan rakyat Bandung. Mereka membakar bangunan dan rumah mereka sendiri karena tidak rela daerahnya diduduki tentara Sekutu.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Puluhan siswa SMP bermain di lingkungan Monumen Bandung Lautan Api, Tegallega, Bandung, Jawa Barat, Rabu (11/6/2008). Hal itu dilakukan karena jenuh menunggu Peluncuran Sekolah Gratis Program Bantuan Walikotaku (Bawaku) yang molor. Kesempatan bermain di pelataran monumen seperti ini tergolong langka sebab biasanya pagar pelataran selalu dikunci untuk menjaga keterawatan kawasan itu.

Fakta Singkat

Bandung Lautan Api

  • Pembakaran bangunan penting dan rumah-rumah di Bandung oleh TRI dan rakyat
  • Terjadi pada 24 Maret 1946

Latar Belakang

  • Kedatangan Sekutu ke Bandung untuk memulangkan tawanan perang
  • Ultimatum Sekutu agar Kota Bandung dikosongkan dari semua pasukan bersenjata RI

Tujuan

  • Agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas militer

Peringatan

  • Monumen Bandung Lautan Api di Teggallega
  • Lagu “Halo-halo Bandung”
  • Monumen Mohammad Toha di Dayeuhkolot
  • Pawai obor tiap tanggal 24 Maret malam di ruas jalan yang dilalui warga saat meninggalkan Bandung pada 24 Maret 1946

Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan salah satu bentuk perlawanan tentara dan rakyat Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, Bandung merupakan satu-satunya kota yang dibakar warganya sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Sekutu.

Beberapa pekan setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pasukan Inggris sebagai wakil Sekutu masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan misi untuk membebaskan warga Eropa yang menjadi tawanan perang, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, serta memulihkan tatanan di seantero Indonesia sampai Belanda dapat mengelola kembali bekas kawasan jajahannya itu. Pasukan Sekutu masuk ke kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Bandung.

Pasukan Sekutu yang dimotori pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald dari Divisi India ke-23 itu tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Mereka datang ke Bandung dalam rangka membebaskan dan memulangkan tawanan perang (Allied Prisoners of War and Internees/APWI) militer Belanda yang dipenjarakan Jepang dan interniran yang berada di kamp-kamp di Jawa Barat. Di Bandung sendiri terdapat 13 tempat yang menampung APWI. Tempat lainnya berada di Cimahi, Cicalengka, Sukabumi, Cirebon, Bogor, Tangerang, dan Jakarta.

Tiga hari setelah tiba di Bandung, pada 15 Oktober 1945, Sekutu meminta bantuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) agar tugasnya dapat berjalan lancar. Pihak Sekutu meminta agar penduduk yang memiliki senjata menyerahkannya kepada pasukan Sekutu. Di sisi lain, pihak TKR pun meminta Sekutu agar membantu Republik Indonesia dalam hal keamanan dan ketertiban, terutama mencegah provokasi dari pihak Belanda yang mau menjajah Indonesia kembali.

Dalam perkembangannya, Sekutu lebih berpihak pada Belanda. Bahkan, pada 25 Oktober 1945, tentara Sekutu kembali meminta senjata yang telah dikumpulkan pejuang Indonesia dari pasukan Jepang. Permintan Sekutu itu tak direspons oleh pemuda dan pejuang. Ditambah lagi, orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Sekutu dan pejuang tidak dapat dihindari.

Pada 23 November 1945, diadakan pertemuan pimpinan TKR dan badan perjuangan di Markas Majelis Perjuangan dan Pertahanan (MDPP). Pertemuan yang dipimpin oleh Komandan Divisi III Kolonel AH Nasution tersebut memutuskan untuk menghadapi Inggris dengan kekuatan senjata.

Serangan pasukan Indonesia dilancarkan pada tanggal 24 November 1945 yang melibatkan para pemuda dan tentara Indonesia. Serangan diarahkan pada kedudukan Sekutu, antara lain di Lapangan Terbang Andir, tangsi Jepang di Tegalega, Hotel Preanger, dan Savoy Homann.

Serangan tersebut dibalas Inggris dengan tembakan houwitzer ke wilayah yang dianggap sebagai basis TKR. Akibatnya, ketegangan antara TKR dan pasukan Sekutu semakin memuncak.

Ketegangan makin meningkat setelah bencana banjir yang menerjang Kota Bandung pada 25 November 1946. Banjir besar itu melanda kawasan di Lengkong Besar, Sasakgantung, Banceuy, dan Balubur dan mengakibatkan banyak warga Bandung tewas. Rakyat marah karena menduga banjir terjadi akibat pintu air Cikapundung di Dago sengaja dijebol Sekutu.

Penjagaan/Pemeriksaan di Lakukan Dengan Ketat, Sehubungan Adanya Peristiwa "Bandung Lautan Api. Foto: IPPHOS

IPPHOS

Penjagaan dan pemeriksaan dilakukan dengan ketat sehubungan adanya peristiwa “Bandung Lautan Api”.

Ultimatum Pertama

Marah dengan aksi-aksi yang dilancarkan pejuang Indonesia terhadap Sekutu, pada tanggal 27 November 1945 Brigadir Jenderal MacDonald yang memimpin pasukan Sekutu di Bandung mengundang Gubernur Jawa Barat Mr R Sutarjo Kartohadikusumo ke markas tentara Sekutu di daerah utara Kota Bandung. MacDonald mengeluarkan ultimatum yang berisi:

  1. Tentara Sekutu akan menembak semua orang Indonesia yang kedapatan membawa senjata.
  2. Semua orang Indonesia yang berada di sekitar rintangan-rintangan jalan akan ditembak mati.
  3. Semua orang Indonesia yang berada dalam jarak 200 meter dari pos-pos tentara Inggris, Jepang, dan markas Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) siang maupun malam akan ditembak mati.
  4. Orang Indonesia agar menyingkir dari Kota Bandung sebelah utara jalan kereta api yang melintang dari timur ke barat.

Ultimatum itu harus dipenuhi dengan tenggat waktu tanggal 29 November 1945 pukul 12.00. Akan tetapi, ultimatum tersebut diabaikan oleh para pejuang. Bahkan, pasukan Indonesia mendirikan pos–pos gerilya di berbagai tempat sebagai jawaban atas ultimatum tersebut.

Sejak itu, tentara Sekutu membagi Kota Bandung menjadi dua wilayah, yaitu Bandung utara dan Bandung selatan. Kota Bandung bagian utara menjadi wilayah kekuasaan Sekutu. Sedangkan, Bandung Selatan merupakan kekuasaan pemerintah RI. Pengosongan Bandung Utara dilakukan  karena tentara Sekutu hendak membangun markasnya di wilayah tersebut.

Meski ada ultimatum dari Sekutu, pejuang di Bandung tetap melawan tentara Sekutu secara sporadis. Selama bulan Desember 1945, terjadi beberapa pertempuran di berbagai tempat di wilayah Bandung, antara lain di Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki, dan Viaduct.

Dalam pertempuran sporadis itu, Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, tetapi  gagal. Sekutu juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater. Mereka pun terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar, dekat pusat Kota Bandung.

IPPHOS

Bandung Lautan Api akibat pemboman oleh pesawat perang Inggris.

Memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar meski masih sporadis. Pada awal tahun 1946 pula, nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pada 1 Januari 1946 dan kemudian Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946.

Selama pertempuran di Bandung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Salah satu serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di Jalan Fokker (sekarang Jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946.

Pertempuran di Jalan Fokker dan membelotnya tentara India itu punya arti penting sebelum peristiwa Bandung Lautan Api. Dalam pertempuran di Jalan Fokker itu, banyak perbekalan Sekutu yang berhasil direbut laskar pejuang, antara lain pemancar radio dan power wagon yang penuh dengan amunisi dan perbekalan.

Tak lama kemudian, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III TRI Kolonel AH Nasution, meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu. Namun, permintaan itu ditolak Nasution. Penolakan bukan hanya terkait untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.

Pertempuran di Jalan Fokker dan sikap TRI menambah kesal tentara Sukutu yang sebelumnya juga kesal atas tindakan laskar pejuang yang mencegat tentara Sekutu di poros jalan Sukabumi-Cianjur-Bandung. Pengadangan konvoi pasukan Sekutu dilakukan laskar pejuang atas perintah AH Nasution dengan menebangi pohon-pohon di pingir jalan sehingga menghambat konvoi pasukan tersebut menuju Bandung.

Puncak kekesalan Sekutu dipicu oleh serangan tentara RI Batalion Beruang Merah dan Batalion Bandung Utara pimpinan Mayor Sukanda Bratamanggala di Lembang. Serangan TRI itu menggunakan mortir untuk menembaki Sekutu dengan sasaran utama Gedung DVO dan Gedung Sate (Markas Divisi ke-23 Sekutu) pada 20 Maret 1946.

Namun, serangan mortir ini “nyasar” puluhan meter, misalnya jatuh ke perumahan Belanda sekitar Jaarbeurs atau ke kamp RAPWI di Jalan Riau sehingga menimbulkan korban sipil. Sekutu membalas dengan serangan udara dan tembakan artileri secara gencar ke arah Tegallega, markas Batalion II Sumarsono di Bandung Selatan.

Pihak Inggris berupaya menghubungi Panglima Divisi III Kolonel AH Nasution, tetapi Nasution selalu menolak mengadakan pertemuan. Selanjutnya, komandan AFNEI Letnan Jenderal Stopford (pengganti Letjen Christison) memutuskan bahwa seluruh wilayah Bandung harus dikuasai untuk mencegah serangan susulan. Dari sisi pasukan Inggris, operasi penguasaan seluruh Kota Bandung disebut Operasi Sam.

Ultimatium kedua

Serangan–serangan sporadis, pertempuran di Jalan Fokker, penghadangan konvoi pasukan Sekutu, dan serangan mortir oleh pasukan Indonesia ditambah kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu di Jawa Barat semakin terdesak sehingga mengeluarkan ultimatum kedua untuk mengatasi keadaaan.

Ultimatum Sekutu disampaikan tanggal 23 Maret 1946 kepada Perdana Menteri Syahrir, yang isinya:

  1. TRI harus meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10-11 kilometer dari pusat kota.
  2. TRI dilarang melakukan bumi hangus.
  3. Penarikan TRI dari Bandung Selatan harus sudah dilaksanakan paling lambat pukul 24.00 pada 24 Maret 1946.
  4. Pemerintah RI boleh tetap berada di dalam kota.

Jika tidak dipenuhi, Kota Bandung akan digempur habis-habisan. Ultimatum tersebut disusul dengan persiapan Sekutu dalam Operasi Sam. Sekutu menyiapkan tiga brigade infanteri untuk menguasai Bandung, yakni Brigade Infanteri India ke-49 dari timur, Brigade Infanteri India ke-36 dari barat, dan Brigade Infanteri India Pertama dari utara.

Selain itu, pihak Sekutu juga menyebarkan pamflet dari pesawat, meminta rakyat Bandung segera meninggalkan kota. Pamflet tersebut juga menyebutkan bahwa selama 14 hari terakhir, serangan pasukan Indonesia telah mengakibatkan lebih dari 100 korban di pihak Sekutu dan tawanan perang, baik korban tewas maupun terluka.

IPPHOS

Puing-puing dalam Bandung Lautan Api akibat pemboman oleh pesawat-pesawat Inggris.

Menanggapi ultimatum tersebut, Syahrir menugaskan Menteri Syafruddin Prawiranegara dan Panglima Komandemen I TKR Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita untuk datang ke Bandung menyampaikan amanat Perdana Menteri Syahrir agar memenuhi ultimatum Sekutu.

Panglima Divisi III Kolonel AH Nasution maupun aparat pemerintah daerah menolak ultimatum itu karena sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan Indonesia dalam waktu singkat. Kemudian, mereka menemui Panglima Divisi India ke-23, Mayjen Hawthorn. Mereka meminta agar batas ultimatum diperpanjang. Akan tetapi, permintaan itu ditolak.

Sore hari tanggal 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir. Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi ultimatum tersebut. Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu, dalam hal ini Divisi ke-23. Syahrir juga mengintruksikan agar pemerintah sipil dan polisi tetap tinggal di kota dan tidak melakukan bumi hangus.

Bandung Lautan Api

Esok harinya, tanggal 24 Maret pagi, Nasution kembali ke Bandung untuk bertemu dengan Panglima Hawtorn sekali lagi melakukan negosiasi terkait penundaan pelaksanaan ultimatum. Namun, Hawtorn yang mewakili tentara Sekutu tetap pada pendiriannya menolak penundaan ultimatum. Hawtorn justru menawarkan 100 truk untuk evakuasi pasukan Indonesia ke luar Bandung, tetapi Nasution menolak tawaran tersebut.

Pada hari itu juga, Kolonel AH Nasution mengadakan pertemuan di markas Divisi III TRI yang membahas instruksi Pemerintah RI di Jakarta dan Pemerintah RI di Yogkarta terkait ultimatium Sekutu. Instruksi dari Jakarta memerintahkan agar menerima ultimatum tersebut. Sementara, kawat dari Yogyakarta menginstruksikan agar mempertahankan Bandung dengan pernyataan “setiap jengkal tumpah darah harus dipertahankan”.

Pertemuan dengan suasana emosional tersebut, antara lain dihadiri oleh Komandan Resimen VIII Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, ketua MP3 Letkol Soetoko, dan Komandan Polisi Tentara Rukmana.

Hasil pertemuan tersebut mengambil jalan tengah di antara kedua perintah. TRI akan meninggalkan Kota Bandung bersama seluruh pemerintah sipil dan rakyat, serta melakukan aksi bumi hangus Bandung, khususnya terhadap bangunan vital agar tidak dapat digunakan oleh Sekutu sebelum kota itu ditinggalkan. Mereka tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu.

IPPHOS

Mayat korban pemboman Bandung Lautan Api.

Pada siang hari tanggal 24 Maret 1946, Kolonel Nasution akhirnya mengeluarkan pengumuman tentang keharusan penduduk dan pegawai untuk keluar dari Kota Bandung bersama-sama dengan TRI. Pengumuman tersebut disiarkan Nasution melalui RRI. Isi perintah Divisi III yang disiarkan tersebut adalah:

  1. Semua pegawai dan rakyat harus ke luar kota tanggal 24 Maret 1946 sebelum pukul 24.00.
  2. Tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada.
  3. Sesudah matahari terbenam, Bandung Utara diserang dari utara dan dilakukan bumi hangus. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara.

Pada tanggal 24 Maret 1946, pukul 21.00 malam, bumi hangus sudah mulai dilaksanakan dengan peledakan Bank Rakyat, disusul peledakan bangunan lain.

Aksi pembakaran juga dilakukan di Cicadas, Banceuy, Braga, dan Tegallega. Anggota TRI membakar sendiri markas dan asrama mereka serta bangunan penting lainnya. Selain itu, rakyat membakar sendiri rumah-rumah mereka.

Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Di sisi lain, bumi hangus tersebut menandai dimulainya serangan Operasi Sam Sekutu untuk menguasai Kota Bandung.

Pengungsian

Seiring pembakaran, Kota Bandung diterangi cahaya api yang membakar bangunan dan rumah, seperti di Ciroyom, Tegallega Utara, Cikudapateuh, Cicadas, sepanjang Jalan Otto Iskandardinata, Cibadak, Kopo, dan Babakan Ciamis.

Selain itu, jalan ke luar kota mulai dari barat (Cimahi) hingga timur (Ujungberung) dipadati puluhan ribu orang yang mengungsi dengan membawa sendiri harta yang dapat mereka selamatkan. Mereka mengungsi melalui Margahayu dan Dayeuhkolot ke daerah Bandung selatan, yaitu ke Ciparay, Majalaya, Banjaran, dan Soreang.

Dalam pemberitaan Harian Kompas edisi 21 Maret 2009, disebutkan, rumah-rumah yang ditinggal penghuninya untuk mengungsi dibakar, baik oleh pemiliknya maupun pejuang. Aboeng yang saat itu memimpin satu kompi pasukan (400 orang) dari Batalyon II Resimen 8 Divisi III TRI ikut membakar bangunan-bangunan penting dari Warung Muncang Barat sepanjang Groote Postweg West (Jalan Jenderal Sudirman) dan sekitarnya, Cibadak, Astana Anyar, Andir, dan Waringin.

“Dari Cimahi sampai Ujungberung, semuanya terbakar, menyala. Suatu laporan di Singapura menyebutkan, dari atas pesawat yang terlihat hanya asap mengepul. Inilah pengorbanan itu,” kata Aboeng.

Jalan-jalan penuh sesak oleh pengungsi, baik di jalan menuju Cilampeni, Dayeuhkolot, Banjaran, Ciparay, Cipamokolan, maupun Ujungberung. Jalanan basah kuyup bercampur keringat yang hangat, berbaur dengan latar belakang pemandangan Bandung yang memerah.

Suasana mencekam saat peristiwa itu terjadi diceritakan pula oleh Kolonel TNI (Purn.) Mikusumah, seorang veteran yang juga Wakil Ketua III Dewan Pimpinan Daerah Legiun Veteran RI Jawa Barat. Ia mengenang masa itu sebagai momen antara hidup dan mati. Tiga tahun lebih keluarganya hidup berpindah-pindah dari Majalaya, Cisurupan, lalu ke Ujungberung.

Setelah Bandung menjadi lautan api, sekitar 200 ribu warga kota tersebut mengungsi ke wilayah selatan dan timur Jawa Barat. Mereka mengungsi ke Ciparay, Dayeuhkolot, Ciwedey, Pangalengan, Banjaran, Soreang, dan Majalaya. Bahkan, sebagian mengungsi hingga Garut dan Tasikmalaya. Mereka tinggal di rumah penduduk yang bersedia menampung dan baru kembali setelah merasa aman.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ribuan pelajar dan elemen masyarakat Kota Bandung melakukan pawai obor melintasi Jalan Viaduct, Kota Bandung, dalam memperingati 61 tahun peristiwa Bandung Lautan Api, Jumat (23/3/2007) malam. Peristiwa pada tanggal 24 Maret 1946 itu merupakan bentuk semangat perjuangan rakyat Bandung dalam membumihanguskan kota ini sebagai tanda perlawanan terhadap Sekutu.

Serangan Setelah Bandung Lautan Api

Peristiwa terbakarnya Bandung ditanggapi Pemerintah RI di Yogyakarta dengan protes kepada pasukan TRI. Pemerintah RI di Yogyakarta mempertanyakan, mengapa Bandung tidak dipertahankan sampai titik darah terakhir.

Protes tersebut ditanggapi AH Nasution selaku kepala divisi dengan mengatakan, bagaimanapun TRI dengan 100 pucuk senjata efektif tidak mungkin dapat menangkis Divisi ke-23 Sekutu dalam ruang yang begitu sempit. Kalau memang harus jatuh, lebih baik Sekutu hanya menerima puing-puingnya saja. Sementara, TRI tetap dapat utuh dan melanjutkan perang gerilya dalam kota setiap malamnya.

Pada akhir April 1946, Kota Bandung secara keseluruhan telah dikuasai pasukan Sekutu dengan membuat perimeter 8-16 kilometer (5-10 mil) di sekeliling kota. Akan tetapi, pasukan TRI terus melakukan berbagai serangan ke Kota Bandung.

Pada bulan April pula, pasukan Belanda secara bertahap mulai lebih berperan di wilayah Jawa Barat yang telah dikuasai Sekutu, termasuk Bandung. Pada 1 April 1946, Brigade “V” Belanda mulai mengambil alih tugas Brigade Infanteri India Pertama Sekutu di Bandung. Mereka mengambil alih wilayah Bandung Selatan yang telah berada di bawah kontrol Sekutu (Inggris).

Pemerintah RI di Yogyakarta sendiri akhirnya bisa menerima langkah yang dilakukan laskar pejuangan di Bandung terkait bumi hangus kota tersebut. Sikap menerima itu ditunjukkan oleh Jenderal Urip Sumohardjo yang bisa menerima peristiwa itu pada bulan Mei 1946 atau dua bulan setelah peristiwa terjadi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pelaku sejarah Bandung Lautan Api berbaris dengan atribut masa itu di Lapangan Tegal Lega, Kota Bandung, Jawa Barat, saat mengikuti peringatan 62 tahun peristiwa itu, Senin (24/3/2008).

Di Bandung, pasukan TRI terus melakukan serangan kepada pihak Sekutu dan Belanda yang menguasai kota. Pertempuran yang paling besar yang mengiringi peristiwa BLA terjadi di gudang amunisi milik tentara Sekutu di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung pada Juli 1946.

Dalam pertempuran tersebut, Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi Barisan Benteng Rakyat Indonesia (BBRI), terlibat dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi.

Kedua anak muda itu berhasil meledakkan gudang amunisi tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut. Kedua tokoh yang tewas dalam pertempuran tersebut dikenang sebagai pahlawan dalam peristiwa Bandung Lautan Api.

Saat meledakkan gudang amunisi itu, Moh Toha baru berusia 19 tahun sementara Ramdan baru berusia 18 tahun. Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota Bandung pada tahun 1927. Sementara, Ramdan dilahirkan pada tahun 1928, di Kampung Leles, Desa Magung, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.

Mohammad Toha pernah diusulkan sebagai pahlawan nasional oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan masyarakat Jawa Barat pada tahun 2007. Namun, usulan itu belum dapat diwujudkan karena minimnya informasi mengenai sosok dan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan.

KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS

Muhamad Sunata (82) berbagi cerita kepada sejumlah pelajar tentang perjuangannya dalam Bandung Lautan Api. Hal itu disampaikannya seusai peringatan Bandung Lautan Api di Lapangan Tegallega, Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/3/2009). Generasi muda yang turut hadir dalam acara ini diharapkan dapat meneruskan semangat para pejuang dalam Bandung Lautan Api.

Peringatan Bandung Lautan Api

Pembumihangusan Bandung dianggap sebagai strategi yang tepat dalam perang kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu yang berjumlah besar. Pembakaran Bandung membuat Sekutu tidak dapat memakai Bandung sebagai markas militer.

Peristiwa itu memiliki nilai-nilai kepahlawanan, yakni kesadaran sebagai bangsa merdeka, rela berkorban, dan semangat persatuan. Kesadaran sebagai bangsa merdeka menumbuhkan kesadaran tentang adanya kesejajaran dengan bangsa-bangsa lainnya.

Rela berkorban yang dilakukan warga Bandung tak hanya berkorban harta benda dan nyawa, tetapi juga kerelaan berkorban untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang menjadi miliknya agar tidak dapat dimanfaatkan oleh Sekutu.

Adapun nilai semangat persatuan terlihat dari tumbuhnya kebersamaan dari rakyat untuk bersama-sama dengan tantara keluar dari Kota Bandung. Kemanunggalan tentara dengan rakyat ini timbul keduanya memiliki perasaan saling membutuhkan serta sikap saling percaya, saling menjaga, dan saling melindungi.

KOMPAS/AGUS SETIAWAN

Monumen Bandung Lautan Api di lapangan Tegallega, Bandung, Oktober 1993. Monumen tersebut tampak lebih berwibawa setelah lahan seluas 13 hektare itu dibebaskan dari kekumuhan dan dijadikan hutan kota. 

Untuk mengenang peristiwa Bandung Lautan Api (BLA), Pemerintah Kota Bandung membangun Monumen Bandung Lautan Api di Teggallega, daerah yang sebelumnya dikenal sebagai tempat pacuan kuda. Monumen yang dirancang Drs Sunarjo itu mulai dibangun tahun 1982 dengan bentuk tiga bambu runcing dengan kobaran api di bagian puncaknya.

Selain monumen, setiap tanggal 24 Maret malam, warga Kota Bandung menyelenggarakan pawai obor untuk mengenang peristiwa heroik tersebut sekaligus melestarikan nilai-nilai kepahlawanan bagi kaum muda. Pawai yang diikuti ribuan warga itu dilakukan sambil menyanyikan lagu “Halo-halo Bandung” menyusuri ruas-ruas jalan yang dulu dilalui warga yang meninggalkan Bandung setelah membumihanguskan kotanya.

Masih terkait peristiwa setelah Bandung Lautan Api, yakni peledakan gudang amunisi Sekutu, dibangun monumen Mohammad Toha di Dayeuhkolot, di samping markas Zeni Tempur (Zipur) 3/YudhaWyogrha. Selain itu, nama Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan diabadikan sebagai nama ruas jalan utama di Kota Bandung yang dulu menjadi jalur pengungsian dan pertempuran dalam peristiwa Bandung Lautan Api (LITBANG KOMPAS).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para mahasiswa dari BEM Se Bandung Raya menggelar aksi peringatan Bandung Lautan Api di perempatan Cikapayang, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/3/2013) malam, dengan menyalakan obor dan lilin. Bagi para mahasiswa peristiwa Bandung Lautan Api yang diperingati setiap tanggal 24 Maret ini menjadi semangat tersendiri untuk membenahi dan peduli Bandung dari kerusakan politik maupun lingkungannya.

Catatan Akhir

Tentara Inggris di Indonesia 1945-1946

Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) per Oktober 1945

  • Pimpinan: Letnan Jenderal Philip Christison (kemudian diganti Letnan Jenderal Montagu Stopford pada Januari 1946)
  • Misi:
    • membebaskan warga Eropa yang menjadi tawanan perang
    • melucuti dan memulangkan tentara Jepang
    • memulihkan tatanan di seantero Indonesia sampai Belanda dapat mengelola kembali bekas kawasan jajahan
  • Wilayah: Jawa dan Sumatera

Wilayah Operasi Pasukan Inggris di Jawa

  • Jakarta dan Jawa Barat (Bogor dan Bandung)
  • Semarang
  • Surabaya

Pasukan India XV

  • Divisi India ke-23 di Jawa, di bawah komando Mayor Jenderal Hawthorn
  • Divisi India ke-5 di Jawa, di bawah komando Mayor Jenderal Mansergh
  • Divisi India ke-26 di Sumatera, di bawah komando Mayor Jenderal Chambers

Divisi India ke-23 (Jawa)

  1. Brigade Infanteri India pertama di bawah komando Brigadir King
  2. Brigade Infanteri India ke-37 di bawah komando Brigadir MacDonald (di Bandung)
  3. Brigade Royal Artileri di bawah komando Brigadir Bethell
  4. Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigadir Mallaby

Divisi India ke-5 (Jawa)

  1. Brigade Infanteri India ke-9 di bawah komando Brigadir Brain
  2. Brigadir Infanteri India ke-123 di bawah komando Brigadir Denholm Young
  3. Brigade Infanteri India ke-161 di bawah Brigadir Grimshaw
  4. Divisi Artileri di bawah komando Brigadir Loder-Symonds

Divisi India ke-26 (Sumatera)

  1. Brigade Infanteri India ke-4 di bawah Brigadir Forman
  2. Brigade Royal Artileri di bawah Brigadir Kelly
  3. Brigade Infanteri India ke-71 di bawah komando Brigadir Hutchinson

Sumber: McMillan, Richard. 2005. The British Occupation of Indonesia 1945–1946. New York: Routledge.

Susunan Organisasi Komandemen I TKR (Jawa Barat)

Susunan Organisasi Komandemen I TKR per 5 Oktober 1945

  • Wilayah: Jawa Barat
  • Komandan: Jenderal Mayor Didi Kartasasmita
  • Kepala Staf: Kolonel AH Nasution (kemudian diganti Kolonel Hidayat)
  • Terdiri atas tiga divisi

Divisi I

  • Wilayah: Banten dan Bogor
  • Markas: Serang
  • Komandan: Kolonel Kiai Sam’un

Divisi II

  • Wilayah: Jakarta dan Cirebon
  • Markas: Linggarjati
  • Komandan: Kolonel Asikin (kemudian diganti Kolonel Abdul Kadir)

Divisi III

  • Wilayah: Priangan
  • Markas: Bandung
  • Komandan: Kolonel Aruji Kartawinata (kemudian diganti Kolonel AH Nasution)

Keterangan: Per 26 Januari 1946, TKR diganti nama menjadi TRI

Sumber: Pusat Sejarah dan Tradisi Mabes TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid 1 (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi Mabes TNI.

Sejarah Lagu Halo-Halo Bandung

Lagu Halo-Halo Bandung

  •  Pencipta: Ismail Marzuki
  • Diciptakan pada awal tahun 1940-an, sebelum Peristiwa Bandung Lautan Api
  • Awalnya diciptakan bukan sebagai lagu perjuangan
  • Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pada zaman pendudukan Jepang Ikut dinyanyikan dalam peristiwa Bandung Lautan Api
  • Dipopulerkan oleh Pak Kasur (Soerjono) dan Ibu Kasur yang ikut mengungsi ke Bandung Selatan bersama para pejuang
  • Sejak 1995 pencipta Halo-Halo Bandung menjadi polemik. Dianggap sebagai ciptaan bersama para pejuang Bandung
  • Memiliki semangat nasionalisme, pluralisme, toleransi, dan patriotisme

Terdapat tiga versi

  1. Versi Sebelum PD II (bahasa Sunda)
  2. Versi zaman pendudukan jepang
  3. Versi Bandung Lautan Api

Syair Halo-halo Bandung

Halo, halo Bandung, Ibu Kota Priangan

Halo, halo Bandung, Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta, Tidak berjumpa dengan kau,

Sekarang telah menjadi lautan api,

Mari Bung rebut kembali!

Lirik dalam Bahasa Sunda

Halo-halo Bandung, ibu kota Periangan

Halo-halo Bandung, kota inget-ingetan

Atos lami abdi patebih, henteu patingal

Mugi mugi ajeuna tiasa tepang deui

‘tos tepang ‘teu panasaran

Terjemahan:

Halo-halo Bandung, ibu kota Periangan

Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan

Sudah lama saya berjauhan, tidak terlihat

Semoga sekarang dapat jumpa lagi

Setelah jumpa, tidak penasaran

Monumen Bandung Lautan Api (BLA)

Monumen Bandung Lautan Api (BLA)

  • Lokasi: Jalan Mohammad Toha, Tegallega, Bandung
  • Perancang Drs. Sunarjo
  • Dibangun: mulai 1982
  • Berbentuk tiga bambu runcing dengan kobaran api di bagian puncaknya itu sebagai titik pusat Taman Tegallega

Makna Filosofis

Tugu

  • Terdiri atas tiga tiang beton berbentuk bambu runcing masing-masing setinggi 17 meter
  • Ketiga tiang dibalut dengan lapisan tembaga yang membentuk juluran api ke arah utara
  • Ketiga tiang itu melambangkan kesatuan tiga elemen dalam peristiwa BLA, yakni rakyat, tentara, dan pemerintah

Bentuk Bambu Runcing

  • Simbol alat perjuangan rakyat Indonesia pada waktu itu
  • Bagian runcing ditempatkan menghadap ke depan untuk melambangkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi musuh

Sudut Pandang Tugu

  • Ke utara, mengarah pada Gunung Tangkubanparahu
  • Menunjukkan arah orientasi orang Sunda yang selalu kembali pada alam dan penghargaan yang tinggi kepada leluhur

Fondasi Tugu

  • Berbentuk bulat menyimbolkan kebulatan tekad rakyat membumihanguskan rumah dan harta benda mereka

 

Referensi

Arsip Kompas
  • “Mengenang Bandung Lautan Api”, Kompas, 1 April 1987, hlm. 12.
  • “Keunikan Sejarah Lagu ‘Hallo Bandung’”, Kompas, 4 Maret 1996, hlm. 18.
  • “Siapa Peduli Bandung Lautan Api?”, Kompas Jawa Barat, 24 Maret 2006, hlm. 4.
  • “Liputan Khusus Bandung Lautan Api : Heroisme Rakyat Bandung dalam Penggal Ingatan”, Kompas Jawa Barat, 21 Maret 2009, hlm. 11.
  • “Bandung Lautan Api : Semangat Terlupakan di Balik Tugu”, Kompas Jawa Barat, 24 Maret 2009, hlm. 9.
  • “Jadikan BLA Bahan Refleksi * Keharmonisan Rakyat dan Pemerintah Berkurang”, Kompas Jawa Barat, 24 Maret 2010, hlm. 1.
Buku
  • Heryanto. 2011.”Peristiwa Meledaknya Gudang Mesiu Dayeuh Kolot 1946”. Skripsi Fakultas FPIPS Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia.
  • McMillan, Richard. 2005. The British Occupation of Indonesia 1945–1946. New York: Routledge.
  • Pusat Sejarah dan Tradisi Mabes TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid 1 (1945-1949). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi Mabes TNI.
  • Sitaresmi, Ratnayu. 2002. Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Bunaya.
  • Smail, John RW. 2011. Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Depok: Ka Bandung.
Internet