Menteri Komunikasi dan Informatika Repulik Indonesia Budi Arie Setiadi (berdiri ketiga kiri), Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Usman Kansong (kiri) saat berkunjung ke “War Room” Hitung Cepat Kompas di Menara Kompas, Senin (12/2/2024). Dalam kunjungan tersebut Menkominfo diterima Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kedua kiri), Wakil GM Litbang Kompas BE Satrio (keempat dari kiri), dan CEO KG Media Andy Budiman (kelima dari kiri).
Fakta Singkat
Hitung Cepat atau Quick Count:
- Hitung Cepat atau Quick Count adalah suatu metode survei untuk mengitung hasil pemungutan suara secara cepat, melalui proses penghitungan persentase hasil pemilu di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipilih secara acak dan representatif sesuai dengan metode statistik.
- Hitung Cepat sangat mengandalkan teknik sampling, jumlah sampel, komposisi sampel, persebaran sampel jadi penentu tingkat akurasi.
- Penyelenggaraan hitung cepat dalam pemilu pertama kali dilakukan di Filipina pada 1986, sebagai data pembanding hasil pemilihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
- Di Indonesia, Hitung Cepat dirintis dan dipublikasikan pertama kali oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Pemilu 2004.
- Pada Pemilu 2024, hingga akhir masa pendaftaran pada 15 Januari 2024, KPU telah menerima pendaftaran 83 lembaga yang ingin melakukan survei selama Pemilu 2024.
- Berdasarkan UU Pemilu, publikasi penghitungan cepat hasil pemilu paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
- Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal April 2019, masyarakat memiliki antusiasme yang sangat tinggi untuk memantau hasil pemilu dari Hitung Cepat. Saat itu, sebesar 81 persen responden menyatakan akan memantau hasil pemilu melalui Hitung Cepat.
Hasil penghitungan suara menjadi momen paling ditunggu dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Quick Count atau Hitung Cepat menjadi primadona pasca-pemungutan suara.
Pada pemilu-pemilu lalu, usai pencoblosan, ruang publik langsung diisi oleh beragam informasi mengenai perolehan suara hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei. Seketika, media sosial pun ramai dengan berbagai reaksi hasil hitung cepat tersebut. Ada pihak yang mempercayai, ada pula yang mempertanyakan kesahihannya.
Hitung Cepat sendiri merupakan salah satu kegiatan survei yang menggunakan metode statistik untuk menyajikan proyeksi hasil penghitungan suara pemilu dengan sangat cepat berdasarkan sampel yang diambil di TPS.
Dalam konteks pemilu di Indonesia, Hitung Cepat memiliki peran yang krusial dalam memberikan gambaran hasil pemilu kepada masyarakat. Indonesia dengan wilayah luas dan penduduk yang begitu banyak menjadikan penghitungan suara lambat dilakukan. Proses penghitungan suara itu bisa dilakukan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dengan adanya Hitung Cepat, hasil persentase perolehan suara setiap peserta pemilu yang dipilih dapat diketahui lebih cepat dibandingkan dengan hasil penghitungan yang dilakukan KPU.
Pada Pemilu 2019, misalnya, Hitung Cepat sudah dipublikasikan sejak 2 jam setelah pemungutan suara selesai dan hasilnya sudah dapat diketahui 1 – 2 hari setelahnya. Sedangkan hasil rekapitulasi suara oleh KPU baru diumumkan dan ditetapkan pada 21 Mei 2019. Artinya, lebih dari sebulan setelah pemungutan suara dilakukan pada 17 April 2019.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal April 2019 menunjukkan bahwa masyarakat memiliki antusiasme yang sangat tinggi untuk memantau hasil pemilu dari Hitung Cepat. Dari sebanyak 541 responden yang dipilih secara acak di 17 kota besar di Indonesia, sebesar 81 persen responden menyatakan akan memantau hasil pemilu melalui Hitung Cepat (“Publik Antusias Mengawasi Pemilu”, Kompas, 8 April 2019).
Hitung Cepat menjadi magnet bagi responden di semua generasi. Dari kelompok usia 17 – 30 tahun (milenial muda), misalnya, 71,4 persen responden menyatakan akan memantau hasil pemilu melalui hitung cepat.
Ketertarikan yang lebih besar ditunjukkan oleh kelompok responden dari generasi berikutnya. Mayoritas responden, sekitar 87,4 persen dari kelompok usia 31 – 40 tahun juga akan memantau hasil pemilu melalui Hitung Cepat. Begitu juga halnya dengan sebagian besar responden dari generasi X (41 – 52 tahun) 84,4 persen dan baby boomers (53->71) 75,7 persen.
Antusiasme masyarakat terhadap Hitung Cepat berbanding lurus dengan tingkat akurasi hasil hitung cepat yang cukup tinggi dari sejumlah lembaga survei terpercaya. Pada Pemilu 2019, hasil penghitungan manual KPU menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Sedangkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno meraih 68.650.239 suara atau 44,50 persen.
Sebagai contoh, hitung cepat Litbang Kompas menyatakan Jokowi-Ma’ruf meraih 54,45 persen, Prabowo-Sandi 45,55 persen. Hasil hitung cepat CSIS Indonesia dan Cyrus Network Jokowi-Ma’aruf 55,62 persen dan Prabowo-Sandi 44,38 persen. Hitung cepat LSI Denny JA, Jokowi-Ma’ruf meraih 55,71 persen dan Prabowo-Sandi 44,29 persen. Hitung cepat Charta Politika menunjukan pasangan Jokowo-Ma’aruf memperoleh suara 54,3 persen, Prabowo-Sandi 45,7 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Simulasi Hitung Cepat atau Quick Count Litbang Kompas 2024 pada pemilihan Presiden dan Legislatif di Menara Kompas, Jakarta, Senin (12/2/2024). Tim Pusat Data ini terdiri dari 100 orang konfirmator, 20 orang verifikator, 14 orang validator, 6 orang data entry Jakarta, 4 orang data entry Medan, serta 4 orang data entry Makassar.
Sejarah Hitung Cepat
Menelusuri ke belakang, penyelenggaraan hitung cepat dalam pemilu sudah mulai dilakukan pada 1986 di Filipina. Saat itu, sebuah komite independen yang berfungsi memantau pelaksanaan pemilu, yaitu National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) mengadakan perhitungan cepat untuk memantau penyelenggaraan pemilu Filipina di bawah rezim presiden Ferdinand Marcos. Ada dua kandidat yang bersaing kala itu, yaitu Ferdinand Marcos dan Corazon ‘Corry’ Aquino.
Melalui perhitungan yang dilakukan, NAMFREL sukses melaksanakan pemantauan pemilu. Hitung cepat NAMFREL berperan penting mendeteksi dan mengungkap kecurangan manipulasi suara yang dilakukan pemerintah rezim Marcos untuk menganulir kemenangan Corry yang menjadi lawannya dalam pemilu. Hal ini pun memicu gelombang protes yang kemudian berhasil menggulingkan rezim otoriter Marcos.
Setelah itu, metode tersebut digunakan pula oleh sejumlah lembaga survei di beberapa negara yang sedang mengalami transisi ke demokrasi, menjadi alat kontrol pemilu, di antaranya Chile pada tahun 1988, Panama pada 1989, Yugoslavia dan Peru pada 2000, juga Indonesia pada 2004.
Di Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa disebut sebagai perintis Hitung Cepat dalam pemilu.
Entjeng Shobirin Nadj dalam Kompas edisi 10 Juli 2004 menyebutkan bahwa LP3ES sudah mulai mempelajari metode Parallel Vote Tabulation/PVT untuk hitung cepat sejak 1993 dengan mengirim staf ke lembaga polling di tiga negara, Amerika Serikat (AS), Filipina, dan Korea Selatan. Kemudian, mencoba mengaplikasikanya pada Pemilu 1997, untuk wilayah DKI Jakarta.
Pada Pemilu 1999, di beberapa wilayah di Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Hasil prediksi sama persis dengan hasil pemilu. Akan tetapi, belum berani mempublikasikannya karena khawatir akan berdampak secara politis (“Entjeng Shobirin Nadj: “Hitung Cepat” Bukan Hal Baru”, Kompas, 10 Juli 2004).
Pada Pemilu 2004, karena hasil uji coba hitung cepat memuaskan, LP3ES bekerja sama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) melakukan hitung cepat untuk Pemilu Legislatif 5 April 2004 dan Pemilu Presiden 5 Juli 2004.
Hasil hitung cepat LP3ES-NDI mengagumkan. Menggunakan sampel perhitungan suara di TPS, hitung cepat berhasil memprediksi perolehan suara secara cepat dan mendekati hasil resmi. Pada pemilu legislatif, LP3ES-NDI mampu mengumumkan hasil penghitungan sehari setelah pemungutan suara dan hanya berbeda 0,15 persen dari hasil akhir penghitungan resmi KPU (“Statistik Terapan Dominasi Prediksi Pemilu”, Kompas,7 Juli 2004).
Pada saat itu, hitung cepat tak lepas dari kritik dan keraguan. Hitung cepat oleh LP3ES-NDI pun sempat memicu ketegangan dengan KPU. Bahkan, KPU mengancam akan mencabut akreditasi sebagai pemantau dalam pemilu. Pasalnya, dinilai menyalahi aturan pemantau, yakni harus menyampaikan lebih dulu hasil pemantauan kepada KPU sebelum dipaparkan kepada publik (“Ketua KPU Ancam Akreditasi LP3ES dan NDI Dapat Dicabut”, Kompas, 8 Juli 2004).
Kendati demikian, LP3ES-NDI tetap melanjutkan Hitung Cepat. Pada pemilu presiden, hasil Hitung Cepat yang diumumkan LP3ES-NDI pada 6 Juli 2004 juga tidak meleset jauh dari perhitungan suara oleh KPU yang diumumkan 26 Juli 2004. Hasil penghitungan KPU menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 22,15 persen suara, Megawati-Hasyim memperoleh 26,61 persen suara, pasangan Amien-Siswono memperoleh 14,66 persen suara, pasangan Yudhoyono-Kalla meraih 33,57 persen, dan pasangan Hamzah-Agum 3,01 persen.
Sementara, dari penghitungan cepat, pasangan Wiranto-Wahid memperoleh 23,3 persen suara, pasangan Megawati-Hasyim meraih 26 persen, pasangan Amien-Siswono dengan 14,4 persen, pasangan Yudhoyono-Kalla memperoleh 33,2 persen suara, dan pasangan Hamzah-Agum meraih 3,1 persen suara.
Pada pilpres putaran kedua, proyeksi hitung cepat kembali terbukti cukup akurat. Hasil penghitungan KPU menyatakan pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,62 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,38 persen. Sementara hasil hitung cepat menunjukkan, pasangan Yudhoyono- Kalla unggul dengan meraih 60,20 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,80 persen.
Sejak saat itu, karena tingkat keakuratannya tinggi, Hitung Cepat menjadi rujukan untuk mengikuti jalannya pemilu. Hitung Cepat menjadi sangat populer di Indonesia. Banyak lembaga riset atau penelitian yang kemudian juga melakukan penghitungan cepat pada pemilu-pemilu berikutnya, baik untuk pilpres, pileg, atau pilkada. Beberapa stasiun televisi juga ikut meramaikan, meliput dan menyiarkan ajang penghitungan suara cepat pemilu.
Kompas melalui Litbang Kompas sendiri memulai hitung cepat saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2007. Saat itu, hasil hitung cepat Litbang Kompas hanya berbeda 0,11 persen dengan hasil resmi KPU. Sejak itu, Litbang Kompas secara rutin menyelenggarakan hitung cepat. Hingga saat ini, terhitung sebanyak 16 kali hitung cepat yang dilakukan. Seluruhnya hasilnya memiliki selisih di bawah 1 persen dari perhitungan resmi KPU.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Suasana di ruang hitung cepat Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Litbang Kompas di Kantor Harian Kompas, Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Metode dan Alur Hitung Cepat
Hitung Cepat pada dasarnya merupakan praktik penerapan statistik untuk menghitung persentase. Dalam konteks pemilu, penghitungan cepat merupakan pengumpulan fakta, yaitu merekam pilihan pemilih terhadap masing-masing kandidat atau parpol di berbagai tempat pemungutan suara yang telah ditentukan.
Hitung Cepat sangat mengandalkan teknik sampling. Keberhasilan dalam menentukan sampel akan berpengaruh terhadap tingkat akurasi.
Sampel TPS harus diambil secara acak dan representatif mewakili karakteristik populasi. Jumlah sampel, komposisi sampel, persebaran sampel ini jadi penentu tingkat kesalahan atau margin of error. Jika sampel yang dipilih tidak dapat mewakili populasi, hasilnya akan jauh dari kenyataan.
Oleh karena itu, tahap pertama dalam melakukan Hitung Cepat adalah menentukan sampel TPS.
Ambil contoh, Hitung Cepat Litbang Kompas pada Pemilu 2019, dalam menentukan sampel TPS, Litbang Kompas menggunakan sistem berbasis daftar pemilih tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU dan bukan berpatokan pada data TPS semata (“Mengawal Marwah Demokrasi Rakyat”, Kompas, 17 April 2019).
Litbang Kompas mengerucutkan data DPT dari yang jumlahnya 190.770.329 pemilih (sesuai DPT hasil perubahan II), menjadi 95.385 pemilih sesuai jumlah sampel 2.000 TPS.
Sebuah program secara acak berikutnya adalah memilih satu data pemilih sebagai patokan menentukan lokasi sampel TPS pertama. Dengan pola yang sama, proses berlanjut untuk memilih sampel TPS berikutnya hingga mencapai total 2.000 sampel.
Pengambilan 2.000 sampel dilakukan dengan pertimbangan target toleransi kesalahan (margin of error), kemampuan sumber daya yang ada, dan biaya pelaksanaan. Dengan pengambilan 2.000 TPS sampel dan tingkat kepercayaan 99 persen, simpangan kesalahan untuk setiap provinsi diperkirakan kurang dari 1 persen.
Proses penentuan sampel dilakukan dengan pengawasan berlapis. TPS sampel yang sudah ditentukan, diperiksa kembali dengan data pemilih terdaftar yang dikeluarkan KPU. Dengan demikian, semua TPS sampel tervalidasi dan benar, sesuai dengan daftar pemilihnya. TPS sampel yang sudah ditentukan, diperiksa kembali dengan data pemilih terdaftar yang dikeluarkan KPU. Dengan demikian, semua TPS sampel tervalidasi dan benar, sesuai dengan daftar pemilihnya.
Langkah penting berikutnya adalah merekrut relawan. Para relawan ini akan menjadi surveyor lapangan yang akan memantau, mengambil, dan mengirimkan data dari setiap sampel TPS yang telah ditentukan sebelumnya. Relawan yang direkrut umumnya berasal dari daerah yang menjadi sampel sebab bisa lebih mengenal tantangan geografis dan sosial di TPS sampel.
Para relawan dibekali dengan tata cara kerja, diberi pelatihan mengenai Hitung Cepat dan pengenalan ilmu statistik sederhana. Semua akan difasilitasi koordinator lapangan dan bekerja dengan sistem sel. Setelah koordinator lapangan, ada koordinator wilayah, lalu koordinator daerah.
Tahap selanjutnya, menginput data dan mengolah data. Guna memastikan semua proses berjalan dengan lancar dan cepat, dibutuhkan juga dukungan teknologi.
Seluruh hasil data yang diperoleh di lapangan akan dikirim lalu divalidasi kembali di pusat data, sehingga tidak terjadi kesalahan nonteknis dan kesalahan akibat kelalaian manusia. Hal ini semua dilakukan untuk memperoleh data yang valid dan akurat agar mendapatkan hasil sedekat mungkin dengan hasil sebenarnya.
Di pusat data ada tim konfirmator, tim validator, dan tim sistem. Konfirmator bertugas memonitor keberadaan para surveyor lapangan dan memeriksa data yang masuk. Sementara validator mengesahkan data yang sudah terkonfirmasi (quality control).
Litbang Kompas, misalnya, dalam Hitung Cepat Pemilu 2019, memakai teknologi penunjang Open Data Kit untuk sistem input data. Para surveyor lapangan akan mengirimkan laporan dari TPS dalam bentuk foto formulir C1 via program itu.
Data yang masuk akan diolah oleh tim di situation room, Jakarta. Proses hitung cepat di pusat data di Jakarta itu akan dilakukan secara terbuka serta mengundang sejumlah pemantau dan konsultan politik dari berbagai universitas papan atas dunia.
Untuk menjamin akurasi data, tim di Jakarta juga melakukan konfirmasi kebenaran laporan para surveyor lapangan dengan mengontak ulang para petugas KPPS di sejumlah TPS jika ada perbedaan antara data yang diinput tim dan formulir C1. Ada tim validator juga yang akan mengonfirmasi ulang data itu.
Setelah itu, data valid akan disahkan dan dipublikasikan. Pergerakan hasil hitung cepat dapat diikuti di media massa, hasil mulai stabil saat data yang masuk sudah mencapai 80 persen.
DOKUMENTASI LITBANG KOMPAS
Bagi Raj Kannan, Wakil Presiden Asosiasi Alumni University of Oxford di Indonesia saat mengunjungi Kantor Harian Kompas di Jakarta, Rabu (17/4/2019) untuk menyaksikan proses hitung cepat Pemilu 2019 oleh Litbang Kompas.
Mengawal Pemilu
Hitung Cepat bukan hanya merupakan cara untuk mengetahui hasil pemilu dengan cepat atau kontes adu cepat penghitungan suara, tetapi juga merupakan mekanisme pemantauan pemilu. Secara historis, Hitung Cepat sejatinya lahir sebagai pembanding hasil pemilihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Peneliti LP3ES, A Agung Prihatna, dalam tulisannya di Kompas edisi 6 Juli 2004 menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu tidak bisa dibiarkan menjadi lembaga yang mendominasi dan memonopoli informasi perolehan suara peserta pemilu. Hal ini tak terlepas dari kontestasi politik di mana hasil-hasil pencoblosan kertas suara di bilik suara seringkali mengalami gangguan, distorsi, dan manipulasi dari berbagai pihak (“Hitung Cepat”, Kompas, 6 Juli 2004).
Untuk itu, Hitung Cepat dilakukan untuk memberikan informasi alternatif hasil pemilu bagi publik. Angka hasil Hitung Cepat yang diumumkan kepada publik bertujuan sebagai kontrol bagi penyelenggaraan pemilu.
Menurut Agung, Hitung Cepat merupakan alat paling reliabel guna mengatasi kecurangan dalam penghitungan suara di PPS atau PPK. Rekayasa perolehan suara akan terdeteksi bila ada kecurangan besar-besaran pada tingkat PPS atau PPK. Sebab, selain mencatat berapa perolehan suara setiap kontestan, para pemantau juga mencatat kejadian yang memungkinkan kecurangan pemilu berlangsung. Proses pencatatan kecurangan pada tingkat TPS ini dengan sendirinya menjadi kontrol terhadap hasil Hitung Cepat.
Dalam buku panduan The Hitung Cepat and Election Observation: An NDI Guide for Civic Organizations and Political Parties yang dikeluarkan NDI, selain sebagai alat kontrol bagi penyelenggaraan pemilu, khususnya pada tahap penghitungan suara, Hitung Cepat juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam penyelenggaraan Hitung Cepat, kelompok masyarakat dilibatkan dalam memastikan pemilu berjalan secara jujur dan adil, sehingga mendukung pengembangan sistem pemilu demokratis. Ratusan bahkan ribuan relawan akan dikerahkan untuk mencari dan melaporkan informasi penting dari proses pemilu, baik itu hasil penghitungan suara di TPS maupun aspek-aspek penting lainnya.
Di sisi lain, dengan terlibat langsung memantau proses pemungutan suara, masyarakat akan memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap legitimasi pemerintahan yang dihasilkan. Hal lain yang tak kalah penting, masyarakat juga mendapatkan pengalaman.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana Hitung Cepat Pemilu 2019 di kantor Kompas Gramedia di Jakarta, Rabu (17/4/2019). Hitung cepat dilakukan Litbang Kompas dengan mengambil sampel dari 2.000 TPS di seluruh Indonesia.
Syarat dan Peraturan Hitung Cepat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap lembaga survei yang ingin melakukan Hitung Cepat harus sudah resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Lembaga survei yang resmi terdaftar adalah lembaga survei yang sudah diverifikasi dan memenuhi syarat sebagai lembaga survei dalam pemilu. Jika tidak terdaftar, lembaga survei tidak diperbolehkan untuk menungumumkan hasil Hitung Cepat.
Untuk mendapatkan legitimasi dalam melaksanakan Hitung Cepat, mengacu Keputusan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1035 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Lembaga Survei Pemilu 2024, lembaga survei harus memenuhi sejumlah syarat, antara lain, menyerahkan akte pendirian dan susunan lembaga; menggunakan metode penelitian ilmiah; melaporkan sumber dana, metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal dan lokasi pelaksanaan survei; menyerahkan surat keterangan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.
Terkait publikasi hasil survei, setiap lembaga survei baru diperbolehkan mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat pemilu dan penghitungan cepat hasil pemilu paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Lembaga survei dilarang mengumumkan hasil survei pemilu pada saat masa tenang. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menurut UU Pemilu merupakan tindak pidana pemilu.
Pada Pemilu 2024, KPU telah menerima pendaftaran 83 lembaga yang ingin melakukan survei selama Pemilu 2024. Jumlah itu tercatat di akhir masa pendaftaran pada 15 Januari 2024. Sebanyak 70 lembaga posisinya sudah proses penerbitan sertifikat terdaftar.
Setiap lembaga survei diharapkan bisa mengedepankan prinsip integritas, transparan, dan independen. Hal ini diperlukan untuk mendorong partisipasi masyarakat secara luas dan terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Estok, M., N. Nevitte, dan G. Cowan. 2002. The Quick Count and Election Observation: An NDI Guide for Civic Organizations and Political Parties. Washington D.C.: National Democratic Institute for International Affairs.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1035 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Lembaga Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu Tahun 2024.
- “Penyelenggara Survei Menuai Cendawan di Musim Penghujan * Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 18 Juni 2004.
- “Hitung Cepat”, Kompas, 6 Juli 2004.
- “Statistik Terapan Dominasi Prediksi Pemilu”, Kompas, 7 Juli 2004.
- “Ketua KPU Ancam Akreditasi LP3ES dan NDI Dapat Dicabut”, Kompas, 8 Juli 2004.
- “Entjeng Shobirin Nadj: “Hitung Cepat” Bukan Hal Baru”, Kompas, 10 Juli 2004.
- “Publik Antusias Mengawasi Pemilu”, Kompas, 8 April 2019.