Paparan Topik

Rohingya: Sejarah dan Asal-Usulnya

Perbedaan latar belakang asal usul etnis dan agama menjadikan orang Rohingya mengalami intoleransi. Mereka menjadi subyek penyiksaan sejak tahun 1962, khususnya ketika kebijakan "Burmanisasi" dan "Budhanisasi" diberlakukan secara struktural telah mengeluarkan dan memarjinalkan warga Rohingya di Arakan.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Pengungsi etnis Rohingya yang berlayar dari Bangladesh (8/1/2023) terdampar di Pantai Kuala Gigeng, Desa Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.

Fakta Singkat

  • Etnis Rohingya adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke-7 Masehi (788 M).
  • Pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430–1434).
  • Nama Arakan berubah menjadi “Rakhine” pada tahun 1930.
  • Bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh.
  • Pada tahun 1974, Pemerintahan Jenderal Ne Win (1962–1988) melucuti kewarganegaraan Rohingya.
  • Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis yang diakui secara hukum di Myanmar.

Datangnya para pengungsi Rohingya secara bergelombang di Aceh menandakan bahwa etnis ini masih mencari tempat yang aman untuk ditinggali. Kekerasan struktural yang berlangsung selama beberapa dekade di Rakhine, Myanmar, memaksa warga Rohingya mengungsi dan menjadi “manusia perahu”, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun di seluruh dunia.

Tidak jarang para manusia perahu itu menjadi korban tenggelam di tengah laut. Banyak pula yang ditahan atau diperlakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima mereka. Hingga Desember 2023, pengungsi Rohingya di Aceh berjumlah sekitar 1.600 orang yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. Selain di Indonesia, pengungsi Rohingya juga tersebar di Malaysia, dan Thailand.

Asal-usul

Jika menilik asal usulnya, etnis Rohingya adalah nama kelompok etnis yang tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke-7 Masehi (788 M). Ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohan” atau “Rohang”, nama kuno dari “Arakan”, sehingga orang yang mendiaminya disebut “Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad ke-18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.

Nenek moyang orang Rohingya bukanlah orang Bangladesh melainkan campuran dari Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal, Pathans, Maghis, Chakmas, Belanda, Portugis dan Indo-Mongoloid.

Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430–1434). Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal.

Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sektor agraris.

Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di sisi timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke-8 Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada abad ke-15 hingga 18), dan Buddhist.

Saat ini Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi arah laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Nama Arakan berubah menjadi “Rakhine” pada tahun 1930 dan belakangan disebut juga “Rakhaing”. Nama “Rakhine” merujuk pada etnis Rakhine Buddhist (Moghs), sehingga istilah “Rakhine” sejatinya tidak mewakili etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam.

Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya.

Bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara.

Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine.


Pengungsi Rohingya asal Myanmar dan Banglades bersembahyang di pangkalan Angkatan Laut RI di Pulau Sabang (28/1/2009). Sebanyak 193 orang etnis Rohingya itu diselamatkan setelah terkatung-katung selama sebulan lebih di lautan bebas. Para pengungsi itu memohon tidak dikembalikan ke negaranya, khususnya yang berasal dari Myanmar, karena khawatir akan disiksa.(KOMPAS/Binsar Bakkara)

Penghapusan Kewarganegaraan

Memasuki kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) pada tahun 1948, pemerintah telah menyatakan migrasi tersebut adalah ilegal dan menyatakan bahwa Rohingya adalah keturunan Bengali serta menolak untuk mengakui mereka sebaga etnis dan warga negara Myanmar.

Warga, seperti yang didefinisikan oleh Konstitusi 1947, adalah orang orang yang menjadi milik suatu “ras pribumi”, memiliki nenek dari “ras pribumi adalah anak anak warga negara, atau tinggal di Myanmar (Burma Inggris) sebelum 1942. Menurut hukum ini, warga diharuskan untuk memperoleh Kartu Registrasi Nasional (National Registration Card), sedangkan non-warga negara diberi Kartu Pendaftaran Asing (Foreign Registration Card).

Setelah Jenderal Ne Win dan Partai Program Sosialis Burma-nya (BSPP) merebut kekuasaan pada tahun 1962 dari tangan U Nu, pemerintah militer mulai membubarkan organisasi sosial dan politik Rohingya. Pada tahun 1974 Pemerintahan Jenderal Ne Win (1962–1988) telah melucuti kewarganegaraan Rohingya dan selanjutnya pada tahun 1982 melalui Peraturan Kewarganeraan Myanmar (Burma Citizenship Law 1982), Pemerintah menyatakan Rohingya “non-national”.

Berdasarkan The Pyithu Hluttaw Law No. 4 of 1982 atau Burma Citizenship Law, 15 Oktober 1982, Myanmar saat ini mengakui tiga kategori warga, yaitu warga negara penuh, warga negara asosiasi dan warga negara naturalisasi.

  1. Warga negara penuh adalah keturunan dari penduduk yang tinggal di Myanmar sebelum 1823 atau lahir dari orang tua yang adalah “warga negara” pada saat kelahiran.
  2. Warga asosiasi adalah mereka yang memperoleh kewarganegaraan melalui Union Citizenship Law 1948.
  3. Warga naturalisasi mengacu kepada orang-orang yang tinggal di Myanmar sebelum 4 Januari 1948 dan mengajukan permohonan untuk kewarganegaraan setelah 1982.

Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis yang diakui secara hukum di Myanmar hingga saat ini. Lebih dari 125.000 Rohingya yang saat ini masih bertahan di Rakhine Utara secara efektif tanpa kewarganegaraan dan hak hak dasar manusia, begitu pula Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Operasi-operasi militer yang dilakukan pemerintah dan junta militer telah membumihanguskan ratusan ribu rumah, ratusan masjid, dan ribuan nyawa Rohingya. Konflik horizontal ini sengaja dibiarkan untuk melegalisasi tindakan pemerintah Myanmar untuk mengusir dan memusnahkan etnis Rohingya dari bumi Arakan.

Konflik Sektarian

Selain campur tangan negara, ada faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya konflik sektarian di Myanmar, yaitu kecemburuan sosial. Selain Arakan, mayoritas muslim Rohingya mendiami kota Meiktila. Kebanyakan dari muslim Meikhtila dan muslim di Myanmar adalah pedagang atau pebisnis. Bahkan perusahaan konstruksi dan hotel hotel besar di Myanmar merupakan milik pengusaha muslim. Kegigihan mereka dalam perdagangan dan bisnis memang telah menguasai sendi-sendi ekonomi di Myanmar.

Kedai-kedai milik mereka juga tersebar di kota Meikhtila dan Yangon. Mereka memberikan simbol 786 pada kedai-kedainya. Simbol 786 ini merupakan pengganti dari kalimat basmallah, yang dilekatkan pada papan nama kedai- kedai mereka, yang menandakan bahwa kedai tersebut menjual makanan halal.

Namun, simbol tersebut kemudian disalahartikan lain oleh kelompok ektrimis Budha. Kelompok ini menyebarkan isu dan provokasi bahwa keberadaan Islam di Myanmar merupakan ancaman bagi eksistensi Budha. Mereka takut Myanmar akan berubah seperti Indonesia dan Malaysia sebagai negara muslim terbesar.

Sejak itu, tahun-tahun berikutnya mulai timbul konflik dengan penduduk Rohingya. Untuk meng-counter perkembangan Islam di Myanmar, kelompok ekstrimis membentuk gerakan 969 yang diketuai oleh biksu Mandalay bernama Wirathu. Provokasi yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis ini menyulut amarah dan sinisme terhadap Islam di Meikhtila, di mana kemudian terjadi peristiwa kerusuhan pada tanggal 25 Maret 2013.

Kelompok ekstrimis ini tidak lagi hanya menyerang eksistensi Rohingya di Arakan, namun juga keseluruhan Muslim di Myanmar. Akibat kerusuhan tersebut tercatat 400 lebih muslim Meikhtila tewas. Sisanya melarikan diri meninggalkan Arakan ke wilayah Asia Tenggara.

Sikap pemerintah yang tidak bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Atas kondisinya, Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.

(LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/ZULKARNAINI

Petugas medis dan aparat keamanan memberikan layanan kesehatan kepada pengungsi Rohingya yang sakit. Hingga Rabu (22/11/2023), sebanyak 219 pengungsi Rohingya masih berada di dalam kapal Aceh Hebat di Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh.

Referensi

Buku
  • Ibrahim, Azeem (2016). The Rohingyas: inside Myanmar’s hidden genocide. London: Hurst & Company
  • —-(2013). Rohingya: suara etnis yang tidak boleh bersuara. Jakarta:  Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
  • Singh, Bilveer (2013).Myanmar’s Rohingyas:challenges confronting a persecuted minority and implications for national and regional security. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Arsip Kompas
  • “Nasibmu Rohingya”.Kompas, 17 Juni 2015  hal. 06 Penulis: Ichlasul Amal.
  • “Menelisik Akar Persoalan Rohingya”. Kompas, 3 Juni 2015 Penulis: Antonius Purwanto