Paparan Topik | Kesehatan

Polemik Undang-Undang Omnibus Kesehatan

Undang-Undang Omnibus Kesehatan diharapkan menjadi kunci perubahan kesehatan Indonesia melalui enam pilar transformasi. Meski demikian, substansi isi dan proses perumusannya menimbulkan polemik dan penolakan di masyarakat.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Seorang tenaga kesehatan menunjukkan poster kritik dalam aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Para tenaga kesehatan yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) siang. Mereka menilai, sejumlah masalah dalam proses penyusunan dan substansi RUU Kesehatan dapat merugikan tenaga kesehatan. 

Fakta Singkat

  • UU Omnibus Kesehatan telah diusulkan sejak 17 Desember 2019. Namun proses pembahasan formalnya dimulai pada 25 Agustus 2022.
  • Enam pilar transformasi kesehatan menurut UU Omnibus Kesehatan adalah layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sumber daya manusia (SDM), dan teknologi.
  • Sejumlah masalah utama yang muncul dari proses perumusuan dan kehadiran UU Kesehatan ini adalah perumusannya yang dinilai tidak demokratis, anggapan akan dihapusnya alokasi minimal anggaran kesehatan, dan masih lemahnya perlindungan dari tembakau.
  • UU Kesehatan belum mengakomodasi pembatasan promosi dan kampanye rokok. Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) menunjukkan bahwa persentase perokok anak di Indonesia masih pada level 19,2 persen, atau yang tertinggi di ASEAN pada 2021.

Beberapa pekan lalu, regulasi kesehatan tentang Undang-Undang (UU) Omnibus Kesehatan menjadi topik yang banyak dibicarakan. Media pemberitaan daring cukup masif dan intensif dalam memberitakan persoalan ini, yang kemudian disusul perbincangan di media sosial.

Pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Kesehatan memunculkan polemik yang rumit dan menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam antara pihak yang menolak UU baru tersebut dan pihak yang menyambut baik.

Fenomena keramaian digital tersebut dapat ditelisik terjadi sejak Selasa (11/7/2023), bertepatan dengan ketok palu Ketua DPR Puan Maharani pada sidang paripurna DPR yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi Undang-Undang.

Pelaksanaan sidang sendiri sudah diketahui oleh publik, terutama berbagai organisasi profesi kesehatan. Setidaknya terdapat beberapa organisasi profesi yang melakukan unjuk rasa pada saat sidang paripurna pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Omnibus Kesehatan antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia. Organisasi yang disebutkan pertama menjadi salah satu yang paling aktif menyerukan penolakan.

Sementara gelombang dukungan terhadap UU inisiatif DPR ini juga datang dari berbagai lembaga. Pendukungnya yang paling utama adalah pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Selain itu, banyak juga pihak dari sektor kesehatan yang telah menyampaikan dukungan, seperti Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan (P2KP), Forum Dokter Susah Praktek (FDSP), dan Lembaga Bantuan Hukum Perawat Indonesia (LBHPI).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Tenaga kesehatan menunjukkan poster kritik dalam aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023). 

Transformasi Kesehatan Nasional

UU Kesehatan menjadi manifestasi agenda transformasi kesehatan nasional. Pimpinan Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan bahwa melalui UU ini, transformasi dapat dilakukan melalui reformasi perbaikan pelayanan kesehatan di berbagau fasilitas kesehatan dan sekunder. “RUU kesehatan memberikan ruang ekosistem untuk pengembangan inovasi kesehatan, serta penguatan peran kesehatan,” ungkap Melki.

Menkes Budi Gunadi juga menyebutkan kehadiran UU Kesehatan sebagai “awal yang baru” bagi pembangunan kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia. Pembangunan tersebut tidak terkecuali di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan.

Dengan berlandaskan pada berbagai latar belakang situasi dan masalah kesehatan di Indonesia, pemerintah dan DPR menyepakati enam pilar transformasi yang diwujudkan melalui kehadiran UU Kesehatan. Dijabarkan melalui laman resmi Kemenkes, keenam pilar transformasi tersebut adalah apa yang diusahakan dan disempurnakan oleh UU Kesehatan.

Pilar pertama adalah transformasi layanan primer, di mana UU Kesehatan akan menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada pencegahan penyakit daripada kesembuhan penyakit. Kedua, bersamaan dengan transormasi layanan primer adalah transformasi layanan rujukan.

Pilar ketiga adalah transformasi sistem ketahanan kesehatan. Perwujudan pilar ini adalah dengan meningkatkan kemandirian nasional di sektor farmasi dan alat kesehatan. Selain itu, pilar ketiga juga akan diwujudkan dengan kehadiran pemerintah dalam memfasilitasi berbagai sumber daya untuk riset dan transfer teknologi. UU Kesehatan juga akan meningkatkan ketahanan dalam menghadapi krisis kesehatan di masa mendatang, salah satunya lewat upaya kesiapsiagaan pengendalian risiko.

Sementara, pilar keempat adalah transformasi sistem pembiayaan kesehatan. Melalui UU Kesehatan, akan diupayakan peningkatan efisiensi pembiayaan kesehatan lewat penerapan perencanaan berbasis kinerja. Kelima, transformasi SDM di bidang kesehatan. Dengan beragam latar belakang yang telah disampaikan, UU Sapu Jagat Kesehatan akan meningkatkan jumlah tenaga kesehatan yang berkualitas untuk kebutuhan nasional yang sesuai dan merata.

Sementara pilar terakhir adalah transformasi teknologi kesehatan. Melalui UU Kesehatan, akan diwujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan meningkatkan inovasi teknologi kesehatan. Pemerintah sepakat dengan DPR akan perlunya akselerasi pemanfaatan teknologi biomedis untuk pelayanan kesehatan yang mumpuni.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Layar monitor menampilkan aktivitas tenaga kesehatan dalam cath lab layanan jantung anak, vascular dan otak terpadu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Chasbullah Abdulmadjid, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/3/2021). Peresmian cath lab yang kedua untuk layanan jantung, vascular dan otak terpadu tersebut dalam rangkaian Hari Ulang Tahun Kota Bekasi ke-24. Layanan pusat jantung, vascular dan otak terpadu yang pertama berdiri tahun 2017 di rumah sakit tersebut telah melayani lebih dari 2500 pasien. Cath lab yang menggunakan sinar-X akan menampilkan gambaran pembuluh darah secara detail di berbagai organ tubuh, misalnya jantung.

Sejarah Pembentukan UU Kesehatan

UU Omnibus Kesehatan telah terlebih dahulu didahului oleh UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Untuk mendukung pelaksanaan UU lama ini, maka hadir juga peraturan perundangan terkait lainnya di bidang kesehatan.

Contohnya adalah UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Daerah, dan lain sebagainya. Banyaknya regulasi yang dibutuhkan untuk mendukung hukum kesehatan menunjukkan luasnya koridor dan dimensi kesehatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kehadiran UU Nomor 44 Tahun 2009 menggantikan regulasi kesehatan yang lama, yakni UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Sementara merunut jauh lebih lampau lagi, hukum kesehatan pertama yang tercatat di Indonesia adalah Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki) yang dibentuk pada 7 Juli tahun 1983.

Meski begitu, UU Omnibus Kesehatan yang diterbitkan pada 2023 tidak dapat disamakan begitu saja dengan peraturan perundang-undangan kesehatan terdahulu, secara khusus UU Nomor 44 Tahun 2009 dan UU Nomor 23 Tahun 1992, dimana UU omnibus memiliki skala peraturan yang jauh lebih luas. Sebagai perbandingan, UU Nomor 36 Tahun 2009 terdiri atas 22 bab dan 205 pasal sementara UU Nomor 23 Tahun 1992 hanya terdiri atas 12 bab dan 90 pasal.

Mengusut rekam jejaknya, dengan mengacu pada situs resmi DPR, RUU Kesehatan telah diusulkan begitu lama, yakni sejak 17 Desember 2019. Perumusannya sendiri baru mulai digodok secara formal oleh DPR sejak 25 Agustus 2022.

Di tanggal tersebut, dilakukan audiensi dengan Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) dalam rangka penyampaian penjelasan usulan RUU tentang Pengadilan Medis. Sementara proses penyusunan RUU Kesehatan mulai dilakukan sejak Oktober 2023 dengan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama sejumlah organisasi profesi.

Mengacu pada Kompas.id (22/6/2023, Membandingkan ”Omnibus Law” Kesehatan dengan Cipta Kerja), pembahasan lantas berlanjut dengan pengesahan oleh DPR untuk memasukkan RUU Kesehatan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Dengan telah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas, RUU Kesehatan pun segera mendapat perhatian ketika tahun memasukin 2023.

Pada 14 Februari 2023, dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III 2022-2023, diputuskan bahwa RUU Kesehatan adalah usul inisiatif dari DPR. Sebanyak delapan fraksi menyepakati hal ini. Berselang hampir satu bulan, tepatnya pada 10 Maret 2023, DPR secara resmi mengirimkan draf RUU Kesehatan kepada pemerintah.

Setelah melalui proses evaluasi, pemerintah mendukung penuh penyusunan RUU Kesehatan dan menekankan untuk segera diratifikasi. Pada 16 Maret 2023, Pemerintah pun memberi target agar penyusunan daftar inventarisasi RUU Kesehatan selesai pada bulan Juni 2023. Target tersebut terpenuhi DPR pada 5 Juni dengan menyerahkan inventarisasi RUU Kesehatan kepada pemerintah.

Dengan selesainya inventarisasi RUU, proses berlanjut pada rapat kerja pembicaraan antara pemerintah dan DPR. Rapat kerja yang dimulai dari pertengahan Juni tersebut dilaksanakan dalam tingkat I dan II. Akhirnya, pada rapat kerja tingkat II dalam rapat paripurna yang dilakukan pada Selasa (11/7/2023) di Jakarta, DPR menyetujui RUU Kesehatan menjadi UU.  

Dalam rapat tersebut, sebanyak enam fraksi di Komisi IX DPR menyetujui pengesahan UU Kesehatan. Satu fraksi, yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem), setuju dengan catatan. Sementara dua fraksi lainnya, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak UU Kesehatan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah tenaga kesehatan dari unsur TNI, Polri, relawan sipil dan petugas medis mengikuti upacara peringatan Hari Pahlawan di kompleks Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (10/11/2020). Upacara tersebut dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Sebanyak 1.719 pasien yang terinfeksi virus corona dirawat di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet.

Polemik UU Omnibus Kesehatan

Dengan perannya sebagai transformator kesehatan, harapan perubahan dari UU Kesehatan begitu tinggi. Apalagi cakupan pembahasannya begitu luas dengan status sebagai omnibus law atau UU sapu jagat. Dalam banyaknya perubahan yang diatur di dalamnya, juga luasnya dimensi yang diakomodir, serta proses perundangannya itu sendiri, kehadiran UU Kesehatan pun menimbulkan begitu banyak penolakan hingga polemik.

Pertentangan terjadi di tingkat individu hingga lembaga, antara pihak yang mendukung dan mereka yang menolak atau merasa terancam. Berikut adalah beberapa faktor yang kerap muncul dalam perdebatan publik tersebut:

Dinilai Tidak Demokratis

Banyak pihak menilai bahwa proses penyusunan RUU Kesehatan cenderung tertutup dan tergesa-gesa. Salah satu indikatornya adalah tidak adanya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang disahkan menjadi UU. Bahkan naskah UU Kesehatan terbaru masih tak jelas keberadaannya meski Komisi IX DPR telah melaksanakan rapat kerja pengambilan keputusan bersama pemerintah pada Senin (19/6/2023).

Selain itu masyarakat juga dinilai belum memperoleh penjelasan terkait diterima atau tidaknya barbagai masukan dalam penyusunan RUU ini. “Proses tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, konsultasi publik singkat, minim, dan tertutup. Ini menyulitkan semua masukan masyarakat sipil terefleksi dalam UU tersebut,” kata Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih.

Padahal seharusnya, mengacu Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020 tentang Partisipasi Publik Bermakna, terdapat tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna. Ketiganya adalah hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Dengan mengacu pada ketiga asas tersebut, maka proses perumusan RUU Kesehatan tidak inklusif, terbuka, dan demokratis. Apalagi, Diah menilai bahwa wadah demokrasi yang disediakan pemerintah untuk masyarakat sipil dapat mengakses dan mengevaluasi RUU Kesehatan begitu terbatas – hanya bersifat satu arah dan tidak tetap. “Situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK,” kata Diah.

Menanggapi kritik dari organisasi profesi dan masyarakat sipil, pihak pemerintah cenderung menyangkal penilaian tersebut meski juga tetap terbuka dengan upaya advokasi demokratis yang dilakukan. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi misalnya, telah mengatakan pada bulan April bahwa pemerintah telah menerima lebih dari 5.000 masukan yang diterima dari wadah yang disediakan berupa situs untuk publik.

“Dari seluruh masukan itu, ada yang diterima, juga ada yang dipertimbangkan untuk masuk ke dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), serta ada yang akan masuk menjadi aturan turunan atau aturan teknis,” tutur Siti. Masukan itu berasal dari individu serta organisasi atau kelompok.

Sementara Menkes Budi menyatakan tetap menghargai upaya advokasi yang akan dilakukan. Namun dia berharap agar penyampaian kritik dan advokasi dilakukan dalam asas demokrasi yang tidak merugikan masyarakat. Menkes Budi juga menyampaikan bahwa perumusan RUU Kesehatan telah memenuhi seluruh asas demokrasi (Kompas.id, 11/7/2023, Pengesahan UU Kesehatan Menuai Kritik dari Masyarakat Sipil).

Hingga akhirnya RUU Kesehatan disahkan, pemerintah telah melaksanakan setidaknya 115 kali kegiatan dalam rangka mewujudkan partisipasi bermakna sebagaimana dikonsepkan MK. Kegiatan dilaksanakan baik dalam bentuk forum diskusi maupun seminar yang dihadiri 1.200 pemangku kepentingan dan 72 ribu peserta. Selain itu, secara total pemerintah telah menerima setidaknya 6.011 masukan secara lisan dan tulisan.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Seorang perawat beristirahat sejenak ketika melaksanakan screening (penyaringan) Covid-19 terhadap pasien di sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, Rabu (23/9/2020). Perawat menjadi garda terdepan penanganan Covid-19. Sebanyak 2.983 perawat positif Covid-19 dan 85 meninggal berdasarkan data yang dihimpun di empat provinsi. Di seluruh Indonesia diperkirakan jauh lebih besar.

Penghapusan Alokasi Anggaran Kesehatan

UU Kesehatan terbaru disebutkan telah menghapus alokasi anggaran wajib atau belanja wajib (mandatory spending) kesehatan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya diwajibkan oleh UU Nomor 36 Tahun 2009.

Padahal, alokasi anggaran wajib ini dinilai penting mengingat masih terdapat kabupaten/kota dengan proporsi anggaran kesehatan yang begitu kecil. Pada 2021, 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia mecatatkan proporsi anggaran kesehatan di bawah 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meski telah diwajibkan sekalipun oleh regulasi, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa distribusi alokasi masih timpang dan tidak berjalan di beberapa tempat.

Dampaknya lebih lanjut, prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena keterbatasan anggaran. Sementara ketiadaan mandatory spending kesehatan kian meniadakan jaminan atau komitmen perbaikan untuk memperkuat sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah (Kompas, 22/6/2023, Publik yang Tersisih dari Ribut-ribut RUU Kesehatan).

Sementara pihak pemerintah menilai bahwa dihapuskannya mandatory spending ditujukkan bagi efisiensi anggaran. Menurut pemerintah, realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali mandatory spending kesehatan justru tidak tepat sasaran dan digunakan untuk kepentingan lain di luar yang seharusnya. Selain karena tidak tepat sasaran, Menkes Budi juga berargumen bahwa kehadiran alokasi anggaran wajib tidak selalu selaras dengan dampak dan efektivitas yang diberikan.

Meski begitu, pada draf RUU Kesehatan terakhir ditemukan bahwa sejatinya mandatory spending kesehatan masih termuat. Bahkan besaran wajibnya di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, ditingkatkan menjadi 10 persen dari APBD. Hal tersebut termuat pada Pasal 420 ayat (3). Pada Pasal 138 juga tertulis kewajiban pemerintah pusat dan daerah menjamin penyediaan dana bagi pelayanan kesehatan.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Kerumunan tenaga kesehatan yang mengikuti aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Para tenaga kesehatan yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) siang. Mereka menilai, sejumlah masalah dalam proses penyusunan dan substansi RUU Kesehatan dapat merugikan tenaga kesehatan. 

Lemahnya Perlindungan Bahaya Rokok

Mengacu pada Kompaspedia (14/7/2023, Industri Rokok dan Prevalensi Perokok Anak), sejumlah organisasi dan komunitas yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau telah melakukan siaran pers pada Juni lalu. Melalui siaran pers tersebut, mereka menyatakan ketegasan menolak RUU Kesehatan yang pada saat itu tengah disusun.

Menurut mereka, UU Kesehatan yang seharusnya bisa menjadi kesempatan penting bagi pemerintah untuk mengontrol industri rokok di Indonesia justru sama sekali tidak dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah gagal dalam mengakomodasi pengendalian tembakau. Apalagi, Jaringan Pengendalian Tembakau mengaku telah memberikan masukan lewat RDPU, namun masukan yang mereka berikan untuk perlindungan masyarakat dari tembakau tidak menjadi bagian dalam RUU.

Lebih lanjut, siaran pers tersebut juga menyampaikan bahwa Omnibus Kesehatan justru mengindikasikan bahwa pihak pemerintah sendiri yang telah menurunkan pasal-pasal penting untuk perlindungan kesehatan masyarakat karena dianggap menghambat fokus pembuatan RUU Omnibus Kesehatan pada investasi.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pada saat proses pembahasan, RUU harusnya dihentikan, apalagi dengan adanya upaya-upaya yang menuju penghilangan pasal zat adiktif yang menjadi upaya penghapusan regulasi mengenai produk zat adiktif ini. Dalam hal ini, ada campur tangan industri.

Sebagai catatan, ketidaktegasan pemerintah sebagai legulator utama memungkinkan gerak industri rokok begitu bebas dalam seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Persentuhan promosi tembakau yang terus-menerus akhirnya berujung pada pembentukan kultur merokok dan menyebabkan tinggi jumlah perokok anak.

Data terakhir dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) menunjukkan bahwa persentase perokok anak di Indonesia masih berada pada level yang memprihatinkan, yakni 19,2 persen, atau yang tertinggi di ASEAN pada 2021. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Internet