Paparan Topik | Pemilihan Umum

Peran Tokoh Sentral dalam Partai Politik

Dalam dinamika partai politik di Indonesia, terdapat tokoh sentral yang sangat kuat kharismanya menentukan arah perjalanan partai. Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto merupakan tiga sosok kuat yang memiliki peran sentral menentukan arah perjuangan partai politik yang dipimpinnya.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Spanduk panjang partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 terpasang di pagar halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (25/8/2018).

Fakta Singkat

Tokoh Sentral Partai

Susilo Bambang Yudhoyono

  • Presiden Republik Indonesia (2004 — 2009) dan (2009 — 2014)
  • Ketua Umum Partai Demokrat (2013 — 2015) dan (2015 — 2020)

Megawati Soekarnoputri

  • Presiden Republik Indonesia (2001 — 2004)
  • Ketua Umum PDI-P (1999 — saat ini)

Prabowo Subianto

  • Ketua Umum Partai Gerindra (2014 — saat ini)
  • Menteri Pertahanan (2019 — saat ini)

Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih dikenal dengan sebutan SBY, adalah Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2004 – 2009) dan (2009 – 2014). Susilo Bambang Yudhoyono merupakan tokoh sentral Partai Demokrat yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat tahun 2013 – 2020.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Pacitan, SBY melanjutkan pendidikan sebagai taruna Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri), satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. SBY lulus dari Akabri pada tahun 1973 sebagai lulusan terbaik dan mendapat lencana Adhi Makasaya yang diberikan oleh Presiden Soeharto.

Setelah menjalani tugas kemiliteran selama 3 tahun, SBY melanjutkan pendidikan militer dengan mengikuti Airborne and Ranger Course dan Infantry Officer Advanced Course di Amerika Serikat pada tahun 1976–1983. Sambil menjalankan tugas, SBY kemudian mengikuti berbagai pelatihan kemiliteran di dalam dan luar negeri, antara lain Jungle Warfare Training di Panama pada 1983, Anti-Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman pada 1984, Kursus Komandan Batalyon di Bandung pada tahun 1985, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada tahun 1988–1989, dan Command and General Staff College di Amerika Serikat pada 1990–1991. Selepas menjalani berbagai pelatihan, SBY menyelesaikan menyelesaikan pendidikan S2 di jurusan manajemen, Webster University, Amerika Serikat, pada tahun 1991.

SBY memulai karier politik pada akhir masa Orde Baru dengan menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR pada tahun 1998. Setelah reformasi, SBY ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, sebagai Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada tahun 1999. Tak lama mengemban tugas sebagai Mentamben, Gus Dur meminta SBY untuk menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam). Pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Wakil Presidennya, Megawati Soekarnoputri. Dalam masa pemerintahan Megawati, SBY kembali dipercaya menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono melambaikan tangan setelah menyampaikan pidato politik pada Dies Natalis Ke-15 Partai Demokrat di Jakarta Convention Center, Selasa (7/2/2017). Pada kesempatan tersebut, SBY menekankan perlunya menjaga kebinekaan bangsa.

Kiprah Politik

Pada bulan Agustus 2002, SBY mengadakan pertemuan terbatas yang dihadiri Subur Budhisantoso, Irsan Tanjung, dan Achmad Mubarok untuk membentuk partai politik baru yang akan terjun dalam Pemilihan Umum 2004, yaitu Partai Demokrat dengan Subur Budhisantoso sebagai Ketua Umum. Selain ketiga tokoh tersebut, terdapat tokoh-tokoh lain yang berperan dalam pembentukan Partai Demokrat, antara lain Ventje Rumangkang dan Syarief Hasan. Dengan mengusung paham Nasionalis-Religius, Partai Demokrat diharapkan dapat menjadi partai yang menyatukan kelompok agama dan sekuler. Pada awalnya, Partai Demokrat merupakan proyek politik untuk membangun basis kekuatan baru, di samping Golkar dan PDIP, yang dapat menampung kepentingan elit pasca Orde Baru.

Dalam perkembangannya, para pendiri Partai Demokrat kemudian melihat SBY sebagai figur yang ideal sebagai presiden pada masa pasca-reformasi. Citra SBY yang bersih, terpelajar, kompeten, disiplin, dan demokratis membuat SBY disukai oleh masyarakat yang lelah akan figur-figur partai lain yang lebih senior, seperti Wiranto dan Megawati. Selain itu, latar belakang militer SBY dianggap mampu mengamankan keadaan negara. Oleh karena itu, para pendiri Partai Demokrat mulai mengelu-elukan SBY sebagai simbol pemimpin generasi baru, sehingga Partai Demokrat mulai dibangun sebagai partai kendaraan politik SBY untuk mengalahkan Megawati. Secara internal, adanya figur pemimpin sentral ditujukan untuk memperlancar kerja pengurus Partai Demokrat. Sementara itu, secara eksternal, penokohan SBY sebagai figur Partai Demokrat ditujukan untuk meraih simpati masyarakat.

Tidak lama setelah Partai Demokrat didirikan, para petinggi Partai Demokrat mulai menyusun rencana untuk mengusung SBY sebagai calon presiden. Pada saat itu, pemilihan presiden belum dilakukan langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh MPR. Para petinggi Partai Demokrat menyadari bahwa Partai Demokrat belum memiliki basis elektoral partai yang kuat. Oleh karena itu, petinggi Partai Demokrat melakukan lobi politik untuk melakukan amandemen konstitusi dan UU Pemilu. Usaha yang dilakukan oleh Partai Demokrat membuahkan hasil. Pada tahun 2003, DPR mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur tentang mekanisme pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Pada bulan Maret tahun 2004, SBY mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko Polkam untuk maju dalam Pemilu 2004.

Menjelang Pemilu 2004, SBY terus melakukan usaha-usaha untuk membimbing para calon anggota legislatif (caleg) Partai Demokrat, dengan memberikan arahan arahan bagi pengurus Partai Demokrat untuk bekerja secara profesional dan menjalankan praktik demokrasi yang baik. Usaha SBY berhasil mengantar Partai Demokrat sukses lolos electoral threshold dan menduduki 56 kursi dengan total 7,45 persen suara di DPR-RI.

Kemenangan Partai Demokrat dalam pemilihan legislatif merupakan titik awal pencalonan SBY sebagai presiden. Untuk dapat mencalonkan presiden dalam Pemilihan Umum 2004, Partai Demokrat harus melakukan koalisi dengan partai lain. Partai Demokrat berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dengan mengusung SBY sebagai Calon Presiden dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Calon Wakil Presiden. Selama menjalani masa kampanye, SBY mengedepankan pemberantasan korupsi sebagai salah satu janji kampanyenya.

Pemilu Presiden 2004 diikuti oleh lima pasang calon dan diadakan dalam dua putaran. Dalam putaran pertama, SBY-Jusuf Kalla berada dalam urutan pertama dengan perolehan suara sebesar 33.57 persen . Dalam putaran kedua, SBY-Jusuf Kalla yang berhadapan dengan Megawati-Hasyim Muzadi memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebesar 60.62 persen. Kemenangan SBY dalam Pemilu 2004 merupakan langkah awal perkembangan Partai Demokrat, yang semula merupakan partai kecil, menjadi partai menengah yang secara konsisten mengikuti pemilu-pemilu selanjutnya di tahun 2009, 2014, dan 2019.

Memasuki masa pemilihan umum di tahun 2009, Partai Demokrat Kembali mengusung SBY sebagai calon Presiden. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya di mana para calon wakil presiden merupakan tokoh dari partai, pada tahun 2009 SBY memilih Boediono, tokoh nonpartisan yang berkiprah sebagai akademisi di bidang ekonomi, sebagai calon Wakil Presiden. Sama seperti dalam Pemilu tahun 2004, pada Pemilu 2009 SBY kembali mengutamakan anti-korupsi sebagai janji kampanye.

Sementara itu, Jusuf Kalla juga mengikuti Pemilu Presiden di tahun 2009 sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar, dengan Wiranto sebagai calon Wakil Presiden. Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) berkoalisi dengan Partai Gerindra untuk mengusung pasangan calon Megawati Soekarnoputri sebagai Calon Presiden dan Prabowo Subianto sebagai Calon Wakil Presiden.

Pada Pemilu tahun 2009, pasangan SBY-Boediono meraih 60,8 persen suara, sementara Partai Demokrat meraih 20,85 persen atau 21.703.137 perolehan suara. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat menduduki peringkat pertama dalam pemilihan legislatif. Perolehan suara Partai Demokrat pada tahun 2009 mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2004.

PDI-P dan Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarnoputri merupakan Presiden Indonesia pada tahun 2001–2004 dan tokoh Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang menjabat sebagai Ketua Umum PDI-P sejak tahun 1999 hingga saat ini. Megawati Soekarnoputri merupakan putri dari proklamator sekaligus Presiden Indonesia pertama Soekarno.

Pada awalnya, Megawati tidak ingin terjun ke dunia politik dan lebih memilih untuk mengelola usaha bersama suaminya, Taufik Kiemas, di Jakarta. Awal mula keterlibatan Megawati dalam dunia politik didorong oleh sosok Sabam Sirait, seorang politisi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati kemudian masuk ke dunia politik setelah bertemu dan berdiskusi dengan salah satu politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Sabam Sirait. yang menyayangkan tidak ada keluarga Soekarno yang berpolitik, dan mendorong Megawati untuk terjun ke dunia politik.

Setelah mempertimbangkan berbagai saran, Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra, masuk dalam calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam Pemilihan Umum 1987.

Figur Megawati dianggap sebagai penerus ayahnya, Foto-foto Soekarno mulai banyak digunakan dalam kampanye PDI-P. Kampanye yang dilakukan oleh PDI membuahkan hasil–Megawati berhasil terpilih menjadi anggota DPR dan PDI memenangkan 40 kursi di DPR. Capaian yang sangat meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1982, di mana PDIP hanya mendapatkan 24 kursi.

Popularitas Megawati juga menimbulkan perpecahan internal dalam tubuh PDI yang akhirnya terpecah menjadi dua, kubu pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI pada saat itu, dan kubu yang menolak Soerjadi.

Pada Kongres IV PDI yang diadakan pada tanggal 23-25 Juli 1993 di Medan, Soerjadi yang kembali terpilih menjadi Ketua Umum PDI mendapatkan penolakan dari berbagai kader PDI. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru meminta petinggi PDI untuk membentuk caretaker, lembaga perantara untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI untuk menyelesaikan perpecahan dalam kubu PDI. Dengan persetujuan dari 27 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) DPD PDI, para caretaker mengadakan KLB PDI di Surabaya pada tanggal 2-6 Desember 1993. Dalam KLB BDI, Megawati yang didukung oleh 256 utusan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI.

Namun, terpilihnya Megawati semakin memperparah konflik dalam tubuh PDI. Konflik memuncak pada tanggal 27 Juli 1996, di mana massa pendukung Soerjadi menyerang kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang dijaga oleh massa pendukung Megawati. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli).

Menurut catatan Komnas HAM, peristiwa Kudatuli menyebabkan lima orang tewas, 1.949 orang luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 lainnya ditahan. Sejak peristiwa Kudatuli, PDI terpecah menjadi dua, yaitu PDI yang dipimpin oleh Soerjadi dan PDI-Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Keakraban diperlihatkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat Prabowo berkunjung ke kediaman Megawati yang berada di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019).

Transisi demokrasi di Indonesia

Memasuki transisi demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan jatuhnya Orde Baru, Partai PDI-P yang mengusung slogan ‘wong cilik’ mendapatkan mendapatkan dukungan besar dari masyarakat yang antusias menyambut Pemilihan Umum tahun 1999. Berkat figur Megawati sebagai penerus Soekarno dan citra sebagai partai ‘wong cilik’, PDI-P berhasil menjadi pemenang Pemilu Legislatif 1999 dengan perolehan suara sebesar 33,74 persen.

Meski memenangkan pemilihan legislatif, PDI-P gagal memenangkan pemilihan presiden. Berdasarkan UUD 1945 pada saat itu, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang mengusung Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai calon presiden, melakukan lobi dengan partai-partai lain, sehingga mayoritas anggota MPR memilih Gus Dur sebagai presiden. Sementara itu, Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden. Pada tahun yang sama, Megawati ditetapkan sebagai Ketua Umum PDI-P, jabatan yang dipegangnya hingga saat ini.

Pada tahun 2001, Gus Dur dimakzulkan oleh MPR karena diduga terlibat dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Sesuai dengan Undang-Undang, Megawati yang pada awalnya menjabat sebagai Wakil Presiden diangkat menjadi Presiden Indonesia hingga akhir masa jabatan pada tahun 2004.

Dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun 2004, PDI-P memperoleh urutan ketiga dengan perolehan suara sebesar 18,53 persen dengan meraih 109 kursi di DPR. Dalam Pemilihan Umum Presiden 2004, PDI-P kembali mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi sebagai Wakil Presiden meraih suara sebesar 26,61 persen.

Pada tahun 2009, PDI-P memperoleh urutan ketiga dengan perolehan suara sebesar 18.53 persen yang setara dengan 109 kursi di DPR-RI. Dalam pemilihan presiden, PDI-P berkoalisi dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) untuk mengusung pasangan calon Megawati-Prabowo Subianto meraih 26,79 persen.

Pada 2014, hadirnya figur Joko Widodo menjadi angin segar bagi PDI-P. Joko Widodo memulai karir politik sebagai Walikota Surakarta pada tahun 2005. Pada tahun 2012, Jokowi diusung untuk maju dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta dan berhasil memenangkan Pilkada DKI tahun 2012. Melihat capaian elektoral Jokowi dalam pemilihan daerah, PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati mengusung Joko Widodo untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019. Dalam Pemilihan Umum tahun 2014 dan 2019, PDI-P berhasil memperoleh urutan pertama dalam pemilu legislatif dan memenangkan Pemilu Presiden.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden kelima yang sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memotong tumpeng yang akan diberikan kepada wakil Presiden Jusuf kalla saat Peringatan HUT Ke-44 PDI Perjuangan di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (10/1/2017). Sebelumnya Presiden Joko widodo juga menerima potongan tumpeng.

Partai Gerindra dan Prabowo Subianto

Prabowo Subianto merupakan Ketua Umum Partai Gerindra yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia.

Partai Gerindra tidak dapat dipisahkan dari sosok Prabowo Subianto Subianto. Partai ini menawarkan sosok yang berada di luar mainstream jalur politik mapan yang didominasi oleh partai-partai papan atas menjelang Pemilu 2009.

Prabowo Subianto merupakan putra dari Sumitro Djojohadikusumo, ekonom Indonesia yang beberapa kali menjabat sebagai menteri pada era Orde Baru, dan cucu dari Margono Djojohadikusumo, ahli ekonomi sekaligus pendiri Bank Negara Indonesia (BNI).

Meskipun memiliki ayah dan kakek yang berkiprah dalam bidang ekonomi, Prabowo Subianto lebih tertarik untuk terjun dalam dunia militer karena terinspirasi dari kedua pamannya, Letnan Sujono Djojohadikusumo dan Sersan Mayor Subianto Djojohadikusumo. Didasari oleh ketertarikannya dalam dunia militer, Prabowo memilih menempuh pendidikan militer di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) pada tahun 1970, meskipun pada saat itu Prabowo diterima di Fakultas Ekonomi di Colorado University dan George Washington Universitu. Prabowo lulus dari Akabri pada tahun 1974 dan selanjutnya pada tahun 1976 Prabowo bergabung dengan satuan Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), yang kemudian berkembang menjadi Kopassus.

Pada tahun 1995, Prabowo diangkat sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Setahun kemudian pada 1996, Prabowo naik pangkat menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Pada 1998, Prabowo dilantik sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Akan tetapi, karier militer Prabowo harus berhenti beriringan dengan berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto saat wawancara bersama Kompas. (09/01/2014)

Pada tahun 2003, Prabowo terdaftar sebagai peserta dalam Konvensi Partai Golkar tahun 2003, konvensi yang bertujuan untuk memilih Calon Presiden dari Partai Golkar untuk maju dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004.  Konvensi dimenangkan oleh Wiranto yang maju dalam pemilihan umum presiden 2004, berpasangan dengan Salahuddin Wahid.

Pada tahun 2008, Prabowo memutuskan untuk keluar dari Partai Golkar untuk bergabung dengan Partai Gerindra. Pada saat itu, Partai Gerindra merupakan partai kecil yang dibentuk oleh berbagai tokoh, antara lain, Fadli Zon, Ahmad Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi, dan Haris Bobihoe.

Hubungan Prabowo dan Partai Gerindra, yang  pada saat itu diketuai oleh Suhardi bersifat saling mendukung. Di satu sisi, Prabowo membutuhkan kendaraan politik untuk menyokongnya. Di sisi lain, Partai Gerindra membutuhkan figur yang dapat mendongkrak suara Partai Gerindra.

Partai Gerindra selalu mengikuti Pemilu Legislatif dan Presiden dari tahun 2009 hingga 2019. Pada pemilu 2009, Gerindra menjadi salah satu partai politik baru yang berhasil lolos electoral threshold dengan perolehan suara sebesar 4,46 persen dan 26 kursi di parlemen.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berdefile mengelilingi lapangan dengan menunggang kuda saat kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (23/3/2014).

Pada tahun yang sama, elektabilitas Prabowo di kalangan masyarakat mulai meningkat. Akan tetapi, elektabilitas Prabowo masih berada jauh di bawah tokoh-tokoh lain, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Di sisi lain, PDI-P membutuhkan sosok calon wakil presiden untuk dapat menjadi pasangan Megawati dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2009. Oleh karena itu, Gerindra berkoalisi dengan PDI-P untuk mengusung pasangan calon Megawati-Prabowo. Akan tetapi, pasangan Megawati-Prabowo hanya mendapatkan suara sebesar 26,79 persen. Pemenang Pemilu Presiden 2009 yakni Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

 

Koalisi Gerindra dan PDI-P tidak berlangsung lama. Pada tahun 2014, perolehan suara yang dicapai oleh Partai Gerindra meningkat drastis, yaitu sebesar 11,81 persen dengan total 73 kursi di DPR-RI.

 

Melihat tingginya perolehan suara dalam pemilu legislatif Gerindra mengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sementara itu, PDI-P yang menduduki urutan pertama dalam pemilu legislatif mengusung calon Joko Widodo-Jusuf Kalla.

 

Pemilihan presiden dimenangkan oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperoleh suara sebesar 53,15 persen, sementara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh suara sebesar 46,85 persen. Gerindra berada dalam oposisi koalisi pemerintah selama 5 tahun. Pada 2014, Prabowo terpilih menjadi Ketua Umum Partai Gerindra, menggantikan Suhardi.

 

Partai Gerindra kembali bersaing dengan PDI-P dalam Pemilihan Umum 2019. Partai Gerindra beserta koalisinya mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, sementara PDI-P beserta koalisi mengusung calon pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

 

Pemilu dimenangkan oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan perolehan suara sebesar 55,50 persen, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh suara sebesar 44,50 persen. Pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto juga bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan. Hingga saat ini, Prabowo masih menjadi figur sentral dalam Partai Gerindra.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

Faizal, Akbar. 2005. Partai Demokrat & SBY: mencari jawab sebuah masa depan. Gramedia Pustaka Utama.

Fealy, Greg, dkk. 2015. The politics of Yudhoyono: majoritarian democracy, insecurity and vanity in the Yudhoyono Presidency. ISEAS Publishing.

Arsip Kompas
  • “Menjadi Tentara adalah Cita-cita SBY Kecil”, Kompas, 24 Juni 2004, hlm. 57
  • “Partai Demokrat dan Politik SBY”, Kompas, 16 Maret 2011, hlm. 6.
  • “Partai Demokrat Harus Bumikan Personifikasi SBY”, Kompas Jawa Timur, 9
  • April 2005, hlm. 2
  • “Pemilu 2009: Prabowo Keluar dari Partai Golkar, Maju dari Partai Gerindra”, Kompas, 15 Juli 2008, hlm. 2
  • “Prabowo Subianto : Prajurit Cijantung yang Menapak Jalur Politik”. Kompas, 29 Juni 2009, hlm. 36
  • “Presiden Militer Justru Demokratis”, Kompas, 10 Juni 2004, hlm. 6
Jurnal

Honna, Jun. (2012). “Inside the Democrat Party: Power, Politics and Conflict in Indonesia’s Presidential Party.” Dalam South East Asia Research, 20(4), hlm. 473–489.

Liddle, R. William. (2000). “Indonesia in 1999: Democracy Restored.” Asian Survey 40, no. 1 (2000): 32–42. https://doi.org/10.2307/3021218.

Slater, Dan. (2006). “The Ironies of Instability in Indonesia.” Social Analysis, 50(1). doi:10.3167/015597706780886067

Suryadinata, Leo. (2005). “Indonesia. The Year of a Democratic Election.” Dalam Southeast Asian Affairs 2005, hlm. 133-149.

Ziv, Daniel. (2001).  “Populist Perceptions and Perceptions of Populism in Indonesia.” South East Asia Research, 9(1), 73–88. doi:10.5367/000000001101297324