Fakta Singkat
Penentuan awal bulan hijriah
- Rukyatul Hilal: aktivitas astronomi mengamati terbitnya Bulan sabit tipis menjelang terbenamnya Matahari baik dengan mata telanjang maupun dengan teropong bintang.
- Hisab: metode perhitungan secara matematis dan astronomis untuk melihat posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan.
Sidang Isbat
- Sidang untuk memutuskan awal Ramadhan dan awal Idul Fitri
- Dilakukan oleh Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama
- Melibatkan berbagai ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, serta terkadang dihadiri oleh perwakilan organisasi Islam dari negara lain.
Perbedaan Idul Fitri
- 1992, NU menetapkan Idul Fitri pada 4 April, sedangkan pemerintah pada 5 April.
- 1998, Pemerintah dan NU menetapkan Idul Fitri pada 30 Januari, sedangkan Muhammadiyah pada 29 Januari.
- 2002, NU menetapkan Idul Fitri pada 6 Desember, sedangkan Muhammadiyah pada 5 Desember.
- 2006, Pemerintah menetapkan Idul Fitri pada 24 Oktober, sedangkan Muhammadiyah pada 23 Oktober.
Dalam beberapa tahun terakhir, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri dilaksanakan secara bersamaan. Perbedaan yang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya disebabkan perbedaan cara perhitungan maupun kesepakatan memasuki bulan baru.
Pada tahun 2021, awal bulan Ramadhan 1442H ditetapkan jatuh pada hari Selasa, 13 April 2021. Penetapan tersebut merupakan hasil kesepakatan Sidang Isbat Awal Ramadhan 1442 H di Kantor Kementerian Agama pada 12 April 2021. Kesepakatan penentuan awal Ramadhan diambil setelah para peserta sidang mendengarkan laporan dari rukyat (pemantauan) hilal (Bulan sabit muda tipis) serta memperhatikan perhitungan hisab.
Penggunaan metode penentuan awal bulan melalui hisab dan rukyat sempat menghasilkan keputusan yang berbeda. Oleh karena itu, beberapa kali terjadi awal bulan Ramadhan maupun Idul Fitri yang berbeda di Indonesia, antara lain pada tahun 1985, 1992, 1998, 2002, dan 2006.
Beberapa upaya ditempuh baik oleh pemerintah maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri disepakati semua pihak.
Kalender Masehi dan Hijriah
Dalam sejarah perhitungan tahun, terdapat dua metode perhitungan yang digunakan secara garis besar, yakni menggunakan perputaran Matahari atau Bulan.
Orang Romawi dan Persia menggunakan perputaran Matahari untuk menentukan penghitungan satu tahun. Kalender masehi menggunakan metode ini. Sementara itu, bangsa Arab sejak zaman Nabi Ibrahim menggunakan perputaran Bulan sebagai perhitungan hari dan bulan dalam satu tahun. Kalender hijriah menggunakan metode ini.
Umat Islam mengikuti tahun hijriah atau disebut juga tahun Qamariyah yang berasal dari kata “qamar” yang artinya Bulan. Nama hijriah diambil dari hijrahnya atau pindahnya Rasulullah dari Kota Makkah menuju Madinah. Hijrah menjadi penting karena dipisahkannya yang benar dan yang batil.
Kalender masehi terdiri atas 12 bulan dengan 365 hari (atau 366 hari pada tahun kabisat). Dalam kalender hijriah, jumlah hari tidak dapat dipastikan sebelumnya, tetapi hanya diperkirakan dengan mengacu pada suatu hitungan tertentu.
Terdapat perbedaan 11 hari antara penanggalan masehi dengan hijriah. Dalam kalender masehi, terdapat 30 (atau 31 hari) dalam satu bulan kecuali bulan Februari, yakni 28 hari (atau 29 pada tahun kabisat). Dengan demikian, tiap tahun berjumlah 365 hari atau 366 hari pada tahun kabisat. Sedangkan, pada kalender hijriah terdapat 29 atau 30 hari pada tiap bulannya hingga terdapat 354 hari setiap tahunnya.
Dalam sistem kalender hijriah, awal hari dimulai saat Matahari terbenam, bukan pukul 00.00 seperti pada kalender masehi. Setiap bulan baru dalam kalender hijriah dimulai dengan terlihatnya hilal atau Bulan sabit muda tipis sebelum Matahari terbenam. Bulan tipis ini dapat terlihat setelah terjadi konjungsi, yaitu saat Bulan dan Matahari terletak pada bujur ekliptika yang sama (ijtimak). Ijtimak merupakan kesegarisan Matahari, Bulan, dan Bumi yang jadi tanda dimulai fase Bulan (moon) baru (Kompas, 23/4/2020).
Metode Penentuan Awal Ramadhan
Penentuan awal bulan Ramadhan dalam kalender hijriah menjadi penting karena terkait dengan dimulainya ibadah puasa bagi umat Islam. Di Indonesia, penentuan awal bulan Ramadhan, dan juga kemudian Idul Fitri, menggunakan dua metode secara umum, yakni hisab dan rukyat.
Hisab adalah cara melihat masuknya awal bulan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk melihat posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan dalam kalender hijriah.
Sedangkan, rukyatul hilal (rukyat) adalah aktivitas pengamatan visibilitas hilal (Bulan Sabit) saat Matahari terbenam menjelang awal bulan pada kalender hijriah. Pengamatan dilakukan baik dengan mata telanjang maupun alat bantu, seperti teleskop. Kegiatan rukyat ini tidak dilakukan setiap bulan, tetapi hanya saat bulan tertentu karena terdapat kewajiban yang dilakukan umat Islam, seperti bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan bulan Zulhijah.
Kegiatan rukyat hilal perlu memperhatikan dua hal, yakni ketinggian serta umur hilal. Ketinggian atau sudut elongasi sebesar 3 derajat, minimal 2 derajat dan tidak lebih dari 4 derajat. Selain itu, umur minimal 8 jam saat ijtimak (Bulan dan Matahari terletak pada bujur ekliptika yang sama).
Apabila tinggi hilal berada di bawah 2 atau lebih dari 4 derajat, kemungkinan objek yang dilihat bukan hilal, melainkan bintang, lampu kapal, atau objek lainnya. Oleh karena itu, rukyatul hilal harus dilakukan di lokasi dengan medan pandangan yang luas ke arah barat dan tidak dibatasi oleh halangan tertentu di cakrawala baik berupa bukit, gunung, maupun pepohonan tinggi.
Hilal dianggap penting oleh umat Islam karena dinyatakan secara tekstual dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Berpuasalah (dan berhari raya) karena melihat hilal. Jika tidak terlihat, maka genapkanlah.” Dengan landasan tersebut, rukyatul hilal (observasi hilal) dipahami sebagai ibadah.
Dalam ilmu astronomi, kedua metode tersebut digunakan bahkan terus dikembangkan dengan teknik yang lebih moderen. Salah satunya tampak dalam peramalan terjadinya gerhana Matahari dan Bulan, termasuk pada konjungsi planet. Dukungan teknik moderen tampak dari penggunaan peralatan dan progam (software) komputer yang lebih canggih. Dengan dukungan peralatan tersebut, gerhana yang akan terjadi puluhan tahun ke depan dapat diramalkan.
Tak Sekadar Perbedaan Metode
Sebuah sistem kalender dapat diterima publik ketika memenuhi beberapa faktor, yakni kriteria yang digunakan dalam penanggalan, wilayah keberlakuan kalender, serta terdapat otoritas yang menentapkan kalender tersebut (Kompas, 10/10/2007).
Dalam kalender hijriah di Indonesia, faktor wilayah sudah disepakati dan pihak yang berwenang adalah Kementerian Agama. Namun, masih terdapat perbedaan kriteria penentuan awal bulan, antara pemerintah dengan ormas Islam.
Nahdlatul Ulama berpedoman, seluruh awal bulan kalender hijriah harus ditentukan oleh terlihat atau tidaknya hilal. Oleh karena itu, rukyatul hilal (observasi hilal) digelar setiap awal bulan. Sedangkan, Muhammadiyah berpedoman bahwa seluruh awal bulan kalender hijriah ditetapkan dengan cara hisab berdasarkan kriteria tertentu.
Sementara itu, ada pula yang menetapkan bahwa rukyatul hilal hanya digunakan pada saat awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Sedangkan, penentuan awal bulan pada bulan lain berdasarkan hisab yang bersandar pada kriteria yang memuat parameter minimal posisi bulan.
Akan tetapi, perbedaan penentuan awal bulan hijriah di Indonesia tak sekadar merupakan perbedaan metode yang digunakan, baik itu ruykat maupun hisab. Salah satu pendapat menyatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena belum adanya kesepakatan tentang kriteria tunggal hilal sebagai penanda awal bulan dalam tahun hijriah di antara ormas Islam dan pemerintah. Baik rukyat maupun hisab sebenarnya tetap dapat menghasilkan awal bulan hijriah yang sama sepanjang kriteria hilal yang digunakan sama (Kompas, 23/4/2020).
Hingga saat ini, terdapat tiga kriteria penentuan awal bulan hijriah di Indonesia (Kompas, 23/4/2020)
- Pertama, imkanur rukyat, yakni kemungkinan terlihatnya hilal berdasarkan kriteria Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang digunakan pemerintah dan NU. Dalam kriteria MABIMS, hilal teramati jika saat Matahari tenggelam setelah konjungsi, tinggi Bulan minimal 2 derajat, sudut elongasi atau jarak sudut Bulan-Matahari minimal 3 derajat, dan umur Bulan 8 jam.
- Kedua, imkanur rukyat dengan menggunakan kriteria Lapan yang diadaptasi Persatuan Islam (Persis). Dalam kriteria Lapan, hilal akan terlihat jika tinggi Bulan minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat.
- Ketiga, wujudul hilal atau terbentuknya hilal yang dipakai Muhammadiyah. Wujudul hilal tidak mensyaratkan tinggi atau umur Bulan. Hilal pasti terbentuk jika sudah terjadi konjungsi walau belum tentu bisa dilihat. Akan tetapi, kriteria ini dianggap menghilangkan proses pengamatan hilal yang diperintahkan dalam agama.
Artikel Terkait
Idul Fitri yang Berbeda
Perbedaan metode penentuan awal bulan di atas menghasilkan beberapa kali perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri di Indonesia.
Pada tahun 1992, umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran dengan dua versi, yakni pada hari Sabtu tanggal 4 April dan hari Minggu tanggal 5 April. Berdasarkan hasil rukyat NU, Idul Fitri jatuh pada 4 April, tetapi pemerintah secara resmi mengumumkan Idul Fitri pada 5 April berdasarkan hasil hisab.
Berdasarkan hasil rukyat, NU meyakini puasa berakhir pada 3 April 1992 sehingga mengajak umat untuk menghentikan puasa pada Jumat malam dan salat Ied pada hari Sabtu. Bahkan, pada saat itu, Ketua PB NU Abdurrahman Wahid mengajukan permohonan pada Pengadilan Tinggi Agama bahwa Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu 4 April 1992. Namun, permohonan tersebut ditolak.
Dua keputusan tersebut menimbulkan beberapa kekhasan pelaksanaan di berbagai daerah di Indonesia. Di Yogyakarta, misalnya, puasa dihentikan pada Jumat malam, tetapi secara resmi Keraton Yogyakarta melakukan salat Ied hari Minggu.
Dua versi Idul Fitri juga terjadi di Pulau Bali dan Kota Surabaya. Di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, masyarakat menghentikan puasa pada Jumat malam lalu mereka menyambut Idul Fitri secara meriah pada hari Sabtu. Namun, mereka melaksanakan salat Ied pada hari Minggu.
Sebenarnya, perbedaan penentuan Idul Fitri tahun 1992 bukanlah yang pertama terjadi. Pada tahun 1985, terjadi pula perbedaan penentuan awal bulan Syawal atau Idul Fitri antara NU dan Muhammadiyah.
Perbedaan dalam menentukan waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri kemudian dibicarakan lebih serius di tingkat pusat. Menjelang Idul Fitri tahun 1993, Wakil Presiden Try Sutrisno meminta pada warga NU merayakan Idul Fitri pada hari yang sama dengan kaum muslimin lainnya di Indonesia. Wapres bahkan meminta NU agar turut serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tahun 1998, kembali terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Pemerintah menetapkan Ramadhan genap 30 hari sehingga Idul Fitri jatuh pada 30 Januari 1998. Sedangkan, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Maklumat PP Muhammadiyah No 15/Makl/ II.A/5.b/ 1997 tertanggal 17 Desember 1997 telah menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1418 H jatuh pada tanggal 29 Januari 1998. Sementara, PBNU menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari Jumat, 30 Januari 1998.
Hal yang sama kembali berulang pada tahun 2002. Berdasarkan hasil rukyat, puasa menjadi genap 30 hari sehingga NU menetapkan Idul Fitri pada tanggal 6 Desember 2002. Sedangkan berdasarkan hasil hisab, Ramadhan hanya 29 hari maka Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh pada 5 Desember 2002.
Pada tahun 2006, PP Muhammadiyah telah menetapkan hari Lebaran jatuh pada hari Senin, 23 Oktober 2006. Sementara, berdasarkan hasil sidang Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, pemerintah memutuskan 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan hari Selasa, 24 Oktober 2006. Hal itu disebabkan karena dari 20 sistem hisab sebanyak 18 sistem menyatakan hilal sulit diobservasi. Sementara itu, dari laporan rukyat di 29 daerah pengamatan di wilayah Indonesia, hilal tidak terlihat. Oleh karena itu puasa digenapkan menjadi 30 hari.
Sidang Isbat
Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, pemerintah telah berupaya mengambil peran dalam menentukan awal ibadah puasa dan Idul Fitri.
Pada tahun 1970-an, Kementerian Agama mengeluarkan Surat Nomor 76 Tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Departemen Agama RI yang diterbitkan pada 16 Agustus 1972. Lembaga yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ini beranggotakan ulama, pemerintah, dan ahli astronomi.
Sesuai namanya, BHR bertugas melakukan hisab dan rukyatul hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Djulhijjah. Penentuan awal bulan tersebut dilakukan dalam sidang isbat. Secara harfiah, isbat berarti penyuguhan, penetapan, dan penentuan.
Sidang isbat dilakukan secara tertutup dengan melibatkan perwakilan kelompok masyarakat, yaitu organisasi masyarakat Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, MUI, serta Kementerian Agama.
Sidang tersebut diawali dengan penjelasan hasil hisab dan rukyat tim BHR. Setelah dihasilkan keputusan bersama, barulah diadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasilnya secara terbuka.
Dari sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan perlunya mengikuti penetapan pemerintah terkait awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Hal tersebut termuat dalam Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa yang ditepakan pada 24 Januari 2004 tersebut memuat dua ketetapan.
Ketetapan pertama memuat empat hal, yakni:
- Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
- Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
- Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
- Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Sedangkan, ketetapan kedua berupa rekomendasi, yakni “Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.”
Upaya pemerintah dan MUI di atas diharapkan dapat menyatukan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri di tanah air. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Hari Raya Lebaran Tahun ini Cukup Unik, Tetapi Tetap Khidmad di Jakarta”, Kompas, 7 April 1992
- “Awal Puasa 23 Februari 1993”, Kompas, Kompas, 22 Februari 1993
- “Menag, Idul Fitri 30 Januari”, Kompas, 29 Januari 1998
- “Penentu Awal dan Akhir Ramadhan”, Kompas, 27 November 2002
- “Perbedaan Jangan Rusak Umat”, Kompas, 9 Oktober 2007
- “Penanggalan Islam: Menetapkan Awal Bulan Hijriah”, Kompas, 9 Agustus 2010
- “Awal Ramadhan Berpeluang Sama”, Kompas, 23 April 2020
- “Mengenal Sidang Isbat dan Penentuan Awal Ramadhan, Syawal serta Dzulhijjah”, Kompas.com, 21 Mei 2020
- “Sidang Isbat Penetapan Awal Ramadhan 2021 Digelar 12 April secara Daring dan Luring”, Kompas.com, 1 April 2021
- “Sidang Isbat Penentuan 1 Ramadhan 1422 H Digelar pada 12 April 2021”, Kompas.com, 15 Maret 2021
- “Mengenal Hisab dan Rukyat, Dua Metode Penentuan Awal Ramadhan”, Kompas.com 23 April 2020
- “Sejarah Singkat Penetapan Awal Tahun Hijriah”, NU Online, 21 Agustus 2020