Fakta Singkat
Inggris di Indonesia 1945–1946
- Masuk ke Indonesia: 8 September 1945 (tentara diterjunkan dengan parasut di Batavia).
- Masuk ke Pulau: Jawa dan Sumatera.
Tujuan Inggris ke Indonesia
- Melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang
- Membebaskan tahanan perang orang Eropa
- Menjaga tatanan dan keamanan di Hindia Belanda, terutama di kota-kota pelabuhan penting, sampai Belanda dapat mengelola kembali bekas kawasan kolonialnya.
Beberapa pertempuran melawan Inggris
- Pertempuran Surabaya: 27 Oktober – 29 November 1945
- Pertempuran Ambarawa: 20 Oktober – 15 Desember 1945
- Pertempuran Medan Area: 13 Oktober 1945 – April 1946
- Bandung Lautan Api (bukan pertempuran): 24 Maret 1946
Pasukan Inggris di Indonesia
XV Indian Corps di bawah pimpinan Letnan Jenderal Christison. Pada Januari 1946, Christison digantikan Letnan Jenderal Stopford. Pasukan terdiri atas 3 divisi:
- 23rd Indian Division, di bawah Mayor Jenderal Hawthorn
- 26th Indian Division, di bawah Mayor Jenderal Chambers
- 5th Indian Division, di bawah Mayor Jenderal Mansergh
Pada bulan Agustus 1945 Jepang menyerah kalah dari Sekutu sehingga berakhirlah Perang Dunia II. Sebelumnya, poros koalisi Jepang, yakni Jerman, sudah menyerah kalah dari Sekutu dalam perang di wilayah Eropa pada bulan Mei 1945. Dengan berakhirnya PD II, Sekutu mengirimkan tentara Inggris untuk mengamankan wilayah Indonesia pada tahun 1945 hingga tahun 1946.
Kedatangan Inggris di Indonesia disambut dengan resistensi dari penduduk karena Inggris bekerja sama dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa di bekas jajahannya. Para pejuang Indonesia berupaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Ditambah dengan koordinasi yang buruk antara pasukan Inggris dan Belanda, berbagai konflik bersenjata dengan pasukan Indonesia tak dapat dihindarkan.
Kekalahan Jepang
Memasuki tahun 1945, Jepang mengalami banyak kekalahan di medan pertempuran. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Jenderal MacArthur yang memimpin peperangan di Pasifik Barat Daya, berhasil memukul mundur Jepang bahkan menimbulkan serangan yang signifikan di wilayah kepulauan Jepang sendiri.
Dalam peta perang Sekutu, Hindia Belanda (Indonesia) secara formal berada di bawah wilayah tanggung jawab Jenderal MacArthur. Meski demikian, Jenderal MacArthur melihat bahwa wilayah Hindia Belanda, juga wilayah Indocina lainnya, merupakan beban yang menghambat angkatan perangnya untuk langsung menyerang pusat kekuatan Jepang.
Oleh karena itu, McArthur memutuskan untuk berfokus pada medan tempur di kepulauan Jepang dan menyerahkan tanggung jawab wilayah Hindia Belanda dan Indocina kepada British Southeast Asia Command (BSAC). Pengalihan tanggung jawab ini dinyatakan ulang dalam Perjanjian Postdam pada bulan Juli 1945.
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito mengumumkan melalui radio bahwa Jepang menyerah dalam pertempuran melawan Sekutu. Keputusan ini diambil setelah Hiroshima dijatuhi bom atom pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Pernyataan kalah Jepang diikuti dengan penandatangan pakta perdamaian tanpa syarat kepada Sekutu di atas kapal USS Missouri pada 22 September 1945.
Setelah Jepang menyerah kalah, wilayah Indonesia secara otomatis berada di bawah otoritas BSAC yang waktu itu dipimpin oleh Lord Louis Mountbatten. Meskipun masih berambisi kembali menguasai Indonesia, Belanda menerima keputusan tersebut karena tidak punya kekuatan.
Di Eropa, kekuatan militer Belanda telah tergerus sejak 1940 saat dikalahkan Jerman. Selain itu, kejatuhan Hinda Belanda ke tangan Jepang pada Maret 1942 juga telah membuat kekuatan militer Belanda semakin mengecil. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian melanjutkan pemerintahan dalam pengungsian di Australia.
Misi Inggris di Indonesia
Pada awalnya, Inggris datang ke Indonesia dengan tiga maksud, yakni membebaskan warga Eropa yang menjadi tawanan perang, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, serta memulihkan tatanan di seantero Indonesia sampai Belanda dapat mengelola kembali bekas kawasan jajahannya itu. Mountbatten menerima tugas tersebut pada 13 Agustus 1945 dari Kepala Staf Angkatan Perang Inggris sebagai mandat bagi Southeast Asia Command.
Pada waktu itu, diperkirakan terdapat lebih dari 68.000 tawanan perang di Jawa dan lebih dari 13.000 di Sumatera. Sebagian besar dari para tawanan tersebut adalah orang Belanda. Angka tersebut disebutkan dalam konferensi Postdam ketika Inggris diberi mandat untuk membebaskan para tahanan perang di Hindia Belanda.
Pada kenyataannya, hingga akhir bulan November 1946, terdapat 86.228 orang tawanan yang harus dievakuasi dari Jawa. Para tawanan akan dikirim ke beberapa tempat, yakni Singapura (14.385 orang), Belanda (58.130), Australia (7.144 ), Kalimantan (386), Sri Lanka (1.915), Thailand (4.017), dan Makassar (251).
Dalam melaksanakan tugasnya, pertama-tama, Mountbatten mengamankan wilayah Pantai Malaya dan membangun kembali pusat pertahanan di Singapura. Barulah kemudian ia mengirim pasukkannya ke Indonesia, pertama-tama dengan masuk ke Jakarta pada bulan September 1945.
Akan tetapi, Mountbatten menyederhanakan tujuan kedatangannya ke Indonesia. Ia menfokuskan pasukannya untuk merebut area-area kunci, yakni kota-kota pelabuhan termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dengan menguasai area-area kunci tersebut, Mountbatten berharap agar upaya pemulangan para tentara Jepang dan tawanan perang menjadi lebih mudah.
Penyederhanaan tujuan diambil pertama-tama terkait terbatasnya kekuatan Inggris dibandingkan dengan luasnya wilayah yang harus ditangani. Di Asia Tenggara, Mountbatten harus mengamankan Indonesia, Burma (Myanmar), Siam, Malaya, dan Indocina Selatan. Pasukan Inggris yang dikirim ke Indonesia adalah pasukan India XV (XV Indian Corps) dengan kekuatan 45.000 tentara yang sebagian besar adalah orang India.
Jumlah tersebut termasuk kecil mengingat di wilayah Sumatera saja terdapat 70.000 tentara Jepang (Divisi ke-25 Angkatan Perang Jepang) dan 70.000 lainnya di wilayah Jawa (Divisi ke-16 Angkatan Perang Jepang). Sebagai perbandingan lain, pada tahun 1940, populasi penduduk di Hindia Belanda diperkirakan mencapai lebih dari 70 juta jiwa, dengan hampir 50 juta di antaranya berada di Pulau Jawa dan Madura.
Penyerderhanaan misi juga dibuat Mountbatten karena ia mendapati situasi perlawanan yang signifikan di Indonesia karena suasana sentimen anti-Eropa yang kuat. Di samping itu, kelompok Republikan di Indonesia telah menghasilkan kemajuan yang signifikan, baik secara administratif maupun militer.
Di bawah pendudukan Jepang, banyak posisi administrasi pemerintahan yang telah dipegang oleh orang Indonesia. Bahkan, pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian mendapat dukungan luas terutama di kota-kota dan di antara para pemuda. Stasiun-stasiun radio menyebarluaskan berita tersebut ke seantero Nusantara dan dunia internasional.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia kemudian disusul dengan penyusunan administrator pemerintahan, termasuk pembentukan badan keamanan dan militer. Di bawah pendudukan Jepang, telah terbentuk organ-organ kemiliteran di Indonesia yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan militer setelah Indonesia merdeka. Intelijen Belanda yang berpusat di Brisbane, Australia, pada 3 September 1945 memperkirakan tentara Republik Indonesia pada saat itu berjumlah 40.000 hingga 45.000 orang.
Artikel Terkait
Operasi Militer Inggris
Inggris mengirimkan pasukan India XV ke Indonesia dalam komando Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Philip Christison. Pasukan Inggris masuk pada bulan September ke Jakarta dan kemudian Surabaya. Pada bulan Oktober 1945 pasukan Inggris juga didatangkan ke Sumatera, yakni di Medan, Padang, dan Palembang. Christison kemudian diganti oleh Letjen Stopford pada Januari 1946.
Pasukan India XV terdiri atas tiga divisi, yakni Divisi India ke-23 di bawah komando Mayor Jenderal Hawthorn, Divisi India ke-26 di bawah komando Mayor Jenderal Chambers, dan Divisi India ke-5 di bawah komando Mayor Jenderal Mansergh.
Divisi India ke-26 bertanggung jawab atas keamanan wilayah Sumatera. Divisi ini terdiri atas tiga brigade. Pertama, Brigade Infanteri India ke-4 di bawah Brigadir Forman. Kedua, Brigade Royal Artileri di bawah Brigadir Kelly. Ketiga, Brigade Infanteri India ke-71 di bawah komando Brigadir Hutchinson.
Secara umum, operasi militer Inggris di Jawa dapat dibagi dalam tiga wilayah operasi, yakni Jakarta dan Jawa Barat (Bogor dan Bandung), Semarang dan sekitarnya (Ambarawa dan Magelang), serta Surabaya. Operasi di Jawa didukung oleh dua divisi, yakni Divisi India ke-23 dan Divisi India ke-5.
Divisi India ke-23 terdiri dari empat brigade. Pertama, Brigade Infanteri India pertama di bawah komando Brigadir King. Kedua Brigade Infanteri Indian ke-37 di bawah komando Brigadir Macdonald. Ketiga, Brigade Royal Artileri di bawah komando Brigadir Bethell. Keempat, Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigadir Mallaby yang kemudian terbunuh di Surabaya pada 30 Oktober 1945.
Divisi India ke-5 juga terdiri atas empat brigade. Pertama, Brigade Infanteri India ke-9 di bawah komando Brigadir Brain. Kedua, Brigadir Infanteri India ke-123 di bawah komando Brigadir Denholm Young. Ketiga, Brigade Infanteri India ke-161 di bawah Brigadir Grimshaw. Keempat, Divisi Artileri di bawah komando Brigadir Loder-Symonds.
Dalam menjalankan misinya, Christison bermaksud segera melucuti senjata tentara Jepang, memulangkan mereka, dan menyelamatkan para tawanan perang di pelosok Jawa. AFNEI mengumpulkan para tahanan dari berbagai penjuru Jawa ke Jakarta, Semarang, dan Surabaya agar tentara Inggris yang jumlahnya tidak besar dapat lebih mudah melindungi para tahanan tersebut dan selanjutnya mengirimnya ke daerah tujuan. Wilayah Semarang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana awal, akan tetapi setelah Christison mendapatkan informasi lebih tentang keberadaan tahanan-tahanan di pelosok Jawa Tengah yang jumlahnya ribuan, Semarang menjadi prioritas kedua setelah Jakarta.
Akan tetapi, AFNEI kemudian menghadapi berbagai persoalan yang tak terduga, terutama resistensi dari penduduk Indonesia. Hal tersebut terutama disebabkan karena Inggris tidak dibekali dengan informasi intelijen yang memadai tentang Hindia Belanda (Indonesia). Selain itu, militer Inggris tidak terbiasa dengan karakter perang dalam kota dan perlawanan gerilya di Indonesia. Oleh karena itu, di Jawa Tengah, mereka mesti dibantu oleh tentara Jepang dalam proses evakuasi tahanan.
Pada waktu awal kedatangan orang Inggris, banyak spanduk penolakan penjajahan kembali oleh Belanda yang ditulis dalam bahasa Inggris. Hal itu menggambarkan resistensi penduduk terhadap kedatangan Inggris. Resistensi penduduk terhadap orang Belanda turut dialami Inggris karena Inggris harus melindungi tawanan yang kebanyakan adalah orang Belanda. Di samping perlindungan pada orang Belanda, tentara Inggris juga perlu menjaga keamanan kota yang rawan menjadi sasaran kekerasan, terutama serangan terhadap kelompok minoritas etnis Tionghoa hingga konflik antaretnis lainnya.
Berbagai persoalan di atas memengaruhi relasi Inggris-Indonesia. Secara umum, tokoh-tokoh Republik menunjukkan sikap kooperatif dengan pasukan Inggris. Hal ini terlihat dari beberapa persetujuan yang dibuat di Jakarta maupun di Semarang dalam kaitannya dengan pembebasan para tawanan perang.
IPPHOS
Pertemuan yang pertama kali antara presiden Soekarno dengan Letjen Christison panglima tentara Inggris di Indonesia pada tanggal 25 Oktober 1945.
Sukarno sendiri pada 1 Oktober 1945 mengirimkan pesan kepada Letjen Christison yang menyatakan ia menghendaki kerja sama dengan Inggris untuk memajukan upaya kedaulatan Republik Indonesia. Bagi Soekarno, opini internasional berperan penting dalam upaya menjaga kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Dalam hal ini, Inggris sebagai bagian dari Sekutu bisa turut membantu membangun dukungan internasional terhadap keberadaan Republik Indonesia.
Di kota-kota lain, kehadiran tentara Inggris juga turut membantu stabilitas keamanan pada masa itu. Namun, kecurigaan umum tetap ada dalam masyarakat bahwa Inggris datang untuk membantu Belanda yang ingin membangun kembali kekuasaan di Indonesia. Petinggi militer Inggris kemudian terus berupaya menghilangkan pemahaman tersebut meski memang hal tersebut ada dalam agenda mereka.
Dengan demikian, berbagai konflik bersenjata dengan pasukan Indonesia tak dapat dihindarkan. Konflik muncul karena salah identifikasi orang Inggris sebagai orang Belanda, perlawanan para pejuang Indonesia, atau konflik yang lebih dahulu dipicu oleh tentara Belanda. Dua pertempuran frontal dengan pihak Indonesia dikenal dengan Pertempuran Surabaya dan Pertempuran Ambarawa.
Artikel terkait
Relasi Inggris-Belanda
Dalam menjalankan misinya di Indonesia, Inggris membuat perjanjian dengan Australia dan Belanda. Dengan Australia, Mountbatten meminta Divisi ke-7 dan ke-9 Australia turut membantu mengokupasi pulau-pulau luar wilayah Hindia Belanda sebelum bantuan tentara Inggris dapat didatangkan. Tentara Australia tersebut kemudian digantikan oleh tentara Inggris yang masuk, kecuali di wilayah Timor dan Irian Barat (Dutch New Guinea).
Dengan Belanda, Inggris meminta sisa-sisa kekuatan tentara Belanda yang waktu itu berada di Australia dikirim dan difokuskan ke wilayah Indonesia Timur. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan konflik bersenjata dengan orang Indonesia, mengingat sentimen anti-Belanda di wilayah Indonesia Timur tidak sekuat di wilayah Sumatera dan Jawa.
Sebagai pemimpin tentara Belanda, Gubernur Hindia Belanda (1942–1948), Letnan Jenderal Hubertus J. Van Mook, menerima hal ini. Ia melihat wilayah Indonesia Timur juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Dengan demikian, tanggung jawab Inggris ialah Pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatera, dan beberapa pulau di sekitar wilayah tersebut.
Relasi Inggris dengan Belanda kemudian banyak diwarnai konflik dan koordinasi yang buruk. Persoalan yang ada berkaitan dengan disiplin militer, koordinasi militer, juga konflik horisontal antara orang Belanda dan orang Inggris itu sendiri.
Terkait disiplin militer, Letjen Christison melihat tentara Belanda, yakni Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) sebagai tentara yang memiliki disiplin buruk. Selain itu, pasca-PD II, tentara KNIL yang kembali mendapatkan senjata sering memicu konflik bersenjata di Jakarta dengan penduduk lokal. Hal tersebut turut dipicu oleh kebijakan petinggi militer KNIL yang cenderung melonggarkan penggunaan senjata bagi tentaranya, baik orang Belanda maupun Ambon.
Oleh karena itu, otoritas militer Inggris lantas menempatkan pasukan KNIL di daerah selatan Jakarta, di Cilincing, untuk mengurangi konflik. Bahkan pada bulan Januari 1946, tentara KNIL ditukar dengan tentara Belanda lain yang telah dilatih terlebih dahulu oleh tentara Inggris di Malaya. Tentara baru ini datang pada 4 Januari 1946.
Masalah kedua berkaitan dengan koordinasi militer Inggris-Belanda. Meski setiap operasi militer harus dikomunikasikan dengan militer Inggris, tentara Belanda tidak terikat di bawah koordinasi militer Inggris sehingga mereka dapat melangsungkan operasinya sendiri.
Beberapa kali terjadi konflik karena militer Belanda di Jakarta melangsungkan operasi militer tanpa koordinasi dengan militer Inggris. Hal ini memperburuk situasi konflik dalam masyarakat serta relasi antara Inggris dan orang Indonesia.
Salah satu konflik terjadi pada April 1946 di daerah Pesing. Setelah mendapat persetujuan dari Pusat Komando Militer Indonesia di Yogyakarta, tentara Inggris berjanji menyuplai senjata untuk Resimen Tangerang. Resimen tersebut akan membantu menjaga keamanan di garis demarkasi kemiliteran di Pesing. Akan tetapi, secara tiba-tiba tentara Belanda datang menyerang dan mengokupasi Pesing pada 15 April 1946 tanpa persetujuan militer Inggris.
Masalah ketiga berkaitan dengan perbedaan pandangan antara orang Belanda dan orang Inggris. Muncul prasangka dari pihak Belanda bahwa Inggris menginginkan Indonesa bagi kepentingan Inggris sendiri. Padahal, Belanda menginginkan agar tentara Inggris melancarkan operasi militer penuh untuk pendirian kembali Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Prasangka tersebut ditambah dengan kendala bahasa, terutama antara tentara Inggris asal India dengan tentara Belanda. Persoalan semakin rumit dengan adanya kecemburuan personal karena beberapa pejabat militer Inggris menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan Belanda.
Di sisi lain, orang Inggris melihat bahwa kebencian dan perlawanan orang Indonesia terhadap Belanda merupakan hal yang pantas ditanggung orang Belanda akibat sikap dan perlakuan mereka terhadap orang Indonesia sebelum pendudukan Jepang. Konflik antara keduanya terus mewarnai relasi Inggris dan Belanda di Hindia Belanda sampai mundurnya tentara Inggris pada paruh akhir tahun 1946.
Artikel terkait
Meninggalkan Indonesia
Pada bulan Februari 1946, Inggris dan Belanda mulai membicarakan pengalihan komando kepada militer Belanda yang dimulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan terakhir Jawa Barat. Di Jateng dan Jatim, kehadiran tentara Inggris cenderung terbatas di wilayah pelabuhan sehingga mudah digantikan. Pada awal bulan Maret 1946, tentara Belanda mulai didatangkan ke Surabaya dan secara perlahan menggantikan tentara Inggris di sana hingga sepenuhnya menggantikan Inggris pada 11 Mei 1946.
Sementara itu, di Semarang, barisan pertama tentara Belanda mendarat pada 12 Maret 1946. Sebelum kedatangan tentara Belanda di Semarang, para petinggi militer Inggris mengadakan pertemuan dengan pemimpin masyarakat Semarang untuk meyakinkan mereka bahwa tentara Belanda akan berada di bawah komando tentara Inggris. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pergantian tanpa konflik. Pada 17 Mei 1946, barisan terakhir tentara Inggris meninggalkan Semarang.
Selanjutnya, tentara Belanda mulai didatangkan ke wilayah Jawa Barat, yakni di Bandung pada 1 April 1946. Pada 26 Juni 1946 tentara Inggris sudah sepenuhnya digantikan tentara Belanda di Bandung dan pada 5 Juli 1946 tentara Inggris di Cianjur juga digantikan. Pada awal bulan Mei 1946, militer Inggris di Bogor perlahan mulai ditarik ke Jakarta dan dikirimkan pulang ke India. Namun, di Bogor dan daerah Puncak, tentara Inggris masih ada sampai sepenuhnya digantikan pada 24 Oktober 1946.
Demikianlah pada medio 1946, kehadiran tentara Inggris menjadi terbatas pada wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kendati demikian, keputusan rapat tingkat kementerian antara Inggris dan Belanda yang diadakan di London pada 12 April 1946 telah menetapkan tentara Inggris akan tetap berada di Indonesia hingga akhir tahun 1946. Selain untuk memberi waktu untuk mendatangkan tentara Belanda, hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah konflik bersenjata berskala besar di Indonesia, antara Republik Indonesia dan Belanda.
Selanjutnya, sejak pertengahan 1946 itu pula, Inggris lebih aktif berperan dalam diplomasi politik melalui Lord Killearn, Komisioner Khusus Inggris untuk Asia Tenggara. Ia datang ke Indonesia dari Singapura pada September 1946 dan menemui Sjahrir serta kabinetnya di Yogyakarta. Killearn juga mengepalai suatu komisi gencatan senjata khusus antara Belanda dan Indonesia.
Akhirnya, pada bulan September 1946, militer Inggris di Jakarta mulai ditarik pulang ke India. Tanggal 29 November 1946, barisan militer terakhir Inggris, yakni para petugas kantor pusat pasukan India XV, meninggalkan Jakarta. Keesokan harinya, 30 November 1946, Southeast Asia Command ditutup. (LITBANG KOMPAS)
Catatan Akhir
1945
- April 1945
Amerika meminta agar Hindia Belanda dan Indocina Selatan Prancis diserahkan dari tanggung jawab Jenderal MacArthur atas Pasifik Baratdaya kepada tanggung jawab Admiral Mountbatten atas Southeast Asia Command.
- Juli 1945
Peralihan tanggung jawab kepada Admiral Mountbatten dikonfirmasi dalam Konferensi Postdam.
- 14 Agustus 1945
Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II.
- 17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
- 2 September 1945
MacArthur menerima penyerahan Jepang di Teluk Tokyo.
- 4 September 1945
Persetujuan antara Inggris dan Belanda terkait pengelolaan sipil di Hindia Belanda.
- 8 September 1945
Tentara Inggris mulai didatangkan dengan parasut di Batavia.
- 12 September 1945
Mountbatten menerima penyerahan Jepang di Singapura.
- 18 September 1945
Tentara Inggris diterjunkan ke Magelang, Jawa Tengah.
- 19 September 1945
Tentara Inggris diterjunkan di Surabaya.
- 22 September 1945
Letnan Jenderal Christison ditunjuk sebagai pemimpin komando Allied Forces Netherlands East Indies.
- 28 September 1945
Mountbatten memutuskan untuk membatasi cakupan operasi militer Inggris menjadi hanya di area-area kunci: kota-kota pelabuhan.
- 29 September 1945
Divisi India ke-23 pertama kali didatangkan ke Batavia.
- 1 Oktober 1945
Jenderal Christison memberikan pengakuan ‘de facto’ kepada Republik Indonesia.
- 10 Oktober 1945
Jenderal Christenson memindahkan tentara KNIL ke selatan Batavia. Tentara Inggris mulai didatangkan ke Medan dan Padang.
- 17 Oktober 1945
Tentara Inggris masuk ke Buitenzorg.
- 18 Oktober 1945
Tentara Inggris masuk ke Bandung.
- 19 Oktober 1945
Tentara Inggris masuk ke Semarang.
- 20 Oktober 1945
Tentara Inggris dari Semarang masuk ke interior: Ambarawa dan Magelang.
- 25 Oktober 1945
Tentara Inggris masuk ke Surabaya. Tentara Inggris didatangkan ke Palembang.
1946
- 4 Januari 1946
Tentara KNIL Ambon di Batavia ditukar dengan Tentara Belanda Eropa dari Malaya.
- 9 Maret 1946
Tentara Belanda didatangkan ke Jawa Barat, Tengah, dan Timur.
- 1 April 1946
Barisan militer Belanda datang ke Bandung.
- 12 April 1946
Kesepakatan Inggris dan Belanda bahwa militer Inggris akan tetap berada di Indonesia sampai akhir tahun 1946.
- 12 Mei 1946
Militer Inggris terakhir ditarik dari Surabaya.
- 17 Mei 1946
Militer Inggris terakhir ditarik dari Semarang.
- 26 Juni 1946
Militer Inggris terakhir ditarik dari Bandung.
- 17 Agustus 1946
Inggris melarang perayaan kemerdekaan Indonesia di area yang mereka kontrol di Jawa dan Sumatera.
- 29 Agustus 1946
Inggris melarang aktivitas militer untuk mendukung upaya negosiasi antara Belanda dan Indonesia.
- 3 September 1946
Lord Killearn bernegosiasi dengan pemimpin Republik untuk keperluan pembebasan sisa tahanan perang di interior Jawa.
- 18 September 1946
Jenderal Komisi Khusus Belanda datang ke Batavia.
- 14 Oktober 1946
Pakta gencatan senjata ditandatangani Inggris, Belanda, dan Indonesia.
- 24 Oktober 1946
Inggris menyerahkan Buitenzorg kepada Belanda.
- Akhir Oktober 1946
Tentara Belanda menggantikan tentara Inggris di Medan, Padang, dan Palembang.
- 15 November 1946
Permulaan Perjanjian Linggardjati di Batavia.
- 29 November 1946
Tentara Inggris terakhir ditarik dari Batavia.
- 30 November 1946
Southeast Asia Command ditutup.
Referensi
- McMillan, Richard. 2005. The British Occupation of Indonesia 1945–1946. New York: Routledge.
- Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia since c. 1200 – Fourth Edition. New York: Palgrave MacMillan.
- Gonggong, Anhar, dkk. (Eds). 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI – Republik Indonesia: dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.