Paparan Topik | Kesehatan

Merunut Jejak Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan

Meski dihadapkan pada gelombang penolakan dan menimbulkan polemik, UU Kesehatan akhirnya disahkan oleh DPR. Dengan bertolak dari latar belakang masalah kesehatan yang begitu terstruktur dan genting, UU sapu jagat ini dinilai penting untuk disahkan.

FAKHRI FADLURROHMAN

Poster berisi pesan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan diangkat salah seorang peserta aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023). Ribuan tenaga kesehatan yang tergabung ke dalam sejumlah organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai penolakan RUU Omnibus Law Kesehatan. 

Fakta Singkat

  • UU Omnibus Kesehatan adalah peraturan perundang-undangan sapu jagat kedua dalam sejarah Indonesia.
  • Hadirnya UU Kesehatan berdampak pada 13 UU, dengan membuat 10 di antaranya tidak lagi berlaku. Oleh karena itu, UU Kesehatan mengandung 20 bab yang terdiri atas 458 pasal.
  • Sejumlah masalah yang melatarbelakangi perumusan UU Kesehatan adalah keterbatasan tenaga kerja, permainan dalam perizinan praktik medis, dan sistem layanan kesehatan yang tidak memadai.
  • Standar rasio ketersediaan dokter yang ditetapkan WHO adalah satu dokter untuk 1.000 penduduk. Sementara di Indonesia, tujuh dokter harus melayani 10.000 penduduk.

Masyarakat Indonesia telah memiliki oleh undang-undang (UU) sapu jagat atau omnibus yang baru. Melalui inisiatif DPR, bersama dengan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, yakni UU Kesehatan. Pengesahannya sendiri telah dilakukan oleh DPR pada Selasa (11/7/2023), di Jakarta.

Kehadiran UU Kesehatan dengan statusnya sebagai omnibus law merupakan payung hukum bagi transformasi besar kesehatan nasional. Pembentukannya dilatarbelakangi oleh sejumlah masalah di bidang kesehatan Indonesia. Termasuk yang menjadi latar belakang adalah keterbatasan tenaga kesehatan, proses perizinan yang dipermainkan, dan sistem kesehatan yang belum memadai.

Pemerintah dan DPR memandang perubahan signifikan diperlukan untuk keluar dari segala masalah struktural dan fungsional tersebut. Apalagi, pandemi Covid-19 telah menjadi ujian besar yang menunjukkan kerentanan koridor kesehatan di Indonesia. Maka dari itu, UU Kesehatan hadir sebagai pintu transformasi besar dengan dirumuskan ke dalam enam pilar transformasi sebagai pedoman tujuan.

Dengan latar belakang yang ada tersebut, rupanya kehadiran UU Kesehatan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Berbagai organisasi kesehatan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dengan berbagai argumen menolak keras kehadiran UU Kesehatan.

Sementara, pihak pendukung UU ini adalah Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), dan Forum Dokter Susah Praktek (FDSP).

FAKHRI FADLURROHMAN
Peserta aksi yang tergabung kedalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menggelar aksi damai di seberang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (14/7/2023). Aksi tersebut merupakan respon terhadap pengesahan Undang-Undang (UU) Kesehatan yang telah ditetapkan dalam sidang paripurna pada Selasa, 11 Juli 2023. 

Sekilas tentang UU Omnibus Law Kesehatan

UU Omnibus Law Kesehatan bisa juga dikenal secara lebih singkat sebagai UU Kesehatan. Mengacu pada Kompaspedia (15/7/2020, “Menelusuri Istilah “Omnibus Law” dan Penerapannya di Beberapa Negara”), istilah omnibus law atau di negara-negara Barat lebih dikenal sebagai omnibus bill, memiliki arti harafiah hukum untuk mengatur semua hal. Sementara di Indonesia, terminologi kebahasaan yang bisa menggantikan istilah omnibus adalah “sapu jagat”

Sementara pemaknaannya secara lebih detail adalah sebuah “regulasi atau undang-undang yang terdiri dari banyak subjek atau materi pokok untuk tujuan tertentu guna menyimpangi suatu norma peraturan”. Berangkat dari definisi tersebut, status omnibus law dalam UU Kesehatan memiliki arti bahwa UU tersebut mengandung beragam isi dan jangkauan yang luas terhadap koridor kesehatan di Indonesia.

Dengan pengesahannya oleh DPR, maka UU Kesehatan menjadi regulasi sapu jagat kedua di Indonesia. Omnibus law yang pertama adalah UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, atau dikenal lebih singkat sebagai UU Cipta Kerja. Menariknya, kedua omnibus law pertama ini lahir dalam satu periode pemerintahan yang sama.

Luasnya jangkauan dan isi dari UU Kesehatan yang baru ini dapat segera dilihat dari jumlah UU lama yang terdampak olehnya. Dampak dalam konteks ini adalah dicabutnya UU lama sehingga membuatnya tergantikan dan tidak berlaku atau dapat juga hanya diubah pada sejumlah pasal tertentu.

Mengacu pada laman resmi Kemenkes, terdapat beberapa UU yang terdampak, di antaranya:

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  4. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran

Sementara terdapat empat UU yang akan mengalami perubahan melalui UU Kesehatan baru. Keempatnya, antara lain, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan terakhir UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Terhadap UU yang mengalami pencabutan dan tidak lagi berlaku, telah diatur bahwa peraturannya masih akan berlaku selama fase peralihan selama tidak bertentangan dengan poin-poin dalam UU Kesehatan. Hal ini ditetapkan agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan awal UU Kesehatan. Sementara Pasal 476 UU Kesehatan menetapkan agar pelaksanaan dari UU ini harus sudah dijalankan secara menyeluruh paling lama dua tahun sejak waktu diundangkan.

Dalam peraturan peralihan RUU Kesehatan diatur bahwa peraturan pelaksana yang dicabut atau diubah dalam RUU Kesehatan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan RUU Kesehatan tersebut, sehingga diharapkan tidak ada

Dengan cakupan pembahasan dan bidang yang begitu luas, maka isi dari UU Kesehatan ini juga teramat banyak. Di dalamnya terkandung 20 bab yang terdiri atas 458 pasal. Substansi yang termasuk di dalamnya termasuk soal penguatan peran pemerintah dalam pemenuhan kesehatan, penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, serta transparansi proses registrasi dan perizinan tenaga medis (Kompas.id, 11/7/2023, “Undang-Undang Kesehatan Disahkan, Penolakan Tetap Bergulir”).

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Puluhan dokter yang tergabung dalam wadah Dokter Indonesia Bersatu menggelar aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (20/5/2013). Mereka menyuarakan sikap mendukung gerakan moral menegakkan eksistensi dan profesionalisme dokter Indonesia. Aksi tersebut dilanjutkan dengan berjalan menuju Istana Merdeka untuk menyampaikan petisi tentang perlunya reformasi kesehatan yang berkeadilan.

Latar Belakang Perumusan UU

Sejatinya, Indonesia telah memiliki landasan hukum akan berbagai koridor kesehatan. Kehadiran UU Ombinus Law Kesehatan ini lantas menggantikan regulasi-regulasi tersebut. Latar belakang penggunaan metode dan wujud omnibus law adalah penilaian bahwa UU yang ada sebelumnya cenderung tumpang tindih.

Dengan kehadiran UU Kesehatan ini, maka diharapkan dapat menghilangkan tumpang tindih tersebut. Tidak hanya itu, melalui bentuk omnibus law juga diharapkan agar ke depannya dapat tercapai efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan dan menghilangkan ego sektoral dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Sementara untuk latar belakang terhadap isi dan pengaturan dari UU Kesehatan ini sendiri lebih bervariasi. Kemenkes dan juga DPR telah menyampaikan beragam latar belakang dari inisiatif dibentuknya UU Kesehatan ini. Berbagai latar belakang tersebut didominasi oleh bermasalahnya sistem kesehatan di Indonesia, terutama dari refleksi terhadap masa pandemi Covid-19 yang lalu di mana sektor kesehatan begitu diuji. Berikut adalah sejumlah latar belakang UU Kesehatan dan masalah yang ingin ditangani lewat kehadirannya:

Keterbatasan Tenaga Kesehatan

Selama ini, Indonesia tengah dihadapkan pada masalah keterbatasan jumlah dokter, secara khusus dokter spesialis. Dalam sektor kesehatan, sangat penting untuk menjamin ketersediaan dokter yang melayani jumlah rasio penduduk tertentu. Untuk itu, lembaga World Health Organization (WHO) menetapkan rasio 1:1.000, yang berarti minimal terdapat satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk.

Mengacu pada data WHO dalam laporan The Global Health Observatory, rasio jumlah dokter di Indonesia rupanya masih terbilang rendah dengan tidak mencapai jumlah ideal minimum. Berdasarkan data terbarunya pada tahun 2021, rasio dokter di Indonesia untuk 1.000 penduduk adalah 0,69 atau tak sampai satu.

Sumber: Data WHO (who.int, 2023)

Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka ini sendiri menunjukkan peningkatan dan menjadi yang tertinggi dalam sejarah kesehatan Indonesia. Selain itu, rasio jumlah ketersediaan dokter di Indonesia juga konstan mengalami peningkatan, terutama sejak data pertama WHO pada 1993 hingga 2021. Namun peningkatan tersebut terbilang lamban, apalagi bila dilihat bahwa dalam rentang waktu hampir tiga dekade Indonesia masih belum mampu mencapai standar minimum 1:1.000.

Ditambah lagi, dari total 195 negara yang diteliti, Indonesia tergolong sebagai negara dengan rasio ketersediaan dokter yang rendah. Angka rasio dokter di Indonesia duduk di peringkat 63 terendah dunia, bahkan menjadi yang terendah ketiga di Asia Tenggara. Indonesia bahkan masih berada di bawah Thailand (0,9) dan Timor Leste (0,7). Sementara negara dengan rasio dokter tertinggi adalah Kuba (8,4) dan yang terendah adalah Somalia (0,23).

Sumber: Data WHO (who.int, 2023)

Masalah ketersediaan dokter bagi penduduk Indonesia ini diketahui semakin tidak memadai bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Sebagaimana diperbaharui pada 2022, jumlah dokter yang tercatat di seluruh Indonesia berjumlah 170.541 orang. Dengan jumlah populasi sekitar 273.984.400 jiwa, maka rasio dokter per 1.000 penduduk adalah 0,64 atau tidak sampai satu.

BPS juga menunjukkan ketimpangan jumlah dokter di berbagai daerah. Jumlah tenaga medis tersebar tidak merata di seluruh Indonesia dengan terpusat di Pulau Jawa – di mana empat dari lima provinsi dengan jumlah dokter terbanyak berada di Jawa. Sementara kelima provinsi dengan ketersediaan dokter paling sedikit berada di luar Pulau Jawa. Sebagai perbandingan, Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah dokter terbanyak memiliki 23.973 dokter, sementara Sulawesi Barat sebagai yang paling sedikit hanya memiliki total 512 dokter.

Tak hanya dokter, Indonesia juga menghadapi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan lainnya, yakni perawat, bidan, juga apoteker. Laporan World Health Statistics 2023 menunjukkan bahwa dari keempat jenis tenaga kesehatan tersebut, Indonesia paling banyak memiliki tenaga perawat dan bidan dengan rasio 1,12 per 1.000 penduduk. Meski begitu, rasio ini menurun signifikan dari 2022 yang mencapai 3,95. Sementara rasio apoteker adalah 0,3 untuk 1.000 penduduk. Lagi-lagi, jumlah ini membuat Indonesia berada pada kelompok peringkat terbawah.

Atas berbagai situasi demikian, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa diperlukan langkah cepat dan segera untuk menambah jumlah dokter di Indonesia agar memenuhi rasio yang dibutuhkan. Apalagi, jumlah kelulusan dokter saat ini masih terbilang sedikit, sehingga akan sangat lama untuk mencapai target yang ditentukan.

“Dengan tingkat kelulusan dokter sebanyak 12 ribu orang per tahun, setidaknya butuh waktu sekitar 10 tahun untuk memenuhi rasio dokter di Indonesia. Kita harus kejar, karena kalau tidak akan semakin banyak masyarakat yang tidak tertolong,” kata Budi, dilansir situs Kemenkes pada Juli 2022 lalu.

Atas situasi demikian, hadirnya UU Kesehatan menjadi upaya cepat tanggap yang signifikan bagi pemerintah untuk menggenjot ketersediaan dokter ini. Salah satu langkah yang diambil oleh Kemenkes lewat UU sapu jagat tersebut adalah dengan mengakomodasi pelaksanaan pendidikan tenaga kesehatan. Pemerintah juga membuka kesempatan untuk menjajaki kerja sama antarlembaga pendidikan maupun antar-kementerian, sebagai contoh dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Atas latar belakang ini jugalah, UU Kesehatan meniadakan syarat perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) yang sebelumnya harus diperpanjang setiap lima tahun. Melalui ketetapan UU Kesehatan, maka STR akan berlaku seumur hidup. Kemenkes menilai bahwa hal ini akan menyederhanakan aturan administratif dan mendorong ruang praktik para dokter.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Dokter spesialis jantung melakukan proses Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI), yaitu tindakan membuka sumbatan pada pembuluh darah koroner pada pasien di ruang kateterisasi Rumah Sakit Jantung Diagram, Cinere, Depok, Jawa Barat, Kamis (29/8/2019). Riset kesehatan dasar 2018 mencatat, penyakit jantung koroner jadi penyebab kematian utama setelah stroke dan hipertensi. Data Global Health Data Exchange menunjukkan, penyakit jantung iskemik atau penyempitan pembuluh darah pada jantung jadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah stroke pada 2007-2017.

Permasalahan Izin Praktik

Hadirnya UU Kesehatan juga dilatarbelakangi oleh masalah pada sistem perizinan bagi para tenaga kesehatan. Para dokter yang ingin melangsungkan praktik kesehatan disyaratkan oleh IDI sebagai lembaga yang membawahi untuk terlebih dahulu memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan juga Surat Izin Praktik (SIP).

Hal ini lantas menjadi hambatan administratif, tidak saja bagi para lulusan baru yang sedang mencari tempat praktik, namun juga para dokter lama yang harus memperbaharui izin tiap lima tahun sekali. Masalah serupa juga dihadapi oleh para dokter yang kembali dari Indonesia setelah mengeyam pendidikan kedokteran di luar negeri, dimana mereka lagi-lagi harus berurusan terlebih dahulu dengan masalah perizinan.

Tantangan untuk memperoleh STR dan SIP sebagai syarat administratif tidak hanya menyangkut persoalan berkas-berkas yang rumit dan memakan waktu, melainkan juga keluarnya biaya yang tidak kecil. Apalagi, di lapangan syarat perizinan ini justru akhirnya memunculkan praktik-praktik permainan kuasa.

Pantauan Tim Investigasi Kompas menemukan bahwa permainan ini nyata dilakukan, baik oleh jejaring calo maupun kalangan dokter yang berkuasa sendiri. Para calo menggunakan berbagai prasyarat untuk perpanjangan STR sebagai sumber pemasukan mereka. Salah satu aksinya adalah memanipulasi sertifikat kompetensi dokter untuk diunggah ke sistem IDI. Sertifikat kompetensi adalah syarat untuk memperpanjang STR, di mana dengan STR seorang dokter baru bisa mengajukan SIP.

Dari aksinya memanipulasi berkas tersebut para calo bisa memperoleh Rp 1 juta – 3 juta, untuk juga dibagi dengan teman-temannya yang berada di Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB), IDI. Para dokter pun mengaku terbantu dan telah berlangganan dengan para calo ini.

Permainan demikian rupanya juga dilakukan oleh pihak internal IDI sendiri. Investigasi Kompas menemukan bahwa beberapa pemain lainnya adalah pegawai sekretariat IDI dan pengurus IDI tingkat cabang. Banyak juga dari mereka yang memiliki jejaring dengan struktural IDI, bahkan juga telah dikenal dalam lingkungan dokter.

Selain itu, berbagai prasyarat perizinan rupanya justru menciptakan ladang bisnis besar melalui seminar kedokteran. Para dokter mengejar kepemilikan sertifikat untuk bisa menggapai nilai minimal satuan kredit profesi (SKP) untuk memperoleh STR. Untuk itu, beragam pihak membuka jasa seminar dengan sertifikat sebagai imbalannya. Tanpa hadir di seminar tersebut, dokter yang menjadi peserta dapat tetap memperoleh sertifikat asal telah membayar sebesar Rp 2,5 juta. Untuk satu seminar biasanya telah terdaftar ratusan dokter sekaligus. Pendapatan juga diperoleh dari para sponsor, yang biasanya merupakan korporasi di bidang farmasi.

Temuan terakhir, rupanya dalam lingkup sertifikasi ini saja, terdapat aliran dana masif yang berujung kepada berbagai organisasi profesi kesehatan. Untuk mengajukan seminar dengan berakreditasi, maka penyelenggara harus menyetor Rp 3 juta kepada IDI. Belum lagi biaya untuk memperoleh SKP dari IDI sebesar Rp 200.000 per satuan.

Wakil Ketua IDI Sulawesi Utara dan Ketua IDI Cabang Siau Tagulandang Biaro James Allan Rarung mengakui adanya perputaran uang ratusan juga hingga miliarin rupiah dalam seminar untuk memperoleh SKP. Menurut James, aliran uang tersebut banyakj terserap ke pengurus-pengurus IDI wilayah, terutama mereka yang menjadi pembicara maupun panitian.

“Saya pernah ikut masuk di panitia, kalau rapat memang miliaran sisa hasil usahanya. Dan itu kami bagi-bagi. Dalam pelaksanaan di lapangan, uang yang berputar besar. Uang itu tidak tercatat masuk ke organisasi profesi, tetapi ke oknum (IDI),” kata James (Kompas.id, 14/7/2023, “Kompetensi Dokter yang Dipermainkan”).

Situasi demikian telah menjadi rahasia umum dalam dunia kedokteran Indonesia. Inilah yang kemudian juga disoroti oleh Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam. Dalam forum dengar pendapat RUU Kesehatan pada Maret 2023, Judilherry memaparkan bahwa organisasi IDI telah terlalu memonopoli dunia kesehatan nasional. Parahnya, praktik kekuasaan monopoli ini dilindungi oleh UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Ia menilai bahwa kekuasaan IDI terlalu besar, bahkan telah mencakup kewenangan yang seharusnya dipegang oleh negara. “IDI juga dapat kewenangan mengeluarkan rekomendasi untuk mendapatkan surat izin praktik (Pasal 38 Ayat 1 Huruf c). Maaf saja ini, tidak ada di dunia ini organisasi profesi memberikan rekomendasi, izin praktik itu haknya pemerintah di mana-mana,” kata Judilherry memberikan contoh (Kompas.id, 27/3/2023, “Kewenangan IDI Dinilai Terlalu Besar dalam UU Kesehatan”).

Dengan demikian, kehadiran UU Kesehatan yang baru mengembalikan berbagai kewenangan kepada pemerintah. Adalah keharusan bahwa kekuasaan pemerintah lebih besar daripada organisasi profesi manapun. Salah satu gebrakan yang lantas termuat dalam UU Kesehatan adalah meniadakan syarat STR dan SIP bagi para dokter asing yang telah menjadi spesialis.

Perbaikan Sistem Layanan Kesehatan

Selain kedua permasalahan pada isu sumber daya, kewenangan, dan kelembagaan tersebut, disusunnya UU Kesehatan adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan sistem layanan kesehatan yang lebih baik, tercapai, dan memadai. Definisi atas sistem layanan ini begitu luas, yakni termasuk namun tidak terbatas pada infrastruktur, suprastrukur, sumber daya manusia (SDM), anggaran, riset kesehatan, digitalisasi, hingga layanan kesehatan yang berorientasi pada pencegahan penyakit.

Semua ini dilakukan dengan pertimbangan situasi kesehatan Indonesia secara holistik, terutama setelah mengalami ujian berat dari masa pandemi Covid-19. Salah satu masalah sistem kesehatan di Indonesia terdeteksi oleh WHO dalam World Health Statistics 2022. Dilaporkan bahwa akibat pandemi Covid-19, terjadi tren penurunan global yang masif terhadap deteksi dan pelaporan kasus tuberkulosis.

Meski tren ini terjadi di seluruh dunia, dampaknya sangat parah bagi 16 negara yang menyumbang 93 persen dari penurunan tersebut. Dari 16 negara tersebut, tiga negara dengan dampak terburuk adalah India, Indonesia, dan Filipina. Artinya, dalam skala global, sistem kesehatan di Indonesia masih begitu terbatas dan tidak cepat tanggap, apalagi ketika terjadi tantangan kesehatan yang begitu masif seperti pandemi. Padahal, berkurangnya diagnosis dan akses pengobatan tuberkulosis menyebabkan peningkatan drastis angka kematian akibat tuberkulosis.

Selain itu, laporan tersebut juga menunjukkan masih tingginya kebutuhan dukungan layanan kesehatan dasar dan riset medis di Indonesia. Penelitian dan pengembangan kesehatan diperlukan untuk melakukan pengembangan produk, teknologi, dan proses kesehatan yang lebih baik. Indonesia memperoleh dana dukungan per kapita sebesar US$ 1,26. Sebagai perbandingan, Brunei dan Singapura yang telah lebih mandiri dengan tingkat riset kesehatan yang tinggi tidak lagi harus memperoleh dana bantuan tersebut, sementara Malaysia memperoleh US$ 0,66 per kapita.

Atas masalah sistemik yang terjadi, Puan menyebutkan bahwa UU Kesehatan menjadi wujud upaya pemerintah untuk membentuk masa depan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia. “UU Kesehatan ini bertujuan memperkuat sistem kesehatan negara dan meningkatkan kualitas kesehatan serta kesejahteraan masyarakat,” ungkap Puan pada hari pengesahan UU tersebut. Oleh karenanya, Puan juga merinci bahwa UU Kesehatan mengandung berbagai dimensi kesehatan, mulai dari perlindungan hukum tenaga kesehatan dan pasien hingga peningkatan kualitas sistem kesehatan nasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Riset
Internet