Paparan Topik | Kebudayaan

Menyibak Ritual Cukur Gimbal di Dieng

Tradisi ruwatan cukur rambut gimbal di Dieng merupakan warisan budaya turun-temurun dari leluhur. Selain untuk memohon keselamatan, ruwatan ini juga menjadi sarana memperkuat identitas sosial dan solidaritas.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga menggelar tradisi potong rambut gimbal di Telaga Cebong, Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (1/8/2015). Tradisi potong gimbal itu menjadi atraksi budaya yang menarik wisatawan, terutama di kawasan Dieng. 

Fakta Singkat

  • Ritual cukur gimbal adalah sebuah tradisi pemotongan rambut pada anak-anak berambut gimbal yang dilakukan di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

  • Ritual ini diyakini sebagai bentuk membuang sesuker/reribet atau kesulitan hidup yang dialami karena memiliki rambut gimbal. Anak berambut gimbal cenderung lebih rewel, mudah sakit, usil, dan nakal. 

  • Menurut kepercayaan masyarakat setempat, anak gimbal merupakan titisan Kiai Kolodete, tokoh spiritual di Dieng pada masa lampau dengan Nyai Ratu Selatan/Nyi Roro Kidul.

  • Prosesi cukur rambut gimbal belum dapat dilakukan jika belum ada permintaan dari si anak. Segala permintaan si anak harus dipenuhi supaya ritual berhasil dan rambut anak tidak kembali tumbuh gimbal.

  • Permintaan anak gimbal biasanya muncul dan sudah tidak berubah-ubah lagi ketika menginjak usia 5-12 tahun. Syarat permohonan yang diajukan anak gimbal untuk dicukur rambutnya biasanya unik dan terkadang tidak masuk akal.

Dieng, sebuah wilayah yang terletak di Jawa Tengah, Indonesia adalah salah satu kawasan yang menarik dengan lanskap geografis yang unik. Terletak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng dikelilingi oleh pegunungan dan berada dalam sebuah kaldera vulkanik yang membentang luas. Keindahan alamnya mencakup gunung-gunung yang menjulang, danau-danau, lembah, serta tanah pertanian hijau yang terhampar di dataran tinggi tersebut.

Selain keindahannya, Dieng juga merupakan tempat penting dalam sejarah dan budaya Indonesia, dengan warisan Hindu-Buddha yang dapat dilihat melalui sisa-sisa candi dan praktik budaya tradisional yang masih berlangsung hingga saat ini. Kawasan Dieng beserta dengan kepercayaan tradisionalnya menyimpan kisah syarat makna.

Menurut buku berjudul Ritual Cukur Rambut Gimbal yang ditulis oleh Dr. Nurul Mubin M.S.I, Dieng berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu, “di” yang artinya “ardi”. “redi” atau gunung, tempat yang tinggi serta “di” yang bermakna “hadi”, “adi” atau indah. Sementara “Di Hyang” berarti tempat para Hyang atau Khayangan, tempat para dewa-dewa atau roh leluhur. Sehingga secara singkat Dieng dimaknai sebagai daerah pegunungan tinggi yang indah dan dihuni para dewa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Wisatawan saat mengunjungi keindahan Kawah Sikidang, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (18/1/2023).

Dataran tinggi Dieng ini terbentang di 2 kabupaten, yakni Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di Kawasan ini, malam 1 Asyura atau 1 Suro sesuai tahun baru dalam kalender Jawa atau 1 Muharram dalam penanggalan Islam, merupakan malam yang sakral.

Mereka begitu meyakini pada malam pergantian tahun Jawa itu, berlangsung hajatan besar pernikahan pasangan mempelai Kiai Kolodete dan Nyai Roro Kidul penguasa Telaga Balekambang di Dieng. Siapakah Kiai Kolodete?

Kiai Kolodete dipercaya sebagai tokoh yang berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di Kawasan Dieng, Wonosobo. Warga setempat meyakini secara turun temurun bahwa Kiai Kolodete adalah kiai yang memiliki ilmu spiritual tinggi di Dataran Tinggi Dieng pada dahulu kala. Kiai Kolodete ini adalah figur utama yang dihubungkan dengan asal-usul anak berambut gimbal/gembel di Kawasan dataran tinggi Dieng.

Asal Usul

Terdapat banyak kisah dituturkan mengenai anak gimbal di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Namun dari yang paling banyak dituturkan adalah mengenai anak gimbal/gembel yang merupakan titisan dari Kiai Kolodete. Penyebutan sosok Kiai Kolodete juga beragam, namun yang terbanyak adalah Kiai Kolodete/Kaladite atau Tumenggung Kolodete/ Kaladite.

Dua istilah Kiai Kolodete dan Tumenggung Kolodete tersebut memiliki dampak penjelasan sejarah berdasarkan cara pandang yang berbeda. Pendapat pertama tentang Kiai Kolodete yang memandang keberadaan Kolodete sebagai “Kiai” dipengaruhi oleh sejarah islamisasi Dieng, sementara pendapat kedua Kolodete sebagai “tumenggung” memandang Kolodete sebagai bagian dari keturunan kerajaan yang berkuasa pada masanya, dengan nama asli Kala Rahaditiya.

Anak-anak berambut gimbal bukan saja laki-laki akan tetapi juga perempuan.  Menurut kisah warga turun temurun, anak-anak ini merupakan titipan Nyai Ratu atau Ratu Laut Selatan dan titisan Kiai Kolodete.  Jika anak gimbal laki-laki merupakan titisan Kiai Kolodete maka yang perempuan merupakan titisan Nini Ronce Kala Prenye.

Beberapa kisah lain yang berkembang juga menuturkan bahwa datangnya rambut gimbal itu adalah dari Nyai Ratu Selatan/Nyai Roro Kidul yang kemudian dititipkan kepada Kiai Kolodete hingga nantinya rambut gimbal tersebut kembali ke Nyai Ratu melalui proses pemotongan rambut.

Kisah lain juga menyebutkan bahwa bahwa Kiai Kolodete sendiri juga memiliki rambut gimbal yang panjang. Ia pernah bersumpah tidak akan mencukur rambutnya hingga kawasan dataran tinggi Dieng menjadi makmur. Bila keinginannya tidak terkabul dia akan menitiskan rohnya kepada anak yang baru lahir atau anak yang baru belajar berjalan. Sebagai bukti titisannya, si anak akan berambut gimbal. Kemudian, dari mitos yang berkembang, sebelum Kiai Kaladete meninggal dunia, dia berpesan agar keturunannya dapat membantunya menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikannya. Kiai kemudian mewariskan gimbalnya kepada titisannya.

Kisah lain lagi juga dituturkan terkait asal usul anak berambut gimbal.  Kisah lain ini justru mematahkan kisah sebelumnya di mana tidak ada hubungan apapun antara Kiai Kolodete dan Nyai Roro Kidul atau Ratu Selatan.  Kiai Kolodete disebutkan datang ke Dieng dan tidak pernah dikenali asal-usulnya. Dalam kebiasaan orang Dieng dan sekitarnya, jika ditemukan orang yang tidak dikenali asal-usulnya, maka disebut orang dari “seberang” yang disamakan dengan “Segoro Kidul”. Maka berkembanglah istilah “Si Bajang dari Segoro Kidul”.

Mitos Anak Berambut Gimbal

Dari sekian banyak kisah mengenai anak gimbal, berkembang juga banyak sekali mitos yang menyertainya. Mitos-mitos ini yang masih dipercaya hingga sekarang. Dan seringkali mitos mitos ini benar-benar terjadi di masyarakat Dieng terutama mengenai anak berambut gimbal.

Bagai dua sisi mata uang, memiliki anak berambut gimbal bagi warga Dieng seperti mendapat berkah walau di sisi lain menjadi beban. Seringkali anak berambut gimbal disebut lebih rewel, usil, atau nakal. Ketika rambut gimbalnya tumbuh, dia sering sakit sehingga para orang tua juga sering membawa anak berambut gimbal ke dokter yang memakan biaya tidak sedikit. Di sisi lain, orang tua yang memiliki anak berambut gimbal sering mendapat berkah yang luar biasa.

Mitos lainnya yang berkembang adalah bahwa anak gimbal biasanya memiliki indera keenam dan kemampuan supranatural. Rambut gimbal terdiri dari 4 jenis yaitu gembel pari (gembel yang kecil seperti padi dan terurai), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembel hanya beberapa helai), dan gembel wedus atau kambing (gembel yang ukurannya paling besar).

Persiapan Prosesi Ruwatan dan Cukur Rambut Gimbal

Ritual pemotongan rambut gimbal yang dilakukan di dataran tinggi Dieng memiliki syarat bernuansa religius dan magis. Sejumlah bentuk perlengkapan ritual disiapkan dalam tradisi antara lain kembang-kembang tujuh rupa, kembang leson, dan perlengkapan ritual lainnya seperti minyak wisik, lenjet, daun sirih, lawe wenang, kemenyan atau dupa, kain kafan, gunting, dan mangkuk air berisi kembang mawar.

Selain perlengkapan ritual, para perempuan atau ibu-ibu juga menyiapkan aneka hidangan yang akan diberikan kepada para tamu undangan. Mereka membuat nasi unjet warna kuning atau putih yang dicampur dengan irisan telur dadar, kacang goreng, sayur urap, dan wortel mentah untuk menghias nasi unjet tersebut.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA
Menyiapkan sesaji untuk ritual potong rambut gimbal. (03/08/2015)

Dalam ritual cukur gimbal ini terdapat beberapa unsur pokok dan juga unsur penunjang

  1. Tumpeng rombyong, yaitu tumpeng yang dibuat dengan nasi putih yang di “rombyongi” atau ditanami dengan jajanan pasar yang ditusuk menggunakan sapu bambu. Tumpeng ini dimaknai sebagai simbolisasi rambut gimbal yang menempel pada kepala si bocah.
  2. Tumpeng kalung yang dibuat dari nasi putih yang di atas pucuk tumpengnya dipasangi buah kelapa yang dipotong bagian atas dan bawahnya, kemudian bagian tengahnya dimasukkan ke dalam pucuk tumpeng. Tumpeng kalung ini mengandung makna anak yang berambut gimbal dikalungi atajiban dan beban untuk merawat keberadaan rambut gimbal tersebut dari Kiai Kolodete.
  3. Tujuh rupa jajanan pasar yaitu klepon, serabi, pisang, ketan abang, ketan putih, opak, dan krecek yang bermakna petunjuk bagi kehidupan agar apa yang menjadi sejo (harapan dan cita-cita) tidak tersesat atau kesasar (berasal dari kata jajan pasar).
  4. Unjukan rolas atau minuman yang berjumlah 12 macam meliputi kopi legi, kopi pahit, teh legi, teh pahit, teh wangi gula batu, kembang Kenanga, dadap serep, godong salam, jeruk pecel, arang-arang kembang, rucuh kembang mawar abang putih.
  5. Ingkung atau ayam yang dimasak dengan cara seluruh bulu ayam dicabuti dan dibersihkan bersama dengan jeroan atau bagian organ dalam ayam. Ingkung dimaknai sebagai wujud kesucian manusia lahir dan batin ketika menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Bebono atau panjaluk si bocah gimbal yang bermakna segala hal yang diminta oleh si anak berambut gimbal ketika akan dipotong rambutnya yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Bebono ini dimaknai sebagai unsur yang harus ada dalam ritual ini.

Wujud dari bebono ini sangat beragam sesuai dengan keinginan anak-anak. Ada barang seperti sepeda kulkas, kalung emas, 2 ekor domba, motor trail, jajanan, dan menanggap kesenian rowo rowo atau atraksi buta. Selain benda-benda, banyak juga permintaan yang mungkin dirasa tidak masuk akal yang diungkapkan oleh anak berambut gimbal sebelum memutuskan untuk mau dipotong rambutnya.

Keinginan unik lain yang diungkapkan anak gimbal seperti meminta buah rambutan meskipun saat itu sedang tidak musim rambutan sehingga orang tuanya harus mencari rambutan sampai ke Surabaya.

Berbagai keinginan yang unik dan aneh ini menurut mitos harus selalu dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, konon katanya rambut si anak akan kembali tumbuh gimbal. Kemudian jika permintaan mereka masih berubah-ubah, itu berarti mereka belum siap menjalani ritual cukur rambut gimbal. Rambut gimbal menurut beberapa orang tua tidak akan dipotong atau dicukur apabila si anak belum minta dipotong. Biasanya keinginan untuk dipotong rambut gimbalnya baru muncul ketika mereka menginjak usia 5 tahun sampai 12 tahun.

Prosesi Ruwatan dan Cukur Gimbal

Sebelum upacara pemotongan rambut dimulai, ada ritual doa di beberapa tempat agar upacara berjalan lancar. Tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, Kompleks Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Komplek Pertapaan Mandasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepe dan tempat pemakaman Dieng.

Malam harinya, diadakan upacara jamasan pusaka, pencucian benda pusaka yang akan dibawa saat arak-arakan anak gimbal, semua proses ini dipimpin oleh orang yang dianggap sesepuh, dukun atau pemangku adat setempat.

Prosesi arak-arakan anak gimbal diawali dengan mengarak anak gimbal yang akan dicukur dan diruwat menuju ke tempat berlangsungnya ritual. Ketika sesajen sudah siap diusung dan dihidangkan, para sesepuh sudah mengenakan pakaian Jawa lengkap. Saat orang-orang sudah mulai berdatangan kemudian anak gimbal diantar keluarganya dengan bagian atas kepala diikat kain putih yang melingkar menutupi kening hingga rambut bagian belakang. Gimbal-gimbal dibiarkan tergerai begitu saja. Kemudian anak-anak gimbal tersebut diarak di sepanjang jalan Dieng Kulon hingga sampai ke kompleks Candi untuk segera melalui prosesi pemandian.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA
Menggendong Anak Bajang/Gimbal (03/08/2015)

Anak-anak gimbal berjejer dipangku orang tuanya. Kemudian pemangku adat dan sesepuh berdoa di depan sumur. Di sinilah air akan diambil guna dipakai untuk jamasan rambut anak-anak gimbal. Rambut dan wajah mereka dibasuh dengan dedaunan yang dibasahi oleh air dari sumur Sendang Sedayu dengan dicampur kembang tujuh rupa.

Setelah proses pemandian selesai, mereka kembali diarak menuju Kompleks Candi Arjuna untuk segera melakukan pemotongan rambut. Ada mahar-mahar atau sesajen yang sudah tertata rapi. Sesajian berupa makanan tradisional Dieng, ayam, dan buah-buahan yang sudah disiapkan oleh para ibu-ibu, nantinya akan dibagikan kepada masyarakat yang hadir setelah selesai acara.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSANA
Prosesi pencukuran rambut gimbal di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah (2/11/2021). Ritual yang dirangkaikan dalam Dieng Culture Festival 2021 itu digelar sederhana di tengah pandemi Covid-19.

Acara pemotongan rambut berlangsung sekitar 30 menit. Penutupan rangkaian acara ritual adalah pelarungan rambut gimbal di Telaga Warna. Potongan rambut dengan sejumlah jajan pasar dan kembang telon dibungkus kain putih. Telaga Warna dipilih karena airnya mengalir ke sungai Serayu dan mengalir ke Pantai Selatan di Samudra Hindia yang diyakini kembali kepada Nyai Ratu Selatan.

Prosesi cukur rambut gimbal ini seringkali disandingkan juga dengan prosesi peringatan tahun baru Islam atau peringatan hari jadi Kota Wonosobo. Setelah prosesi cukur rambut gimbal selesai, pemimpin upacara adat ini bersama semua yang hadir menuju ke Telaga Warna sekitar 3 km dari tempat acara dengan berjalan kaki tanpa suara dan cahaya lampu. Semua terdiam dan pemimpin ritual memimpin acara larung rambut gimbal tersebut di pojok Telaga Warna.

Rangkaian prosesi cukur rambut gimbal ini adalah yang biasa dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Mbah Rusmanto sebagai pemimpin kepercayaan tradisional di Dieng. Pada praktiknya, di Dieng terdapat beberapa prosesi ritual cukur rambut gimbal yang sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata seperti yang dijabarkan di atas.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA
Prosesi Pemotongan Rambut (03/08/2015)

Ada praktik cukur gimbal yang hanya dilakukan oleh pemuka agama dan keluarga, serta kerabat dekat saja tanpa ada perayaan besar-besaran. Pada prosesi dengan skala lebih kecil ini beberapa ritual disesuaikan.

Makna Tradisi Cukur Gimbal

Tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat dataran tinggi Dieng. Secara garis besar, dapat ditarik beberapa makna penting dari tradisi ini, antara lain:

  1. Spiritual dan Kepercayaan

Ritual cukur rambut gimbal bagi masyarakat Dieng, khususnya bagi mereka penganut kepercayaan setempat menjadi satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengan leluhur mereka yaitu Kiai Kolodete yang secara turun menurun selalu hadir dalam kehidupan mereka. Selama masih ada anak-anak berambut gimbal maka disitulah komunikasi, sikap, dan respons masyarakat terhadap keberadaan Kiai Kolodete akan selalu terjadi melalui prosesi ritual tersebut. Ritual ini juga memiliki makna spiritualitas yang mendalam bagi keluarga yang memiliki anak berambut gimbal karena mereka menjadi bagian terdekat dari leluhur mereka, yaitu Kiai Kolodete. Ritual ini juga menjadi simbol kepercayaan mereka dalam melepaskan si anak gimbal dari pengaruh sesuker atau reribet atau melepaskan diri mereka dari kesulitan hidup yang dialami karena memiliki rambut gimbal.

  1. Kebersamaan Keluarga dan Masyarakat

Ritual ini juga menjadi momen kebersamaan bagi keluarga dan masyarakat setempat. Persiapan ritual yang cukup banyak, membuat seluruh anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat setempat terlibat. Ini menguatkan ikatan sosial antar individu dan juga kelompok. Ikatan emosional juga terbentuk melalui rangkaian acara ritual cukur gimbal ini, terutama bagi mereka yang sama-sama memiliki anak berambut gimbal. Rasa solidaritas terbentuk dan memberi makna seperjuangan bagi mereka.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak-anak bajang mengikuti tradisi potong rambut gimbal di kompleks Candi Arjuna, Dieng, Kabupaten Banjarnegara (2/8/2015). Tradisi potong gimbal sebagai simbol memohon keselamatan tersebut menjadi atraksi budaya yang menarik wisatawan.

 

  1. Pelestarian Budaya & Identitas Lokal

Tradisi cukur rambut gimbal ini, setidaknya 10 tahun terakhir biasa dikemas dalam rangkaian ajang pariwisata Dieng Culture Festival. Dengan diteruskannya tradisi ini secara turun temurun, meskipun dikemas dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan pada masa lampau, hal ini mencerminkan pelestarian budaya yang terus langgeng dan menjadi simbol kultural peradaban Jawa yang tersimpan di balik kabut Dieng.

Dengan semakin lestarinya budaya tradisional ini, menguatkan pula identitas masyarakat Dieng dengan budayanya yang kental dan penuh misteri. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Harian Kompas
  • Menyimak Tradisi Potong Rambut Gembel di Dieng. KOMPAS, 22 Februari 2005.
  • Ritual Potong Remo Gembel di Pegunungan Dieng. KOMPAS, 28 Oktober 2005.
  • Ritual Potong Gimbal di Dieng. KOMPAS, 1 Agustus 2010.
  • Bocah “Gombel”, Wajah Sakral Negeri Para Dewa. KOMPAS, 30 September 2013.
  • Meruwat Titisan Leluhur Dieng. KOMPAS, 9 Agustus 2015.
  • Motor Trail dan Jejak Ruwatan Bocah Gimbal Dieng. KOMPAS, 21 Juni 2020.
  • Cukur Rambut Gimbal di Dieng. KOMPAS, 4 November 2021.
Buku

Mubin, Nurul. 2016. Ritual Cukur Rambut Gimbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari

Editor
Santi Simanjuntak

Artikel terkait