Paparan Topik | Hari Kusta Sedunia

Melawan Stigma dan Diskriminasi Penyakit Kusta

Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan Hari Kusta Sedunia diperingati pada 30 Januari 2022. Momen ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyakit kusta serta memperjuangkan diakhirinya stigma dan diskriminasi terkait kusta.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Aktivis dan simpatisan Dompet Kusta Indonesia membagikan balon dan selebaran sebagai bagian kampanye peduli penderita kusta di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (25/1/2012).

Fakta Singkat

  • Kusta disebabkan oleh bakteri. Kusta bukanlah penyakit keturunan atau kutukan.
  • Kusta dapat didiagnosis dengan mudah hanya dari gambaran klinis oleh petugas kesehatan yang terlatih.
  • Kombinasi obat yang disebut terapi multiobat (MDT) membunuh kuman dan menghentikan penyebaran kusta setelah dosis pertama. Pasien yang menjalani MDT tidak menularkan penyakit kusta.
  • Kusta bisa sembuh total.
  • Perawatan dini dan teratur mencegah deformitas atau kecacatan.
  • Pasien yang menyelesaikan pengobatan akan sembuh total, bahkan jika mereka memiliki sisa bercak kulit atau cacat.
  • Pasien dapat menjalani kehidupan yang benar-benar normal selama dan setelah perawatan mereka.

Menurut laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) diperingati pada 30 Januari 2022. Hari internasional ini merupakan kesempatan untuk menghargai orang yang pernah mengalami kusta, meningkatkan kesadaran akan penyakit kusta, serta memperjuangkan diakhirinya stigma dan diskriminasi terkait kusta.

Hari Kusta Sedunia dicetuskan pada tahun 1954 oleh filantropis Perancis bernama Raoul Follereau yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kusta, penyakit kuno yang sangat mungkin untuk disembuhkan pada saat ini. Masih banyak pengidap kusta di seluruh dunia yang kondisinya diperparah oleh kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan stigma yang terus menyelimuti penyakit kusta.

Penyakit kusta hingga kini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Tanpa penanganan yang tepat, penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan yang menetap dan menyebabkan timbulnya permasalahan ekonomi dan diskriminasi sosial pada penderita serta keluarganya.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kusta masih merupakan permasalahan kesehatan di banyak negara di dunia. Setiap tahun, lebih dari 200,000 orang terdiagnosa kusta di dunia, dan sekitar 17.000 orang di antaranya berada di Indonesia. Hal Ini membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Brazil dalam jumlah penderita kusta terbanyak di dunia.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Aktifitas jahit menjahit di unit konveksi milik sebuah yayasan di Tangerang, Banten, Kamis ( 5/9/2019). Yayasan ini memberdayakan mantan penderita kusta yang sudah sembuh untuk bekerja di unit usaha konveksi untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Sejarah Kusta

Menurut laman Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Pusdatin), kusta adalah penyakit kuno yang penjelasannya sudah sejak lama tercantum di dalam literatur peradaban kuno. Penyakit kusta telah dikenal 2000 tahun Sebelum Masehi (SM) yang jejaknya diketahui dari sejarah peninggalan dan prasasti di Mesir, di India 1400 SM, di Tiongkok 600 SM, Mesopotamia 400 tahun SM.

Dahulu penyakit kusta dianggap sebagai penyakit kutukan karena belum ditemukan obatnya sehingga para penderita kusta harus di isolasi maka dibuatlah leprosaria, koloni, atau perkampungan khusus penderita kusta.

Basil kusta baru ditemukan tahun 1874 oleh sarjana dari Norwegia, Gerhard Armauer Henrik Hansen. Oleh karena itu, kusta disebut juga penyakit Morbus Hansen. Saat itu diketahui bahwa kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae, penyakit ini ternyata disebabkan oleh kuman dan bukan karena kutukan dan bukan penyakit keturunan atau genetis.

Kusta menyerang kulit dan saraf tepi bila tidak tertangani dengan baik maka dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf anggota gerak termasuk saraf mata. Namun, penyakit kusta tidak menyebabkan anggota tubuh lepas begitu saja seperti pada penyakit tzaraath yang seringkali dipersepsikan keliru oleh masyarakat.

Satu abad kemudian Lepra baru dapat dikembangkan di laboratorium oleh Professor Aryeh L. Olitzki kepala bagian mikrobiologi klinis dan serologi Rumah Sakit Hadassah di Jerusalem. Saat itu belum ditemukan pengobatan yang tepat sehingga  penderita kusta hanya mendapat Streptomycin yang biasa digunakan untuk penderita Tuberculosis (Kompas, 16/12/1965, “Penemuan Penting untuk Berantas Penyakit Lepra”).

Penanganan kusta berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan obat-obatan. Pengobatan pertama terjadi pada tahun 1940-an dengan pengembangan obat dapson, yaitu substansi berbahan sulfur yang bekerja dengan cara mencegah bakteri penyebab kusta bereproduksi.

Durasi pengobatan yang berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan seringkali seumur hidup, membuat penderita kusta pada masa itu menjadi sulit untuk konsisten menjalani pengobatan. Pada tahun 1950-an, terjadi resistensi bakteri M. Leprae, bakteri penyebab kusta, terhadap obat dapson, satu-satunya obat antikusta yang diketahui pada saat itu. Resistensi bakteri ini menyebar cukup luas sehingga mengakibatkan penderita kusta yang diberikan obat dapson tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kepulihan. Sebagai solusi dari masalah resistensi ini, pada awal 1960-an, rifampisin dan klofazimin ditemukan dan kemudian ditambahkan ke dalam rejimen pengobatan, yang kemudian diberi label sebagai Multi-Drug Therapy (MDT).

Harian Kompas edisi Rabu, 11 Juni 1969 dengan judul berita Obat Baru untuk Menyembuhkan Penyakit Kusta” menyebutkan negara Swiss mengumumkan bahwa peneliti mereka berhasil menemukan obat baru untuk penderita kusta.

Penularan terjadi melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet) saat batuk atau bersin, tetapi penularan terjadi jika hidup dengan penderita dalam waktu cukup lama. Jika hanya bersalaman ataupun berkomunikasi singkat, tidak akan tertular. Gejala awal kusta atau lepra adalah rasa lemah atau mati rasa di tungkai kaki, dan timbulnya lesi pada kulit.

Dalam upaya melawan penyakit kusta di dunia, pada tahun 1981 Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT. Regimen MDT yang direkomendasikan saat ini terdiri dari tiga obat: dapson, rifampisin dan clofazimine. Perawatan ini berlangsung selama enam bulan untuk kusta tipe pausibasiler dan 12 bulan untuk kusta tipe multibasiler. MDT bekerja dengan cara membunuh patogen dan kemudian menyembuhkan pasien.

Sejak tahun 1995 WHO telah memberikan MDT secara gratis. MDT gratis awalnya didanai oleh The Nippon Foundation, dan sejak tahun 2000 didonasikan melalui perjanjian dengan Novartis. Perjanjian donasi MDT dengan Novartis telah diperbarui sampai tahun 2025 mendatang.

Lebih dari 16 juta pasien kusta telah diobati dengan MDT selama 20 tahun terakhir sejak diperkenalkan. Penurunan umum dalam kasus baru, meskipun bertahap, telah diamati di beberapa negara. Kasus baru berkurang menjadi 202.256 kasus pada tahun 2019. Banyak negara melaporkan hanya terjadi beberapa kasus, sementara 45 negara melaporkan nol kasus baru kusta.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pekerja membuat kaki palsu dan alas kaki bagi penderita kusta di RS Kusta Sumberglagah, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Selasa (27/1/15 ). Di Indonesia angka kasus baru kusta pada 2014 mencapai 18.994 kasus, 4.807 kasus baru diantaranya berada di Provinsi Jawa Timur.

Apa itu penyakit kusta?

Kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit menular atau infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Bakteri ini menyerang saraf di tangan, kaki dan wajah, menyebabkan mati rasa dan hilangnya sensasi pada bagian tubuh tersebut. Kusta juga dapat mempengaruhi hidung dan mata.

Penularannya terjadi melalui pernapasan, udara, dan kontak langsung dengan penderita yang belum diobati. Penyakit kusta memang termasuk penyakit menular, namun tergolong sulit untuk menular karena hanya orang yang memiliki kontak erat, dekat dan dalam intensitas waktu yang lama yang biasanya berisiko tertular.

Bakteri penyebab kusta berkembang biak dengan sangat lambat, sehingga penularan penyakit kusta cenderung rendah. Sekitar 95 persen orang memiliki kekebalan alami terhadap penyakit kusta. Cara penularannya adalah bakteri tersebut masuk melalui percikan cairan pernafasan dan kemunculannya pun bergantung pada imunitas tubuh seseorang. Imunitas seseorang mempengaruhi lama masa inkubasi bahkan tipe penyakit kusta (kering atau basah).

Gejala awal kusta meliputi perubahan warna atau bercak putih ringan pada kulit disertai dengan hilangnya sensasi pada kulit. Bintil kemerahan juga tersebar pada kulit, kesemutan pada anggota badan dan raut muka yang berbenjol-benjol dan tegang. Ketika saraf di lengan terpengaruh, tangan menjadi mati rasa dan otot-otot kecil menjadi lumpuh, menyebabkan jari tangan dan ibu jari melengkung.

Ketika kusta menyerang saraf di kaki, sensasi di kaki juga akan hilang. Akibatnya, penderita kusta tidak merasakan sakit, dan dapat mengalami cedera pada tangan dan kaki tanpa disadari. Saraf yang rusak juga menyebabkan kulit terkelupas, dan jaringan di bawah kulit terbuka.

Tanda dan gejala kusta sangat bervariasi, tergantung pada daya tahan penderita terhadap penyakit kusta. Kusta dapat dengan mudah disalahartikan sebagai penyakit lain seperti panu, kurap, dan kaligata. Gejala kusta sering kali tidak selalu tampak, justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama.

Bakteri kusta dapat menyerang kulit dan saraf tepi, sehingga jika terlambat diobati dapat menimbulkan cacat permanen. Kusta dapat disembuhkan tanpa menimbulkan kecacatan jika cepat ditemukan dan cepat diobati.

Kenyataannya, penyakit kusta seringkali ditemukan terlambat dan sudah dalam keadaan cacat yang terlihat. Pada dasarnya, terdapat 2 tingkatan kecacatan penyakit kusta saat ditemukan, yaitu tingkat I dan II. Kecacatan tingkat I adalah cacat yang belum terlihat atau belum ada perubahan pada anatominya. Sementara kecacatan tingkat II adalah sudah terjadi perubahan yang nampak pada anatomi penderita kusta.

Klasifikasi kasus kusta tergantung pada jumlah bercak/lesi kulit. Satu sampai lima bercak atau lesi pada kulit digolongkan sebagai kusta pausibasiler, sedangkan lebih dari lima bercak atau lesi disebut kusta multibasiler. Tenaga kesehatan yang terlatih mampu membedakan kedua jenis kusta dan mengobatinya dengan tepat.

Bagi mereka yang terkena kusta pengobatan yang efektif dengan diberikan multi drug treatment (MDT) yang tersedia gratis di Puskesmas dan beberapa rumah sakit. Lama pengobatan 6 bulan untuk tipe PB (pausibasiler), dan 12 bulan untuk tipe MB (multibasiler).

Masa inkubasi kusta berkisar dari 9 bulan hingga 20 tahun. Rata-rata adalah sekitar 4–5 tahun untuk kusta pausibasiler (satu atau dua luka berbatas tegas), dan dua kali lipat untuk kusta multibasiler (banyak lesi datar atau menonjol, tidak berbatas tegas, mengkilap, halus, lesi terdistribusi simetris). Namun, terdapat beberapa kasus telah mengidentifikasi kusta pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa imunisasi BCG melindungi imun terhadap kusta, selain tuberkulosis. Oleh karena itu, penting bagi setiap anak untuk diimunisasi dengan BCG. Lama waktu pengobatan kusta berkisar antara 6–12 bulan tergantung tipe penyakitnya. Perubahan warna kulit biasanya mulai berkurang segera setelah penghentian MDT (Multi-Drug Therapy) dan kulit akan menjadi normal sepenuhnya dalam waktu satu tahun.

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Kipas dengan cetakan berisi pesan tentang bercak kusta dan apa yang perlu dilakukan jika ditemukan ditunjukkan pada Jumat (29/1/2016), di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta. Kemenkes menargetkan seluruh provinsi di Indonesia mencapai status eliminasi kusta pada 2019, yang saat ini baru tercapai di 21 provinsi.

Penularan

Penyebab penularan penyakit kusta, antara lain:

  • Bersentuhan dengan hewan penyebar bakteri kusta seperti armadilo atau simpanse
  • Menetap atau berkunjung ke daerah endemik kusta
  • Memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh

Penularan kusta awalnya tidak tampak jelas, bahkan ada yang baru terlihat setelah 20–30 tahun berkembang biak dalam tubuh seseorang. Namun, penderita kusta dapat memiliki gejala kusta, antara lain:

  • Mati rasa di kulit, kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan atau pun rasa sakit
  • Muncul lesi pucat, berwarna terang dan menebal di kulit
  • Kulit tidak berkeringat (anhidrosis)
  • Muncul luka tapi tidak terasa sakit
  • Pembesaran saraf yang biasanya terjadi di siku dan lutut
  • Otot melemah, terutama otot kaki dan tangan
  • Kehilangan alis dan bulu mata
  • Mata menjadi kering dan jarang mengedip
  • Mimisan, hidung tersumbat, atau kehilangan tulang hidung
  • Pada tingkat yang lebih parah dapat mengakibatkan hilangnya sensasi rasa termasuk rasa sakit, berlanjut dengan hilangnya jari tangan dan kaki

Berdasarkan tingkat keparahan gejala, kusta dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu:

  • Intermediate leprosy, terdapat lesi datar warna pucat atau lebih cerah dari warna kulit sekitarnya (mirip panu) dan kadang sembuh dengan sendirinya
  • Tuberculoid leprosy, muncul beberapa lesi datar, kadang disertai mati rasa dan pembesaran saraf
  • Borderline tuberculoid leprosy, muncul lesi kecil dan lebih banyak dari tuberculoid leprosy.
  • Mid-borderline leprosy, ditandai dengan banyaknya lesi kemerahan yang tersebar secara acak dan asimetris, mati rasa, serta pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
  • Borderline Lepromatous leprosy, lesi yang jumlahnya banyak dapata berbentuk datar, benjolan nodul dan terkadang mati rasa
  • Lepromatous leprosy ditandai dengan lesi yang tersebar asimetris, umumnya mengandung banyak bakteri disertai rambut rontok, gangguan saraf dan kelemahan anggota gerak.

Lesi merupakan istilah medis untuk merujuk pada keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh.

Riwayat kusta di Indonesia

Pada bulan Juli 1965 Indonesia pernah mendapat bantuan dari Pemerintah Republik Federasi Jerman senilai 3.000 DM khusus untuk pemberantasan penyakit kusta, sebelumnya Jerman juga sudah memberi bantuan obat untuk penyakit paru-paru dan memberikan enam buah ambulans (Kompas, 16/7/1965, “Obat Kusta Sumbangan FRD”).

Bantuan pemerintah Jerman untuk Indonesia dalam mengatasi penderita kusta tidak tanggung-tanggung, yaitu merakit Rumah Sakit untuk penderita kusta yang terbuat dari pelat baja yang ditutupi pelat eternit 8 mm dilapisi aluminium.

Rumah sakit seharga 150.000 DM ini dirancang di Dusseldorf oleh arsitek Wanke BDA dan dibuat di Wurzdburg ini berbentuk bintang mampu menampung 100 pasien kusta. Pertengahan tahun 1966, Kapal yang belum dirakit tersebut diberangkatkan dengan kapal dari Hamburg dan ditempatkan di Lewoleba Flores, Indonesia (Kompas, 2/7/1966, “Rumah Sakit Berbentuk Bintang untuk Indonesia”).

Dalam catatan arsip Kompas, tercatat wabah kusta pernah menyerang di Provinsi Sumatera Utara, tahun dalam sidang pleno DPRD Sumatera Utara disebutkan ada 2.350 orang terserang penyakit kusta (Kompas, 13/3/1968, “2.350 Penderita Kusta di Sumut”).

Di Pulau Bali pada 1970 diberitakan 2000 orang penderita kusta berhasil disembuhkan. Sementara itu, sebanyak 1.230 penderita masih dalam tahap pemulihan. Pulau Bali memiliki empat lokasi rehabilitasi penderita kusta, yaitu, Gianyar, Jembrana, Buleleng, dan Tangsu dengan obat-obatan sumbangan dari Unicef dan pemerintah daerah (Kompas, 31/1/1970, “2000 Penderita Kusta di Bali Disembuhkan”).

Pada 13 April 1970, Menteri Kesehatan Indonesia dr. Siwabessy mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 240.000 penderita kusta di Indonesia, sementara di dunia ada 15 juta orang (Kompas, Selasa, 14/4/1970).

Pada Oktober 1972 di Jawa Timur terdapat 18.765 penderita kusta, dengan 10.409 bersifat menular, 6.754 tidak menular dan 1.602 yang berada diantara menular dan tidak menular. Namun, dari semua penderita kusta tersebut hanya 11.619 yang menjalani pengobatan, selebihnya tidak berobat.

Kusta bukanlah keturunan dan bukan pula kutukan, karena penyakit ini dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur. Di Jawa Timur sempat dibangun tempat perawatan khusus tetapi kemudian diganti dengan perkampungan untuk menampung penderita kusta (Kompas, 24/10/1972, “10.409 Orang Penderita Kusta Menular di Jawa Timur”).

Bahkan hingga tahun 1975 kusta masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat Indonesia, terbukti dari keterangan Dokter Boenyamin, Pejabat Direktorat Pencegahan, Pembasmian Penyakit Menular (P3M) diperkirakan ada 100.000 penderita kusta di Indonesia. Dari angka itu hanya 22.000 yang tercatat di Dinas Kesehatan (Kompas, 27/2/1975, “100.000 Penderita Penyakit Kusta di Indonesia”).

Hingga tahun 1970-an di Indonesia penderita kusta dijauhi oleh lingkungan, bahkan mereka membuat tempat isolasi di kampung masing masing, tempat isolasi ini untuk memisahkan penderita kusta dari keluarganya agar tidak tertular. Walaupun tidakan ini mengakibatkan pengobatan menjadi lebih sulit. Tindakan pengucilan tidak perlu dilakukan karena kusta tidak menular dengan cepat. Walaupun demikian, penderita kusta harus dijauhkan dari anak-anak dan orang tua.

Pada 1978, jumlah penderita kusta meningkat, di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Pada Mei 1978 diketahui ada 3.141 orang menderita kusta dengan 1.073 yang melakukan pengobatan secara teratur.

Jumah itu meningkat dari tahun 1974–1975, yaitu 2.574 dan hanya 688 yang melakukan pengobatan secara rutin. Di kota Ujung Pandang dahulu dibuat tempat penampungan penderita di Tamalanrea karena daya tampung RS khusus kusta Jongaya tidak cukup menampung.

Fenomena penderita kusta yang diasingkan jauh dari masyarakat pernah terjadi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada tahun 1978. Di wilayah tersebut proses mengasingkan penderita kusta berlangsung hingga 10 tahun dan tidak pernah ada komunikasi.

Keluarga hanya mengirimkan bahan makanan seminggu sekali dengan menggunakan tongkat panjang karena tidak ingin bersentuhan sama sekali. Ketika selama 2 minggu bahan makanan tersebut tidak disentuh keluarga langsung berpikir penderita sudah mati hingga diputuskan untuk membakar rumah tersebut. Polisi kemudian meminta keterangan dari keluarga yang membakar gubuk penderita kusta tersebut (Kompas, 28/9/1978, “Kasus Pembakaran Penderita Kusta di Medan”).

Pada tahun 2000, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta kurang dari angka 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2017 angka prevalensi sebesar 0,70 kasus dengan angka kasus penemuan 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Namun, di beberapa daerah masih ada di atas 1 per 10.000 penduduk. Masih ada 10 provinsi di Indonesia yang belum dapat dinyatakan bebas kusta.

Di Indonesia pada periode 2015–2016, terdapat 11 provinsi (32,3 persen) yang termasuk dalam beban kusta tinggi, dan 32 provinsi lainnya (67,6 persen) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir di seluruh provinsi Indonesia bagian timur merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Di Pulau Jawa hanya provinsi Jawa Timur yang memiliki beban kusta tinggi. Namun, setelah tahun 2017 Jawa Timur menjadi wilayah dengan beban kusta rendah.

Indonesia memiliki rumah sakit khusus mengobati dan terapi bagi penderita kusta, yaitu RS dr. Sitanala, di Kota Tangerang, Banten. Di rumah sakit ini penderita tidak hanya diobati tetapi juga dilatih untuk mampu mandiri menjalani hidupnya setelah sembuh.

Nama Sitanala diambil dari J.B. Sitanala, seorang dari keluarga besar Sitanala dari Desa Kayeli Pulau Buru, Ambon dan mengambil spesialis kusta di Belanda tahun 1923. Pada 1927 J.B. Sitanala menjadi doktor dan guru besar penyakit kusta. Setelah kembali ke Indonesia ia diangkat menjadi kepala pemberantasan penyakit kusta dan mendirikan rumah sakit khusus pengobatan kusta di Tangerang tahun 1951.

Selain itu, terdapat Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang, Belawan, Medan, Sumatera Utara didirikan tahun 1914 oleh Balai Keselamatan The Salvation Army hingga tahun 1970 menjadi Leprosarium, yaitu tempat pengobatan dan pengasingan penderita kusta.

Di sana penderita juga berlatih hidup bercocok tanam selain pengobatan karena membutuhkan waktu yang lama dan mereka tidak boleh bercampur dengan keluarga yang sehat. Hanya saja RS Pulau Sicanang sudah tidak beroperasi sejak tahun 2010 karena telah dipindahkan ke Rumah Sakit Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA

Sejumlah masyarakat yang berada di Kampung Sitanala, Kota Tangerang, Banten melakukan pemeriksaan komprehensif mulai dari pemeriksaan mata, kulit, gigi, dan psikologi dalam acara bakti sosial yang diselenggarakan Universitas Indonesia, Selasa (3/12/2019).

Jumlah Kasus

Menurut data WHO, jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di Asia Tenggara (156.118) diikuti dengan regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada di regional lain.

Sistem Informasi Penyakit Kusta (SIPK) yang dikutip oleh Kementerian Kesehatan RI per tanggal 25 Agustus 2020, menunjukkan bahwa masih ada 146 kabupaten/kota belum mencapai eliminasi yang tersebar di 26 Provinsi. Untuk tingkat Provinsi, terdapat 8 Provinsi yang masih belum eliminasi kusta, yaitu Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Gorontalo.

Sementara itu jumlah kasus kusta yang terdaftar ada sekitar 18 ribu dan tersebar di 7.548 desa/kelurahan/kampung, mencakup wilayah kerja 1.975 Puskesmas, di 341 kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di provinsi dan kabupaten/kota yang sudah mencapai eliminasi kusta, ternyata masih tetap memiliki kasus kusta.

Menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta kurang dari angka 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000.

Setelah itu, Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (new case detection rate: angka penemuan kasus baru) lebih dari 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1000, sedangkan low burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1000 kasus.

Melawan stigma

Kecacatan yang nampak pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan leprophobia. Meskipun penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup. Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di lima Kabupaten di Indonesia (Kab. Subang, Malang, Gresik, Gowa, dan Bone) pada tahun 2007, memotret diskriminasi yang dialami penderita kusta, baik di lingkungan keluarga maupun di sarana dan pelayanan publik. Bentuk diskriminasi tersebut meliput dipisahkan dari pasangan (diceraikan); dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan; ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya.

Stigma dan diskriminasi seringkali menghambat penemuan kasus kusta secara dini, pengobatan pada penderita, serta penanganan permasalahan medis, baik yang dialami oleh penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta. Karena itu, dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi, dibutuhkan motivasi dan komitmen yang kuat baik dari penderita maupun masyarakat. Penderita diharapkan dapat mengubah pola pikirnya, sehingga dapat berdaya untuk menolong diri mereka sendiri, bahkan orang lain. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengubah pandangannya serta membantu penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta agar tetap sehat dan mampu menjaga kesehatan secara mandiri.

Kusta masih menjadi permasalahan di beberapa negara, termasuk di Indonesia dikarenakan beberapa faktor menurut WHO, antara lain:

  • Kesalahpahaman tentang penyakit kusta. Terlepas dari penemuan M. Leprae, kuman penyebab penyakit kusta, dan bukti ilmiah bahwa kusta bukanlah penyakit keturunan, kebanyakan orang masih memiliki kesalahpahaman terhadap penyakit kusta. Kesalahpahaman inilah yang mengarah pada stigma, diskriminasi dan pengucilan orang yang mengidap kusta dan anggota keluarga yang terkena kusta.
  • Kusta sebagian besar menyerang orang-orang yang kurang mampu, yang menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
  • Program kusta kurang populer dibandingkan program kesehatan lainnya dan kurang mendapat perhatian dan sumber daya di tingkat global dan nasional.

Selain itu, masih ada faktor lain yang berkontribusi terhadap stigma kusta. Faktor yang menambah stigma kusta, antara lain, ketakutan akan tertular penyakit kusta dan kesalahpahaman bahwa tidak ada pengobatan untuk penyakit kusta. Cacat akibat pengobatan yang tertunda dan bau dari bisul yang terinfeksi namun tidak segera diobati menyebabkan penderita mendapatkan penghinaan lebih lanjut dari masyarakat. Kusta juga salah dikaitkan dengan status sosial, dan sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mematahkan stigma terhadap penyakit kusta dan menghentikan diskriminasi terhadap penderitanya, kita dapat melakukan hal-hal berikut:

  • Meningkatkan pemahaman tentang kusta dan berbagi informasi tentang penyakit kusta dengan orang lain. Pemahaman yang lebih baik tentang penyakit kusta akan membantu menghilangkan kesalahpahaman yang menyelimuti penyakit kusta.
  • Mewujudkan hak yang sama untuk penderita kusta. Orang yang terkena kusta memiliki hak yang sama dengan orang lain. Kita bisa membantu untuk menggerakkan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi orang yang mengalami kusta.
  • Memastikan hak-hak mereka yang terkena kusta terpenuhi oleh negara, termasuk hak atas fasilitas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik lainnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Aktivis dan simpatisan Dompet Kusta Indonesia saat kampanye peduli penderita kusta dan peringatan Hari Kusta Internasional di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (25/1/2012). Meski sudah berusia ribuan tahun, kusta atau lepra belum bisa tuntas diberantas.

Upaya pemerintah Indonesia

Untuk tetap menerapkan adaptasi kebiasaan baru (New Normal) pada masa pandemi COVID-19, dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan Wasor (wakil supervisor) kusta di provinsi dan kabupaten/kota, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta.

Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta adalah suatu proses pembelajaran mandiri yang dilakukan secara terencana dan memenuhi standar. Metode ini dapat meningkatkan kinerja dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam penanggulangan kusta.

PJJ P2 Kusta merupakan pelatihan yang menggunakan metode Blended Learning. Peserta pelatihan akan menjalankan pelatihan dengan 2 tahapan: pembelajaran online dan pembelajaran tatap muka. Tahap pertama, yaitu pembelajaran melalui media daring atau online dilaksanakan dengan menggunakan platform pembelajaran berbasis Learning Management System, yang didesain dengan sequence dan kaidah-kaidah pembelajaran mandiri. Pada tahap online peserta harus menuntaskan materi-materi sesuai tahapan demi tahapan dalam ketuntasan belajarnya. Tahap kedua, yaitu pembelajaran dengan tatap muka, di sini peserta melanjutkan pelatihan di kelas dan tempat praktek lapangan.

PJJ P2 Kusta dengan metode Blended Learning ini diharapkan akan lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas SDM untuk melaksanakan P2 kusta di Indonesia.

Pelatihan metode Blended Learning ini mempersingkat durasi pelatihan P2 kusta dari yang sebelumnya 14 hari secara tatap muka (teori dan praktik) menjadi 5 hari tatap muka, pembelajaran online dapat dilakukan secara mandiri dengan bimbingan dan pengawasan dari tutor. Peserta tidak perlu lama meninggalkan tempat kerja untuk mengikuti pelatihan dan masih tetap dapat melaksanakan pekerjaan rutinnya.

PJJ P2 Kusta ini secara resmi diluncurkan pada Selasa, 1 September 2020 di Gedung Kemenkes oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan R.I, dr. Achmad Yurianto dan disaksikan oleh Direktur Operasional NLR di Kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta pada tanggal 1 September 2020.

Penanggulangan kusta perlu didukung dengan peningkatan kapasitas dalam hal pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan. Penanggulangan mulai dari kebijakan program P2 Kusta, epidemiologi, diagnosis penyakit, tata laksana, pencatatan dan pelaporan, serta penyediaan dan pengelolaan logistik sampai ke supervisi dan monitoring.

Model PJJ dikembangkan untuk dapat menjawab tantangan dalam pelaksanaan pelatihan klasikal, yaitu keterbatasan biaya dan waktu dari peserta. Dengan PJJ P2 kusta ini, diharapkan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa mengimplementasikan pelatihan di wilayahnya masing-masing sebagai upaya penguatan SDM dalam penanggulangan kusta. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

World Health Organization. 2013. Frequently Asked Questions on Leprosy. India: World Health Organization Regional Office for Southeast Asia.

Arsip Kompas:
  • “Penemuan Penting Untuk Berantas Penyakit Lepra”. Kompas, Kamis, 16 Desember 1965, hlm 3
  • “Obat Baru untuk Menyembuhkan Penyakit Kusta”. Kompas, Rabu, 11 Juni 1969, hlm 2
  • “Obat Kusta Sumbangan FRD”. Kompas, Jumat, 16 Juli 1965, hlm 1
  • “Rumah Sakit Berbentuk Bintang untuk Indonesia”. Kompas, Sabtu, 2 Juli 1966, hlm 2
  • “Rumah Sakit Komplit dari Jerman”. Kompas, 5 Juli 1966, hlm 1
  • “350 Penderita Kusta di Sumut”. Kompas, Rabu, 13 Maret 1968, hlm 1
  • “2000 Penderita Kusta di Bali Disembuhkan”. Kompas, Sabtu, 31 Januari 1970, hlm 2
  • “409 Orang Penderita Kusta Menular di Jawa Timur”. Kompas, Selasa 24 Oktober 1972, hlm 3
  • “100.000 Penderita Penyakit Kusta di Indonesia”. Kompas, Kamis 27 Februari 1975, hlm 2
  • “Kasus Pembakaran Penderita Kusta di Medan”. Kompas, Kamis, 28 September 1978, hlm 1
Internet

“Leprosy: Hansen’s Disease”, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy, 10 Mei 2021

“World Leprosy Day: Bust the Myths, Learn the Facts”, https://www.cdc.gov/leprosy/world-leprosy-day/index.html, 29 Januari 2021

“Begini Metode Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian Kusta”, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200901/0334779/begini-metode-pelatihan-jarak-jauh-pencegahan-dan-pengendalian-kusta/ , 20 Januari 2021

“Temukan Kusta Sejak Dini: Tidak Ada Kecacatan, Tidak Ada Stigma”, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20170127/3819511/temukan-kusta-sejak-dini-tidak-ada-kecacatan-tidak-ada-stigma/, 28 Januari 2017

“Peluncuran Pelatihan Jarak Jauh P2 Kusta”, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20200901/4834794/peluncuran-pelatihan-jarak-jauh-p2-kusta/ , 20 Januari 2021

“Waspada Kusta, Kenali Cirinya”, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20190207/4829334/waspada-kusta-kenali-cirinya/ , 8 Februari 2019

“Hari Kusta Sedunia 2015: Hilangkan Stigma! Kusta Bisa Sembuh Tuntas”, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20150124/1911814/hari-kusta-sedunia-2015-hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas/, 24 Januari 2015

“Hari Kusta Internasional”, https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/poster/hari-kusta-internasional, 31 Januari 2021

“Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta”, https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infoDatin-kusta-2018.pdf, 2018