Paparan Topik | Pemilihan Umum

Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu

Kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam berbagai lini politik tidak serta merta meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Dunia maskulin dan politik yang kerap diwarnai intrik kecurangan mengakibatkan kaum perempuan enggan terlibat politik.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Sejumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti rapat paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2012). Jumlah politisi perempuan di DPR pada 2012 mencapai 18 persen dari total anggota DPR yang mencapai 560 orang. Jumlah tersebut masih jauh dari kuota anggota legislatif perempuan yang minimal mencapai 30 persen.

Fakta Singkat

  • Pada November 1920, untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat, perempuan memiliki hak untuk memilih termasuk perempuan kulit hitam.
  • Jumlah perempuan yang duduk di parlemen DPR RI pada Pemilu 2019–2024, yaitu 20,9 persen
  • Hasil riset World Bank (2019) menyatakan Indonesia berada di peringkat ke-7 se-Asia Tenggara dalam hal perwakilan perempuan di parlemen.
  • Hasil riset Inter-Parliamentary Union (IPU), di tahun 2022 dari 193 negara di dunia Indonesia berada di peringkat ke-105 soal keterlibatan perempuan di parlemen.
  • Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) merupakan indeks untuk melihat hasil pembangunan yang berperspektif gender.
  • Rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik salah satunya disebabkan karena persepsi masyarakat yang masih menganggap politik adalah ruang maskulin alias dunianya laki-laki.

Partisipasi politik bagi perempuan adalah keterlibatan perempuan untuk memahami, mengerti, menyadari, mengkaji, melobi, memberikan masukan hingga memrotes suatu kebijakan. Partisipasi politik menjadi cerminan adanya keadilan dalam demokrasi yang sedang berjalan.

Berbicara mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen, hasil riset Bank Dunia atau World Bank pada tahun 2019 menyatakan Indonesia berada di peringkat ke-7 se-Asia Tenggara. Hal ini membuktikan kebijakan afirmasi 30 persen belum menghasilkan capaian sesuai harapan. Akan tetapi afirmasi 30 persen ini setidaknya telah membawa perubahan bagi kaum perempuan di parlemen, dibandingkan pada masa orde lama dan orde baru.

Untuk mencapai titik ideal keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen, banyak hal yang masih harus dilakukan oleh perempuan Indonesia, karena  keberadaan perempuan dalam lembaga legislatif sangat penting sebagai upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Diharapkan, dengan adanya keterwakilan perempuan di DPR, suara kepentingan kaum perempuan akan lebih kuat di parlemen, sehingga gagasan terkait perundang-undangan yang pro terhadap perempuan dan anak lebih besar gaungnya di ruang publik.

Faktanya, keterwakilan perempuan di bidang politik masih mengalami peminggiran, diskriminasi, dan praktik subordinasi sehingga perempuan tidak dapat mengembangkan potensi diri secara optimal dalam proses pembangunan.

Walaupun kesempatan politik dan kebijakan telah dibuka bagi perempuan untuk masuk sebagai anggota parlemen, tetapi masih banyak kendala yang membuat perempuan enggan bertarung dalam dunia politik. Rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik salah satunya disebabkan karena persepsi masyarakat yang masih menganggap politik adalah ruang maskulin alias dunianya laki-laki. Selain itu, dunia politik kerap diwarnai praktik-praktik kotor.

Selain stereotip pada dunia politik, perempuan juga khawatir terjun ke politik karena ia tidak yakin dengan kemampuannya. Karena itu, tidak mengherankan masih ada beberapa daerah pemilihan yang sama sekali tidak bisa mengantarkan wakil perempuan ke kursi parlemen.

Menarik untuk melihat sejarah keterlibatan perempuan dalam politik, karena dahulu wanita dianggap tidak pantas untuk terlibat dalam urusan politik atau urusan negara, meskipun telah memberikan suaranya dalam pemilihan umum.

Sejarah Peran Perempuan dalam Politik

Keterlibatan perempuan dalam politik lebih dulu diperjuangkan Amerika Serikat sebagai negara federal. Tidak mudah bagi perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam hak sipil dan politik di masyarakat, sejarah telah membuktikan bahwa diskriminasi telah menjadi bagian kehidupan perempuan maupun ras berwarna di berbagai belahan dunia.

Pada abad ke-19 kesadaran perlunya perempuan memberikan suaranya di Amerika Serikat ditandai dengan munculnya keinginan agar perempuan dan laki-laki dapat beribadah bersama di gereja.

Hingga pada Juli 1848 Jane Hunt bersama Elizabeth Cady Stanton merasa perlu untuk membicarakan  kondisi sosial, keagamaan dan hak-hak perempuan di Seneca Falls, New York. Dengan membagikan iklan rencana pertemuan, kedua perempuan tersebut mendapat dukungan 300 orang ikut berkumpul di Seneca Falls. Selain itu juga didukung oleh seorang pendeta Quaker Lucretia Mott. Sosok Mott adalah pendeta yang turut memperjuangkan penghapusan perbudakan, ia juga  memberikan dukungan untuk pendidikan dan kesetaraan di dunia kerja bagi wanita.

Pertemuan tersebut kemudian dikenal sebagai Seneca Falls Convention, mereka berhasil menyusun Declaration of Sentiments yang menuntut 11 resolusi hak perempuan  termasuk didalamnya adalah hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan pendidikan serta beribadah yang sama dengan laki-laki. Namun, dari 11 resolusi  tersebut ada satu yang ditolak yaitu hak untuk memilih dalam politik.

Gerakan tersebut menandai sebagai awal dari gerakan perjuangan akan hak perempuan di Amerika. Akhirnya, perempuan mampu mendirikan partai yaitu NWSA (National Women Suffragists Association) yang kemudian pecah menjadi dua partai.  Alicia Paul dan Lucy Burns membentuk National Women Party, kedua partai perempuan tersebut  memperjua ngkan kepentingan perempuan melalui lobi-lobi politik walaupun terkadang pilihan perjuangan mereka berbeda.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anggota legislatif periode 2019-2024 Mulan Jameela dan Rachel Maryam bersama anggota legislatif lain berfoto bersama sebelum dimulainya pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR dalam sidang paripurna di Gedung Kura-kura, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Di hari pelantikan Presiden Woodrow Wilson pada 1913, sekitar 5.000-10.000 perempuan berdemonstrasi di Washington DC yang dipimpin oleh Alicia Paul dari National Women’s Party. Sedangkan NAWSA tidak pernah lelah melakukan unjuk rasa damai di luar Gedung Putih, sejak  Januari 1917 hingga Juni 1919. Dipimpin oleh Alicia Paul dan Lucy Burns mereka melakukan aksi damai menuntut perempuan memiliki hak pilih, gerakan ini kemudian dikenal sebagai kelompok The Silent Sentinel.

Awalnya para perempuan tersebut dibiarkan oleh pemerintah dan pihak keamanan, tetapi dengan semakin besarnya dukungan masyarakat dan pendemo, akhirnya aparat mulai melakukan kekerasan.

Menghadapi kekerasan aparat keamanan, para pendemo mulai melakukan aksi mogok makan, sekitar 2.000 perempuan ikut andil disana. Kelompok konservatif dan pemerintah mulai khawatir jika gerakan The Silent Sentinel akan menggiring  opini masyarakat, hingga akhirnya pada pendemo dibubarkan bahkan banyak yang dijebloskan ke dalam penjara.

Pendemo yang dipenjara melanjutkan aksi mogok makan hingga menimbulkan kemarahan aparat pemerintah, maka dilakukan aksi paksa bagi tahanan dengan memasukkan selang lewat hidung untuk memasukkan cairan makanan. Tindakan yang terjadi pada malam 14 November 1917 disebut The Night of Teror yaitu memasukkan cairan makanan lewat selang yang dimasukkan dalam lubang hidung.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Beberapa anggota DPR perempuan dan staf berfoto seusai rapat paripurna Pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/1/2020).

Gerakan perempuan yang dimulai Januari 1917 itu mulai menggerakkan hati Presiden Wilson pada  September 1918. Sejak saat itu Presiden Wilson mulai memberikan dukungan pada perjuangan hak pilih perempuan di tingkat federal, maka pada 21 Mei 1919 parlemen meloloskan amandemen tersebut. Namun, tentu saja membutuhkan dukungan ratifikasi  di tiap negara bagian minimal dua pertiga atau 36 dari 48 negara bagian saat itu.

Bukan hal mudah mengumpulkan persetujuan ratifikasi, penolakan gagasan itu justru datang dari kelompok  konservatif yang tidak setuju dengan  partisipasi politik perempuan.

Tokoh perempuan yaitu Josephine Pearson, seorang dekan filsafat Christian College Columbia berpendapat bahwa  perempuan dalam politik adalah menistakan agama, menodai kesucian perempuan yang mengancam keutuhan rumah tangga dan keluarga. Pearson mengutip dalam Alkitab, bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, sementara politik adalah dunia yang kotor.

Tentu saja partai perempuan NWSA (National Women Suffragists Association dan NWP (National Women Party) tidak mundur dengan penolakan tersebut, mereka  berhasil mengumpulkan suara 36 negara bagian menerima ratifikasi, 9 menolak dan 3 tidak mempertimbangkan Amandemen tersebut.

Tepatnya  26 Agustus 1920 ratifikasi disahkan dalam Amandemen ke-19 Kontitusi Amerika, yaitu “Hak warga negara Amerika Serikat untuk memilih tidak boleh ditolak atau dihilangkan oleh Amerika Serikat  maupun negara bagian manapun berdasarkan jenis kelamin”. Pemilihan presiden pada November 1920 adalah pertama kali dalam sejarah AS perempuan memiliki hak untuk memilih termasuk perempuan kulit hitam.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua DPR Puan Maharani berkunjung ke redaksi Kompas di Jakarta, Selasa (25/1/2022). Puan Maharani didampingi Ketua Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) DPR Utut Adiyanto, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang dan jajaran F-PDIP lainnya.

Pemilu di Indonesia dan Kebijakan Afirmasi

Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu tahun 1955, saat itu perempuan sudah memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam partisipasi politik, bahkan perempuan juga sudah duduk di kursi parlemen meski jumlahnya sangat sedikit.

Sebagai bentuk dukungan pada perempuan saat itu, Pemerintah Era Soekarno telah mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan.

Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.

Kemudian ada perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Namun demikian, jika melihat angka perempuan dalam parlemen angkanya sangat kecil,  pada pemilu pertama tahun 1955-1960 sebesar 5,06 persen, dan sedikit meningkat menjadi 7,17 persen  pada pemilu 1971-1977.

Pemilu berikutnya di tahun 1977-1982 pun tidak berbeda hanya 8,04 persen, dan sedikit bergerak menjadi 9,13 persen  pada pemilu 1982-1987.

Infografik: Perbandingan Anggota DPR Laki-laki dan Anggota DPR Perempuan

Selanjutnya  pemilu  tahun 1987-1992 meningkat lagi menjadi 11,6 persen, dan meningkat menjadi 12,6 persen  pada tahun 1992- 1997.

Jika dilihat sejak pemilu 1955 hingga pemilu 1999 sepertinya tidak ada peningkatan yang berarti hanya berkisar diantara angka 9 persen. Hal itu sangat tidak signifikan dengan peningkatan pembangunan Indonesia selama pemerintahan Orde Baru dimana pembangunan fisik sangat pesat ditambah lagi dengan keberhasilan swasembada pangan.

Peningkatan angka melek huruf dan pendidikan bagi masyarakat di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto seolah tidak berdampak pada partisipasi perempuan dalam dunia politik. Setelah Orde Baru berganti menjadi Orde Reformasi 1998, masyarakat sangat antusias dengan kebebasan politik hingga memunculkan multi partai pada pemilu 1999.

Pada pemilu periode 1999-2004 jumlah perempuan di kursi DPR RI hanya 9 persen, kemudian naik  menjadi 10,7 persen di pemilu 2004-2009,  sedikit menggembirakan di pemilu tahun 2009-2014 jumlah perempuan yang menduduki di kursi DPR lebih banyak yaitu 17,6 persen. Euforia kebebasan politik tidak dipungkiri mendorong keinginan akan hak perempuan hingga   muncullah tuntutan afirmasi 30 persen.

Kebijakan afirmasi (affirmative action) adalah tindakan khusus sementara berupa kebijakan, peraturan atau program khusus untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok termajinalkan dan dilemahkan secara politik, seperti kelompok miskin, penyandang disabilitas, buruh, petani, nelayan termasuk kelompok rentan perempuan.

Infografik: Komposisi Anggota DPR Menurut Jenis Kelamin

Di Indonesia, kebijakan afirmasi dimulai dengan ratifikasi CEDAW (Convention on the elimination of all forms discrimination against women) ke dalam UU No. 7 Tahun 1984, bahwa negara menjamin perlindungan bagi perempuan di segala sektor diantaranya bidang politik.

Kebijakan afirmasi kuota minimal 30 persen ini memberikan ruang politik lebih besar. Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa perempuan sebagai kelompok minoritas kritis yang ditetapkan sebagai tindakan temporer atau sementara sampai hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam ranah politik dapat disingkirkan.

Sistem kuota ini bertujuan untuk meningkatkan perwakilan perempuan  karena banyak problem yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik, sementara pemilih perempuan sangat besar.

Menurut kalangan akademisi,  kebijakan afirmasi dalam politik dibutuhkan karena ada beberapa faktor yaitu :

  1. Perempuan merepresentasikan setengah dari penduduk yang mempunyai hak sebagai warga negara atas setengah kursi DPR, sehingga kuota untuk perempuan bukanlah tindakan diskriminasi tetapi kompensasi atas rintangan selama ini yang menghambat perempuan terlibat dalam politik formal.
  2. Perempuan mempunyai pengalaman berbeda baik segi biologis maupun konstruksi sosial sehingga mereka harus memiliki wakilnya dari kaumnya sendiri di parlemen
  3. Pemilihan adalah tentang keterwakilan, bukan semata-mata karena kualifikasi pendidikan.

Perjuangan afirmasi disetujui dengan menitik beratkan pada tiga hal, yaitu : kuota perempuan dalam kepengurusan partai, kuota perempuan dalam pencalonan legislatif, dan kuota perempuan dalam keterwakilan lembaga legislatif.

Kebijakan afirmasi (affirmative action) untuk perempuan di bidang politik dikukuhkan dalam perubahan UUD 1945 dengan melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Di sini partai politik peserta berkewajiban memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa : “Setiap Partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.

Aturan tentang afirmasi 30 persen kemudian disempurnakan dalam RUU Paket Politik yang digunakan dalam Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Dalam UU No. 22 Tahun 2007 Penyelenggaraan Pemilu mengatur agar  memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Padal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan  bahwa “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwkilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.

Hal itu juga berlaku pada syarat pendirian partai politik dalam UU No. 2 Tahun 2008, pasal 2 menyatakan : “Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan”.

Selain itu, afirmasi 30 persen juga harus diterapkan pada semua tingkatan kepengurusan partai dari pusat hingga kabupaten/kota, dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik : “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling reandah 30 persen yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”.

Dengan demikian, partai politik baru dapat mengikuti pemilu jika menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Penegasan itu diatur dalam  UU No. 10 Tahun 2008 tentang anggota DPR, DPD, DPRD, “Partai Politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

Dengan demikian, partai politik harus memperhatikan seluruh lini kepengurusan yang harus menyertakan perempuan minimal 30 persen. Yang paling mendasar untuk anggota parlemen adalah daftar bakal calon paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, pasal 53 UU Pemilu No. 10 Tahun 2008: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52  memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan”. Aturan itu berlaku pada calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Bahkan, penguatan afirmasi 30 persen dilakukan dengan penerapan zypper system, yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon harus terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 yang menyatakan : “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 orang bakal calon terdapata sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon”. Nama calon-calon tersebut diurutkan  bersusun berdasarkan nomor urut sesuai pada ayat (1) UU tersebut.

Dengan demikian, partai politik harus bekerja keras untuk mengikuti undang-undang afirmasi agar dapat melenggang ke parlemen. Agar partai politik konsisten pada aturan afirmasi maka KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi wewenang untuk memberitahukan pada publik, salah satunya adalah  mengumumkannya di media publikasi. Pada Pasal 66 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 : “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon teap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”.

Kebijakan afirmasi memaksa partai politik untuk bekerja keras mewujudkan tindakan afirmasi di dalam partainya. Maka mesin partai harus mampu membangun situasi yang kondusif tercipta pengurus perempuan dari pusat hingga kabupaten/kota. Bahkan, harus berpromosi agar perempuan mau mengajukan dirinya menjadi calon anggota legislatif.  Namun, tidak semudah membalikkan tangan karena iklim politik untuk perempuan belum terbentuk.

Hal itu terbukti pada pemilu 2014-2019 jumlah perempuan yang lolos parlemen hanya 17,7 persen tidak berbeda dengan pemilu 2009 saat belum ada kebijakan afirmasi. Dari sini kita bisa melihat bahwa kebijakan  afirmasi tidak otomatis meningkatkan jumlah perempuan dalam parlemen.

Banyak faktor yang mempengaruhi bersedia atau tidaknya perempuan ikut dalam gelaran akbar pemilu sebagai politisi. Selain modal finansial tentu saja modal sosial dan dukungan calon pemilih. Jumlah perempuan yang duduk di parlemen terlihat meningkat signifikan pada pemilu 2019-2024 yaitu 20,9 persen.

Persentase Anggota Parlemen Perempuan di DPR dan DPD RI

Infografik: Persentase Anggota Parlemen Perempuan 2004-2019
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Namun demikian, lain halnya jika kita melihat persebaran perempuan legislator di daerah baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Anggota legislatif perempuan sudah ada di seluruh kota kabupaten di daerah-daerah walaupun dengan persentase yang berbeda.

Di beberapa propinsi di Pulau Jawa, persentase perempuan anggota legislatif tidak jauh dari kisaran 20 persen, Jawa Timur hanya 18,33 persen. Jumlah terbesar yang telah memenuhi minimal kuota 30 persen hanya terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah, sementara yang terendah adalah Nusa Tenggara Barat yaitu 1,56 persen.

Uniknya, di Pulau Sulawesi jumlah anggota legislatif perempuan secara persentase lebih tinggi dari Pulau Jawa:  Provinsi Sulawesi Utara sebesar 29,27 persen; Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 28,40 persen; Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Gorontalo masing-masing sebesar 26,67 persen. Namun, di Sulawesi Barat persentase legislator perempuan sangat rendah yaitu 11,11 persen.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Politisi Perempuan di Parlemen Anggota Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin (kanan), bersama Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli menjadi pembicara dalam diskusi keterwakilan perempuan di parlemen, di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (14/5/2012). Diskusi membahas perjuangan penambahan kuota perempuan dalam parlemen yang saat ini masih menemui jalan terjal.

Indikator Kemajuan Perempuan Indonesia

Dalam RPJMN 2020-2024, kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan berkelanjutan yang harus diwujudkan pada tahun 2030. Tentu saja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) / Sustainable Development Goals (SDGs) adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam agenda pembangunan Indonesia ke depan. Indonesia menetapkan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender.

Untuk melihat hasil pembangunan yang berperspektif gender maka indikator yang digunakan adalah  Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).

Jika angka IPG mendekati 100 maka pencapaian laki-laki dan perempuan hampir sama, tetapi bisa berarti sama-sama tinggi, atau sama-sama rendah. Sementara itu IDG digunakan untuk mengukur partisipasi aktif perempuan di bidang ekonomi, politik dan manajerial.

Ada tiga indikator yang digunakan yaitu persentase sumbangan perempuan di parlemen, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan melalui jabatan pengambilan keputusan, professional, administrasi dan teknisi.

Jika membandingkan IPG Indonesia sejak tahun 2015 sebesar 91,3 persen  dan sempat mengalami penurunan tahun 2016 menjadi 90,82 persen, optimisme  muncul karena sejak 2017 IPG  terus meningkat. Tahun 2019 IPG mencapai 91,7 persen  atau 0,55 poin atau tumbuh 0,08 persen dibanding tahun 2018.

Tidak dapat dimungkiri nilai IPG meningkat karena pertumbuhan IPM perempuan lebih besar dibandingkan dengan IPM Laki-laki. Meskipun capaian IPG di tahun 2019 ini telah memulihkan capaian di tahun 2015, namun belum berhasil mencapai target Indikator Kinerja Utama Renstra Kementerian PPPA di tahun 2019 yang mentargetkan IPG telah mencapai 92,00. Selain itu angka IPG meningkat tajam karena terdorong oleh jumlah perempuan di parlemen meningkat dari 17,32 persen menjadi 20,52 persen .

Jika dilihat tiap provinsi maka capaian melalui IPG maka per tahun 2019 ada lima belas provinsi yang memiliki nilai  IPG di atas rata-rata nasional (92,00) dan ada 3 kabupaten yang tertinggi paling bawah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anggota DPD periode 2019-2024 termuda Jialyka Maharani saat hadir dalam pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR dalam sidang paripurna di Gedung Kura-kura, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Pada 2018 dengan peningkatan sebanyak 3,14 poin atau sebesar 4,35 persen. Pertumbuhan IDG pada periode 2018-2019 ini sangat cepat dibandingkan periode 2017-2018 yang hanya meningkat 0,36 poin atau 0,50 persen. Tingginya pertumbuhan IDG ini disebabkan adanya peningkatan yang terlihat pada semua indikator pembentuk IDG, terutama pada keterlibatan perempuan di parlemen yang meningkat signifikan.

Sementara, IPM merupakan indikator gambaran capaian (rasio) IPM laki-laki dengan IPM perempuan yang dilihat berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dimensi pendidikan menggunakan harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Dimensi kesehatan menggunakan umur harapan hidup, dan dimensi ekonomi menggunakan pengeluaran perkapita.

Dalam Kabinet Kerja periode 2014-2019, KemenPPPA menyusun Rencana Strategis berdasarkan yang menyasar pada perempuan sebagai bagian dari pembangunan yaitu  kesetaraan gender, keadilan gender, perlindungan perempuan, dan pemenuhan  hak anak-anak.

Jika merujuk pada target Renstra, terlihat belum semua provinsi memenuhi capaian yang diharapkan. Di tahun 2019 terdapat 11 provinsi yang telah mencapai target. Sayangnya, sebaran angka IPG tidak merata karena hampir separuh provinsi memiliki nilai IPG dibawah capaian nasional. Provinsi dengan IPG terendah adalah Papua 80,05 dan Papua Barat 82,74.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Keterwakilan Perempuan Dua anggota DPR, yakni Siti Hediati Soeharto dari Fraksi Partai Golkar (depan) dan Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari dari Fraksi PDI Perjuangan (tengah), hadir dalam pembukaan masa sidang kedua DPR, Senin (12/1/2015).

Afirmatif Tidak Otomatis

Mengapa  afirmatif itu menjadi penting karena  kebijakan pembangunan membutuhkan peran strategis perempuan. Oleh karena itu, perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan terkait berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Hal itu akan mengoreksi Perempuan tidak hanya menjadi objek dari berbagai program pembangunan, tetapi justru menjadi subjek pembangunan. Perempuan tidak hanya diposisikan sebagai penerima manfaat, namun sebagai aktor utama dalam membangun negara dan bangsa.

Beberapa faktor yang menghambat partisipasi politik perempuan; yaitu :

  1. Partai politik identik dengan kaum pria atau maskulin
  2. Sistem pemilu tidak berpihak pada perempuan.
  3. Gerakan perempuan cenderung mengalami fragmentasi berdasarkan aliran aliran yang mempengaruhi pola gerakan mereka.
  4. Gerakan perempuan tidak solid dan terpecah berdasarkan kepentingan dan orientasi gerakan para aktivisnya.
  5. Pembagian peran gender secara biologis antara perempuan dan laki-laki
  6. Perempuan tidak memiliki keyakinan pada kemampuannya sendiri dan seringkali tidak mendapat dukungan dari keluarga.
  7. Rendahnya kepercayaan publik untuk memilih perempuan menjadi anggota legislatif.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Presiden Joko Widodo (depan) didampingi Ketua DPR RI Puan Maharani dan Presiden Perserikatan Parlemen Internasional, Duarte Pacheco, berpamitan setelah secara resmi membuka acara rangkaian pertemuan Parlemen P20 2022 di Ruang Sidang Utama DPR RI, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Acara pertemuan P20 ini diikuti perwakilan parlemen negara-negara anggota G20. Agenda utama pertemuan ini membahas kerjasama multirateral antar negara anggota tersebut. Acara ini dibuka secara resmi oleh Presiden RI Joko Widodo.

Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU), di tahun 2022 dari 193 negara di dunia Indonesia berada di peringkat ke 105 dengan 21,5 persen perempuan di parlemen. Sedangkan Rwanda justru berada di peringkat teratas di mana jumlah perempuan yang menduduki parlemen mencapai 61,3 persen. Disusul Kuba dengan 53,4 persen, Nikaragua dengan 50,6 persen, serta Meksiko dan Uni Emirat Arab masing-masing 50 persen.

IPU adalah suatu organisasi yang mewadahi parlemen atau badan legislatif di seluruh dunia untuk memberdayakan parlemen dan anggota-anggotanya, mendorong perdamaian, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan afirmasi perempuan di parlemen tidak akan secara mudah mendongkrak jumlah legislator perempuan. Masyarakat harus kritis melihat realitas politik terkait dengan sistem elektoral yang kurang menuntungkan bagi perempuan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan

UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. 

  • Dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, keterwakilann perempuan harus 30 persen

UU No. 22 Tahun 2007 keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

UU No. 2 Tahun 2008

  • Pasal 2 Pendirian dan pembentukan Partai Politik harus menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.
  • Pasal 20 UU 2 Tahun 2008 Semua tingkatan kepengurusan partai dari pusat hingga kabupaten/kota harus  menyertakan 30 persen perempuan

UU No. 10 Tahun 2008 tentang anggota DPR, DPD, DPRD

  • Kepengurusan partai politik di tingkat pusat harus menyertakan 30 persen perempuan.
  • Pasal 53 Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan
  • Pasal 66 KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional
Data
Jurnal
Internet