Aparat keamanan melintasi sebuah kendaraan yang hancur terkena imbas unjuk rasa yang berakhir ricuh depan Kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019) malam.
Fakta Singkat
Indeks Kerawanan Pemilu 2024
- Indeks Kerawanan Pemilu diharapkan dapat menjadi basis penyusunan pencegahan dan pengawasan tahapan pemilu dan deteksi dini potensi pelanggaran di suatu daerah.
- Kerawanan pemilu didefinisikan sebagai hal yang berpotensi dapat mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis.
- Kajian kerawanan pertama kali dilakukan menyambut Pemilu 2014. Setelah itu, diluncurkan IKP edisi Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, Pemilu 2019, dan Pilkada 2020.
- Dimensi pengukuran yang digunakan dalam IKP telah berubah setidaknya empat kali. Pada IKP 2024 sendiri, digunakan dimensi Konteks Sosial Politik, Penyelenggaraan Pemilu, Kontestasi, dan Partisipasi.
- Pada Pemilu 2024, terdapat lima provinsi yang terdeteksi dan terindikasi memiliki Kerawanan Tinggi, yakni DKI Jakarta (dengan skor 88,95), Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04).
- Pada Pemilu 2024, terdapat 15 kabupaten/kota dengan tingkat kerawanan tinggi. Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Intan Jaya mencapai skor kerawanan hingga 100.
- Apabila dibandingkan dengan IKP 2019, sebanyak 16 dari 34 provinsi mengalami peningkatan kerawanan. Sementara pada tingkat kabupaten/kota, terjadi peningkatan jumlah daerah yang sangat rawan pada seluruh dimensi pengukuran.
- Kelima isu strategis yang diakomodasi dalam IKP 2024 antara lain, netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan tahapan di provinsi baru, potensi polarisasi masyarakat, mitigasi penggunaan sosial media, hingga menyangkut hak memilih dan dipilih.
Menurut Robert Dahl, dalam buku Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy Vs. Control, pemilihan umum atau Pemilu merupakan pengejawantahan nyata dari konsep demokrasi yang diusung suatu bangsa. Dalam konteks demikian, pemilu sebagai anak kandung demokrasi haruslah mengusung nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, transparansi, inklusivitas, dan berkeadilan.
Meski demikian, momen-momen pemilu kerap memunculkan kerawanan politik dan berdampak menggoyahkan keseimbangan tatanan masyarakat. Contoh nyata dari hal ini adalah pelaksanaan Pemilu Daerah (Pilkada) 2017 di Ibu Kota DKI Jakarta. Mengacu pada Kompas.id (19/4/2017, Jakarta Menjadi Perhatian Dunia), pelaksanaan pilkada tersebut menyimpang begitu jauh dari batas kewajaran dan demokrasi yang sehat.
Salah satu dampaknya, Pilkada 2017 mendapat perhatian luas dari masyarakat internasional. Media asing BBC sampai memberi cap “paling kotor dan memecah belah”. Penambahan petugas keamanan pun tidak mampu mengatasi persoalan yang ada. Selaras dengan hal tersebut, isu keagamaan juga menjadi perhatian utama berbagai pihak.
Media CNN menyinggung soal peningkatan ketegangan religius, baik selama kampanye maupun pemungutan suara. Faktor keagamaan, tidak hanya menjadi katalis bagi hasil Pemilu 2017 tersebut, namun juga bagi keterpecahbelahan masyarakat.
Dalam berbagai konteks konstelasi kompetisi kuasa politik tersebut, pelaksanaan pemilu pun akan selalu dinaungi kerawanan. Konsekuensi bahaya yang merugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu menghantui keseimbangan masyarakat. Meski begitu, pemilu itu sendiri harus tetap dilangsungkan untuk menjaga pelaksanaan demokrasi bangsa. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan mitigasi melalui pemetaan kerawanan pemilu.
Sebagai upaya pemetaan kerawanan pemilu, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menyusun laporan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Secara periodik, menyambut momentum pemilu, Bawaslu menerbitkan IKP yang berisikan pemetaan potensi kerawanan di 34 provinsi dan 514 kabupaten dan kota seluruh Indonesia.
Mengacu pada laman resmi Bawaslu (bawaslu.go.id), Anggota Bawaslu Lolly Suhenty menuturkan, IKP menjadi basis untuk program pencegahan dan pengawasan tahapan pemilu dan pemilihan.
Selain itu, IKP juga menjadi upaya nyata dari Bawaslu dalam proyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran. “Kami harap semua daerah tetap kondusif. Tidak terjadi hal-hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis,” ucapnya dalam peluncurkan IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, di Jakarta, pada 16 Desember 2022.
IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 sendiri menjadi edisi paling aktual yang diterbitkan oleh Bawaslu. Publikasi tersebut disusun untuk mempersiapkan program pencegahan dan pengawasan kerawanan dalam pemilu mendatang. Dalam IKP 2024, diperoleh tingkat kerawanan yang bervariasi pada provinsi-provinsi di seluruh Indonesia.
Selain itu, turut terungkap pula lima isu strategis dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti. Isu-isu tersebut melingkupi netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan tahapan di provinsi baru, potensi polarisasi masyarakat, mitigasi penggunaan sosial media, hingga menyangkut hak memilih dan dipilih.
Polemik netralitas menjadi pengalaman penting dalam menjaga kemandirian dan profesionalitas dalam pelaksanaan tahapan pemilu kedepan. Sementara isu polarisasi masyarakat ini harus mendapat perhatian penuh untuk tetap menjaga stabilitas dan situasi kondusif dalam setiap tahapan pemilu. Salah satu upaya yang menjadi perhatian adalah dampak penggunaan media sosial dalam dinamika politik kedepan.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, memberikan paparan saat Peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 di Jakarta, Jumat (16/12/2022). Provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi yakni DKI Jakarta dengan skor 88,95 sedangkan Intan Jaya dan Jayawijaya menjadi kabupaten/kota dengan tingkat rawan tertinggi dengan skor 100.
Indeks Kerawanan Pemilu
Definisi Konsep dan Instrumen
Dalam memahami Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), kata “kerawanan” menjadi objek kajian dan analisis utama Bawaslu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “rawan” sebagai kata dasar dari “kerawanan” memiliki makna sebagai “mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya; gawat”. Oleh karena itu, kerawanan merujuk pada suatu keadaan yang mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya.
Merujuk pada Pendahuluan dalam IKP 2024, kerawanan pemilu didefinisikan sebagai hal yang berpotensi dapat mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Kerawanan dapat timbul dari kejadian ataupun situasi yang mendorong adanya malpraktek dan manipulasi proses kepemiluan. Dalam pemahaman demikian, maka Bawaslu memberikan perhatian analisis lebih pada aspek sosial dan politik – dengan meletakkannya dalam dimensi yang dapat diukur.
Mengacu pada laman resmi Sistem Informasi Peta Kerawanan Pemilu (sipekapilu.bawaslu.go.id) yang dibuat oleh Bawaslu, diketahui bahwa turut dikembangkan empat dimensi analisis yang menjadi acuan. Secara garis besar, dimensi yang digunakan dalam mengukur kerawanan Pemilu 2024 tidak berubah dari pengukuran IKP 2019.
Keempat dimensi tersebut lantas akan diturunkan ke sejumlah parameter yang lebih mikro, tepatnya 12 subdimensi dan 61 indikator dalam mengukur tingkat kerawanan pemilu di daerah. Keempat dimensi tersebut, termasuk 12 sub-dimensi pecahannya meliputi:
- Dimensi Konteks Sosial Politik
Sub-dimensi : Keamanan, Otoritas Penyelenggara Pemilu, Otoritas Penyelenggara Negara.
- Dimensi Penyelenggaraan Pemilu
Sub-dimensi : Hak Memilih, Pelaksanaan Kampanye, Pelaksanaan Pemungutan Suara, Ajudikasi dan Keberatan Pemilu, Pengawasan Pemilu.
- Dimensi Kontestasi
Sub-dimensi : Hak Dipilih, Kampanye Calon.
- Dimensi Partisipasi
Sub-dimensi : Partisipasi Pemilih, Partisipasi Kelompok Masyarakat
Penyusunan IKP dilakukan dengan riset kepemiluan, melalui pengukuran kuantitatif terhadap dimensi dan indikator yang telah ditetapkan. Dalam kerangka demikian, alur riset dan penyusunan IKP mencakup lima tahap, mulai dari Penyusunan Konsep dan Konstruksi IKP, Penyusunan Instrumen (Kuesioner), Pengumpulan dan Pengelolaan Data, Pengolahan dan Analisis Data, hingga Peluncuran.
Peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018 di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (28/11/2017). Indeks tersebut diharapkan menjadi alat pemetaan pengukuran potensi, prediksi, dan deteksi dini menentukan awilayah prioritas yang rawan dalam proses pemilu demokratis.
Tujuan IKP
IKP memiliki fungsi untuk menjadi sebuah instrumen penting dalam memberikan bahan analisa untuk memetakan potensi kerawanan dalam penyelenggaraan pemilu. Sementara kualitas pemilu itu sendiri harus dijaga demi demokrasi dan keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karenanya, Bawaslu merumuskan tujuan IKP sebagai berikut:
- Memetakan potensi kerawanan di 34 Provinsi dan 514 Kab/Kota.
- Melakukan proyeksi dan deteksi dini derhadap potensi kerawanan yang muncul.
- Menjadi basis untuk program pencegahan dan pengawasan.
IKP pun tidak hanya disusun, namun juga dapat diakses publik serta para pemangku kepentingan lainnya. Dengan publikasi ke khalayak luas, IKP pun dapat menjadi sumber rujukan dalam masyarakat memahami pemetaan situasi yang ada.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Layar presentasi menyajikan data dalam acara peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) di Jakarta, Senin (29/8/2016). Bawaslu telah memetakan IKP pada 101 wilayah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2017. IKP menjadi deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan dalam pilkada serentak 2017.
Sejarah Penyusunan IKP
Sejarah penyusunan IKP sendiri begitu lekat dengan sejarah kelahiran Bawaslu, selaku lembaga yang bertanggung jawab penuh. Mengacu pada laman Kompaspedia (12/1/2023, Badan Pengawas Pemilihan Umum), cikal bakal Bawaslu sendiri telah hadir dalam pelaksanaan Pemilu 1982.
Kelahiran cikal bakal Bawaslu ini berangkat dari ketidakpercayaan dalam pelaksanaan pemilu sejak era Orde Baru. Pada masa itu, pihak yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan pemilu disebut sebagai Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu.
Dinamika pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia terus berjalan. Berangsur-angsur, rezim Orde Baru pun tumbang pada 1998. Sebagai negara demokrasi, pemilu pun tetap dilangsungkan. Kehadiran lembaga untuk melakukan pengawasan pemilu diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Nama Bawaslu sendiri baru muncul pada UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Setahun setelahnya, dilakukan pelantikan perdana bagi anggota Bawaslu, tepatnya pada 9 April 2008. Acara pelantikan pun segera ditindaklanjuti dengan penyusunan agenda di hari yang sama.
Rentetan kegiatan tersebut dilakukan secara segera untuk menyambut Pemilu 2009 yang kian mendesak. Dengan begitu, Pemilu 2009 menjadi kali pertama kehadiran Bawaslu dalam melakukan fungsinya. Meski begitu, pada pemilu tersebut belum dilengkapi dengan instrumen IKP.
a. Pemilu 2014: Penyusunan IKP Pertama Kali
Proyek penyusunan dan publikasi IKP baru dimulai pada tahun 2014 untuk menyambut pemilu legislatif yang dilangsungkan pada tahun tersebut. Dicanangkannya IKP pada 2014 merupakan wujud upaya Bawaslu menjalankan salah satu peran dan fungsi sebagai pusat pengkajian dan analisis kepemiluan di Indonesia. Sejak Pemilu 2014 ini jugalah, proyek penyusunan IKP dilangsungkan secara berkesinambungan.
Pada saat pertama kali dicanangkan, nama IKP sendiri belumlah terwujud. Kala itu, penyusunannya masih dalam format pemetaan kerawanan, belum berbentuk indeks yang tersusun secara sistematis. Pemetaan kerawanan ini sendiri memiliki tujuan yang serupa dengan IKP saat ini, yakni untuk menjadi panduan dan informasi dalam menentukan strategi serta mekanisme pengawasan di suatu wilayah sesuai dengan status kerawanannya.
Dalam format yang berbeda, kerawanan pun didefinisikan dalam suatu skala kemungkinan terjadinya pelanggaran Pemilu pada sebuah daerah tertentu. Digunakan tiga dimensi untuk secara lebih konkret menjabarkan dan mengukur konsep kerawanan ini. Dimensi yang pertama adalah dampak elektoral popular vote.
Istilah popular vote sendiri digunakan dengan mengacu pada model Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia – dimana satu orang memiliki satu suara (popular vote). Artinya, bobot satu suara di berbagai daerah pun sama. Dalam dampaknya terhadap konsep kerawanan, dimensi ini memperoleh bobot 60 persen.
Dimensi kedua adalah akses pengawasan yang memperoleh diberikan bobot 20 persen sebagai katalis kerawanan. Akses pengawasan ini merujuk pada pengukuran terhadap tingkat sulit/mudahnya akses untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu di suatu daerah spesifik. Tingkat akses pengawasan diukur dari kondisi geografis, sarana dan prasarana transportasi, serta akses sinyal telpon selular.
Sementara dimensi ketiga adalah potensi politik uang – yang memperoleh bobot 20 persen. Potensi politik uang merujuk pada tingkat kemungkinan terjadinya politik uang atau money politics di sebuah daerah. Sebagai penyusun dari dimensi ini, terdapat sub-dimensi yang mengukur prosentase kemiskinan di desil 3 penduduk – yakni pengelompokkan rumah tangga yang masuk dalam kelompok 21-30 persen terendah tingkat kesejahteraannya secara nasional.
b. Pilkada 2015: Penyusunan IKP Pertama untuk Pemilu Daerah
Tujuan pemetaan kerawanan sebagai indeks baru muncul pada tahun 2015, dalam konteks pada waktu itu untuk menyambut Pilkada serentak 2015. Edisi IKP ini juga sekaligus menjadi kali pertama riset kerawanan terhadap Pemilu tingkat daerah. Dalam IKP 2015, dilakukan penyesuaian pengukuran yang mencakup lima dimensi, 16 sub-dimensi, dan 30 indikator. Kelima dimensi tersebut antara lain adalah:
- Profesionalitas Penyelenggara Pemilu dengan bobot 30 persen.
- Politik Uang dengan bobot 20 persen.
- Akses Pengawasan dengan bobot 15 persen.
- Partisipasi Masyarakat dengan bobot 20 persen.
- Keamanan Daerah dengan bobot 15 persen.
Pengukuran pada IKP 2015 mencakup 269 daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hasil pengukuran dimasukkan dalam lima kategorisasi kerawanan, yakni sangat aman, aman, cukup rawan, rawan, dan sangat rawan. Dari hasil pengukuran, tidak ada provinsi yang masuk dalam kategorisasi rawan dan sangat rawan.
Tingkat kerawanan Pilkada 2015 tertinggi berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Maluku dengan masing-masing mencapai skor 2,74. Ketiganya masuk dalam kategori cukup rawan. Terdapat dua provinsi lain yang juga masuk dalam kategori tersebut, yakni Papua (2,68) dan Sumatera Utara (2,66).
c. Penerbitan UU No.7 tahun 2017
Pada tahun 2017, pemerintah pusat menerbitkan UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu. UU ini kembali memperbaharui sekaligus memperkuat kehadiran Bawaslu dalam dinamika pesta demokrasi di Indonesia.
Pada Pasal 94 ayat 1 huruf (a), dituliskan bahwa Bawaslu harus mengupayakan pencegahan pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu. Untuk hal tersebut, maka Bawaslu melakukan kegiatan identifikasi dan pemetaan potensi kerawanan dan pelanggaran pemilu. Kegiatan tersebut adalah IKP itu sendiri.
Ketetapan yang disebutkan dalam UU tersebut menunjukkan bahwa IKP memiliki posisi strategis untuk mendukung tugas dan kewenangan Bawaslu dalam melakukan fungsi lembaganya. Artinya, IKP adalah instrumen pembantu terhadap situasi yang dihadapi oleh setiap jajaran Bawaslu – secara khusus Bawaslu di tingkat daerah.
Para perusuh merobohkan pagar pemisah jalan untuk memblokir Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019). Kerusuhan pecah di sejumlah titik di kawasan Tanah Abang, Petamburan dan Slipi.
d. IKP Pilkada 2017 dan 2018
Sejak penyusunan IKP untuk Pilkada 2015, Bawaslu secara rutin dan berkelanjutan menyusun IKP untuk menyambut pelaksanaan pilkada pada tahun-tahun berikutnya. Secara spesifik, penyusunan IKP telah dilakukan untuk edisi Pilkada 2017, Pilkada 2018, dan Pilkada 2020.
Pada Pilkada 2017, riset kerawanan mencakup tujuh provinsi dan 94 kabupaten/kota. Kembali terjadi perubahan pada instrumen pengukuran – dimana IKP 2017 menggunakan tiga dimensi, yakni penyelenggaraan (dengan bobot 30 persen), kontestasi (bobot 35 persen), dan partisipasi (bobot 35 persen). Lebih lanjut, ketiga dimensi dirumuskan menjadi 10 variabel dan 31 indikator.
Dari penelitian kerawanan terhadap tujuh provinsi tersebut, IKP 2017 memperoleh temuan bahwa tiga provinsi masuk dalam tingkat kerawanan kategori tinggi. Pilkada untuk pemilihan gurbenur di Provinsi Papua Barat (3,38), Aceh (3,32), dan Banten (3,14) masuk dalam kategori kerawanan tinggi. Sementara empat provinsi lainnya, yakni Sulawesi Barat (2,36), DKI Jakarta (2,29), Kepulauan Bangka Belitung (2,29), dan Gorontalo (2,01) masuk ke dalam kategori kerawanan sedang. Skor kerawanan tersebut berada dalam skala 1-4.
Kategorisasi serupa juga dilakukan terhadap daerah tingkat kabupaten/kota yang diteliti. Dari 94 kabupaten/kota, empat daerah masuk dalam kategori kerawanan tinggi. Lantas untuk kategori kerawanan sedang mencapai 40 daerah dan kategori kerawanan rendah mencapai jumlah 50 daerah.
Dimensi dan skala kerawanan sebagai instrumen yang digunakan dalam IKP 2017 masih sama persis dalam penggunaan pada IKP 2018. Pada Pilkada 2018, IKP mencakup 17 daerah provinsi dan 154 daerah setingkat kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak tiga provinsi dan enam kabupaten/kota masuk dalam kategori kerawanan tinggi. Ketiga provinsi tersebut antara lain Papua dengan skor indeks 3,41, Maluku dengan skor 3,25, dan Kalimantan Barat dengan skor 3,04.
Dimensi pengukuran Indeks Kerawanan Pemilu
Perkembangan dimensi yang digunakan untuk mengukur Indeks Kerawanann Pemilu dari waktu ke waktu.
e. IKP Pemilu 2019
Pada IKP 2019, dilakukan penyesuaian instrumen penelitian kerawanan. Hal ini sendiri berangkat dari mekanisme Pemilu 2019 yang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Salah satu perbedaan tersebut adalah keserentakan pelaksanaan pemilihan yang serentak, antara pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota) dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Merespons hal tersebut, dengan mengacu pada Pendahuluannya, laporan IKP 2019 kali ini menjadi penyempurnaan dari IKP 2015, IKP 2017, dan IKP 2018. Salah satu letak penyempurnaan tersebut adalah tambahan satu dimensi utama yang digunakan, yakni dimensi pemilu yang bebas dan adil.
Peluncuran IKP 2019 dilakukan pada September 2018 untuk melakukan pemetaan dan deteksi dini berbagai potensi pelanggaran pemilu. Konsep “kerawanan” dalam IKP 2019 sendiri didefinisikan sebagai segala hal yang menimbulkan gangguan dan berpotensi menghambat proses pemilu yang inklusif dan benar.
Sebagai perhitungan dan pengelompokkan kategori, digunakan skala 1-100. Secara rinci, daerah yang memperoleh skor kerawanan 0-33 akan masuk dalam kategori kerawanan rendah. Sementara untuk skor 33,01-66 masuk dalam kategori kerawanan sedang dan skor 66,01-100 untuk kategori kerawanan tinggi.
IKP 2019 menunjukkan bahwa tidak ada provinsi yang masuk dalam kategori kerawanan pemilu tinggi. Meski begitu, seluruh provinsi masuk dalam kategori kerawanan sedang.
Papua Barat menjadi provinsi yang paling rawan, dengan skor 52,83. Sementara itu, hasil IKP 2019 untuk tingkat kabupaten/kota menunjukkan dua daerah berada pada tingkat Kerawanan Tinggi, yaitu Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Teluk Bintuni. Sementara 512 kabupaten/kota lainnya bertingkat dalam kategori Kerawanan Sedang.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kericuhan terjadi saat polisi berusaha membubarkan aksi massa penolak hasil pemilu di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
f. IKP Pilkada 2020
Secara keseluruhan, keempat dimensi yang digunakan dalam IKP 2020 sama dengan IKP 2019. Namun, berbeda dengan IKP sebelumnya, kategorisasi kerawanan dalam Pilkada 2020 dibagi dalam enam level, dari level 1-6. Level 1 dan level 2 merujuk pada kategori kerawanan rendah, level 3 dan 4 kategori sedang, dan level 5 dan level 6 masuk kategori tinggi. Skala yang digunakan adalah 1-100.
IKP 2020 disusun untuk mengetahui kondisi kerawanan Pemilu di sembilan provinsi dan 261 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, 15 daerah kabupaten/kota masuk ke dalam kategori kerawanan tinggi. Sementara yang menarik, keseluruh provinsi dalam IKP 2020 masuk dalam kerawanan tinggi.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Seorang pedagang kue dan gorengan di Pasar Slipi, Jakarta, memberikan dagangannya agar polisi yang menjaga keamanan di daerah tersebut dapat berbuka puasa, Rabu (22/5/2019).
IKP Pemilu 2024
Menuju Pemilu 2024, Bawaslu konsisten untuk tetap menghadirkan IKP. Riset kerawanan ini pun tetap menjadi alat strategis. Pada setiap temuan yang diperoleh dari dimensi-dimensi yang digunakan sebagai instrumen IKP akan memengaruhi perencanaan, implementasi, dan evaluasi tahapan pengawasan kepemiluan yang ada. Pada IKP 2024, sebagaimana disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam Pengantar, mendefinisikan “kerawanan” sebagai segala hal yang berportensi menggangu atau menghambat proses pemilihan umum yang demokratis.
Secara holistik, data yang dikumpulkan dalam IKP 2024 merujuk pada kondisi kerawanan pemilu di dua tingkat daerah, yakni provinsi dan kabupaten/kota. Gabungan keduanya disebabkan oleh Pemilu 2024 yang dilakukan secara serentak. Dengan skala daerah yang berbeda, maka data dari kedua jenis daerah tersebut juga akan dianalisa secara terpisah.
Terdapat dua keselarasan yang secara jelas tampak antara IKP 2024 dengan IKP 2019. Pertama, keduanya sama-sama disusun untuk pelaksanaan pemilu dengan mekanisme serentak di tingkat nasional. Oleh karena itu, jumlah lingkup daerah yang diakomodasi pun sama, yakni 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kedua, IKP 2024 menggunakan empat dimensi yang sama persis dengan yang digunakan pada IKP 2019.
Temuan IKP 2024 Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi, IKP 2024 menemukan bahwa terdapat lima daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Kelima provinsi tersebut antara lain DKI Jakarta (88,95), Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04). Apabila dilihat, skor tiga provinsi dengan kerawanan tertinggi tersebut mencapai skor di atas 80 – angka yang terhitung cukup jauh dengan ambang nilai kategori kerawanan tinggi, yaitu di atas 66 dengan skor 100 sebagai skala tertinggi.
Meski skor IKP secara keseluruhan mencapai 84,86 dan bukan menjadi yang tertinggi, namun Maluku Utara merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki skor maksimal untuk dua dimensi. Keduanya adalah dimensi sosial politik (100) dan kontestasi (100). Selain itu, Maluku Utara juga memiliki skor yang relatif tinggi untuk dimensi penyelenggaraan pemilu (86,48),
Dimensi sosial politik di Maluku Utara tak lepas dari sejumlah kerusuhan berbasis SARA, adanya intimidasi terhadap penyelenggara pemilu, perussakan fasilitas penyelenggaraan, dan persoalan serius netralitas ASN dan TNI/POLRI di daerah tersebut.
Sementara tingginya skor kerawanan pada dimensi kontestasi disebabkan oleh hadirnya kasus-kasus seperti pelanggaran masa kampanye, materi ujaran kebencian dalam kampanye (baik di dunia nyata maupun maya), konflik antar pendukung, dan temuan politik uang.
Berbeda dengan Maluku Utara, Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki satupun dimensi dengan skor maksimum (100). Namun perhatian besar tetap harus diberikan pada Ibu Kota negara ini karena menjadi provinsi paling rawan. Artinya, rata-rata skor kerawanan dari empat dimensi di DKI Jakarta adalah yang paling tinggi.
Dimensi kontestasi dengan skor 96,09 menjadi masalah terbesar bagi tingkat kerawanan di DKI Jakarta. Penyebab utamanya adalah pelaksanaan kampanye yang kotor dan politik uang – dimana keduanya terejwantahkan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Dalam persoalan kampanye, terdapat kasus-kasus materi kampanye yang bermuatan SARA, hoaks, dan kebencian. Bawaslu mengkategorikan kasus-kasus tersebut dalam tingkat keseriusan tinggi.
Meski menunjukkan sejumlah skor kerawanan yang begitu tinggi, namun IKP 2024 juga menunjukkan sejumlah provinsi dengan tingkat kerawanan yang begitu kecil. Sebanyak sembilan provinsi masuk dalam kategori kerawanan rendah. Dari jumlah tersebut, terdapat Provinsi Bengkulu dengan skor kerawanan 3,79. Angka tersebut begitu kecil, terutama bila dilihat dari ambang batas kategori kerawanan, yaitu 33. Dari sini juga tampak bahwa persebaran kerawanan pada IKP 2024 di tingkat provinsi begitu variatif.
Temuan IKP 2024 Tingkat Kabupaten/Kota
Kondisi kerawanan yang tak jauh berbeda juga tertangkap pada hasil pengukuran IKP di tingkat kabupaten/kota. Sebaran daerah dengan kategori kerawanan pemilu tinggi tampak signifikan – bahkan meningkat drastis apabila dibandingkan dengan IKP 2019. Bahkan, kondisi itu secara merata terbaca pada empat dimensi besar yang menjadi acuan pengukuran indeks ini.
Terdapat 15 kabupaten/kota dengan tingkat kerawanan tinggi. Dari jumlah tersebut, enam di antaranya merupakan kabupaten/kota yang terletak di Pulau Papua, yakni, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Mappi, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Tolikara. Selain itu, dua nama daerah yang disebutkan pertama juga mencapai skor kerawanan maksimal (100).
Di kedua kabupaten tersebut, tercatat sejumlah kasus dengan tingkat keseriusan sedang dan tinggi. Mulai dari kekerasan/kerusuhan berbau SARA, kerusuhan yang melibatkan tokoh publik/politik/aparat keamanan, intimidasi terhadap peserta dan penyelenggara, perusakan fasilitas pemilu, rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU, hingga keberpihakan penyelenggara negara dalam bentuk intimidasi maupun himbauan untuk tidak memilih calon tertentu.
Grafik:
Meski demikian, secara kontras terdapat sepuluh kabupaten/kota yang memiliki skor IKP kabupaten/kota nol. Di kesepuluh wilayah tersebut, Bawaslu tidak menemukan satu pun kasus pelanggaran yang berpotensi menyumbang kerawanan. Dari jumlah tersebut, empat kabupaten berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah, yakni Barito Timur, Lamandau Kabupaten, Murung Raya, dan Pulang Pisau.
Sementara enam kabupaten lainnya adalah Batu Bara (Sumatera Utara), Bengkulu Tengah (Bengkulu), Dogiyai, Supiori (Papua), Flores Timur (Nusa Tenggara Timur), dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan).
Perbandingan Kondisi Kerawanan dengan Pemilu 2019
Apabila dilihat secara keseluruhan, maka tampak bahwa hasil pengukuran IKP 2024 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan untuk wilayah dengan status kerawanan tinggi. Sebaran ini naik drastis dibandingkan periode Pemilu 2019 yang memetakan penilaian kerawanan pemilu untuk setiap provinsi masih berada di kategori rawan sedang.
Grafik:
Sebagaimana tampak pada grafik, ditunjukkan bahwa persebaran kerawanan antara ke-34 provinsi tampak merata. IKP 2019 menempatkan seluruh provinsi pada tingkat kerawanan sedang. Sementara pada IKP 2024, terdapat lima provinsi yang masuk dalam Kategori Tinggi dan sembilan provinsi dengan kategori Kerawanan Rendah.
Dapat diketahui pula bahwa 16 dari 34 provinsi di Indonesia mengalami peningkatan kerawanan. Peningkatan terbesar sendiri dialami oleh Provinsi DKI Jakarta, mencapai 49,7 persen. Di sisi lain, sebanyak 18 provinsi mengalami penurunan skor kerawanan. Provinsi Bengkulu mencapai penurunan terbesar, hingga 92 persen.
Persebaran data kerawanan yang bervariasi menyebabkan rata-rata tingkat kerawanan antara IKP 2024 dan IKP 2019 pun tidak jauh berbeda. Pada IKP 2024, rata-rata tingkat kerawanan provinsi berada pada skor 45,19. Sementara pada IKP 2019, skor rata-rata kerawanan adalah 48,88.
Meski begitu, data rata-rata kerawanan pada IKP 2024 ini tidak dapat menjadi rujukan bahwa Pemilu 2024 akan berjalan lebih aman dan demokratis dibandingkan Pemilu 2019 – sebab sejumlah provinsi masih menyimpan kerawanan yang begitu tinggi.
Kenaikan skor kerawanan juga ditunjukkan pada skala pengukuran kabupaten/kota. Hal ini tampak secara konkret pada skor di keempat dimensi yang digunakan – dimana jumlah kabupaten/kota yang tergolong rawan pada masing-masing dimensi meningkat signifikan dibandingkan IKP 2019.
Pada dimensi konteks sosial dan politik, hasil pemetaan IKP untuk Pemilu 2024 menunjukkan ada 76 kabupaten/kota yang berada pada tingkat kerawanan tinggi. Jumlah tersebut mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan pada Pemilu 2019, dimana hanya terdapat tiga daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi.
Peningkatan serupa juga ditunjukkan pada dimensi penyelenggaraan pemilu. Hasil IKP tahun 2024 menunjukkan 84 kabupaten/kota pada Kerawanan Tinggi. Sementara pada IKP 2019, hanya 27 kabupaten/kota yang tergolong Kerawanan Tinggi.
Pada dimensi kontestasi, kategori Kerawanan Tinggi di IKP 2024 mencakup 18 persen atau setara dengan 95 daerah kabupaten/kota. Sementara di IKP 2019, hanya dua persen kabupaten/kota yang tergolong Kerawanan Tingggi.
Terakhir, pada dimensi partisipasi. Jumlah kabupaten/kota yang tergolong sangat rawan melonjak hingga 30 daerah di IKP 2024. Sementara pada IKP 2019, hanya satu daerah kabupaten/kota yang masuk dalam kategori ini.
Antisipasi Kerawanan Pemilu 2024
Data-data yang tampak pada IKP 2024 menjadi gambaran atas situasi menuju Pemilu 2024 mendatang. Apabila dibandingkan dengan Pemilu 2019, maka pembacaan data secara menyeluruh akan menunjukkan tren peningkatan kerawanan yang cukup signifikan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Salah satu pengejawantahan nyata dari data IKP 2024 adalah jumlah aduan yang telah diterima oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hingga pekan awal Desember 2022 saja, DKPP menerima 83 aduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu. Angka yang terhitung tinggi mengingat hingga waktu tersebut, alur penyelenggaraan Pemilu 2024 baru berjalan sekitar lima bulan dan mencapai tahap verifikasi peserta pemilu.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 34 aduan di antaranya telah diputuskan menjadi perkara pelanggaran etik yang melibatkan 81 teradu. Sekitar 47 teradu pun telah dijatuhi berbagai sanksi sesuai pelanggaran yang diperbuat, mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan juga pemberhentian tetap (Kompas.id, 9/1/2023, Mengantisipasi Potensi Kerawanan Pemilu).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas kebersihan menyuci permukaan jalan MH Thamrin di perempatan Sarinah, Jakarta Pusat pascakerusuhan aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Kamis (23/5/2019). Pembersihan tersebut dilakukan setelah kerusuhan menyebabkan sejumlah kerusakan fasilitas umum dan menyisakan residu sisa gas air mata yang masih mengganggu kegiatan warga yang melewati kawasan tersebut.
Isu Strategis
Secara umum, IKP 2024 menunjukkan bahwa Bawaslu telah lebih mengakomodasi persoalan kepemiluan yang berada di luar domain pokok pihak penyelenggara pemilu, seperti KPU dan DKPP. Hal ini tampak dari kehadiran lima isu strategis yang telah dijabarkan sebelumnya, antara lain netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan tahapan di provinsi baru, potensi polarisasi masyarakat, mitigasi penggunaan sosial media, hingga menyangkut hak memilih dan dipilih.
Dari kelima isu tersebut, persoalan polarisasi masyarakat dan pengaruh sosial media memang berada di luar kuasa lembaga penyelenggara pemilu. Kompleksitas penanganan kedua isu tersebut membutuhkan berbagai langkah strategis dari berbagai stakeholder, bahkan termasuk mereka yang berada di luar domain pokok pihak penyelenggara pemilu.
Mengacu pada Kompas.id (16/1/2023, Kompleksitas Isu Strategis Kerawanan Pemilu 2024), antisipasi polarisasi dan keamanan selama masa pemilu, termasuk selama tahapan berjalan perlu melibatkan banyak pihak, mulai dari TNI/Polri hingga langsung pada komunitas sipil masyarakat itu sendiri.
Sementara terkait determinasi sosial media, pihak penyelenggara juga harus melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan penyedia platform sosial media. Tujuannya adalah secara bersama turut mengawasi munculnya konten-konten yang melanggar ketentuan pelaksanaan pemilu, baik itu misinformasi, hoax, dan ujaran kebencian.
Kerja sama dengan pihak penyedia layanan media sosial sendiri telah mulai dijajaki sejak Pemilu 2019. Hal demikian penting karena perkembangan penggunaan media sosial yang masif telah menjadikan ruang-ruang digital semakin rentan disalahgunakan selama masa pemilu. Bahkan, berbagai pelanggaran penyelenggaraan dewasa ini lebih mudah ditemukan dalam ruang daring.
Selain itu, persoalan-persoalan pada setiap dimensi akan menjadi tantangan tersendiri yang berbeda-beda di berbagai daerah. Untuk mencapai penanganan tersebut, diperlukan pula pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya di DKI Jakarta, dimensi konstetasi menjadi masalah utama dalam menyambut Pemilu 2024. Eratnya penggunaan isu SARA dalam dinamika kampanye menjadi persoalan yang harus segera mendapat perhatian besar.
Hal tersebut berbeda dengan Kalimantan Timur yang menduduki peringkat kerawanan keempat, dengan skor dimensi kontestasinya masih berada dalam Kategori Sedang. Untuk itu, pihak penyelenggara dan stakeholder terkait di Kalimantan Utara justru harus memberikan perhatian besar terlebih dahulu pada dimensi penyelenggaraan pemilu yang mendapat skor 100, bukan pada persoalan kampanye dalam dimensi kontestasi seperti di DKI Jakarta.
Selain itu, dalam mewujudkan upaya pengawasan dan pencegahan dalam Pemilu 2024, harus dilakukan secara bertingkat. Upaya bertingkat tersebut akan membantu dalam mencapai masalah-masalah yang sifatnya spesifik dan konkret di berbagai daerah yang berbeda. Untuk itu, upaya koordinasi dan evaluasi harus tetap dijaga secara profesional oleh pihak penyelenggara dari berbagai tingkatan tersebut (Kompas.id, 19/1/2023, Analisis Litbang “Kompas” : Mitigasi Komprehensif Kerawanan Pemilu 2024).
Pada akhirnya, secara on paper Pemilu 2024 memang menunjukkan potensi kerawanan yang tinggi dibandingkan pemilu sebelumnya. Berbagai tantangan penyelenggaraan pemilu harus dihadapi. Namun pada kenyataannya, penyelenggaraan Pemilu 2024 tidaklah harus berjalan lebih buruk dibanding Pemilu 2019 atau secara nyata mewujudkan segala potensi kerawanan yang ada dalam IKP 2024. Justru untuk itulah IKP 2024 sebagai kajian kerawanan tersebut hadir – untuk membantu berbagai pihak mempersiapkan skenario antisipatif.
Alur penyelenggaraan Pemilu 2024 baru berjalan singkat. Masih ada cukup waktu untuk menyusun persiapan yang matang dengan penuh perhitungan. Untuk itu, layaknya berbagai pihak menerima data pada IKP 2024 secara rendah hati dan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 berjalan sesuai harapan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Dahl, R. (1982). Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy Vs. Control. Connecticut: Yale University Press
- Badan Pengawas Pemilihan Umum. (2015, September 2). Inilah 5 Provinsi yang Dinilai Paling Rawan dalam Pilkada. Diambil kembali dari bawaslu.go.id: https://www.bawaslu.go.id/id/berita/inilah-5-provinsi-yang-dinilai-paling-rawan-dalam-pilkada
- Puslitbangdiklat Bawaslu. (2023). Sistem Informasi Peta Kerawanan Pemilu. Diambil kembali dari sipekapilu.bawaslu.go.id: https://sipekapilu.bawaslu.go.id/
- Badan Pengawas Pemilihan Umum. (2018). Indeks Kerawanan Pemilihan Umum 2018. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum.
- Badan Pengawas Pemilihan Umum. (2019). Indeks Kerawanan Pemilu 2019. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum.
- Badan Pengawas Pemilihan Umum. (2020). Indeks Kerawanan Pemilu 2020. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum.
- Badan Pengawas Pemilihan Umum. (2023). Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum.
- Kompas.id . (2017, April 19). Jakarta Menjadi Perhatian Dunia. Diambil kembali dari Kompas.id : https://www.kompas.id/baca/utama/2017/04/19/jakarta-menjadi-perhatian-dunia
- Kompas.id. (2023, Januari 1). Analisis Litbang “Kompas” : Mitigasi Komprehensif Kerawanan Pemilu 2024). Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/18/analisis-litbang-kompas-mitigasi-komprehensif-kerawanan-pemilu-2024
- Kompas.id. (2023, Januari 16). Kompleksitas Isu Strategis Kerawanan Pemilu 2024. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/16/kompleksitas-isu-strategis-kerawanan-pemilu-2024-1
- Kompas.id. (2023, Januari 9). Mengantisipasi Potensi Kerawanan Pemilu. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/08/mengantisipasi-potensi-kerawanan-pemilu
- Kompaspedia. (2023, Januari 12). Badan Pengawas Pemilihan Umum. Diambil kembali dari kompaspedia.kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/lembaga/badan-pengawas-pemilihan-umum