Peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965 memunculkan gejolak politik dan ekonomi di dalam negeri. Pada akhir Oktober 1965 para mahasiswa yang tergabung dalam Front Pancasila memprotes buruknya keadaan perekonomian Indonesia saat itu, serta menuntut adanya tindak lanjut Soekarno terhadap Peristiwa G30S.
Pada tahun 1966 Indonesia mengalami inflasi hingga lebih dari 600 persen. Aksi unjuk rasa semakin kencang. Pada 12 Januari 1996, Front Pancasila melakukan aksi unjuk rasa di halaman gedung DPR-GR dan mengajukan tiga tuntutan yang berisi:
- pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI);
- pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S;
- serta penurunan harga.
Puncak demonstrasi terjadi pada 11 Maret 1966. Mahasiswa melakukan aksi demo besar-besaran di depan Istana Negara. Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto meminta supaya Presiden Soekarno memberi surat perintah untuk mengatasi konflik yang terjadi apabila diizinkan. Permintaan tersebut disampaikan Soeharto melalui tiga Jenderal AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor di hari yang sama. Ketiga Jenderal tersebut adalah Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, dan Jenderal Amir Machmud.
Permintaan Soeharto disetujui Soekarno. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang isinya adalah instruksi presiden kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu. Selang 24 jam dari keluarnya Supersemar, Soeharto membubarkan PKI, dan mengumumkan PKI sebagai partai terlarang. Langkah tersebut diputuskan Soeharto melalui SK Presiden Nomor 1/3/1966 (12 Maret 1966) yang dibuatnya atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR. Pada saat itu, Soeharto juga mengontrol media massa dibawah Pusat Penerangan AD.
Soekarno kecewa dengan sikap Soeharto. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 13 Maret (Supertasmar) untuk menganulir Supersemar. Berdasarkan penjelasan AM Hanafi, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba, Supertasmar berisi pengumuman bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta untuk segera memberikan laporan kepada Presiden. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Soekarno berusaha menyebarkan isi Supertasmar ke publik. Namun, upaya tersebut gagal. Supertasmar tidak pernah digubris oleh Soeharto.
Langkah Soeharto dilanjutkan dengan mengeluarkan SK Presiden Nomor 5 (18 Maret 1966). SK yang dibuatnya tersebut berisi perintah penangkapan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Menteri-menteri tersebut tidak lain adalah orang terdekat Soekarno. Puncaknya, Soeharto ditunjuk menjabat sebagai presiden melalui Sidang MPRS. Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
Naskah Supersemar saat ini disimpan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). ANRI menyimpan tiga versi Supersemar, yaitu versi Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, versi Akademi Kebangsaan, dan versi Sekretariat Negara yang terdiri dari dua lembar. Berdasarkan keterangan Mantan Kepala ANRI M Asichin, ketiga naskah Supersemar tersebut tidak autentik. Asvi Warman Adam, peneliti sejarah LIPI menyampaikan jika keberadaan Supersemar yang autentik belum diketahui. Begitu pula dengan keberadaan Supertasmar, tidak diketahui hingga saat ini.
Sumber
- Laman lipi.go.id
- Laman kompas.com
Kontributor
Muhammad Taufik Al Asy’ari
Satria Dhaniswara Rahsa Wijaya