Paparan Topik | UMKM

Perkembangan Kebijakan Pemerintah terhadap UMKM di Indonesia

Perhatian pemerintah terhadap sektor UMKM semakin lama semakin besar. Hal ini tampak dari berbagai kebijakan, baik dari sisi program bantuan, aturan pendukung, maupun lembaga yang menangani UMKM.

KOMPAS/DEDI MUHTADI
Ratusan kelom geulis hasil salah satu industri kelom ini sedang diseleksi untuk dipasarkan, 2/11/1990.

Fakta Singkat

Kebijakan Pemerintah terhadap UMKM

Jumlah UMKM: 64,19 juta usaha (2018)

Pentingnya UMKM:

  1. Menyerap 117 juta pekerja (2018)
  2. Menyumbang 61,07 persen PDB (2018)
  3. Menyerap kredit Rp 1.015 triliun (Juni 2018)
  4. Mampu bertahan dalam krisis ekonomi.

Program Bantuan Pemerintah, antara lain:

  1. Kredit Investasi kecil (KIK)
  2. Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP)
  3. Pembiayaan Produktif Kredit Usaha Mikro (P3-KUM)
  4. Kredit Usaha Rakyat (KUR)
  5. Kredit Ultra Mikro (UMi)

Atuan Pendukung:

  1. UU 9/1995 tentang Usaha Kecil
  2. UU 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Pemerintah menganggap penting sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bagi perekonomian Indonesia. Hal ini tampak dari data terkini tentang proporsi biaya yang dialokasikan untuk menangani dampak ekonomi Covid-19 sektor UMKM, yakni sebesar Rp 123,46 triliun.

Proporsi biaya yang dianggarkan untuk UMKM tersebut menempati urutan kedua setelah perlindungan sosial yang dialokasikan sebesar Rp 203,9 triliun. Bahkan, proporsi biaya untuk dukungan UMKM jauh lebih besar daripada biaya yang dianggarkan di bidang pembiayaan korporasi yang mendapat jatah Rp 53,57 triliun.

Dukungan besar pemerintah terhadap sektor UMKM didasarkan pada besarnya pontensi dan kontribusi sektor UMKM bagi perekonomian Indonesia.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam memperhatikan sektor UMKM dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam program bantuan, produk hukum terkait UMKM, serta pembentukan lembaga untuk menangani UMKM.

Sektor penting

Pentingnya sektor UMKM bagi perekonomian di Indonesia dapat dilihat dalam lima potret UMKM di bawah ini.

Pertama, jumlah UMKM yang besar. Pada tahun 2018, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 64,19 juta usaha atau sekitar 99,99 persen dari total unit usaha di seluruh Indonesia. Kedua, UMKM menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Jumlah UMKM di atas menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari daya serap tenaga kerja dunia usaha pada 2018. Ketiga, kontribusinya yang besar pada PDB. Sektor UMKM memberikan kontribusi sebesar 61,07 persen dari total PDB 2018 atau sebesar Rp 8.573 triliun.

Keempat, data Otoritas Jasa Keuangan (OKJ) menunjukkan, kredit yang disalurkan perbankan ke UMKM per Juni 2020 sebesar Rp 1.015,438 triliun. Dari jumlah itu, setengah di antaranya disalurkan untuk sektor perdagangan besar dan eceran, yakni Rp 505,656 triliun. Kelima, dalam krisis ekonomi global tahun 1997–1998 UMKM terbukti mampu bertahan dalam perubahan kondisi pasar yang cepat, selain sebagai penunjang yang penting dalam industri yang tidak stabil, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Asia.

Pentingnya UMKM bagi perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari 10 karakter dan keunggulan UMKM yang dijelaskan oleh Tulus Tambunan dalam bukunya Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia (2012).

Pertama, berjumlah sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia baik perkotaan maupun perdesaan, bahkan di pelosok terpencil. Kedua, sangat padat karya, mempunyai potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang besar dan peningkatan pendapatan. Ketiga, banyak terdapat dalam sektor pertanian yang secara tidak langsung mendukung pembangunan. Keempat, menampung banyak tenaga kerja berpendidikan rendah. Kelima, mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998.

Keenam, bisa menjadi titik awal mobilisasi investasi di pedesaan sekaligus wadah bagi peningkatan kemampuan wiraswasta. Ketujuh, menjadi alat untuk mengalokasikan tabungan warga pedesaan daripada untuk konsumsi. Kedelapan, mampu menyediakan barang-barang kebutuhan relatif murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, selain juga produksi barang mahal. Kesembilan, mampu mengikuti kemajuan zaman melalui beragam jenis investasi dan penanaman modal. Kesepuluh, memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi.

KOMPAS/BOEN SOEPARDI

Petani kopi di beberapa desa dalam wilayah Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang (Jatim) merasa tertolong oleh penyaluran kredit modal kerja permanen (KMKP) dari BRI, 28/10/1985. Kredit itu digunakan untuk pemeliharaan dan peremajaan tanaman sehingga produksinya lebih meningkat. Sarma, salah seorang petani kopi, menjelaskan, ia kini sudah bisa menghasilkan 2,5 ton per hektar. Sebelumnya produksi kopi rakyat di daerah ini hanya sekitar 600 kg per hektar.

Program bantuan

Dari sisi program, pemerintah mulai memberikan perhatian pada UMKM pada tahun 1970-an dengan berbagai program bantuan.

Pada tahun 1973, Presiden Soeharto memperbaiki kebijakan dalam pemberian kredit dengan tujuan membantu golongan pengusaha kecil pribumi. Program yang telah ada, yakni kredit investasi kecil (KIK), mendapatkan keringanan persyaratan.

Selain itu, disetujui pula program kredit modal kerja permanen (KMKP) dengan ketentuan yang akan dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Program KMPK memiliki plafon pinjaman maksimal lima juta rupiah dengan masa pinjaman maksimal tiga tahun dan bunga 15 persen setahun. Keunggulan program tersebut adalah persyaratan yang jauh lebih mudah daripada pinjaman investasi (Kompas, 5/12/1973).

Hingga bulan April 1974, pengajuan kredit baik untuk KMPK maupun KIK tercatat sebesar Rp 11,6 miliar dari sejumlah 3.195 pengajuan kredit. Penyaluran kredit tersebut dilakukan oleh Bank BRI (Kompas, 5/4/1974).

Selain itu, Bank Indonesia, juga melalui Bank BRI, telah memberikan kredit untuk usaha kecil dengan besaran mulai Rp 10.000 hingga Rp 100.000 per orang (Kompas, 9/4/1974).

Pada tahun 1999, setelah keluar UU 23/1999, Bank Indonesia lebih fokus pada pencapaian dan pemeliharaan stabilitas rupiah sehingga program kredit dialihkan kepada bank BUMN lain, yakni BRI, BTN, dan PT Permodalan Nasional Madani (Kompas, 28/10/1999).

PT Permodalan Nasional Madani dibentuk oleh pemerintah pada bulan Maret 1999 untuk memberikan penyertaan modal. Terdapat empat kriteria perusahaan yang mendapat penyertaan modal ekuitas ini. Pertama, perusahaan itu harus mempunyai pasar yang jelas (captive market). Kedua, perusahaan yang berorientasi ekspor diutamakan. Ketiga, dipilih perusahaan yang menggunakan substitusi impor dalam produksinya. Keempat, usahanya harus mempunyai dampak yang besar terhadap penyediaan tenaga kerja (Kompas, 6 Maret 1999).

Dalam perkembangannya, berbagai program dana bagi sektor usaha UMKM tidak hanya dikelola oleh pemerintah lewat bank komersial, tetapi juga kredit dari lembaga nonbank atau lembaga keuangan mikro (LKM). LKM merupakan badan usaha jasa keuangan yang  menyediakan layanan jasa keuangan mikro yang bertujuan mempercepat akses pembiayaan UMK dengan tiga kategori, yakni LKM formal, LKM semi formal dan LKM nonformal.

Beberapa program bantuan UMKM nonbank, antara lain Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Perdesaan (LDKP), Baitul Maal Wat Tanwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Selain itu, terdapat pula program bantuan UMKM dari BUMN di luar bank, seperti bantuan dari PLN dan Pertamina, baik dana bantuan atau dana hibah dengan persyaratan yang jauh lebih mudah daripada pinjaman bank. Akan tetapi, pinjaman dari BUMN sangat terbatas tergantung dari laba BUMN tersebut.

Pada tahun 2005, Menteri Negara Koperasi dan UKM bekerja sama dengan BPD meluncurkan program pembiayaan produktif untuk kredit usaha mikro (P3-KUM) sebagai penguatan LKM berbadan hukum koperasi bersama dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Pada tahun 2008, Kementerian Koperasi tidak lagi menyalurkan dana tersebut dan dikembalikan kepada Departemen Keuangan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Rohman (21) menjemur hasil kerajinan dari eceng gondok di Desa Bugel, Kabupaten Kulonprogo, Jawa Tengah, Senin (24/11/2008). Hasil kerajinan itu selanjutnya disetorkan kepada pengekspor seharga Rp 40.000-Rp 70.000 per buah. Rohman termasuk salah satu yang bergiat di usaha mikro, kecil, dan menengah yang seharusnya bisa dibina dan diberdayakan. Namun, usaha seperti  yang dilakukan Rohman ada kalanya hanya dijadikan sasaran proyek sesaat dari instansi pemerintah yang mengurus koperasi dan UKM.

Kebijakan UMKM era Orde Baru

Di sisi kebijakan, dukungan pemerintah terhadap UMKM dapat dilihat dari produk hukum terkait UMKM.

Meskipun belum secara khusus menerbitkan produk hukum mengenai UMKM, secara eksplisit dukungan pemerintah terhadap UMKM mulai tampak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 12 UU ini, disebut bahwa pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk mendukung pengusaha golongan ekonomi lemah/usaha kecil.

Baru pada 1995, produk hukum yang mengatur persoalan UMKM secara formal disahkan, yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Peraturan ini hadir dengan pertimbangan usaha kecil sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional.

Undang-undang ini mengatur kriteria usaha kecil, yakni memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kriteria berikutnya adalah memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar.

Sebagai peraturan yang bertujuan mengembangkan usaha kecil, UU ini memuat kebijakan penting, yaitu dukungan untuk usaha kecil yang mencakup pemberdayaan, iklim usaha, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan, penjaminan, serta kemitraan.

Visi jangka panjang dari dukungan pemerintah ini adalah ketangguhan dan kemandirian usaha kecil yang dihadapkan pada perdagangan bebas dalam iklim perekonomian yang semakin terbuka. Usaha kecil yang tangguh dan mandiri diproyeksikan akan berkembang menjadi usaha menengah. Lebih jauh, usaha kecil yang kuat akan meningkatkan produksi nasional, kesempatan kerja, ekspor, serta pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Untuk mendukung UU 9/1995 di atas, pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Aturan ini memuat kebijakan dalam membina dan mengembangkan usaha kecil untuk berkembang menjadi usaha menengah.

Ruang lingkup pemerintah dalam membina dan mengembangkan usaha kecil meliputi bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi. Usaha kecil yang didampingi dan akhirnya berkembang menjadi usaha menengah masih bisa mendapatkan pembinaan dan pengembangan hingga jangka waktu paling lama tiga tahun.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja memproduksi kotak untuk instalasi listrik di salah satu bengkel produksi di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Cakung, Jakarta, Kamis (1/10/2009). Sejumlah pelaku industri logam skala kecil dan menengah di kawasan tersebut mampu bertahan di tengah kelesuan permintaan. Selain industri logam, di kawasan PIK juga terdapat industri garmen dan sepatu.

Kebijakan UMKM masa Reformasi

Pada masa Reformasi, muncul beberapa aturan terkait usaha kecil. Akan tetapi, aturan utama yang diacu masih UU 9/1995 tentang Usaha Kecil.

Pada Desember 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Keppres Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan. Keppres ini mengatur berbagai macam bidang yang diperuntukkan bagi usaha kecil.

Bidang atau jenis usaha tersebut meliputi sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, industri dan perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, serta kesehatan. Masing-masing sektor tersebut diperinci lagi ruang lingkupnya yang dijelaskan dalam Lampiran I Keppres 127/2001.

Selanjutnya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat dua aturan penting terkait usaha kecil. Pertama, Inpres 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Kedua, Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Aturan yang pertama mencakup empat poin penting terkait usaha kecil dan menengah, yakni penyempurnaan aturan terkait perizinan, pengembangan jasa konsultasi, peningkatan akses finansial, serta penguatan kemitraan antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar. Sementara aturan kedua memuat 141 tindakan langsung terkait UMKM yang dijelaskan dalam bagian lampiran kurang lebih 50 halaman.

Kedua kebijakan di atas dimaksudkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat melambat pada akhir 2005 dan awal 2006 akibat kenaikan BBM (Kompas, 13/6/2007).

Setahun berselang, pemerintah memberi kebaruan terhadap usaha golongan ekonomi rendah. Kebaruan ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Hal yang paling mencolok adalah istilah yang digunakan, yakni usaha mikro, kecil dan menengah.

Tidak hanya istilahnya, kriteria untuk masing-masing kelompok juga mengalami penyesuaian. Rincian kriteria untuk usaha mikro, kecil, dan menengah terdapat dalam pasal 6 UU No. 20/2008.

Terkait penumbuhan iklim usaha, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 UU di atas, kebijakan pemerintah meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan.

Setelah ada pembaruan konsep tentang UMKM melalui UU 20/2008, Presiden SBY pada 2014 mengeluarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil. Produk hukum ini bertujuan menambah kuatnya legalitas usaha kecil dan menengah. Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) memberi kepastian dan perlindungan berusaha di lokasi yang telah ditetapkan.

Pelaksana IUMK adalah camat yang mendapat pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota. Sementara, camat akan mendelegasikan pelaksanaan terhadap lurah/kepala desa dengan pertimbangan karakteristik wilayah. Hal praktis yang dilakukan oleh lurah/kepala desa adalah mendata usaha mikro dan kecil di wilayahnya.

Sebagaimana tertulis dalam pasal 2 ayat 4 Perpres ini, untuk pengurusan IUMK, pelaku usaha tidak dikenakan biaya, retribusi, serta pungutan yang lain.

KOMPAS/PRIYOMBODO
Produksi oncom di usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di kawasan Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (9/10/2019). UMKM tersebut belum tersentuh teknologi digital dalam praktik bisnisnya sehingga pemasaran produknya dilakukan secara konvensional ke pasar-pasar di wilayah Jakarta. Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Februari 2019, tercatat baru sekitar 9.61 juta dari total 58,9 juta pelaku UMKM yang sudah mengadopsi teknologi dalam bisnisnya.

Lembaga terkait

Selanjutnya, perhatian pemerintah pada pengusaha kecil tampak dari pembentukan kelembagaan baru. Lembaga pemerintah yang membidangi masalah UMKM secara pokok adalah Kementerian Koperasi dan UMKM.

Dalam Kabinet Pembangunan VI, pemerintah mengganti nama Departemen Koperasi menjadi Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil melalui Keppres 58/1993. Departemen inilah yang menjadi cikal bakal Kemenkop dan UMKM saat ini.

Tiga tahun kemudian, Departemen Koperasi membentuk tiga direktorat jenderal baru sebagai langkah lanjut penyesuaian, yaitu Ditjen Pembinaan Koperasi Perkotaan, Ditjen Pembinaan Koperasi Pedesaan, dan Ditjen Pembinaan Usaha Kecil.

Pada tahun 1998, Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil diubah menjadi Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah melalui Keppres 102/1998.

Pada tahun 1999, departemen ini berubah menjadi Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah berdasarkan Keppres 134/1999. Menteri negara bertugas menangani bidang tugas tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara yang tidak ditangani oleh suatu departemen.

Kebijakan ini berlanjut pada tahun 2000 dengan penambahan nama “urusan” menjadi Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah  sesuai Keppres 163/2000. Pada tahun 2001, nama tersebut kembali menjadi Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah berdasarkan Keppres 101/2001.

Pada tahun 2015, Menteri Negara Koperasi dan UKM diubah menjadi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Perpres 62/2015. Kementerian ini mengurus sisi dukungan pemberdayaan dan pendampingan selain juga melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan terkait UMKM.

Meskipun demikian, urusan UMKM tidak melulu terkait dengan Kementerian Koperasi dan UMKM. Dengan cakupan sektor yang luas, hampir semua kementerian yang terkait dengan sumber daya dan perekonomian bersinggungan dengan kegiatan UMKM.

Beberapa kementerian yang terkait secara signifikan, di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.

Kementerian Keuangan mengambil bagian terutama dalam urusan pembiayaan dan pemberian kredit. Salah satu program yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan adalah Kredit Ultra Mikro (UMi). Program ini menyasar pelaku UMKM yang belum terfasilitasi oleh Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari perbankan.

Sementara, Kementerian Perindustrian memiliki bagian khusus yang membidangi UMKM, yakni Dirjen Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA). Salah satu agenda Dirjen IKMA baru-baru ini adalah membangun jejaring antara industri kecil dan menengah dengan industri besar. Harapannya, sektor kecil dan menengah mampu menjadi rantai suplai untuk industri lokal maupun global.

Lembaga berikutnya yang terkait dengan UMKM adalah Kementerian Perdagangan. Tugas Kemendag dalam mendukung UMKM adalah memberi atau membukakan pangsa pasar. Tidak hanya di dalam negeri, peluang pasar luar negeri juga diusahakan oleh Kemendag dengan melakukan kajian intelijen pasar serta membangun jaringan dengan para pembeli, asosiasi, dan kamar dagang di negara-negara tujuan. Harapan dari upaya ini adalah meluasnya pasar UMKM di dalam dan luar negeri.

Di luar beberapa kementerian di atas, masih banyak pihak yang terkait dengan UMKM sesuai dengan penekanan BAB I UU 20/2008 bahwa pihak-pihak yang terkait mendukung UMKM mencakup Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat umum. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivitas produksi tahu di industri skala rumahan di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2019). UMKM ini belum tersentuh teknologi digital dalam praktik bisnisnya sehingga pemasaran dilakukan secara konvensional ke pasar tradisional di kawasan Mampang Prapatan dan Kebayoran. Dibutuhkan campur tangan pemerintah dan swasta untuk membawa UMKM ke tingkat lebih tinggi dalam era ekonomi digital.

Referensi

Buku
  • Tambunan, Tulus. 2012. Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia: Isu-isu Penting. Jakarta: LP3ES.