Paparan Topik | UMKM

Potret dan Tantangan UMKM di Indonesia

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan tulang punggung ekonomi nasional sekaligus ujung tombak perputaran ekonomi dalam negeri. Akan tetapi, kelompok usaha ini masih menghadapi beragam tantangan untuk lebih berdaya saing.

KOMPAS/EDDY HASBY
Seorang karyawan industri sepatu kecil di kawasan Jalan Batik Gayam, Semarang, Kamis (24/3/2004), tengah menyelesaikan pekerjaannya. Meski tanpa dukungan pemerintah, usaha kecil milik Kurdi ini mampu memproduksi 3.000 pasang sepatu dan sandal kulit dalam berbagai model. Harga produknya pun variatif, paling murah untuk sepasang sandal dijual Rp 30.000 dan untuk sepatu Rp 80.000.

Fakta Singkat

UMKM di Indonesia

  • Jumlah UMKM tahun 2018: 64,19 juta usaha
  • Tenaga kerja UMKM: 117 juta pekerja (97 persen)
  • Sumbangan UMKM terhadap PDB tahun 2018: Rp 8.573 triliun

Regulasi

  • UU 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
  • PP 17/2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Sebagai tulang punggung ekonomi nasional, sektor UMKM memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja, pembentuk produk domestik bruto (PDB), serta sumber ekspor nonmigas.

UMKM juga memiliki fungsi sosial sebagai penyedia jaring pengaman, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah supaya dapat menjalankan kegiatan ekonomi produktif.

Tak hanya pada saat kondisi ekonomi normal dan stabil, UMKM terbukti kuat saat menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 dan 2008.

Pada dua krisis itu, sebagian besar UMKM relatif tak mengalami masalah serius. Malah, mereka yang berorientasi ekspor dan menggunakan bahan baku dalam negeri dapat meraih keuntungan. Hasilnya, UMKM mampu menjadi katup pengaman perekonomian nasional saat krisis.

Kekuatan UMKM tersebut tidak terlepas dari perputaran transaksi yang cepat, menggunakan produksi domestik dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan primer masyarakat.

Keberadaan UMKM yang tersebar luas di seluruh penjuru menjadi penopang produksi nasional sekaligus sumber pendapatan dan kesejahteraan sebagian besar masyarakat.

Definisi dan kriteria UMKM

Sektor UMKM di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Undang-undang ini menjadi acuan untuk pemberdayaan dan pengembangan UMKM di Tanah Air.

Aturan lainnya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur lebih lanjut perihal pengembangan usaha, kemitraan, perizinan, serta koordinasi dan pengendalian UMKM.

Dalam aturan tersebut dijelaskan kriteria UMKM di Indonesia. Usaha mikro didefinisikan sebagai usaha produktif milik perseorangan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro.

Sedangkan, usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri. Usaha ini dilakukan perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar serta memenuhi kriteria lain.

Adapun usaha menengah diartikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

Dalam UU tersebut, juga dijelaskan perbedaan kriteria UMKM dengan usaha besar berdasarkan aset dan omzet. Usaha mikro memiliki aset maksimal Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet maksimal Rp 300 juta per tahun.

Usaha kecil mempunyai aset lebih dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet maksimal lebih dari Rp 300 juta hingga Rp 2,5 miliar per tahun.

Usaha menengah memiliki aset lebih dari Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet lebih dari Rp 2,5 miliar hingga Rp 50 miliar per tahun.

Usaha besar mempunyai aset lebih dari Rp 10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet lebih dari Rp 50 miliar per tahun.

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan UMKM berdasarkan  jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Definisi UMKM berdasarkan tenaga kerja digunakan oleh BPS dalam pelaksanaan Survei Industri Mikro dan Kecil tahunan.

Menurut BPS, usaha mikro didefinisikan sebagai usaha yang mempekerjakan 1 hingga 4 tenaga kerja, usaha kecil adalah usaha yang memperkerjakan 5 hingga 19 tenaga kerja, dan usaha sedang adalah usaha yang mempekerjakan 20 hingga 99 tenaga kerja.

Industri sektor UMKM juga dapat diklasifikasikan menurut jumlah tenaga kerja serta nilai investasinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64 Tahun 2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi untuk Klasifikasi Usaha Industri, kegiatan usaha dapat diklasifikasikan menjadi dua.

Pertama, industri kecil apabila industri tersebut mempekerjakan paling banyak 19 orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi kurang dari Rp 1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Kedua, industri menengah apabila mempekerjakan paling banyak 19 orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling sedikit Rp 1 miliar, atau mempekerjakan paling sedikit 20 orang tenaga kerja dan memiliki nilai investasi paling banyak Rp 15 miliar.

KOMPAS/SUBUR TJAHJONO
Usaha Kecil Menengah tetap tegar menghadapi krisis moneter yang melanda Indonesia 1998 meski banyak perusahaan besar bangkrut dan harus memPHKan para karyawannya. UKM yang terus bertahan, antara lain usaha perkayuan karena deprisiasi rupiah terhadap dollar, mengakibatkan mereka meraup dollar karena bisa terus ekspor. Gambar salah satu usaha kecil perkayuan dengan bahan baku kayu jati,(6/8/1998).

Bidang usaha UMKM

Berdasarkan Sensus Ekonomi 2016, terdapat tiga bidang usaha Usaha Mikro Kecil (UMK) nonpertanian yang usahanya menempati urutan teratas dalam perekonomian nasional.

Pertama adalah sektor perdagangan besar dan eceran. Pelaku UMKM yang bergerak di sektor ini mencapai 46,17 persen. Tenaga kerja yang terserap di sektor ini mencapai 31,81 persen tenaga kerja.

Usaha di bidang perdagangan besar dan eceran adalah penjualan barang tanpa proses mengubah bentuk produk yang diperdagangkan, kecuali penyortiran atau pengemasan ulang.

Kedua adalah penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum. Sebanyak 16,72 persen UMKM bergerak di sektor ini dengan tenaga kerja yang terserap mencapai 11,97 persen.

Usaha akomodasi dan penyediaan makan minum meliputi restoran, rumah makan, kafe, katering, dan yang serupa.

Ketiga adalah industri pengolahan. Sektor ini ditekuni oleh 16,53 persen pelaku UMKM dengan tenaga kerja yang terserap mencapai 22,75 persen.

Industri pengolahan meliputi berbagai kegiatan produksi yang mengubah bentuk bahan baku atau mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang siap digunakan atau dikonsumsi. Contoh industri pengolahan adalah industri garmen yang mengubah kapas menjadi kain, industri konveksi yang mengubah kain menjadi pakaian, dan lainnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pengunjung melihat stan peserta Pameran UMKM dan Koperasi dalam rangka Peringatan Hari Koperasi ke 69 di Dyandra Convention Center, Surabaya, Kamis (11/8/2016).

Perkembangan UMKM

Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997–1998, sektor UMKM terus berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Kontribusi itu meliputi jumlah unit usaha, penyediaan lapangan kerja, pendapatan nasional, ekspor nonmigas, dan investasi.

Dari sisi unit usaha, selama periode 1997–2018, jumlah UMKM nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997, jumlah UMKM tercatat sebanyak 39,8 juta unit. Kondisi krisis di tahun 1998 itu mengakibatkan penurunan jumlah UMKM menjadi 36,8 juta unit.

Pascakrisis ekonomi 1997–1998 jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat hingga mencapai 57,8 juta unit pada tahun 2013. Selama kurun waktu 15 tahun tersebut, jumlah UMKM mengalami peningkatan sebesar 46 persen.

Data terakhir dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) menunjukkan, pada tahun 2018, Indonesia memiliki 64,19 juta usaha atau sekitar 99,99 persen dari total unit usaha yang tersebar di seluruh negeri.

Dari angka 64,19 juta tersebut, usaha mikro masih yang terbesar, yakni 63,35 juta usaha (98,68 persen), disusul usaha kecil 783.132 usaha (1,22 persen), dan usaha menengah sebanyak 60.702 usaha (0,09 persen).

Dari sisi serapan tenaga kerja, UMKM adalah sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada tahun 1997, jumlah tenaga kerja di sektor UMKM sebanyak 65,5 juta tenaga kerja. Lima belas tahun kemudian (2013), tenaga kerja di sektor UMKM tumbuh sebesar 74 persen menjadi 114,1 juta tenaga kerja.

Data terbaru dari BPS menunjukkan, UMKM menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari daya serap tenaga kerja dunia usaha pada 2018. Sisanya, sebanyak 3 persen, diserap korporasi.

Selain peranannya dalam aktivitas ekonomi serta penyerapan kerja di Indonesia, sektor UMKM juga menyumbang pembentukan PDB nasional. Pada tahun 1997, awal terjadinya krisis ekonomi Indonesia, UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 250 triliun.

Pascakrisis ekonomi, kontribusinya terus meningkat hingga mencapai Rp 1.500 triliun pada tahun 2013. Rata-rata kontribusi UMKM terhadap PDB selama 15 tahun itu sebesar 57 persen dari total PDB.

Pada tahun 2018, sektor UMKM memberikan kontribusi sebesar 61,07 persen dari total PDB Indonesia. Dengan PDB Indonesia pada 2018 sebesar Rp 14.038 triliun, sumbangan UMKM sebesar Rp 8.573 triliun.

UMKM juga berkontribusi dalam ekspor komoditas nonmigas Indonesia. Dalam kurun waktu 1997–2013, nilai ekspor nonmigas dari sektor UMKM berfluktuasi, tetapi cenderung meningkat. Dalam kurun waktu 15 tahun itu, nilai ekspor nonmigas sektor UMKM meningkat sebesar 364 persen.

Jika dilihat dari kontribusi terhadap total ekspor nonmigas Indonesia, proporsi dari sektor UMKM mengalami penurunan. Pada tahun 1997, proporsi ekspor nonmigas sektor UMKM adalah 33,3 persen, kemudian menurun tajam pascakrisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997–1998.

Pada tahun 2013, proporsi kontribusi sektor UMKM terhadap ekspor nonmigas adalah sebesar 15,7 persen, menurun sebesar 53 persen dibandingkan tahun 1997. Data terbaru dari BPS mencatat, UMKM menyumbang sekitar 15,8 persen atau sekitar 23 miliar dollar AS dari total ekspor nonmigas.

Pascakrisis ekonomi, nilai investasi sektor UMKM terus meningkat. Pada tahun 1999, nilai investasi dari UMKM masih sebesar Rp 32,1 triliun. Kemudian, meningkat menjadi Rp 314,3 triliun pada tahun 2013. Dalam kurun waktu 14 tahun, nilai investasi dari sektor UMKM tumbuh sebesar 963 persen. Data terakhir menunjukkan, UMKM menyumbang 58,18 persen dari total investasi pada tahun 2018.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Inovasi perajin batik dengan membuat masker bertema merah putih untuk mengikuti tren di Kedungmundu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (24/7/2020).  Selain berinovasi produk mereka juga harus gencar dalam memasarkan secara daring atau melalui jaringan pertemanan.

UMKM di negara lain

UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung ekonomi bagi Indonesia, melainkan juga penopang perekonomian di kawasan ASEAN dan negara-negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, Jepang dan Korea selatan.

Di kawasan Asia Tenggara, sekitar 88,8 persen hingga 99,9 persen bentuk usaha adalah UMKM. UMKM tersebut mampu menyerap 51,7 hingga 97,2 persen tenaga kerja di ASEAN. Sumbangan UMKM terhadap PDB di negara-negara ASEAN bervariasi mulai dari 24 persen hingga 61 persen.

Di negara tetangga, Singapura, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 45 persen. Disusul Thailand 37,4 persen, Filipina 36 persen, Malaysia 31,1 persen, dan Brunei Darussalam 24 persen.

UMKM juga berkontribusi terhadap ekspor nonmigas di negara-negara Asia Tenggara. Di Thailand, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional mencapai 29,5 persen dari total ekspor, Filipina 20 persen, Vietnam 20 persen, dan Malaysia 19 persen.

UMKM juga menjadi tumpuan bagi sejumlah negara maju di dunia. Di Jepang, UMKM mencapai 99,7 persen dari total unit usaha dan menyerap tenaga kerja hingga 70,2 persen dari total orang yang bekerja. Kontribusi sektor UKM di Jepang mencapai 50 persen terhadap PDB Nasional dan 54 persen terhadap ekspor nasional.

Untuk mengembangkan UKM, pemerintah Jepang berupaya mengurangi konflik yang terjadi antara pelaku usaha besar dan pelaku UKM serta menindak tegas setiap praktik persaingan tidak sehat yang dapat mematikan UKM.

Pemerintah Jepang mendorong kerja sama antara perusahaan skala besar dengan UKM melalui skema linkages. Pemerintah Jepang melarang masuknya perusahaan besar untuk sektor usaha-sektor usaha yang  dianggap lebih cocok untuk digarap UKM.

Di Korea Selatan, jumlah UKM mencapai 99,2 persen dari total unit usaha dan menyerap tenaga kerja hingga 87,5 persen dari total orang yang bekerja. Kontribusi sektor UKM mencapai 49 persen terhadap PDB Nasional dan 31 persen terhadap ekspor nasional.

Jerman, sebagai negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia,  juga sangat mengandalkan UMKM untuk menopang perekonomian negaranya. UMKM Jerman telah menyumbang 40 persen PDB, menciptakan 70 persen lapangan kerja, serta menyumbang 70 persen hingga 90 persen dari pangsa pasar UMKM di pasar dunia.

Di Amerika Serikat, sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, kontribusi sektor UMKM terhadap ekspor nasional mencapai 33,7 persen dari total ekspor nonmigas.

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO
Anak-anak muda di Hongkong telah memasuki UKM berkelas dunia. Mereka memasuki industri kreatif dengan keunggulan pada kreativitas desain. Pencapaian mereka ditunjang lembaga pendidikan desain yang unggul. Salah satu lembaga itu mengikuti pameran desain pada Desember tahun lalu (30/12/2007).

Tantangan UMKM Indonesia

Kendati berpotensi besar menumbuhkan perekonomian nasional, UMKM di Indonesia masih dihadapkan dengan beragam tantangan. Sejumlah persoalan dan tantangan itu diuraikan dalam Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia 2015-2019.

Di sisi lain, pemerintah juga telah merancang target pengembangan UMKM selama lima tahun ke depan seperti dipaparkan dalam Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJM Nasional Tahun 2020-2024.

Tantangan yang dihadapi oleh UMKM saat ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, peran sistem pendukung yang kurang optimal, serta kebijakan dan peraturan yang kurang efektif.

Tantangan SDM UMKM pada umumnya disebabkan oleh rendahnya pendidikan, keterampilan dan pengalaman, serta akses ke informasi. Sebagian besar UMKM juga belum memiliki kapasitas  kewirausahaan yang memadai. Hal ini tampak dari pola bisnis UMKM yang masih banyak difokuskan pada produksi, bukan permintaan pasar.

Sementara itu, kurang optimalnya peran sistem pendukung telah meningkatkan kompleksitas dalam akses UMKM terhadap sumber daya (bahan baku dan pembiayaan), teknologi, dan pasar. Sistem pendukung usaha tersebut dapat mencakup lembaga penyedia/pemasok bahan baku, lembaga pembiayaan, lembaga litbang, mediator pemasaran, lembaga layanan bisnis/LPB, dan lain-lain. Peran sistem pendukung UMKM juga tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur serta insentif.

Kapasitas UMKM untuk dapat berperan secara maksimal di pasar juga dipengaruhi oleh iklim usaha yang menjamin kesetaraan dan kepastian usaha, perlindungan usaha, serta ketersediaan insentif untuk pengembangan usaha. Harmonisasi berbagai peraturan antara pusat-daerah, antarsektor dan antarwilayah juga masih dibutuhkan untuk mendukung pengembangan UMKM.

Menghadapi beragam tantangan tersebut, dalam RPJM Nasional 2020–2024, pemerintah menargetkan penguatan kewirausahaan dan UMKM. Selama lima tahun ke depan, diharapkan persentase UMKM yang melakukan kemitraan naik dari 7 persen pada tahun 2019 menjadi 10 persen pada 2024. Serta, proporsi UMKM yang mengakses kredit lembaga keuangan formal naik dari 25,18 persen pada tahun 2019 menjadi 30,78 persen tahun 2024.

Rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan diharapkan naik dari 19,75 persen menjadi 22 persen. Selain itu, proporsi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) sektor produksi ditargetkan naik dari 60 persen menjadi 80 persen.

Jumlah sentra industri kecil dan menengah (IKM) baru di luar Jawa yang beroperasi ditargetkan naik dari 3 sentra menjadi 30 sentra, proporsi nilai tambah IKM terhadap total nilai tambah industri pengolahan nonmigas dari 18,5 persen menjadi 20 persen. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Petugas Bea Cukai memeriksa barang yang akan diekspor di gudang PT Uniair Indotama Cargo di kawasan industri dan perdagangan Marunda Center, Bekasi, Kamis (19/12/2019). Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, melepas ekspor perdana produk UKM (Usaha Kecil Menengah) dan IKM (Industri Kecil Menengah) Indonesia ke China melalui  layanan Pusat Logistik Berikat (PLB) e-commerce.

Referensi

Arsip Kompas
Aturan Pendukung