Fakta Singkat
- Hari Hak Asasi Hewan diperingati setiap tanggal 15 Oktober
- Deklarasi Universal Hak Asasi Hewan disusun oleh Liga Internasional untuk Hak Asasi Hewan (International League of Animal Rights)
- Peringatan Hari Hak Asasi Hewan ditetapkan pada 15 Oktober tahun 1978 di Markas Besar UNESCO, Paris.
Gerakan perlindungan hak-hak hewan mulai mendapatkan momentum di abad ke-20, didorong oleh keprihatinan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan penyiksaan hewan di seluruh dunia.
Bentuk eksploitasi hewan diantaranya seperti penggunaan hewan dalam eksperimen ilmiah, eksploitasi hewan dalam industri hiburan (sirkus, taman hiburan), peternakan intensif dan penyembelihan hewan secara massal untuk industri pangan, perburuan dan perdagangan satwa liar ilegal.
Istilah hak asasi hewan muncul pada awal 1970-an. Hal itu dilatarbelakangi oleh terjadinya eksploitasi berlebihan, termasuk kekerasan, terhadap hewan. Salah satu tokoh yang memomulerkan istilah ini ialah Peter Singer, filsuf asal Australia. Dia menerbitkan buku Animal Liberation pada 1975. Buku tersebut tentang aturan etika terhadap hewan. Secara luas, buku itu dianggap sebagai gerakan pembebasan hewan.
Sejumlah aktivis hak-hak hewan, organisasi non-pemerintah, dan individu yang peduli terhadap kesejahteraan hewan mendorong pembentukan deklarasi hak asasi hewan sebagai bagian dari upaya untuk memperkenalkan standar moral baru mengenai perlakuan terhadap hewan.
Deklarasi ini disusun oleh Liga Internasional untuk Hak Asasi Hewan (International League of Animal Rights) dan didukung oleh berbagai organisasi perlindungan hewan di seluruh dunia.
Pada 15 Oktober 1978, deklarasi ini secara resmi diumumkan di markas besar UNESCO di Paris.Hari Hak Asasi Hewan Sedunia atau dikenal juga dengan hari hak asasi hewan atau Animal Rights Day diperingati setiap tanggal 15 Oktober.
Peringatan ini ditetapkan pada tahun 1978 di Markas Besar UNESCO, Paris. Penetapan ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Hewan (Universal Declaration of Animal Rights). Deklarasi ini terdiri dari 14 pasal yang menetapkan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi hewan.
Gerakan Hak-Hak Hewan Modern
Dasar gerakan hak asasi hewan modern berasal dari hewan memiliki kepentingan dasar yang layak mendapatkan pengakuan, pertimbangan, dan perlindungan. Dalam pandangan para pembela hak asasi hewan, kepentingan dasar ini memberikan hak moral dan hukum kepada hewan yang memilikinya.
Dikatakan bahwa gerakan hak-hak hewan modern adalah gerakan reformasi sosial pertama yang diprakarsai oleh para filsuf. Filsuf Australia Peter Singer dan filsuf Amerika Tom Regan layak disebut secara khusus, bukan hanya karena karya mereka yang berpengaruh, tetapi juga karena mereka mewakili dua aliran utama pemikiran filosofis mengenai hak moral hewan.
Singer, dalam bukunya Animal Liberation (1975) dianggap sebagai salah satu dokumen dasar gerakan ini, berpendapat bahwa kepentingan manusia dan kepentingan hewan harus diberikan pertimbangan yang sama.
Singer berpendapat bahwa tindakan secara moral benar sejauh tindakan tersebut memaksimalkan kesenangan atau meminimalkan rasa sakit. Pertimbangan utamanya adalah apakah hewan memiliki perasaan dan dapat menderita rasa sakit atau mengalami kesenangan.
Mengingat bahwa hewan dapat menderita, Singer berpendapat bahwa manusia memiliki kewajiban moral untuk meminimalkan atau menghindari segala hal menyebabkan penderitaan terhadap hewan, sama seperti mereka memiliki kewajiban untuk meminimalkan atau menghindari menyebabkan penderitaan manusia lain.
Sementara Regan berpendapat bahwa setidaknya beberapa hewan memiliki hak moral dasar karena mereka memiliki kemampuan kognitif tingkat lanjut yang sama, yang membenarkan atribusi hak moral dasar kepada manusia. Berdasarkan kemampuan ini, hewan-hewan ini tidak hanya memiliki nilai instrumental tetapi juga nilai inheren. Dalam kata-kata Regan, mereka adalah “subjek” kehidupan.
Regan, Singer, dan pendukung filosofis hak-hak hewan lainnya telah menghadapi perlawanan. Beberapa penulis agama berpendapat bahwa hewan tidak layak mendapatkan pertimbangan moral seperti manusia karena hanya manusia yang memiliki jiwa yang abadi.
Banyak organisasi internasional seperti PETA, RSPCA, dan World Animal Protection bekerja keras untuk menghentikan eksploitasi hewan dengan melakukan kampanye kesadaran, advokasi hukum, dan penyelamatan hewan. Undang-undang perlindungan hewan di beberapa negara telah berkembang, meskipun tantangan besar tetap ada dalam penegakan hukum dan perubahan perilaku masyarakat.
Seperti PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) dan Humane Society of the United States, yang pada awal abad ke-21 memiliki jutaan anggota dan anggaran tahunan jutaan dolar. Dalam semua manifestasinya, kelompok hak asasi hewan mulai membanjiri badan legislatif dengan tuntutan untuk regulasi dan reformasi.
Artikel terkait
Eksploitasi Hewan
Eksploitasi hewan adalah penggunaan hewan oleh manusia untuk berbagai tujuan yang sering kali mengabaikan kesejahteraan dan hak asasi mereka. Hal ini terjadi di berbagai sektor, seperti industri hiburan, perdagangan satwa liar, peternakan intensif, dan penelitian ilmiah. Berikut ini beberapa data dan contoh eksploitasi hewan:
Industri Hiburan
Sirkus dan Taman Hiburan: Banyak hewan, seperti gajah, singa, dan beruang, dilatih secara paksa untuk melakukan trik yang bertentangan dengan perilaku alami mereka. Dalam proses pelatihan, hewan sering mengalami kekerasan fisik dan psikologis.
Perdagangan Satwa untuk Atraksi Wisata: Hewan seperti lumba-lumba dan paus diburu untuk dipekerjakan di taman hiburan, dan kerap kali ditempatkan di ruang kecil yang tidak sesuai dengan habitat alami mereka.
Laporan dari World Animal Protection menyebutkan bahwa sekitar 550.000 hewan liar digunakan untuk hiburan di seluruh dunia, dengan banyak yang menghadapi kondisi yang kejam dan menindas.
Penelitian Ilmiah dan Pengujian Kosmetik
Jutaan hewan, seperti tikus, kelinci, dan primata, digunakan dalam penelitian ilmiah dan pengujian produk kosmetik. Banyak dari hewan ini mengalami penderitaan fisik yang luar biasa akibat prosedur yang dilakukan.
Pengujian Toksisitas: Dalam pengujian kosmetik, hewan-hewan seringkali diberi zat kimia yang menyebabkan luka bakar, iritasi, atau bahkan kematian.
Menurut Cruelty Free International, sekitar 115 juta hewan digunakan dalam penelitian laboratorium di seluruh dunia setiap tahunnya. Sebagian besar dari eksperimen ini menyebabkan rasa sakit yang luar biasa pada hewan, sementara banyak alternatif tanpa hewan yang telah dikembangkan.
Peternakan Intensif
Di seluruh dunia, miliaran hewan dipelihara dalam sistem peternakan intensif, di mana mereka sering kali dikurung dalam kandang sempit tanpa akses ke udara segar atau sinar matahari.
Penderitaan Hewan Ternak: Ayam pedaging, babi, sapi, dan hewan ternak lainnya sering diperlakukan hanya sebagai komoditas, tanpa memperhatikan kebutuhan dasar mereka. Ayam petelur, misalnya, biasanya ditempatkan di kandang baterai yang sangat kecil sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas.
Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan bahwa lebih dari 70% dari ayam di dunia, 50% dari babi, dan 60% dari sapi dipelihara dalam sistem peternakan intensif. Sistem ini seringkali mengabaikan kesejahteraan hewan dan menciptakan kondisi hidup yang sangat tidak manusiawi.
Perdagangan Satwa Liar
Perdagangan ilegal satwa liar adalah salah satu bentuk eksploitasi yang sangat mengancam kelangsungan hidup spesies tertentu. Hewan-hewan seperti gajah, badak, dan harimau diburu untuk diambil gading, tanduk, atau bagian tubuh lainnya.
Perdagangan Kulit dan Produk Hewan: Hewan seperti buaya, ular, dan anjing laut sering diburu untuk diambil kulitnya dan dijadikan barang-barang fesyen, seperti tas, sepatu, dan jaket.
Menurut laporan WWF (World Wildlife Fund), perdagangan satwa liar ilegal memiliki nilai sekitar $23 miliar per tahun, menjadikannya salah satu bentuk kejahatan terorganisir terbesar di dunia. Setiap tahun, ribuan hewan dibunuh atau diperdagangkan secara ilegal, yang mengancam kelestarian banyak spesies.
Eksploitasi untuk Makanan
Hewan-hewan seperti ikan, sapi, ayam, dan babi dieksploitasi secara masif untuk industri pangan. Banyak dari mereka diternakkan dan dibunuh dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Dalam Industri Perikanan banyak spesies laut yang diburu berlebihan, menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan ancaman kepunahan bagi beberapa spesies. Jaring ikan skala besar juga membahayakan spesies non-target, seperti lumba-lumba dan kura-kura.
Menurut PBB, sekitar 1 triliun ikan dibunuh setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia. Banyak spesies ikan yang terancam punah akibat praktik penangkapan ikan yang berlebihan.
Pencemaran dan Kerusakan Habitat
Eksploitasi lingkungan dan hewan sering kali terjadi seiring dengan perusakan habitat mereka. Pembabatan hutan, perburuan liar, dan polusi lingkungan menyebabkan hilangnya tempat tinggal bagi ribuan spesies hewan.
World Wildlife Fund (WWF) melaporkan bahwa lebih dari 60% populasi satwa liar dunia telah menurun sejak tahun 1970 akibat perusakan habitat, perdagangan ilegal, dan eksploitasi oleh manusia.
Di negara berkembang yang berasal dari benua Asia dan Afrika, termasuk Indonesia eksploitasi hewan terjadi di peternakan, kebanyakan ternak dipelihara di pedesaan dengan ladang penggembalaan terbatas. Ternak merupakan tabungan hidup, kekayaan budaya dan tradisi agama tidak menghindarkan ternak dari tindakan kekerasan. Tetapi, di sisi lain, masyarakat juga punya tradisi mendewakan ternak atau memperlakukannya sebagai hewan suci.
Sepuluh miliar ekor ternak sapi disembelih untuk dikonsumsi penduduk dunia setiap tahun. Di Indonesia lebih dari dua juta ekor ternak disembelih per tahun di ratusan RPH di seluruh negeri. Ternak-ternak ini setiap saat menerima perlakuan manusia mulai dari peternakan sampai pengangkutan dan penyembelihan. Tak dapat disangkal, ternak-ternak itu sering mengalami penderitaan akibat malnutrisi, muatan melebihi daya tampung, dan perlakuan tidak wajar.
Di RPH-RPH yang masih menjalankan sistem tradisional, sering kali ternak diperlakukan kasar, menyaksikan langsung sesamanya dibunuh dan disembelih, serta tidak dipraktikkannya proses pemingsanan ternak sebelum dipotong (stunning). Kekerasan terhadap ternak berlangsung di setiap tahapan selama proses penyembelihan berlangsung.
Ironinya, pengangkutan ternak sering kali makan waktu lama sehingga ternak mengalami stres di jalan. Kapal laut, truk, maupun kereta pengangkut ternak tidak dirancang baik dan pemuatannya melebihi kapasitas tampung. Penyediaan pakan dan minuman sepanjang pengangkutan tidak memadai. Begitu juga peralatan bongkar muat dan penanganan ternak kurang memadai dalam upaya menghindari kemungkinan ternak terluka, memar, terinjak-injak, atau mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang, terkoyak, atau kehilangan tanduk.
Belum lagi pertunjukan hewan seperti pentas sirkus, di Indonesia pertunjukan sirkus hewan bisa diselenggarakan dimana saja bahkan areal parkir pusat perbelanjaan dan area kosong lainnya. Mereka menggunakan alun-alun kota dengan izin BKSDA setempat. BKSDA lalu menuai protes keras dari pencinta satwa lokal sehingga Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pun menyurati BKSDA.
Setelah izin pentas di supermarket dan izin BKSDA dilarang, mereka memakai lapangan militer. Di negeri ini, selalu ada cara untuk mengecualikan larangan. Masalahnya lebih serius dari sekadar larangan. Ini adalah eksploitasi satwa berkedok sirkus!
Lumba-lumba adalah mamalia cerdas, dapat mengenali simbol dan berinteraksi dengan manusia. Banyak kisah lumba-lumba menyelamatkan manusia yang tenggelam di lautan.
Tapi demi sirkus, lumba-lumba ditangkap dari habitat, dirampas haknya, lalu ditaruh kolam, ibarat aktivis yang dihilangkan dari habitatnya. Lumba-lumba diangkut keliling tanpa air cukup, diminta lompati api atau bermain bola dengan imbalan makanan. Sesuatu yang tak dilakukan alamiah di habitatnya.
Gajah, orangutan, dan harimau kerap dipentaskan sirkus. Ibarat anak-anak di bawah umur, terpaksa jadi pekerja migran seperti TKI Wilfrida yang dituntut mati di Malaysia. Ibarat buruh pabrik panci, dipaksa bekerja 12 jam/hari dengan target 200 panci. Jika gagal, disiksa.
Satwa ini mengalami perbudakan seperti manusia. Dianggap barang, dipaksa melakukan fungsi-fungsi terbatas hewan, makan, minum, dan menghasilkan ”uang” bagi pemiliknya. Mereka tak dianggap makhluk berjiwa, berkeluarga, dan berkomunitas seperti manusia.
Upaya Perlindungan Hewan di Indonesia
Perlindungan hewan di Indonesia diatur melalui berbagai undang-undang dan peraturan yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan dan hak-hak hewan, terutama satwa liar. Berikut adalah beberapa peraturan utama terkait upaya perlindungan hewan di Indonesia Upaya perlindungan dan hukum di Indonesia.
Peraturan UU No 5/1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang ”menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati” (Pasal 20 Ayat 2). Pengecualian hanya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan (Pasal 22).
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan ini mengatur tentang daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi di Indonesia. Ini mencakup hewan-hewan yang terancam punah dan perlu dilindungi dari eksploitasi dan perburuan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang ini lebih berfokus pada kesejahteraan hewan ternak dan kesehatan hewan secara umum. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2020 tentang Kesejahteraan Hewan
Peraturan ini dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian dan mengatur prinsip-prinsip kesejahteraan hewan, yang dikenal sebagai “Five Freedoms” (Lima Kebebasan) bagi hewan, yakni bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku alami, bebas dari rasa takut dan stres.
Hukuman bagi mereka yang melanggar undang-undang terkait perlindungan satwa liar di Indonesia bisa sangat berat, terutama bagi pelanggar yang menangkap, memperdagangkan, atau membunuh satwa liar yang dilindungi. Selain pidana penjara, pelanggar juga dapat dikenakan denda yang besar.
Indonesia terus berupaya meningkatkan perlindungan terhadap hewan, khususnya satwa yang terancam punah seperti harimau Sumatra, orangutan, dan badak. Namun, tantangan dalam penegakan hukum, perburuan liar, dan perdagangan satwa ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Jeanne Williams, Animal Rights and Welfare, The HW Wilson Company, 1991.
- Kisah 1 Oktober. Kompas, 23 Sep 2019, Hlm. 11.
-
Hak Asasi Satwa. Kompas, 30 September 2013, Hlm. 7.
-
Perlindungan Satwa Dan Hak Asasi Hewan. Kompas, 19 September 1992, Hlm. 4.
-
Kekerasan pada Ternak. Kompas, 13 Juni 2011, Him. 6.
- https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/30/redefinisi-Pancasila?open_from=Search_Result_Page
- https://www.esdaw.eu/unesco.html
- https://www.peta.org/about-peta/why-peta/why-animal-rights/
- https://www.britannica.com/topic/animal-rights#ref257089
- https://thehumaneleague.org/article/animal-rights
- https://www.bbc.co.uk/ethics/animals/rights/rights_1.shtmlhttps://www.nonhumanrights.org/