Paparan Topik | Keanekaragaman Hayati

Potret Perdagangan Satwa Liar

Hari Satwa Liar Sedunia atau World Wildlife Day diperingati setiap tanggal 3 Maret. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya satwa liar dan ekosistem alam untuk menjaga keseimbangan bumi.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Proses pelepasliaran sejumlah satwa liar dilindungi dilaksanakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh bersama Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh di kawasan hutan Kabupaten Aceh Besar, Jumat (18/7/2014). Satwa yang dilepasliarkan itu terdiri dari siamang, landak, elang brontok, elang-ular bido, dan bangau tongtong.

Fakta Singkat

  • Hari Satwa Liar Sedunia atau World Wildlife Day diperingati setiap tanggal 3 Maret.
  • Tema yang diusung pada tahun 2024 adalah “Connecting People and Planet: Exploring Digital Innovation in Wildlife Conservation”.
  • Sepanjang tahun 2011 – 2020, lebih dari 1,3 miliar individu tumbuhan dan hewan dilaporkan diperdagangkan secara legal secara internasional yang tercatat oleh CITES.
  • Berdasarkan dari data penyitaan satwa liar, CITES mencatat dari tahun 2010 hingga 2021, terdapat total 94.478 perdagangan ilegal satwa liar antara tahun 2010 – 2020.
  • Berdasarkan data KLHK, Indonesia memiliki 35 ribu sampai 40 ribu spesies tumbuhan, 707 spesies mamalia, 1.602 spesies burung, 2.184 spesies ikan air tawar, 350 spesies amfibi dan reptil, 2.500 spesies moluska, 2 ribu spesies krustasea, 6 spesies penyu laut, 30 spesies mamalia laut, dan lebih dari 2.500 spesies ikan.
  • Data IUCN pada 2013 mencatat bahwa terdapat 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi endemik Indonesia.
  • Berdasarkan data yang diperoleh dari basis data milik CITES, antara tahun 1998 dan 2018, Indonesia sudah mengekspor sekitar 71 juta satwa liar ke puluhan negara.
  • Sementara itu, sepanjang Januari-Desember 2023, LSM Komunikasi Flight mencatat, terdapat 54.488 individu satwa liar hidup disita di Indonesia. Seluruhnya hasil perdagangan ilegal.
  • WWF mencatat bahwa biodiversitas telah mengalami penurunan rata-rata 69 persen sepanjang 1970 – 2018.

Hari Satwa Liar Sedunia merupakan acara tahunan yang didedikasikan untuk satwa liar. Gagasan untuk memperingatinya muncul pada tanggal 20 Desember 2013 pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) ke-68.

Peringatan Hari Satwa Liar Sedunia dirayakan sejak 10 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 3 Maret 2014. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya satwa liar dan ekosistem alami dalam menjaga keseimbangan bumi, serta untuk mendukung perlawanan terhadap kejahatan terhadap satwa liar dan pengurangan spesies yang disebabkan oleh manusia, yang mempunyai dampak luas terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Tema yang diusung pada tahun 2024 adalah “Connecting People and Planet: Exploring Digital Innovation in Wildlife Conservation” atau Menghubungkan Manusia dan Planet: Menjelajahi Inovasi Digital dalam Konservasi Satwa Liar.

Dengan tema tersebut, mengacu laman resmi wildlifeday.org, Hari Satwa Liar Sedunia 2024 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang penerapan teknologi digital terkini dalam konservasi dan perdagangan satwa liar serta dampak intervensi digital terhadap ekosistem dan komunitas di seluruh dunia. 

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Setelah menjalani proses translokasi selama 36 jam, seekor gajah liar dispersal dari ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, tiba di habitat barunya di Hutan Harapan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2018) dinihari. Penggiringan gajah liar itu dibantu 3 gajah terlatih yang didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah Minas, Riau. Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.

Konvensi CITES

Tanggal 3 Maret dipilih karena bertepatan dengan hari penandatanganan Konvensi Perdagangan Internasioanal Spesies Flora dan Fauna Liar/Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1973. CITES merupakan perjanjian global yang berbentuk konvensi di bawah PBB, yang bertujuan untuk mencegah perdagangan flora dan fauna dunia yang mengancam kelestarian dan keragaman hayati dunia.

Konvensi tersebut disusun sebagai hasil dari resolusi sidang anggota International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1963. Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1975.

CITES dibentuk sebagai respon atas meningkatnya perdagangan satwa liar atau tumbuhan langka antarnegara. Setiap tahunnya, perdagangan satwa liar internasional diperkirakan bernilai miliaran dolar dan mencakup ratusan juta spesimen tumbuhan dan hewan. Perdagangannya beragam, mulai dari hewan dan tumbuhan hidup, hingga beragam produk satwa liar yang berasal dari hewan tersebut, termasuk produk makanan, barang-barang kulit eksotik, alat musik dari kayu, kayu, barang antik wisata, dan obat-obatan. 

Tingkat eksploitasi beberapa spesies hewan dan tumbuhan cukup tinggi dan perdagangan spesies tersebut, serta faktor-faktor lain, seperti hilangnya habitat, telah membawa beberapa spesies ke ambang kepunahan.

Melalui CITES, negara-negara anggota dan organisasi-organisasi dalam PBB menyatakan nilai penting dari kehidupan di alam liar dan kontribusinya bagi keseimbangan ekosistem dunia, termasuk nilai-nilai ekologis, genetis, sosial, ekonomi, ilmiah, edukasi, budaya, rekreasi dan keindahan.  

CITES memberikan berbagai tingkat perlindungan terhadap lebih dari lebih dari 38.700 spesies (32.800 spesies tumbuhan dan 6.000 spesies hewan) dari perburuan dan perdagangan, yang dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks. Penetapan daftar spesies Apendiks ditentukan berdasarkan konvensi dalam Conference of Parties (COP). Ada tiga apendiks dalam CITES, yaitu:

  • Apendiks I adalah daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Penangkapan spesies Appendix I hanya diizinkan jika dalam kondisi luar biasa seperti menjadi objek penelitian dan penangkaran, di luar kondisi tersebut akan dianggap illegal.

Spesies dimasukkan kedalam Apendiks I jika memiliki populasi yang kecil di alam (<5.000), penyebaran yang terbatas (<10.000 km2), dan jumlah di alam mengalami penyusustan sebanyak 20 persen dalam 10 tahun atau tiga generasi atau 50 persen dalam lima tahun atau dua generasi.

  • Apendiks II adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Perdagangan terhadap jenis yang masuk kategori ini dapat diperbolehkan selama mendapatkan izin atau sertifikat oleh pihak berwenang terkait yang telah mengadakan kajian yang menyimpulkan bahwa perdagangan jenis satwa atau tumbuhan tersebut tidak akan membahayakan kelestariannya di alam.
  • Apendiks III adalah daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I. Spesies tertentu akan masuk ke dalam kategori ini setelah salah satu negara yang menjadi anggota mengajukan permohonan kepada pihan CITES untuk bantuan dalam mengatur perdangangan spesies yang dimaksud.

Saat ini, CITES diratifikasi oleh 183 negara. Indonesia menjadi bagian dari CITES pada tahun 1978 dengan meratifikasi konvensi melalui Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora.

CITES kemudian diadposi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagai hukum nasional Indonesia setelah melakukan proses ratifikasi CITES. Kemudian Indonesia memperjelas lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Sejumlah monyet ekor panjang (macaca fascicularis) yang diselamatkan dari pemukiman warga disimpan di salah satu kandang di Pusat Informasi, Edukasi, dan Penanggulangan Satwa Liar, Jakarta Utara, Kamis (29/12/2022). Jakarta Konservasi Animal Rescue yang terbentuk pada tahun 2019 ini sudah menyelamatkan ribuan satwa yang tersebar di Jakarta. Pada 2022 Jakarta Konservasi Animal Rescue telah melepasliarkan sebanyak 156 ular dan 43 monyet ekor panjang. Pelepasan tersebut dilakukan di sejumlah tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Perdagangan Satwa Liar Global

  • Perdagangan Legal

Perdagangan satwa liar merupakan perdagangan organisme apa pun, termasuk jamur, tumbuhan, dan hewan, yang bersumber dari alam liar, dapat melibatkan hewan dan tumbuhan hidup atau semua jenis produk hewan dan tumbuhan liar.

Perdagangan satwa liar menjadi salah satu bentuk perdagangan yang paling besar di dunia. Mengacu World Wildlife Trade Report yang diterbitkan CITES pada 2022, lebih dari 1,3 miliar individu tumbuhan dan hewan dilaporkan diperdagangkan secara legal secara internasional sepanjang tahun 2011 – 2020. Jumlah ini mencakup lebih dari 1,26 miliar tanaman dan 82 juta hewan, serta tambahan 279 juta kilogram produk berdasarkan beratnya (193 juta kg tanaman dan 86 juta kg hewan).

Mayoritas perdagangan satwa liar legal melibatkan individu atau bagian dan turunannya yang telah diperbanyak secara buatan (untuk tanaman) atau hasil penangkaran/diternakkan (untuk hewan). Sedangkan, perdagangan yang bersumber dari alam sekitar 18 persen dari seluruh perdagangan dan didominasi oleh tumbuhan.

Asia dan Eropa menjadi kawasan eksportir dan importir terbesar. Asia menyumbang 37 persen transaksi ekspor dan 31 persen transaksi impor. Sedangkan Eropa menyumbang 34 persen transaksi ekspor dan 38 persen transaksi impor.

Perdagangan satwa liar legal bernilai miliaran dolar setiap tahunnya, diperkirakan mencapai 220 miliar dolar AS per tahun. Dari seluruh komoditas hewan, ekspor reptil (untuk diambil kulitnya) dan ikan (untuk diambil kaviarnya) menyumbang lebih dari dua pertiga nilai rata-rata tahunan ekspor global yang terdaftar di CITES. Sementara itu, sekitar dua pertiga dari perkiraan nilai rata-rata tahunan ekspor tanaman berasal dari kayu. 

10 Negara Eksportir Satwa Liar Terbesar di Dunia 1998 – 2018

Negara

Jumlah Ekspor

Indonesia

71.074.793

Jamaika

47.169.956

Honduras

38.840.798

Belize

26.836.789

Nikaragua

24.914.347

Bahama

21.118.718

Turks dan Caicos

19.440.714

Amerika Serikat

18.312.003

Malaysia

16.490.319

Fiji

12.180.813

Sumber: International socio-economic inequality drives trade patterns in the global wildlife market.

  • Perdagangan Ilegal

Karena meningkatnya permintaan terhadap satwa liar, baik untuk koleksi, bahan makanan, bahan baku pakaian maupun aksesoris. Perdagangan satwa liar tidak hanya dilakukan secara legal, tetapi banyak juga yang dilakukan secara ilegal. Bahkan, skala perdagangan ilegal diperkirakan lebih besar lagi. Namun, karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi, cukup sulit untuk dapat menilai secara akurat.

Perdagangan ilegal satwa liar diakui sebagai salah satu bidang kejahatan terorganisir dan merupakan ancaman signifikan bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan. Dalam catatan mengenai kejahatan transnasional di dunia, perdagangan satwa liar masuk lima besar kejahatan transnasional terbesar, selain narkoba, pemalsuan, perdagangan orang, dan minyak.

Praktik perdagangan ilegal satwa liar mencakup proses perburuan, pengangkutan, penyiksaan/pembunuhan, pengiriman, pemindahtanganan, penampungan, hingga penerimaan satwa untuk tujuan eksploitasi

CITES mencatat, dari tahun 2010 hingga 2021, terdapat total 94.478 perdagangan ilegal satwa liar. Jumlah ini diketahui dari data penyitaan satwa liar dan digunakan sebagai salah satu mekanisme untuk menganalisis dinamika perdagangan ilegal.

Sekitar 51 persen atau lebih dari separuh spesies yang diperdagangkan secara ilegal terdaftar dalam daftar Apendiks II. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak dilaporkan adalah karang (29 persen), diikuti oleh tumbuhan (22 persen), invertebrata lainnya (19 persen), dan burung serta reptilia menyumbang sekitar sepersepuluh dari seluruh laporan.

Asia menjadi wilayah dimana penyitaan spesies yang terdaftar dalam CITES Apendiks II paling sering dilaporkan, dengan burung dan mamalia menjadi spesies yang paling sering diperdagangkan. Perdagangan ilegal spesies-spesies yang termasuk dalam daftar Apendiks II, sebagian besar diperdagangkan untuk tujuan komersial.

10 Negara Importir Hewan Liar Terbesar di Dunia 1998 – 2018

Negara

Jumlah Impor

Amerika Serikat

204.574.725

Perancis

28.215.927

Italia

25.548.240

Singapura

19.056.721

Kepulauan Martinik

13.938.354

Hongkong

13.599.252

Meksiko

12.544.036

Jepang

11.510.809

Jerman

10.631.200

China

9.958.332

Sumber: International socio-economic inequality drives trade patterns in the global wildlife market.

Maraknya kasus perdagangan ilegal satwa liar juga dilaporkan oleh Interpol. Berdasarkan data Operasi Guntur tahun 2023 yang melibatkan 133 negara, ada 500 penangkapan di seluruh dunia dengan 2.000 satwa liar disita. Satwa liar dan bagian tubuh yang disita, antara lain, 53 primata, 4 kucing besar, lebih dari 1.300 burung, sekitar 300 kg gading, ribuan telur penyu, cula badak, kulit macan tutul, serta gigi dan cakar singa.

Pihak berwenang juga menyita 2.624 meter kubik kayu yang setara dengan 440 kontainer pengiriman standar. Kayu ilegal dan kayu legal dicampur untuk pengangkutan sehingga sulit untuk mendeteksi kayu yang ditebang secara ilegal.

Interpol mengungkapkan bahwa satwa liar tersebut digunakan untuk dipelihara serta diambil telur dan dagingnya, sedangkan bagian tubuh satwa liar digunakan untuk perhiasan atau ritual. Diperkirakan pasar gelap satwa liar ilegal bernilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 313 triliun per tahun.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Seekor monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), yang biasa disebut yaki, memakan sayuran saat sedang menjalani rehabilitasi di hutan Gunung Masarang, Rurukan, Kota Tomohon, Senin (25/4/2022). Sebanyak 9 ekor yaki hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara menjalani rehabilitasi di fasilitas hasill kerja sama Yayasan Masarang dan PT Pertamina Geothermal Energy. Monyet endemik Sulawesi Utara yang terancam kelestariannya tersebut merupakan hasil sitaan atau penyerahan dari masyarakat yang nantinya akan dilepasliarkan kembali ke alam liar. Saat ini jumlah yaki di alam liar diperkirakan ada 5.000 ekor yang terus terancam oleh perburuan dan perdagangan satwa liar.

Situasi di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki 35 ribu sampai 40 ribu spesies tumbuhan, 707 spesies mamalia, 1.602 spesies burung, 2.184 spesies ikan air tawar, 350 spesies amfibi dan reptil, 2.500 spesies moluska, 2 ribu spesies krustasea, 6 spesies penyu laut, 30 spesies mamalia laut, dan lebih dari 2.500 spesies ikan.

Indonesia juga menjadi rumah bagi beragam satwa langka dan asli yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Data IUCN pada 2013 mencatat bahwa terdapat 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi endemik Indonesia.

Akan tetapi, ada hal lain di balik keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut. Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan perdagangan beragam satwa liar tertinggi, baik sebagai sumber, jalur transit maupun pasar penjualan. World Wildlife Fund (WWF) Indonesia menemukan bahwa 85 persen satwa liar yang diperdagangkan berasal dari alam dan hasil perburuan liar.

Menurut penelitian berjudul “International Socioeconomic Inequality Drives Trade Patterns in the Global Wildlife Market” yang disusun Jia Huan Liew dkk, Indonesia merupakan negara pengekspor satwa liar terbesar di dunia. Berdasarkan data yang diperoleh dari basis data milik CITES, antara tahun 1998 dan 2018, Indonesia sudah mengekspor sekitar 71 juta satwa liar ke puluhan negara.

Sementara itu, sepanjang Januari – Desember 2023, LSM Komunikasi Flight mencatat, terdapat 54.488 individu satwa liar hidup disita. Seluruhnya hasil perdagangan ilegal. Selain itu, disita pula 1.105 kg sisik trenggiling, 158 offset dan bagian tubuh, serta 6.820 telur satwa liar (“Perdagangan Ilegal Satwa di Jatim Tertinggi di Indonesia”, Kompas, 14 Desember 2023).

Direktur Komunikasi Flight Nabila Fatma pada acara “Katakan Tidak, Untuk Lalu Lintas Hewan dan Tumbuhan Ilegal, di Surabaya, Kamis (14/12/2023), mengungkapkan bahwa dari total 54.488 satwa liar yang disita, sebanyak 13.285 satwa atau sekitar 24,38 persen di antaranya diperoleh dari hasil penindakan di Jawa Timur.

Satwa liar yang diperdagangkan ilegal di Jatim didominasi jenis burung atau hewan jenis aves, yakni kelompok hewan bertulang belakang yang memiliki bulu dan sayap, dengan komposisi 56,22 persen. Selebihnya, reptil 43,69 persen dan mamalia 0,09 persen.

Direktur Eksekutif Flight Marison Guciano mengatakan bahwa Jatim menjadi pintu utama penyelundupan satwa liar yang berasal dari wilayah Indonesia tengah dan timur. Penyelundupan satwa ini mayoritas dilakukan melalui pelabuhan dan bandara. Kecil sekali jumlahnya yang diselundupkan melalui jalur darat.

Pintu masuk dan keluar yang digunakan oleh pelaku perdagangan ilegal satwa liar adalah Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dan Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi. Tingginya penyelundupan satwa di Jatim karena pelabuhan di Jatim menjadi hub bagi wilayah Indonesia tengah dan timur.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Warga bermain dengan Intan bayi gajah sumatera yang berusia tiga bulan di Conservation Response Unit (CRU), Trumon, Aceh Selatan, Aceh, Rabu (10/5/2017). Populasi gajah sumatera di Aceh kian menyusut akibat perburuan dan menyempitnya habitat. Jumlah populasi gajah di Aceh diperkirakan tersisa 500 ekor.

Perdagangan di Jagat Digital

Seiring kemajuan teknologi dan bertambahnya pengguna internet, perdagangan satwa liar semakin berkembang dengan adanya platform perdagangan daring. Menurut International Fund for Animal Welfare (IFAW), perdagangan ilegal terhadap satwa liar secara daring telah marak sejak tahun 2004.

Kajian yang dilakukan organisasi lingkungan hidup Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program bersama KLHK, pada April 2021 – Maret 2022 menemukan ada hampir seribu iklan dari 421 akun marketplace yang menawarkan satwa liar ataupun bagian tubuhnya di Indonesia.

Akun-akun tersebut mengiklankan satwa di berbagai jenis marketplace. Di antaranya Shopee, Lazada, Bukalapak, dan Tokopedia. Sedangkan di media sosial, perdagangan satwa liar diketahui banyak terjadi di Facebook dan Kaskus. Satu akun penjual satwa liar dapat menggunakan dua atau lebih platform berbeda.

Mayoritas satwa yang diperdagangkan secara daring merupakan satwa dilindungi. Sebagian besar berasal dari kelompok burung, disusul dengan kelompok mamalia dan reptil. Selain itu, ada juga produk-produk dari satwa liar, salah satunya gading gajah.

Berdasarkan hasil penelusuran, akun-akun tersebut terdeteksi di DKI Jakarta (161), Jawa Barat (80), dan Jawa Tengah (55). Namun, menurut Analis Kebijakan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik-KLHK, Krismanko Padang, temuan ini belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya karena pelaku kejahatan bisa saja menggunakan akun palsu.

Krismanko mengungkapkan bahwa para penjual satwa liar menggunakan kode huruf dan angka sebagai identitas satwa yang diperdagangkan. Pembicaraan lebih lanjut antara penjual dan pembeli dilakukan melalui Whatsapp. Kemudian transaksi jual-beli menggunakan rekening bersama.

Maraknya perdagangan satwa liar di jagat digital juga dilaporkan oleh Mongabay. Situs berita lingkungan tersebut melakukan penelusuran perdagangan satwa liar melalui penjualan online di Facebook. Hasilnya, ditemukan akun-akun yang aktif membagikan foto atau video satwa dengan status dijual.

Sebagian besar adalah satwa langka dan dilindungi, seperti orangutan, harimau, gajah, trenggiling, lutung jawa, dan burung-burung endemik Sumatera, Kalimantan, Maluku sampai Papua.

Berdasarkan data Garda Animalia, sejak 2015 – 2023, ada sekitar 113.608 iklan dari 12.597 akun penjual menawarkan satwa multi spesies melalui Facebook. Dalam periode sama, setidaknya ada 82.155 satwa multi-spesies berhasil dijual ke 7.384 akun peminat. Ada sekitar 1.453 grup Facebook yang mewadahi aktivitas terlarang itu. Pulau Jawa, menjadi wilayah paling banyak memiliki grup-grup Facebook itu.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Interaksi antara Manusia dan Siamang Interaksi antara manusia dan siamang (Syamphalangus syndactylus) terjadi di puncak Gunung Geurutee, Kabupaten Aceh Jaya, Jumat (11/4/2014). Siamang merupakan satwa liar di hutan hujan tropis primer dataran rendah di seluruh Sumatera. Saat ini, siamang tergolong satwa appendix I atau sangat terancam punah, menurut Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).

Dampak Perdagangan Satwa Liar

Perdagangan satwa liar merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari banyak manusia, namun jika tidak dikendalikan dapat menimbulkan ancaman bagi keanekaragaman hayati. Perdagangan secara legal pun harus memperhatikan sistem yang keberlanjutan.

Berdasarkan sejumlah publikasi, perdagangan satwa liar menjadi salah satu penyebab utama kemerosotan keanekaragaman hayati, terutama spesies yang diperdagangkan. Sebuah studi berjudul “Impacts of wildlife trade on terrestrial biodiversity” yang diterbitkan di Nature Ecology & Evolution pada 2021 menunjukan bahwa, secara keseluruhan, perdagangan satwa liar ilegal dan legal berkontribusi terhadap penurunan jumlah spesies sebesar 62 persen. Spesies yang terancam punah bahkan mengalami penurunan yang lebih tajam, mencapai sebesar 81 persen karena perdagangan.

Dari penelitian diketahui pula bahwa spesies yang hidup di kawasan yang dilindungi hanya sedikit lebih baik dibandingkan spesies di kawasan yang tidak dilindungi, dengan perdagangan yang mendorong penurunan masing-masing sebesar 56 persen dan 70,9 persen.

Dalam Living Planet Index, WWF mencatat bahwa populasi yang menjadi cerminan biodiversitas telah mengalami penurunan rata-rata 69 persen sepanjang 1970-2018. Angka penurunan populasi ini didapat setelah melacak lebih dari 5.230 spesies di seluruh dunia. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Merosotnya keanekaragaman hayati menyebabkan ekosistem menjadi tidak stabil. Hilangnya suatu spesies akan mengubah hubungannya dengan spesies lain dan habitatnya. Sehingga fungsi ekosistem akan terganggu. Pada gilirannya, menimbulakan dampak luas bagi kehidupan manusia dan kehidupan lainnya di Bumi.  

Perdagangan satwa liar juga dapat menimbulkan ancaman kesehatan bagi manusia, yaitu terjadinya penyebaran dan penularan penyakit zoonosis. Satwa liar yang dipindahkan dari habitat alaminya ke lingkungan kita memicu pelimpahan patogen dari hewan ke manusia yang berpotensi menularkan penyakit yang sebelumnya tidak terjangkau.

Peter Dazak, ahli ekologi penyakit, mengatakan bahwa 70 persen penyakit yang baru muncul pada manusia pada abad ini bersumber dari zoonotik. Beberapa penyakit zoonotik tersebut, di antaranya Ebola, SARS, MERS, Nipah, dan Marburg, telah membunuh jutaan orang dan menjadi penyebab kehancuran ekonomi negara (“Zoonosis Abad Ini”, Kompas, 18 Juni 2020).

Selain itu, perdagangan satwa liar seringkali menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Para pemburu sering kali dipersenjatai dengan senjata api atau senjata lain yang digunakan tidak hanya untuk melumpuhkan atau menangkap satwa liar, namun juga digunakan untuk melawan penjaga hutan, polisi, atau masyarakat lokal yang melindungi atau tinggal di dekat habitat satwa bersangkitan.

Hal itu membuat penjaga hutan menghadapi kondisi berbahaya. Merujuk laporan WWF pada tahun 2017, sekitar 1.000 penjaga hutan di seluruh dunia telah kehilangan nyawa mereka saat melindungi satwa liar dan alam dalam 10 tahun terakhir. Hampir setengah dari mereka dibunuh oleh pemburu liar. Asia dan Afrika menjadi kawasan yang paling sering terjadi kasus pembunuhan terhadap penjaga hutan.

ARSIP CIFOR

Center for International Forestry Research (CIFOR), Selasa (21/5/2013), merilis rekaman eksklusif dari macan tutul jawa yang terancam punah (Panthera pardus melas) di habitat asli mereka di Jawa Barat. Kamera penjebak yang ditempatkan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, sekitar 100 km dari Jakarta, baru-baru ini menangkap gambar mencolok dan berkualitas tinggi dari makhluk-makhluk yang sulit tertangkap kamera di alam liar sebagai bagian dari proyek penelitian pemantauan satwa liar.

Penyebab Perdagangan Satwa Liar

Penyebab utama maraknya perdagangan satwa liar adalah tingginya kebutuhan dan permintaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam hewani dan ekosistemnya sejak lama dimanfaatkan manusia untuk untuk berbagai keperluan, antara lain, untuk konsumsi, obat-obatan, bahan baku pakaian atau aksesoris, dan ritual. Selain itu, bagi sebagaian orang, satwa liar juga dijadikan koleksi atau peliharaan, bahkan untuk hiburan atau atraksi.

Permintaan yang semakin tinggi terhadap satwa liar, baik itu yang masih hidup maupun yang sudah mati untuk diambil bagian tubuhnya, membuat satwa liar menjadi komoditi dengan nilai ekonomi yang tidak kecil. Hal ini menjadikan aktivitas perdagangan satwa liar sebagai bisnis yang memberikan keuntungan besar.

Berdasarkan hasil penelusuran, satwa liar hidup bisa dihargai mencapai lebih dari Rp 500 juta per ekor. Semakin langka atau semakin eksotis, akan semakin mahal. Sedangkan bagian tubuhnya, dihargai hingga puluhan juta. Gading dari gajah misalnya, dihargai dengan kisaran harga mencapai Rp 20 – 40 juta per pasang (“Gading Gajah Aceh Dijual ke Bekasi”, Kompas, 19 Agustus 2021).  

Dari sisi penegakan hukum, meski perdagangan ilegal satwa liar adalah sebuah tindakan melanggar hukum, ada banyak kasus di mana proses penegakan hukum terhadap tindak kejahatan ini kerap kali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, tidak sedikit kasus perdagangan ilegal satwa liar yang melibatkan oknum petugas serta aparat keamanan.

Apabila ada penegakan hukum, hukumannya kerap tidak sebanding. Berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan satwa liar akan mendaptkan sanksi paling lama 5 tahun dan denda maksimum Rp 100 juta. Padahal, keuntungan yang didapat dari perdagangan satwa liar jauh di atas sanksi maksimal yang diberikan. Sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Lemahnya pengawasan di lapangan juga menjadi salah satu sebab perburuan dan perdagangan satwa langka masih marak. Hal itu lantaran terbatasnya jumlah petugas di lapangan. Pencegahan yang tidak optimal ini membuat perburuan satwa liar masih leluasa dilakukan.

Faktor lainnya adalah masih kurangnya edukasi mengenai satwa liar. Minimnya edukasi terkait satwa liar menjadi kendala dalam pengenalan jenis-jenis satwa yang perlu dilindungi. Edukasi yang cukup sangat penting dalam mendorong masyarakat menjadi sadar dan dapat turut serta menjaga keberadaan satwa liar dan ekosistemnya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Jurnal
  • CITES Secretariat. 2022. World Wildlife Trade Report. Geneva: CITES.
  • Liew, Jia Huan, dkk. 2021. “International socioeconomic inequality drives trade patterns in the global wildlife market”, Science Advances.
  • Morton, Oscar, dkk. 2021. “Impacts of wildlife trade on terrestrial biodiversity”, Nature Ecology & Evolution5 (4): 540-548.
  • Tim SKALA dan KLHK. 2016. Potret Perdagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia. Jakarta: SKALA.
  • WWF. 2022. Living Planet Report 2022. Gland: WWF.
Arsip Kompas
  • “Zoonosis Abad Ini”, Kompas, 18 Juni 2020.
  • “Jagat Digital yang Kian Menjerat Primata”, Kompas, 17 Februari 2021.
  • “Gading Gajah Aceh Dijual ke Bekasi”, Kompas, 19 Agustus 2021.
  • “Ego Manusia di Balik Hobi Memelihara Satwa Liar”, Kompas, 4 Maret 2022.
  • “Ancaman Besar Domestikasi Satwa Liar”, Kompas, 6 Agustus 2023.
  • “Perdagangan Ilegal Satwa di Jatim Tertinggi di Indonesia”, Kompas, 14 Desember 2023.
  • “Lingkungan, Manusia, dan Biodiversitas”, Kompas, 9 Januari 2024.
Internet