Paparan Topik | Kebudayaan

Parade Tatung di Cap Go Meh Singkawang: Akulturasi Budaya Tionghoa dan Dayak

Festival Cap Go Meh atau Festival Malam Kelima Belas menjadi penutup rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Akulturasi Tionghoa dan Dayak di Singkawang mewujud dalam Tatung, simbol hadirnya dewa di semarak perayaan Cap Go Meh.

Parade tatung dalam Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (19/2/2019). Tatung adalah sekelompok orang yang menunjukkan atraksi kekebalan tumbuh yang diarak menggunakan tandu berkeliling jalan-jalan utama di Singkawang.

KOMPAS/SAMUEL EDI SAPUTRA

Fakta Singkat:

  • Cap Go Meh menjadi festival penutup dari seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek.
  • Cap Go Meh dalam bahasa Hokkian berarti malam kelima belas; ‘Cap’ bermakna sepuluh, ‘Go’ bermakna lima, dan ‘Meh’ bermakna malam. Makna selurhnya menjadi ‘malam kelima belas’.
  • Melalui akulturasi Tionghoa dan Dayak di Singkawang, muncullah tatung sebagai perwujudan dewa dalam perayaan Cap Go Meh.
  • Festival Cap Go Meh Singkawang sudah masuk dalam warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Rangkaian Acara Festival Cap Go Meh di Singkawang:

  • Ritual Buka Mata Naga
  • Pawai Lampion
  • Ritual Buka Jalan
  • Tarian Multietnis
  • Pawai 9 Naga dan Barongsai
  • Parade Tatung

Kehidupan orang Tionghoa di daratan Tiongkok kuno sangat tergantung kepada musim, begitupun festival-festival perayaan mereka. Dalam tradisi Tionghoa, terdapat empat festival besar yang dirayakan menurut kalender Lunar atau kalender ‘Imlek’ dalam Bahasa Hokkian. Empat festival besar ini yaitu Festival Musim Semi (Sincia), Festival Peh Cun, Festival Pertengahan Musim Gugur, dan Festival Ceng Beng.

Festival Musim Semi merupakan festival paling awal yang dirayakan di tradisi Tionghoa. Musim semi dianggap sebagai musim yang dipenuhi kegembiraan akan berlalunya musim dingin juga harapan akan tahun baru yang lebih baik karena musim dingin di daratan Tiongkok adalah musim yang terburuk untuk dilalui. Banyak orang meninggal karena sakit dan kedinginan, sehingga musim semi dirayakan dengan penuh rasa syukur dan meriah.

Warga Tionghoa bersembahyang di Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Kota Singkawang, Kalimantan Barat pada malam Perayaan Tahun Baru Imlek 2569, Kamis (15/2/2018). [Kompas/Jumarto Yulianus].
Festival Sincia ini berlangsung selama 15 hari. Satu atau dua minggu sebelum mulai perayaan ini, orang-orang sudah melakukan persiapan seperti berbelanja dan membersihkan seluruh rumah karena kegiatan seperti menyapu rumah tidak boleh dilakukan pada hari-hari pertama Sincia. Hal ini dipercaya bahwa rejeki awal tahun baru akan ikut tersapu keluar.

Pada malam tahun baru, hal wajib yang harus dilakukan adalah makan bersama keluarga. Kemudian pada hari pertama Sincia, orang-orang Tionghoa saling berkunjung ke sanak saudara untuk mengucapkan selamat tahun baru. Selanjutnya pada hari kedua, dirayakanlah hari ulang tahun Dewa Kemakmuran, sehingga di hari ini adalah waktunya berdoa di vihara dan klenteng bagi para Tionghoa yang menganut agama Buddha dan Konghucu.

Hingga, pada hari terkhir festival atau hari kelima belas, Festival Cap Go Meh diselenggarakan. Cap Go Meh dalam bahasa Hokkian berarti malam kelima belas; ‘Cap’ bermakna sepuluh, ‘Go’ bermakna lima, dan ‘Meh’ bermakna malam.

Pada masa pemerintahan Kaisar Ming Di dari Dinasti Han, agama Buddha sudah masuk ke Tiongkok namun kecil pengaruhnya. Pada suatu malam, kaisar bermimpi bertemu dengan seseorang yang berwarna keemasan. Ketika Ia hendak menanyakan siapa dia, tubuh emas itu terangkat ke udara dan menghilang ke arah Barat. Maka Kaisar memerintahkan orang untuk mengambil Kitab Suci Buddha dari ‘Barat’ (India) dan memerintahkan pembangunan vihara besar untuk sang Buddha. Karena dipercaya bahwa Sang Buddha dapat menghalau kegelapan, maka pada Kaisar memerintahkan semua orang untuk menyalakan lampion lampion pada perayaan Cap Go Meh.

Kisah lain menuturkan pula bahwa Cap Go Meh merupakan hari ulang tahun dari Dewa Tian Guan, Dewa keberuntungan dan rejeki menurut ajaran Taoisme. Maka dari itu, pada mulanya Cap Go Meh dimaksudkan bagi para penganut Buddha dan Taoisme. Namun sekarang, Cap Go Meh dirayakan oleh semua keturunan Tionghoa sebagai penutup Festival Musim Semi.

Tionghoa di Singkawang

Perayaan Sincia atau Festival Musim Semi juga dirayakan di tanah air. Beberapa kota besar di Indonesia memiliki dominasi etnis Tionghoa seperti Semarang, Surabaya, dan Singkawang. Kota Singkawang di Kalimantan Barat, bahkan memiliki sebutan, antara lain Kota Seribu Kelenteng, Kota Amoi, dan Hongkong Van Borneo karena dominasi etnis Tionghoa di sana.

Vihara Tri Dharma Bumi Raya Pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat, yang berdiri sejak tahun 1878, merupakan vihara paling tua di Kota Singkawang (31/1/2010). (Kompas/C Wahyu Haryo PS)

Dengan jumlah penduduk sebanyak 246.112 pada tahun 2023, mayoritas penduduknya, yaitu sebanyak 42% adalah orang Tionghoa. Dengan dominasi orang Tionghoa di Singkawang ini, memunculkan tokoh publik yang berasal dari etnis Tionghoa. Tjhai Chui Mie adalah Wali Kota Singkawang tahun 2017-2022 dan merupakan satu-satunya wali kota perempuan dari etnis Tionghoa di Indonesia.

Singkawang menjadi kota dengan perayaan Imlek paling populer di Indonesia bahkan di kancah internasional. Salah satu rangkaian perayaan Imlek yang dirayakan secara besar-besaran dan meriah di Singkawang adalah perayaan Cap Go Meh. Festival Imlek dan Cap Go Meh Kota Singkawang bahkan masuk dalam 10 event terbaik agenda Karismatik Event Nasional (KEN) Tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Kreatif RI. Festival Cap Go Meh Singkawang pun sudah masuk dalam warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Iring-iringan tatung melintasi jalan Diponegoro, Kota Singkawang, Kalimantan Barat memeriahkan Cap Go Meh (28/2/2010). [Kompas/Lucky Pransiska]
Kota Singkawang mendapat predikat Kota Tertoleran pada 2018, 2021 dan 2023 dari Setara Institute. Salah satu wujud tingginya tingkat toleransi beragama di Kota Singkawang adalah keberadaan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang dikenal dengan sebutan Pekong Toa yang konon telah berusia 200 tahun, yang berseberangan dengan Mesjid Raya yang merupakan mesjid terbesar yang telah berdiri sejak tahun 1885. Bukti toleransi lainnya di Kota Singkawang tercermin dari terselenggaranya acara acara keagamaan dengan semangat multietnis seperti di perayaan Cap Go Meh. Penyelenggaraan acara ini melibatkan sebuah panitia besar yang diisi oleh orang-orang multietnis, tidak hanya mereka dengan etnis Tionghoa, namun juga etnis lain seperti Dayak dan Melayu.

Parade tatung dalam perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang adalah pembeda dari perayaan sejenis di kota lain. Namun, parade ini sekaligus merayakan perbedaan yang ada dalam harmoni kehidupan masyarakat. Seperti dalam perayaan Cap Go Meh (2/3/2018), para tatung juga mengenakan pakaian dari beragam etnis yang ada di Singkawang. [Kompas/Nina Susilo]

Parade Tatung Wujud Akulturasi Tionghoa dan Dayak

Festival Cap Go Meh di Singkawang memiliki acara yang dinanti-nanti yaitu perarakan tatung. Tatung dipahami sebagai wujud kehadiran fisik dewa untuk membersihkan bumi dari segala bahaya. Keberadaan tatung sejatinya merupakan akulturasi budaya Tionghoa dan Dayak yang berlangsung sejak ratusan tahun silam. Pemerhati budaya yang juga mantan Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, menuturkan, akulturasi Tionghoa-Dayak intens sekali sejak pertengahan 1700-an hingga 1800-an. Saat itu ada banyak kongsi pertambangan di Monterado (saat ini masuk Kabupaten Bengkayang) dimana banyak terjadi perkawinan campur Tionghoa-Dayak.

Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat (14/2/2014) dimeriahkan dengan pawai 640 tatung. Tatung merupakan orang yang memeragakan kekebalan tubuh dan diarak menggunakan tandu. Atraksi kekebalan tubuh itu untuk mengusir roh-roh jahat yang ada di kota. [Kompas/Emanuel Edi Saputra].
Akulturasi yang mewujud dalam tatung dimungkinkan karena etnis Dayak dan Tionghoa sama-sama memiliki tradisi yang melibatkan kekuatan supranatural dan roh leluhur. Alkisah, terjadi wabah penyakit di kawasan Monterado pada masa itu. Wabah itu tidak ada obatnya. Menurut ”orang pintar”, wabah itu disebabkan roh jahat sehingga harus dilakukan penyucian kota atau tolak bala. Singkat cerita, dilaksanakanlah ritual mengarak tatung Tionghoa dan Dayak. Setelah ritual dilakukan, wabah pun hilang. Ritual itu pun menjadi tradisi turun-temurun dan dilaksanakan saat perayaan Cap Go Meh. Para tatung ini pun tak hanya dari orang-orang bertenis Tionghoa, namun juga orang orang beretnis Dayak.

Tatung atau dalam dialek Hakka disebut tah thung awalnya kebudayaan dari daratan China yang bersifat keagamaan bagi penganut Taoisme. Tatung merupakan kondisi seseorang dirasuki roh yang umumnya roh arwah pahlawan atau satria.

Iring-iringan tatung melintas di pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat dalam puncak Festival Cap Go Meh (24/2/2013). Sebanyak 751 tatung mengikuti pawai dan menjadi perhatian sekitar 20.000 wisatawan yang berkunjung ke Singkawang. Tatung adalah orang yang kerasukan roh sehingga kebal terhadap segala macam benda tajam. [Kompas/A Handoko]
Dalam parade tatung, mereka membuat atraksi yang mempertunjukkan kemampuan supranatural seperti kekebalan tubuh. Jumlah tatung dari tahun ke tahun cukup beragam. Tatung yang ikut parade harus mendaftarkan diri terlebih dahulu.

Tahun Jumlah Tatung
2015 539 orang
2016 494 orang
2017 565 orang
2018 1.038 orang
2019 1.060 orang
2020 847 orang
2021 Ditiadakan karena Covid-19
2022 Ditiadakan karena Covid-19
2023 859 orang
2024 40 orang (kegiatan yang bersifat parade ditiadakan karena bertepatan dengan Pemilu 2024 sehingga dikemas alam mini event saja).

Jumlah tatung yang berpartisipasi dalam Festival Cap Go Meh dari tahun ke tahun cukup bervariatif. Tahun 2018 & 2019 menjadi tahun-tahun dengan partisipasi tatung terbanyak yang belum dapat ditandingi bahkan setelah Covid-19 mereda dan diselenggarakannya Kembali Festival Cap Go Meh di Singkawang pada di tahun 2023.

Rangkaian Festival Cap Go Meh di Singkawang

  • Ritual Buka Mata Naga, Pawai Lampion dan Ritual Buka Jalan
    Rangkaian acara Festival Cap Go Meh di Singkawang diawali dengan ritual buka mata naga. Biasanya ritual ini dilakukan 2 hari sebelum Cap Go Meh diselenggarakan. Ritula ini adalah ritual membuka mata replica naga yang akan turut di dalam parade Cap Go Meh. Kemudian, pada malam harinya, diselenggarakan pawai lampion. Replika naga juga turut dipertunjukkan dalam pawai ini. Ritual ini bermakna sebagai harapan agar mendapatkan penerangan dalam mencari rezeki. Lampion merah khas ini juga merupakan symbol keselamatan, kemakmuran, dan perdamaian. 

    Ritual buka mata naga di Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, JUmat (3/2/2023).Sehari setelahnya atau satu hari sebelum acara puncak, ritual buka jalan dilakukan. Tradisi itu bertujuan mengusir roh jahat di kota dan memohon keselamatan dalam perayaan Cap Go Meh yang akan diselenggarakan keesokan harinya. Ritual buka jalan itu dilakukan tatung. Tatung meminta restu pada dewa yang paling tinggi agar diberi kemudahan pada hari Cap Go Meh. Tatung yang dalam ritual itu, juga yang akan tampil pada perayaan Cap Go Meh keesokan harinya. Para tatung diarak menuju sejumlah sudut Kota Singkawang dengan diiringi musik tradisional Tionghoa. Dalam ritual itu juga terdapat dedaunan dan air yang disiramkan ke setiap sudut yang disinggahi.[KOMPAS/Emanuel Edi Saputra]
  • Pembukaan dengan Tarian Multietnis
    Pada hari H pelaksanaan Festival Cap Go Meh, genderang ditabuh. Dibacakan puisi tentang keberagaman budaya Indonesia sebagai penanda dibukanya perayaan multietnis ini. Selanjutnya, penari Tionghoa dengan busana merah dan emas masuk ke arena utama. Dengan memegang kipas dan diiringi musik tempo rancak, tarian Tionghoa ini menjadi yang pertama dipentaskan.
    Tarian pembuka Festival Cap Go Meh 2019 di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (19/2/2019). Tarian itu menggambarkan keberagaman etnis di Singkawang. [KOMPAS/Emanuel Edi Saputra].
    Tarian selanjutnya adalah tarian Dayak. Sejumlah penari pria berpakaian adat Dayak memegang replika perisai dan mandau giliran masuk ke arena pertunjukan. Lalu, penari berpakaian Melayu bergabung dengan penari lainnya membentuk gerakan yang harmoni yang kemudian diiringi musik Melayu. Tarian terakhir yang dipentaskan adalah tarian Nusantara yang diperbolehkan oleh para anak-anak dengan diiringi lagu-lagu daerah. Menjelang akhir tarian, penonton di sekitar panggung kehormatan pun berdiri. Bersama para penari mereka menyanyikan lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke”.
  • Pawai 9 Naga dan Parade Tatung
    Pawai ini adalah acara puncak yang dinantikan. Marching band ada di barisan paling depan pawai, yang kemudian diikuti dengan replika 9 naga, barongsai, dan yang terakhir adalah tatung. Pada saat parade ini, di sepanjang jalan, para tatung yang sedang dirasuki roh dewa, menunjukkan kekuatan supranaturalnya. Mereka bisa berdiri di atas pedang tajam, mencoblos mulutnya dengan kawat, makan ayam hidup-hidup, mata mendelik berputar-putar.


    Parade naga dalam Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (19/2/2019). [KOMPAS/Emanuel Edi Saputra].
    Dandanan para tatung sangat variatif. Ada yang mengenakan baju para pembesar atau prajurit China, ada pula yang berpakaian seperti prajurit suku Dayak. Beragamnya kostum tatung, diyakini sebagai representasi dari ”roh leluhur” yang merasuki para tatung. Ada roh prajurit Dayak yang meminta pakaian selayaknya prajurit Dayak.Di ruas-ruas jalan besar di Singkawang, ribuan penonton dari berbagai latar belakang menonton di pinggir pinggir jalan. Tidak hanya orang pribumi, namun wisatawan mancanegara juga membanjiri Singkawang.

Peningkatan Ekonomi

Perhelatan tahunan Festival Cap Go Meh di Singkawang memiliki keunikan tradisi akulturasi Tionghoa-Dayak yang menarik kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pada bulan Februari dan Maret tiap tahunnya, kunjungan wisatawan melonjak, hotel-hotel penuh, serta produk-produk UMKM seperti Kue Keranjang, Dupa, serta Lampion ludes dipesan.

Berdasarkan data BPS Singkawang, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Bintang 3 di Singkawang, melesat naik di tahun 2023, dua tahun setelah Festival Cap Go Meh ditiadakan karena pandemi Covid-19. Data TPK dan rata-rata lama menginap tamu dari tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tahun Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Bintang 3 (Persen) Rata-rata Lama Menginap Tamu (Domestik & Asing) di Hotel Bintang 3 (Malam)
Februari 2018 59,27 1,68
Februari 2019 55,47 1,23
Februari 2020 38,46 1,21
Februari 2021 45,70 1,56
Februari 2022 49,14 1,00
Februari 2023 63,14 1,51

Meskipun pada bulan Februari tahun 2023 TPK Hotel Bintang 3 di Singkawang melesat naik hingga 63,14% namun rata-rata lama menginap tamu dengan 1,51 masih belum dapat menandingi capaian bulan Februari tahun 2018 dengan 1,68.

Tatung yang sedang diarak keliling jalan-jalan utama di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, sambil memperagakan atraksi kekebalan tubuh pada Festival Cap Go Meh (8/2/2020). Mereka kerasukan roh dewa atau leluhur. [KOMPAS/Emanuel Edi Saputra].
Jumlah wisatawan yang datang ke Singkawang pada tahun 2017 sebanyak 652.184 orang. Kemudian, pada tahun 2022 bisa mencapai 1,2 juta wisatawan. Sedangkan pada tahun 2024, Dinas Komunikasi dan Informatika Singkawang mencatat lebih dari 1,6 juta wisatawan berkunjung ke Singkawang dengan nilai peredaran uang lebih dari Rp20 Miliar selama perayaan Imlek 2575 dan Cap Go Meh 2024. Kemudian dalam tiap tahunnya, Festival Cap Go Meh Singkawang melibatkan ratusan UMKM. Di tahun 2023 misalnya, terdapat 17 Paguyuban dan juga disediakan 150 gerai bagi UMKM.

Cap Go Meh dan tatung-nya sebenarnya bisa memiliki 3 makna, yaitu tradisi, simbol akulturisasi, sekaligus roda ekonomi rakyat yang bergerak lewat industri wisata.

Referensi

Arsip Kompas
  • Cap Go Meh: Dewa Memajukan Singkawang. KOMPAS, 27 Februari 2013.
  • Sejarah Panjang Akulturasi Dayak-Tionghoa. KOMPAS, 8 Maret 2014.
  • Budaya: Memohon Keselamatan Lewat Tradisi Buka Jalan. KOMPAS, 5 Maret 2015.
  • Cap Go Meh: 539 ”Tatung” Adu Ketangkasan di Singkawang. KOMPAS, 6 Maret 2015.
  • Cap Go Meh: Malam Penuh Lampion di Kota Singkawang. KOMPAS, 2 Maret 2018.
  • Cap Go Meh: Pesta Multietnis Seantero RI. KOMPAS, 3 Maret 2018.
  • Keberagaman di Parade Tatung. KOMPAS, 18 Maret 2018.
  • Perayaan Cap Go Meh: Semarak Multietnis di Festival Singkawang. KOMPAS, 20 Februari 2019.
  • Cap Go Meh: Ratusan Tahun Tatung Menjaga Roh Akulturasi. KOMPAS, 7 Februari 2020.
  • Akulturasi: Cap Go Meh Menjadi Perayaan Keberagaman. KOMPAS, 9 Februari 2020.
  • Tidak Ada Pawai Naga dan Tatung pada Cap Go Meh di Kalbar Tahun Ini. KOMPAS, 15 Februari 2022.
  • Cap Go Meh: Singkawang Bersiap Menyambut Ribuan Penonton. KOMPAS, 4 Februari 2023.
  • Rayakan Imlek, Singkawang Kembali Meriah dengan Pawai Lampion. KOMPAS, 4 Februari 2023.
  • Ajakan Saling Menguatkan dari Singkawang. KOMPAS, 12 Februari 2024.
Buku

5000 Tahun Ensiklopedia Tionghoa 1. St.Dominic Publishing, 2015.

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari
Editor
Santi Simanjuntak