Paparan Topik | Hari Olahraga Nasional

Hari Olahraga Nasional 2024: Kado Prestasi dari Atlet Indonesia di Paralimpiade 2024

Setiap tanggal 9 September, Indonesia merayakan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Tahun ini merupakan peringatan haornas ke-41. Peringatan Haornas kali ini terasa lebih istimewa berkat pencapaian gemilang para atlet difabel Indonesia di Paralimpiade Paris 2024.

KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA

Para perenang difabel dari Indonesia yaitu Maulana Rifky Yavianda, Syuci Indriani, dan Jendi Pangabean berlatih di kolam renang Aquatic Center Saint Denis, Paris, Perancis, Minggu (25/8/2024). Mereka melakukan latihan sebelum tampil pada Paralimpiade Paris 2024.

Fakta Singkat

  • Hari Olahraga Nasional atau Haornas dirayakan setiap tanggal 9 September
  • Tahun ini, Haornas memiliki makna yang lebih mendalam berkat prestasi gemilang dari para atlet penyandang disabilitas Indonesia di Paralimpiade Paris 2024
  • Debut Indonesia dalam Paralimpiade dimulai pada 1976 di Paralimpiade Toronto, Kanada.Indonesia mengirimkan 15 orang untuk bertanding dan membuat kejutan dengan meraih 2 emas, 1 perak, dan 3 perunggu.
  • Sejak debutnya di Paralimpiade pada tahun 1976 hingga 2024, Indonesia telah mengumpulkan total 41 medali, yang terdiri dari 7 emas, 15 perak, 19 perunggu.
  • Pada Paralimpiade Paris 2024, 1 medali emas, 8 medali perak, dan 5 medali perunggu.

Di ajang internasional Paralimpiade Paris 2024, para atlet difabel Indonesia menunjukkan prestasi yang luar biasa, melampaui target medali yang sebelumnya ditetapkan. Target awal adalah meraih 1 emas, 2 perak, dan 3 perunggu.

Data perolehan medali hingga 8 September 2024 pukul 21.00 pada laman Paralympic.org menunjukkan para atlet Indonesia berhasil pulang dengan membawa hasil yang jauh lebih mengesankan: 1 medali emas, 8 medali perak, dan 5 medali perunggu. Pencapaian ini bukan hanya sekadar angka, tetapi merupakan cerminan dari kemampuan dan dedikasi mereka dalam bersaing di level internasional.

Keberhasilan para atlet difabel Indonesia di Paralimpiade Paris 2024 bukan hanya sekadar prestasi olahraga. Lebih dari itu, pencapaian ini menunjukkan kepada dunia bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk meraih prestasi.

Di arena Paralimpiade, mereka tidak hanya bertanding untuk meraih medali, tetapi juga menantang batasan-batasan yang selama ini dianggap mustahil. Dengan pencapaian ini, mereka telah mematahkan stigma dan menunjukkan bahwa kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh kondisi fisiknya.

Prestasi ini memberikan motivasi yang kuat bagi seluruh bangsa. Haornas tahun ini dapat menjadi momentum untuk mendorong terciptanya dunia yang lebih adil dan setara. Keberhasilan para atlet difabel harus memicu perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan orang dengan keterbatasan fisik. Kita perlu membangun lingkungan yang inklusif dan mendukung, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan potensi terbaiknya, tanpa terhalang oleh keterbatasan fisik.

KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA

Para pemanah difabel Indonesia berlatih sebelum berlaga di Paralimpiade Paris 2024 di lapangan Esplanade des Invalides, Paris, Perancis, Jumat (23/8/2024). Pemanah menghadapi tantangan cuaca saat berlatih antara lain cuaca dingin, panas, dan angin kencang.

Sejarah Paralimpiade, Simbol Inkusif Olahraga

Paralimpiade, yang kini dikenal sebagai salah satu ajang olahraga terbesar dan paling prestisius di dunia, memiliki sejarah yang menarik dan penuh makna.

Merujuk laman paralympic.org, perjalanan ajang ini bermula pada tahun 1944, ketika Dr. Ludwig Guttmann, seorang ahli saraf di Rumah Sakit Pemerintah Stoke Mandeville, Inggris, mulai merawat pasien dengan cedera tulang belakang, sebagian besar adalah veteran Perang Dunia II dan warga sipil korban perang.

Guttmann, yang memiliki visi jauh ke depan, memandang olahraga sebagai alat penting dalam proses rehabilitasi. Bagi Guttmann, olahraga bukan hanya membantu pemulihan fisik, tetapi juga berperan penting dalam pemulihan mental dan integrasi sosial. Pada 29 Juli 1948, bertepatan dengan pembukaan Olimpiade London, Guttmann mengadakan kompetisi pertama untuk atlet kursi roda. Kompetisi ini diikuti oleh 16 peserta, baik pria maupun wanita, yang bertanding dalam lomba memanah dari kursi roda.

Seiring berjalannya waktu, olahraga ini semakin populer, jumlah peserta terus bertambah dan cabang olahraga pun semakin beragam. Olahraga rehabilitasi berkembang menjadi olahraga olahraga kompetitif. Pada tahun 1952, mantan prajurit Belanda ikut bergabung, dan kompetisi yang awalnya dikenal sebagai International Wheelchair Games berubah nama menjadi Stoke Mandeville Games, sesuai dengan nama rumah sakit tempat Guttmann bekerja.

Titik balik besar terjadi pada tahun 1960, ketika Stoke Mandeville Games resmi bertransformasi menjadi Paralimpiade yang pertama kali diadakan di Roma, Italia. Dengan diikuti lebih dari 400 atlet dari 23 negara, ajang ini memperkenalkan dunia pada kekuatan dan semangat para atlet difabel. Mereka berlaga dalam berbagai cabang olahraga, mulai dari memanah hingga olahraga yang lebih eksotis seperti snooker, di Stadion Olimpiade Roma.

Sejak saat itu, paralimpiade kemudian mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1976, Toronto menjadi tuan rumah Paralimpiade yang berhasil menyatukan lebih dari 1.500 atlet dari 40 negara dalam 13 cabang olahraga. Tahun yang sama juga menyaksikan debut Paralimpiade Musim Dingin di Swedia.

Paralimpiade Seoul 1988 menjadi tonggak penting ketika ajang ini menggunakan fasilitas dan arena yang sama dengan Olimpiade setelah kesepakatan antara Komite Paralimpiade Internasional (IPC) dan Komite Olimpiade Internasional (IOC).

Kemudian, pada tanggal 22 September 1989, Komite Paralimpiade Internasional didirikan sebagai organisasi nirlaba internasional di Dusseldorf, Jerman, untuk bertindak sebagai badan pengatur global Gerakan Paralimpiade. Kata “Paralimpiade” berasal dari kata depan bahasa Yunani “para” (di samping atau di samping) dan kata “Olimpiade”. Maknanya, Paralimpiade dan Olimpiade adalah sejajar dan keduanya berjalan bersama-sama.

Simbol Paralimpiade adalah tiga “agitos”.  “Agito” dalam bahasa Latin artinya “saya bergerak” yang menyimbolkan gerakan dan menyatukan para atlet. Maknanya agar para atlet mencapai prestasi dalam olahraga, memberi inspirasi, dan mengguncang dunia.

Paralimpiade pun menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia olahraga, menjadi sebuah simbol dari semangat inklusi dan keberagaman dalam olahraga. Awalnya diperuntukkan bagi veteran perang dengan cedera tulang belakang, Paralimpiade kini terbuka bagi berbagai jenis disabilitas, termasuk amputasi dan tunanetra. Perkembangan ini menunjukkan komitmen global untuk menciptakan platform yang setara bagi semua atlet, terlepas dari keterbatasan fisik mereka.

KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA

Pebulu tangkis difabel Leani Ratri Oktila/Hikmat Ramadhan berlatih tanding melawan Khalimatus Sadiyah/Dheva Anrimusthi di Porte de La Chapelle Arena, Paris, Jumat (23/8/2204) sebagai persiapan tampil di Paralimpiade Paris.

Jejak Indonesia di Arena Paralimpiade

Indonesia memulai perjalanan dalam ajang Paralimpiade pada tahun 1976, ketika Paralimpiade diadakan di Toronto, Kanada. Pada edisi ini, sebanyak 1.300 atlet difabel dari 45 negara berlaga. Indonesia mengirimkan 15 atlet yang membuat kejutan dengan meraih 2 medali emas, 1 perak, dan 3 perunggu. Prestasi ini sangat mengesankan, mengingat jumlah atlet yang tergolong minim dan menunjukkan hasil yang sangat positif dalam debut perdana mereka.

Setelah Paralimpiade Toronto, Indonesia secara rutin mengirimkan delegasi atlet difabel ke ajang Paralimpiade. Selama periode tersebut, Indonesia hanya sekali absen, yakni pada Paralimpiade Barcelona 1992. Indonesia kemudian kembali berpartisipasi pada edisi berikutnya di Atlanta 1996 dengan 1 atlet, Sydney 2000 dengan 5 atlet, Athena 2004 dengan 3 atlet, Beijing 2008 dengan 3 atlet, London 2012 dengan 4 atlet, Rio de Janeiro 2016 dengan 9 atlet, Tokyo 2020 dengan 23 atlet, dan Paris 2024 dengan 35 atlet.

Pada edisi Paralimpiade Arnhem 1980, Indonesia melanjutkan tren medali emas dengan beberapa prestasi signifikan. Namun, setelah edisi ini, Indonesia mengalami masa-masa sulit dengan puasa medali emas yang berlangsung hingga Paralimpiade Tokyo 2020.

Keberhasilan di Tokyo menandai akhir dari masa puasa medali emas tersebut dan kembali berlanjut dengan pencapaian luar biasa di Paralimpiade Paris 2024. Di Paris, Indonesia berhasil membawa pulang 14 medali dengan rincian 1 emas, 8 perak, dan 5 perunggu.

Sejak debutnya di Paralimpiade pada tahun 1976 hingga 2024, Indonesia telah mengumpulkan total 41 medali, yang terdiri dari 7 emas, 15 perak, 19 perunggu.

Daftar Perolehan Medali Indonesia di Paralimpiade 2024:

Medali emas:

  1. Hikmat Ramdani / Leani Ratri Oktila (bulu tangkis, ganda campuran SL3–SU5)

Medali perak:

  1. Saptoyogo Purnomo (atletik, lari putra 100 meter T37)
  2. Muhammad Bintang Satria Herlangga (Boccia, individu putra BC2)
  3. Qonitah Ikhtiar Syakuroh (bulu tangkis, tunggal putri SL3 2)
  4. Fredy Setiawan / Khalimatus Sadiyah (bulu tangkis, ganda campuran SL3–SU5)
  5. Leani Ratri Oktila (bulu tangkis, tunggal putri SL4)
  6. Suryo Nugroho (bulu tangkis, tunggal putra SU5)
  7. Felix Ardi Yudha, Gischa Zayana, Muhamad Afrizal Syafa (Boccia, tim campuran BC1–2).
  8. Karisma Evi Tiarani (atletik, lari putri 100 meter T63)

Medali perunggu:

  1. Gischa Zayana (Boccia, perorangan putri BC2)
  2. Muhamad Afrizal Syafa (Boccia, perorangan putra BC1)
  3. Subhan / Rina Marlina (bulu tangkis, ganda campuran SH6)
  4. Dheva Anrimusthi (bulu tangkis, tunggal putra SU5) 
  5. Fredy Setiawan (bulu tangkis, tunggal putra SL4)

Sumber: Paralympic Paris 2924

Membangun Ekosistem Olahraga Nasional yang Inklusif

Di Indonesia, olahraga bagi penyandang disabilitas sudah dimulai pada tahun 1951 berkat prakarsa Prof. Dr. Soeharso. Langkah awal ini menandai komitmen negara terhadap inklusi dan perkembangan olahraga untuk difabel.

Pada tahun 1957, Indonesia menyelenggarakan ajang olahraga berskala nasional pertama untuk penyandang disabilitas yang diberi nama Pekan Olahraga Penderita Cacat (POR Penca). Ajang ini terus berkembang, berganti nama menjadi Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) pada 1993, dan akhirnya menjadi Pekan Paralimpiade Nasional (Perpanas) pada 2005.

Selain fokus pada kompetisi domestik, Indonesia juga aktif di kancah internasional. Pada tahun 1973, atlet difabel Indonesia pertama kali berkiprah di ajang internasional atas undangan Austrian Sports Organization for Disabled. Setahun kemudian, Indonesia turut memprakarsai Far Eastern and South Pacific Games for the Disabled (Fespik Games), bersama Jepang, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Fespik Games menjadi salah satu landasan bagi kerjasama olahraga difabel di kawasan Asia-Pasifik.

Langkah besar berikutnya adalah debut Indonesia di Paralimpiade pada tahun 1976 di Toronto. Sejak saat itu, Indonesia secara konsisten berpartisipasi di ajang bergengsi ini dan meraih sejumlah prestasi membanggakan. Dalam satu dekade terakhir, jumlah atlet difabel yang lolos ke Paralimpiade terus meningkat, mencerminkan perbaikan kualitas dan persiapan dalam pembinaan mereka. Keberhasilan meraih medali emas di Paralimpiade Paris 2024 adalah bukti konkret dari upaya dan dedikasi yang dilakukan selama ini.

Atlet difabel Indonesia juga menorehkan prestasi gemilang di ajang tingkat ASEAN, Asia, dan dunia. Pada World Abilitysport Games (WAG) 2023 di Thailand, misalnya, Indonesia meraih hasil positif. Dalam lima hari keikutsertaan, Indonesia yang mengirimkan 39 atlet, mendulang delapan medali emas. Enam dari medali emas tersebut dipersembahkan oleh atlet balap sepeda, sementara sisanya berasal dari cabang menembak dan renang (Kompas, 29/8/2024).

Sebelumnya, kontingen Indonesia meraih prestasi luar biasa di Asian Para Games Hangzhou 2022. Para atlet yang berlaga dari 22 hingga 28 Oktober 2022 mampu melampaui target yang ditetapkan dengan meraih 29 medali emas, 30 perak, dan 36 perunggu, serta memecahkan 13 rekor—terdiri dari 8 rekor Asian Para Games, 3 rekor Asia, dan 2 rekor dunia. Indonesia menjadi negara ketiga paling efektif dalam perolehan medali setelah China dan Uzbekistan, dengan 83 dari 130 atlet yang dikirim pulang membawa medali.

Di tingkat ASEAN, Indonesia tidak tertandingi. Kontingen “Merah Putih” berhasil menjadi juara umum pada tiga gelaran ASEAN Para Games terakhir secara beruntun. Prestasi ini menunjukkan potensi besar atlet difabel Indonesia dan menegaskan kemajuan dalam pengakuan serta dukungan terhadap olahraga difabel di tanah air.

Namun, untuk menjaga dan memperbesar prestasi ini, perhatian serius dari pemerintah dan berbagai pihak terkait sangat diperlukan. Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 pada 9 September 2021, menggarisbawahi komitmen Indonesia untuk membina cabang olahraga yang berpotensi meraih medali di Olimpiade dan Paralimpiade.

Poin utama dari DBON adalah memastikan bahwa pembinaan olahraga difabel mendapatkan perhatian setara dengan olahraga nondifabel. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa semua atlet, terlepas dari kondisi fisik mereka, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka dan meraih kesuksesan di kancah internasional.

Komitmen pemerintah untuk memastikan kesetaraan pembinaan ini menjadi kunci untuk memaksimalkan potensi atlet difabel. Dukungan yang memadai dalam hal fasilitas, dana, dan perhatian publik akan memungkinkan Indonesia untuk terus melahirkan atlet difabel yang berprestasi dan berkontribusi pada kejayaan olahraga nasional.

Kesetaraan dalam pembinaan olahraga, sebagaimana diamanatkan dalam DBON, adalah langkah fundamental menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil, di mana setiap atlet, baik difabel maupun nondifabel, memiliki kesempatan yang setara untuk bersinar. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Gagal di Montreal, ditebus di Toronto -Atlit cacad pulang dengan 2emas, 1 perak dan 3 perunggu,” Kompas, 16 Agustus 1976.
  • “12 atlit YPOC ke olimpiade cacad ke II di Belanda,” Kompas, 12 Juni 1980.
  • “Olimpiade Penderita Cacat: Indonesia Rebut 2 Emas dan 4 Perunggu,” Kompas, 8 Juli 1980.
  • “Delapan Atlet Cacat ke Olimpiade,” Kompas, 13 Juni 1984.
  • “Tiga Atlet Indonesia ke Paralympic Games,” 19 September 2004.
  • “Inspirasi Menembus Belenggu dan Keterbatasan,” Kompas, 29 Agustus 2021.
  • “Pemerintah Pertegas Kesetaraan Olahraga Disabilitas dan Normal,” Kompas, 8 September 2021.
  • “Lompatan Prestasi Paralimpiade,” Kompas, 10 September 2021.
  • “Komitmen Kesetaraaan untuk Olahraga Disabilitas,” Kompas, 18 September 2021.
  • “Bagaimana Awal Mula Penyelenggaraan Paralimpiade?” Kompas, 21 Agustus 2024.
  • “Apa Target Prestasi Atlet Indonesia di Paralimpiade Paris 2024?” Kompas, 29 Agustus 2024.
  • “Bara Semangat Paralimpiade Indonesia,” Kompaspedia, 3 September 2024.
Internet
  • “Paralympics History,” diakses dari paralympic.org pada 8 September 2024.