KOMPAS/BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Tarian masyarakat adat Dayak, Kalimantan, mengisahkan masyarakat yang kehilangan wilayah adatnya ketika pengusaha tiba-tiba datang menguasai kawasan hutan tempat mereka tinggal. Tarian itu ditampilkan dalam acara Dengar Keterangan Umum Hasil Penyelidikan (Inkuiri) Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta (17/12/2014).
Fakta Singkat
- Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Ter Haar berpendapat bahwa masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah yang memiliki penguasa dan kekayaan baik Nampak maupun tidak Nampak. - Kepres 55/1993, Pasal 14
“Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat”. - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), No. 35/PUU-X/2012
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” - 5 Provinsi Konflik Agraria tertinggi
Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Artikel terkait
Pembangunan Ibu Kota Negara sempat menimbulkan friksi antara Pemerintah dan masyarakat adat di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Sejumlah warga dihebohkan dengan surat dari negara. Surat bertanggal 4 Maret 2024 itu dikirim Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN).
Surat itu berupa undangan pertemuan pada 8 Maret 2024. Isi suratnya, bakal ada pembahasan tentang pelanggaran bangunan tak berizin dan tak sesuai tata ruang IKN. Warga pun diberi waktu tujuh hari agar segera membongkar bangunan yang disebut tak berizin dan tidak sesuai tata ruang IKN itu (Kompas, 16 Maret 2024).
Terdapat dua hutan adat yang sudah diakui pemerintah Kalimantan Timur yaitu, hutan adat yang terletak di Kampung Juaq Asa dan Hutan Adat Mului. Dua hutan adat itu diakui bersamaan dengan pengakuan masyarakat adatnya. Padahal, terdapat dua subsuku Melayu dan 16 subsuku Dayak di Kalimantan Timur. Artinya, masih banyak masyarakat adat yang belum diakui, begitu juga dengan hutan adat tempat tinggal dan hidup mereka (Kompas.id, 7 Juni 2022).
Setelah mendapat surat, beberapa warga bertemu dengan perwakilan Otorita IKN. Dalam pertemuan tersebut, hampir semua warga menolak membongkar bangunan mereka. Alasannya, sebagian besar warga sudah membangun hunian dan tinggal sebelum ada IKN.
Otorita IKN melampirkan sejumlah peraturan yang mendukung permintaan pemerintah agar warga membongkar bangunan miliknya. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 22 tentang Ibu Kota Negara yang direvisi melalui UU No 21/2023.
Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi mengakui surat yang diterima warga itu dibuat dan ditandatangani olehnya. Menurut dia, surat itu bukan sebagai ancaman penggusuran. Namun, peringatan bagi warga yang membangun tanpa izin di IKN. Peringatan diberikan bagi warga yang mendirikan bangunan, tetapi tidak sesuai dengan tata ruang IKN.
Berdasarkan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) mencatat, total alokasi pembiayaan pembebasan lahan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dianggarkan dalam APBN sejauh ini adalah Rp 3,42 triliun. Sepanjang tahun 2023, pemerintah telah memakai Rp 1,43 triliun untuk membayarkan uang ganti rugi bagi masyarakat pemilik lahan di kawasan proyek IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kompas, 24 Januari 2024).
Sejumlah opsi skema disiapkan, terkait beberapa lokasi lahan di Ibu Kota Nusantara masih perlu dibebaskan sebelum pembangunan berlanjut. Pembahasan terkait dibahas antara Presiden Joko Widodo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ,Menteri Agraria dan Tata Ruang Agus Harimurti Yudhoyono, serta Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Bambang Susantono. Dalam rapat tersebut dibahas percepatan, terutama pembangunan di kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) dan sekitarnya.
Dari 2.086 hektar, 2,75 hektar atau 22 bidang tanah terdapat di lokasi pengendali banjir Sepaku dan 44,6 hektar atau 48 bidang tanah terdapat di lokasi pembangunan jalan tol segmen 6A dan 6B.
Beberapa mekanisme penyelesaian disiapkan, termasuk antisipasi dampak sosial kemasyarakatan yang bisa terjadi. Oleh karena itu, tidak semua warga dipindahkan. Ada yang dilakukan penataan kawasan saja. Seperti di Pasar Sepaku, dibangun pasar tradisional, tetapi modern, yang membuat semua orang nyaman. Selain itu, ada juga pembangunan desa yang bercirikan kawasan adat dan masyarakat bisa tetap di lokasinya (Kompas.id, 24 April 2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Masyarakat mengenakan pakaian adat saat mengikuti peluncuran buku Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan di Kantor Komnas HAM, Jakarta (16/3/2016). Inkuiri Nasional adalah metode kerja yang dipilih Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas satu masalah terkait dengan HAM yang dilakukan secara sistematis dan bersifat terbuka.
Pemahaman Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan Buku Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam istilah masyarakat adat biasanya digunakan ketika merujuk individu dan kelompok yang merupakan keturunan penduduk asli yang tinggal disebuah negara.
Sedangkan menurut buku Masyarakat Hukum Adat Inventarisasi dan Perlindungan Hak yang mengutip tiga pendapat tentang deskripsi masyarakat Hukum Adat. Ter Haar berpendapat bahwa masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah yang memiliki penguasa dan kekayaan baik Nampak maupun tidak Nampak.
Selain itu menurut Soepomo, masyarakat hukum adat adalah persekutuan hukum di Indonesia yang dibagi dua golongan, menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan tali keturunan dan lingkungan daerah.
Menurut Hazairin masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, adalah kesatuan masyarakat yang sanggup berdiri sendiri dan mempunyai kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama tentang air dan tanah untuk semua anggota.
KOMPAS/NINA SUSILO
Masyarakat adat Baduy tetap menghargai harmoni dan ketaatan pada hukum kendati teknologi mulai masuk dalam kehidupan mereka. Hal ini semestinya menjadi contoh untuk masyarakat Indonesia secara umum dalam pelaksanaan pemilu kepala daerah dan pemilu presiden secara langsung. Ketika tiada ketaatan pada hukum, demokrasi sebatas prosedur yang dijalani bahkan dibajak kepentingan-kepentingan tertentu.
Hingga kini, tidak ada definisi secara universal yang disetujui tentang istilah “masyarakat adat”. Definisi secara umum saat ini yang diterima masyarakat bisa jadi hasil dari fakta bahwa masyarakat adat sangat beragam dari budaya dan struktur sosialnya. Beberapa negara bahkan keberatan dengan penggunaan kata “adat” yang ditunjukan kepada sebagian masyarakat. Begitu pula, istilah “masyarakat” menunjukkan keberatan yang sama, karena dapat berimplikasi pada munculnya hak penentuan nasib sendiri.
Definisi mengenai masyarakat adat juga dikemukakan oleh organisasi internasional dalam Konvensi ILO. Salah satunya Konvensi ILO 107 yang menggunakan istilah “populasi” terdiri dari dua kategori yakni ‘populasi adat kesukuan dan semi-kesukuan’ dan ‘populasi kesukuan atau semi-kesukuan yang dianggap adat’ karena sejarahnya mereka dalam penaklukan dan kolonisasi.
Konvensi 169 ILO memakai istilah “masyarakat” (peoples) dan bukannya “populasi” tetapi membedakan masyarakat “kesukuan” (tribal peoples) dan masyarakat adat (indigineous peoples). Dua Konvensi yang telah disebutkan mengartikan bahwa “masyarakat adat” dalam arti tradisional atau konvensional merujuk hanya kepada kelompok masyarakat seperti suku Indian di Amerika Utara dan Selatan, atau suku Aborigin di Australia dan New Zealand.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Deklarasi pembentukan sekretariat nasional perlindungan hak konstitusional masyarakat hukum adat oleh perwakilan masyarakat hukum adat pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Se-Dunia di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (9/8). Peringatan tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA)
Menurut tim peneliti buku Arti dan Fungsi Tanah: Bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun, UUPA tersebut dianggap tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, karena masyarakat adat dan jenis-jenis hak adat juga tidak diatur dalam UUPA. Dalam UUPA, hak adat itu hanya disebut sebagai hak ulayat.
Padahal, hak adat itu tidak semuanya sama dengan pemahaman hak ulayat. Pengertian hak ulayat dalam undang-undang ini dipersamakan dengan “beschikkingsrecht“, yaitu hak yang diberikan oleh pengetua atau kepala persekutuan adat untuk mengambil hasil hutan, berburu, dan membuka hutan.
Tak hanya itu hak ulayat yang digunakan untuk kepentingan umum atau pembangunan lainnya maka kepada masyarakat adat tersebut akan diberikan “recognitie” atau tanda pengakuan hak atau penghargaan.
Jadi, recognitie ini tidaklah sama dengan ganti rugi apalagi penjualan. Posisi hak masyarakat adat atas tanah atau hak ulayat atas tanah tetap tidak jelas dan bahkan semakin parah dengan hadirnya Kepres 55/1993, yang mengatur tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam pasal 14 dikatakan bahwa: “Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat”.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) besar dan lahir di tanah yang mereka tempati, tatkala tanah tersebut menjadi sumber kehidupan yang diyakini oleh mereka. Arti dan fungsi tanah itu sendiri dipengaruhi oleh dinamika sosial dari daerah dan negara tertentu. Dalam Buku Arti dan Fungsi Tanah: Bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun menjelaskan bahwa di Indonesia sebagai Negara dari agraris menjadi industrialis sangat mempengaruhi peruntukan atau guna tanah dan juga pola pemikiran tanah.
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat, sejak lahir dan meninggal dunia tetap membutuhkan tanah. Masyarakat adat mendiami wilayah tertentu yang mempunyai tanah dan sumber daya alam lainnya yang penguasaan dan pengelolaannya diatur menurut hukum dan adat istiadat masyarakat setempat secara turun-menurun.
Oleh karena itu, tanah bagi masyarakat adat adalah simbol dari eksistensi mereka. Apabila tanah masyarakat adat tersebut diambil pihak lain, maka masyarakat adat tersebut akan mempertahankannya walau harus mempertaruhkan pemersatu masyarakat adat dan jati diri.
Studi tentang Masyarakat adat dan Hubungan Mereka dengan Tanah tercantum dalam buku Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berisi:
- Ada hubungan yang erat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya mereka;
- Bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggung jawab sosial, budaya, spiritual, ekonomi, dan politik;
- Bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan, dan bahwa aspekantar-generasi dari hubungan semacam ini juga krusial bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan budayanya.
Perihal pertanahan ini menjadi pelik, sebab banyak terjadi sengketa tentang kepemilikan tanah. Salah satu sengketa yang terjadi akses terhadap tanah sebagai salah satu aset produksi menjadi penyebab kesenjangan sosial bahkan terjadi proses permiskinan. Sebelum merdeka, Indonesia menganut dualime hukum dalam bidang pertanahan yakni Hukum adat yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat, ini berlaku bagi masyarakat Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka.
Dari hal tersebut lahir Undang-undang No. 5 pada tanggal 24 September 1960 yang mengatur tentang pertahanan. Undang-undang pokok agrarian, UU No. 5/1960 ini dikenal dengan UUPA. Salah satu isinya adalah Pasal 3 UUPA:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. Masih ada, harus demikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Komnas HAM Imdadun Rachmat memberikan buku Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan kepada Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan komisioner KPK, Basariah Panjaitan (kanan ke kiri), di Kantor Komnas HAM, Jakarta (16/03/2016). Inkuiri Nasional adalah metode kerja yang dipilih Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas satu masalah terkait dengan HAM yang dilakukan secara sistematis dan bersifat terbuka.
Menurut Van Vollenhoven dalam buku Masyarakat Hukum Adat Inventarus dan Perlindungan Hak, ciri-ciri atau tanda-tanda hak ulayat sebagai berikut:
- Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan, mengenyam kenikmatan menggarap tana dalam wilayah persekutuan hukum tersebut.
- Orang-orang yang bukan anggota persekutuan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Persekutuan dengan membayar ganti kerugian.
- Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie).
- Persekutuan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal.
- Persekutuan tidak boleh memindah tangankan (menjual, membeli) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal tertentu dan sangat khusus.
- Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu.
Upaya untuk perbaikan atas beragamnya kebijakan dan regulasi pertanahan dan kehutanan agar lebih mempertahankan Hak MHA di kawasan hutan. Kemudian, terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), No. 35/PUU-X/2012 yang menjadi tonggak dalam politik agrarian. Sebelum keputusan tersebut, pada dasarnya pengakuan tentang MHA sudah ada dalam UUD 1945, subjek-subjek hukum dan pemangku hak tradisional, yang dapat ditafsirkan pemangku hak atas wilayah-wilayah adat mereka.
Dalam buku Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan (2016), isi pokok Putusan MK 35 ini adalah: Pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa UU Kehutanan No. 41 Thn.1999 yang selama ini memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dan merupakan pelanggaran konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan “Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat”. Pernyataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian semestinya membuat pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak masyarakat hukum adat yang selama ini dirampas’ atau diabaikan.
Kemudian, pada putusan MK menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara kemudian dimasukkan sebagai bagian dari kategori hutan hak. Hal ini sebagai konsekuensi dari perubahan Pasal angka 6 UU Kehutanan. Sebelum Putusan MK:
“Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Namun, sesudah Putusan MK:
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Buku terbitan Komnas Ham tersebut juga memaparkan bahwa Putusan MK No 35 adalah Tonggak Politik Agraria Nasional. Putusan MK 35 penanda penting, bagaimana pengakuan wilayah adat harus diberikan negara kepada masyarakat hukum adat.
Jika melihat dalam lintasan sejarah, sejak Domeinverklaring (1870), UUPA 1960, dan UU No. 5 Thn. 1967, UU No.41 Thn. 1999 untuk menyebut beberapa tonggak penting bagaimana kebijakan politik agraria dan kawasan hutan belum mewujudkan kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya. Putusan MK 35 menjadi penanda penting bagi harapan kembalinya kedaulatan masyarakat hukum adat atas wilayahnya kawasan hutan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Perwakilan masyarakat adat Dayak Wehea yang tinggal di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, mengadu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta (30/1/2015). Kehidupan masyarakat adat Dayak Wehea, yang secara turun-temurun hidup berdampingan dengan alam dan mempunyai ketergantungan tinggi pada lingkungan sekitarnya, terusik akibat perambahan hutan. Mereka meminta bantuan agar izin usaha pertambangan dan pembukaan lahan bagi perkebunan dihentikan karena hanya akan mengganggu ekosistem dan keberlanjutan hidup harmonis dengan alam seperti mereka jalani turun-temurun.
Permasalahan Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya
Permasalahan yang dihadapi oleh MHA dengan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam berawal dari akar konflik status menurut hukum, Berdasarkan buku yang diterbitkan Komnas HAM akar masalah konflik itu terjadi berdasarkan berikut:
No |
Akar Masalah |
1 |
Tidak atau belum adanya pengakuan sebagai masyarakat pastinya status mereka menurut hukum. Belum adanya penga kuan tersebut mengakibatkan ketiadaan batas-batas wilayah adat dan security of tenure. |
2 |
Penyederhanaan masalah keberadaan MHA dan hak-haknya atas wilayah adat serta sumber daya hutan menjadi masalah administrasi atau legalitas semata. |
3 |
Kebijakan pembangunan bias pertumbuhan ekonomi mengakibatkan lahirnya kebijakan yang memberikan proritas terhadap usaha ekonomi skala besar untuk meningkatkan pendapatan negara, melalui pemberian ijin-ijin eksploitasi di wilayah adat danaparat negara maupun konservasi dan/atau aparat keamanan yang lebih melindungi kepentingan perusahaan. |
4 |
Perempuan adat mengalami beban ganda (multiple effect) dalam patriarki negara dan adat. Perempuan adat tak hanya berhadapan dengan tidak atau belum adanya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, tapi juga dominasi masalah-masalah adat yang tak mengangkat masalah-masalah perempuan adat. |
5 |
Kekosongan lembaga penyelesaian konflik agraria yang memiliki oritas menyelasikan konflik agraria secara adil. |
Sumber: Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan (2016)
Walaupun tidak terlalu signifikan dari sisi jumlah, konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak. Luas konflik agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 provinsi ini mencapai 1,03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga. Sementara konflik agraria pada 2021 mencakup luas 500.000 hektar.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Ahmad Sodiki memandang konflik agraria telah terjadi sejak masa kolonial. Jadi, permasalahan utama masih terjadinya konflik agraria ini adalah ketiadaan keadilan sosial bagi masyarakat. Petani dan masyarakat adat pun menjadi pihak yang paling menderita dalam konflik agraria ini (Kompas.id, 9 Januari 2023).
Perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendominasi atas tanah air dan ruang hidupnya merupakan perjuangan dari sebagian rakyat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagai warga negara Indonesia. Sejumlah masyarakat Hukum Adat hadir di Indonesia hidup dan bergantung dari sumberdaya di Kawasan Hutan.
Berdasarkan Buku Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan (2016), memaparkan tuntutan MHA disuarakan melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terwakili dengan pernyataan “Jika Negara tidak mau mengakui kami, maka kami tidak mau mengakui negara”. Pernyataan tersebut menjadi salah satu protes dari perjalanan panjang pengabaian hak-hak MHA sebagai warga negara yang sah.
Konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia meningkat sepanjang 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Seluruh pihak, khususnya pemerintah, harus menyelesaikan konflik agraria yang telah mengakar selama puluhan tahun ini.
Catatan akhir tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani hingga berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah sepanjang 2022. Berdasarkan catatan KPA, 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agrobisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).
Dari faktor wilayah terdapat lima provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar.
Referensi
- “Perpres Pengadaan Tanah Langkah Mundur”, Kompas, 30 Juni 2020, hlm 08.
- “Prioritaskan Legalisasi Lahan Adat”, Kompas, 29 Agustus 2020, hlm. 11.
- “Pentingnya Wawasan Agraria bagi Masyarakat Adat”, Kompas, 10 Januari 2024, hlm. 05.
- “Warga Long Isun Peroleh Wilayah Adatnya”, Kompas, 10 Februari 2018, hlm. 22.
- “Pemprov Kalteng Identifikasi 12 Peta Wilayah Adat”, Kompas, 6 Maret 2018, hlm. 22.
- “”Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022”, Kompas,10 Januari 2023, hlm. 18.
- “2023, Pembebasan Lahan Habiskan Rp 1,43 Triliun”, Kompas, 24 Januari 2024
- Edy Bosko, Rafael. Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Elsam, 2006.
- Antonius Simanjuntak, Bungaran. Arti dan Fungsi Tanah Batak Toba, Karo, Simalungun. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.
- Tim Komnas HAM, MK dan Departemen Dalam Negeri. Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak. Jakarta. 2005.
- Tim Inkuiri Komisi Nasional Komnas HAM. Hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayahnya di kawasan Hutan. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2016.