Paparan Topik | Pemilihan Umum

Memahami Hak Angket DPR

Hak angket adalah salah satu hak istimewa DPR untuk melakukan penyelidikan sebagai bagian dari fungsi pengawasan dan kontrol, memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan, dan pemerintahan berjalan sesuai konstitusi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh bersama calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dan calon wakil presiden nomor urut 1 yang juga Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, serta Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri menjawab pertanyaan wartawan seusai melakukan pertemuan di Wisma Nusantara Jakarta, Jumat (23/2/2024). Pertemuan itu membahas soal hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Fakta Singkat

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 menyebutkan: “Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
  • Hak angket adalah istilah dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari perundang-undangan Belanda, recht van enquete (hak menyelidiki). Kata “enquete” sendiri diadopsi dari istilah bahasa Perancis enquete, yang berarti pemeriksaan, penyelidikan, pengusutan.
  • Berdasarkan Pasal 199 disebutkan bahwa hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi di DPR.
  • Usulan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.
  • Usulan penggunaan hak angket sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  • Hak angket paling banyak diusulakan pada masa pemerintahan Presiden SBY, tercatat ada 14 usul hak angket yang diajukan, 5 usulan diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan 7 usulan ditolak dan 2 usulan kandas di tengah jalan alias tidak berlanjut.
  • Usulan hak angket kecurangan Pemilu 2024 digaungkan pertama kali oleh capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo.
  • Alasan usulan hak angket adalah dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Suara ketidakpuasan terhadap penyelenggaran Pemilihan Umum 2024 terus bergema. Wacana pengguliran hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu pun mengemuka.

Gaung untuk mengajukan hak angket ke DPR datang dari Ganjar Pranowo. Capres nomor urut 3 tersebut mendorong partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, menggulirkan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024 di DPR.

Ganjar mengaku bahwa usulan untuk menggulirkan hak angket di DPR oleh partai pengusung tersebut telah disampaikannya dalam rapat koordinasi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, pada 15 Februari 2024 (“Ganjar Dorong DPR Gunakan Hak Angket Dugaan Kecurangan Pilpres”, Kompas, 19 Februari 2024).

Dalam kesempatan itu, Ganjar membeberkan ribuan pesan yang masuk dari sukarelawan dan masyarakat berupa foto, dokumen, atau video atas berbagai dugaan kecurangan yang terjadi di Pilpres 2024.

Melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (19/2/2024), Ganjar mengatakan bahwa kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Karena itu, dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 tidak boleh didiamkan begitu saja oleh DPR dan mesti disikapi secara serius. Ia pun akan membuka komunikasi dan mengajak menggunakan hak angket di DPR untuk menyelidiki dugaan adanya kecurangan pemilu 14 Februari.

Menurut Ganjar, hak angket yang merupakan hak penyelidikan DPR menjadi salah satu upaya untuk dapat meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2024 yang sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Usulan Ganjar didukung oleh capres nomor urut 1, Anies Baswedan. Pasangan cawapres Muhaimin Iskandar ini menilai bahwa usul hak angket tersebut merupakan inisiatif yang baik. Anies menyebut tiga partai pendukungnya, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasdem, siap mendukung hak angket dugaan kecurangan pemilu (“Anies Dukung Ganjar Gulirkan Hak Angket Kecurangan Pemilu”, Kompas, 20 Februari 2024).

“Kami ketemu dan membahas langkah-langkah dan kami solid karena itu saya sampaikan, ketika insiatif hak angket itu dilakukan maka tiga partai ini siap ikut,” ujarnya saat ditemui di Kantor Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin, Jakarta, Selasa (20/2/2024).

Anies juga mengungkapkan bahwa saat ini Tim Hukum Nasional Amin terus mengumpulkan fakta dan bukti-bukti kecurangan yang diindikasikan melibatkan pimpinan negara, penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, serta kepala desa.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Kursi Kosong di Paripurna Pansus Angket KPK. Deretan kursi kosong mewarnai jalannya Rapat Paripurna ke-18 masa persidangan III tahun sidang 2017-2018 yang membahas mengenai laporan Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018). Panitia Angket merekomendasikan pembentukan lembaga pengawas independen terkait aspek kelembagaan.

Apa itu Hak Angket?

Merujuk buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, hak angket menjadi salah satu dari tiga hak istimewa yang dimiliki lembaga legislatif untuk menjalankan fungsinya di bidang pengawasan dan kontrol aktivitas lembaga eksekutif atau pemerintah. Keberadaan fungsi pengawasan ini untuk memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan dan berjalan sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.

Hak angket pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke-14. Kemunculannya bermula dari tuntutan akan adanya hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan dalam administrasi pemerintahan, yang kemudian disebut right of impeachment atau hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan penyelewengan jabatan dan kekuasaan.

Hak angket adalah istilah dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari perundang-undangan Belanda, recht van enquete (hak menyelidiki). Kata enquete itu sendiri diadopsi dari istilah bahasa Perancis enquete, yang berarti pemeriksaan, penyelidikan, pengusutan.

Regulasi hak angket terdapat dalam Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

Hak angket pertama kali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Kemudian diperkuat pada tahun 1954 dengan diterbitkan UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR yang memberikan wewenang bagi DPR untuk menyelidiki (enquete) aturan-aturan yang ada.

Selanjutnya, dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Pasal 79 ayat (3) termaktub: “hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”

Berdasarkan UU MD3 tersebut, terdapat tiga unsur penting yang harus dipenuhi untuk menggunakan hak angket. Pertama, hak itu bertujuan untuk penyelidikan. Kedua, terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Ketiga, harus ada dugaan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan hak angket DPR merupakan bentuk perwujudan dari prinsip check and balance. Berdasarkan prinsip check and balance ini, maka kekuasaan negara dapat dibatasi sehingga peyalahgunaan kekuasaan dapat ditanggulangi dengan baik.

Berdasarkan Pasal 199, disebutkan bahwa hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Pengusulan hak angket harus disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit: materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, serta alasan penyelidikan.

Usulan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Jika hak angket ditolak, usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Jika usulan hak angket diterima, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan Panitia Angket yang terdiri dari atas semua unsur fraksi DPR.

Panitia Angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Rapat Paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuk. Rapat Paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan Panita Angket.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyimak pemaparan dari Pakar Hukum Tata Negara Bvitri Susanti yang menjadi saksi ahli pemohon dalam sidang Uji Materi Hak Angket DPR di Ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/9/2017). Selain Bvitri, Mantan Pimpinan KPK Bambang widjojanto dan anggota Komisi 3 DPR Arsul Sani juga memberikan pandangannya terkait Pansus Hak angket KPK.

Riwayat Hak Angket di Indonesia

Mengacu pada buku Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket, dan Menyatakan Pendapat, di Indonesia hak anget sudah digunakan sejak masa pemerintah Presiden Soekarno. Hak angket pernah diajukan oleh Margono Djojohadikusumo –kakek Prabowo Subianto—pada akhir 1954 untuk menyelidiki untung-ruginya mempertahankan “rezim devisa” yang berdasarkan UU Pengawasan Devisen Tahun 1940. Namun, hasil angket belum sempat digunakan karena Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi berakhir masa kerjanya dan DPRS digantikan oleh DPR hasil Pemilu 1955.

Setelah itu, hak angket tidak pernah digunakan lagi. Pada masa Demokrasi Terpimpin peranan DPR dan mekanisme berubah. Di bawah kontrol ketat Presiden Soekarno, hak-hak DPR seperti hak tanya, hak angket, hak interpelasi, dan hak bujet ditiadakan.

Hak-hak pengawasan dan kontrol oleh DPR baru dikembalikan lagi pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto. Pada periode awal DPR Orde Baru (1966 – 1971) ini tercatat pernah menggunakan hak angket satu kali terkait dengan aparatur perekonomian negara.

Kemudian pada tahun 1980, DPR juga pernah menggunakan hak angket yang diajukan oleh anggota Fraksi PDI dan Fraksi PPP untuk mengadakan penyelidikan tentang kasus Pertamina dan membentuk panitia angket. Namun, usul ini gagal di tingkat pembicaraan dalam Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Sayang, dalam perkembangan selanjutnya, Orde Baru menancapkan kuku kekuasaannya secara kuat. Kekuasaan terpusat di tangan presiden. Kecenderungan yang terjadi bahwa penggunaan hak-hak pengawasan dan kontrol yang dimiliki DPR kembali tidak berfungsi. DPR menjadi mandul seperti era Demokrasi Terpimpin, hingga mendapat julukan sebagai “5D”, yaitu singkatan dari “Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan Duit”.

Selain itu, DPR Orde Baru juga mendapat julukan sebagai “tukang stempel” pemerintah. Istilah ini disematkan pada DPR Orde Baru karena lembaga ini alih-alih bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, justru selalu memberikan dukungan kepada pemerintah tanpa reserve sehingga mekanisme checks and balances tidak berjalan.

Memasuki era reformasi, fungsi pengawasan DPR mulai naik kembali. Angin reformasi membawa perubahan dalam struktur ketatanegaraan, beberapa kekuasaan presiden direduksi dan peran DPR dalam legislasi dan pengawasan diperkuat.

Pada era tersebut, pengajuan hak-hak pengawasan DPR cukup banyak dilontarkan dibanding era sebelumnya. Tak lama setelah reformasi, di bawah pemerintahan B.J. Habibie, desakan mengadakan penyelidikan atau hak angket mengemuka untuk mengusut skandal Bank Bali.

Sasaran dari penyelidikan ini adalah mengungkap kasus pengalihan tagihan (cassie) Bank Bali, salah satunya ke PT. Era Giat Prima (PT EGP) (“Membongkar Skandal Bank Bali: Hak Angket, Senjata DPR”, Kompas, 25 Agustus 1999).

Hak angket kembali digunakan pada masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sepanjang masa pemerintahannya, Gus Dur mendapatkan pengajuan dua hak angket dari DPR yakni mengenai kasus dana Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei Darussalam (Buloggate dan Bruneigate).

Sebenarnya, hak angket yang diajukan tidak hanya dua kasus tersebut, tetapi juga kasus penyelewengan dana non-budgeter Bulog. Akan tetapi, pengajuan hak angket yang diloloskan oleh DPR hanya kasus Yanatera Bulog dan Buloggate-Bruneigate yang memojokkan posisi Gus Dur.

Usul hak angket kasus non-budgeter Bulog diajukan kembali pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Usul disampaikan oleh Tari Siwi Utami dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), tiga bulan setelah Megawati dilantik menjadi presiden.

Namun, dalam perkembangannya, pembentukan Panitia Khusus (Pansus) penyelidikan kasus Bulog II ditolak. Padahal, sebelumnya pengadilan menunjukkan bahwa ada tindak korupsi yang dilakukan Akbar Tandjung (Fraksi Golkar), Ketua DPR saat itu dalam kasus dana non-budgeter Bulog atau yang disebut Bulog II.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, hampir setiap tahun DPR menggulirkan usul hak angket terhadap kebijakan pemerintah. Selama 2 periode masa pemerintahan Presiden SBY (2004 – 2009 dan 2009 – 2014), tercatat ada 14 usul hak angket yang diajukan, 5 usulan diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan 7 usulan ditolak dan 2 usulan kandas di tengah jalan alias tidak berlanjut.

Secara rinci, usul hak angket yang disetujui menjadi hak angket DPR, antara lain, usul hak angket atas penjualan tanker milik Pertamina, penyelenggaraan ibadah haji, kenaikan harga BBM (II), pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk memilih dalam pemilu legislatif (kisruh DPT), dan penyelamatan (bailout) Bank Century.

Sementara usul hak angket yang ditolak di antaranya adalah usul hak angket kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM (I), kasus lelang gula impor ilegal, skandal kredit macet Bank Mandiri, impor beras, penunjukan Exxon-Mobil Ltd sebagai pimpinan operator lapangan minyak Blok Cepu, transfer pricing PT Adaro Indonesia, dan kebocoran penerimaan pajak (mafia perpajakan).

Adapun yang tidak berlanjut atau berhenti di tengah jalan adalah kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta kasus Pilkada Maluku Utara.

Pada masa pemerintahan berikutnya, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, usulan penggunaan hak angket DPR tercatat cukup sepi dibanding pemerintahan sebelumnya. Wacana penggunaan hak angket DPR pernah ditujukan terhadap Kementerian Hukum dan HAM terkait kasus pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi Munas Jakarta. Namun, 10 fraksi DPR sepakat menunda hak angket.

Kemudian, pada awal tahun 2017, wacana penggunaan hak angket DPR juga sempat digulirkan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Namun, hak angket tidak dilanjutkan karena hanya ditandatangani oleh 93 anggota dari total 560 anggota parlemen.

Yang paling menyita perhatian adalah usulan penggunaan hak angket yang dilakukan DPR terhadap KPK. Pengajuan hak angket ini muncul dari rapat dengar pendapat antara DPR dan KPK pada April 2017.

Dalam rapat tersebut lembaga antirasuah tersebut menolak permintaan Komisi Hukum DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (KTP-el) (“Konsistensi Fraksi Ditunggu”, Kompas, 5 Mei 2017).

Hak angket DPR yang ditujukan terhadap KPK menuai kontroversi dan mendapat banyak penolakan. Sebab, dari aspek hukum, langkah DPR mengajukan hak angket DPR kepada KPK dinilai banyak kalangan salah sasaran. Hak angket DPR hanya tepat ditujukan kepada kebijakan pihak pemerintah dan bukan kepada lembaga penegak hukum yang independen.

Banyak pihak menilai hak angket DPR yang ditujukan kepada KPK ini merupakan bentuk upaya pelemahan terhadap KPK terutama berkaitan dengan kasus KTP elektronik.

Wacana hak angket kembali riuh pada akhir tahun 2023. Usulan penggunaan hak angket dibunyikan usai kisruh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka maju Pilpres 2024.

Usulan itu disampaikan anggota DPR RI fraksi PDIP, Masinton Pasaribu. Ia mengusulkan penggunaan hak angket terhadap MK pada Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II MPR/DPR/DPD RI di Senayan, Jakarta pada Selasa, 31 Oktober 2023. Namun, sampai saat ini usulan hak angket tersebut belum ada realisasinya.

Sebelumnya, ada pula usulan penggunaan hak angket DPR oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan guna mendalami dugaan Presiden Joko Widodo menyalahgunakan data intelijen. Beberapa organisasi sipil yang tergabung dalam Koalisi antara lain, KontraS, Perludem, Imparsial, dan PBHI. Namun, tidak ada tindak lanjut dari usulan tersebut.

Usulan tersebut merupakan respons pernyataan Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa dirinya mengantongi data intelijen soal jeroan partai, yang mana hal tersebut dianggap telah melenceng dari prinsip berdemokrasi. Koalisi merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. UU ini menyebut badan intelejen negara sama sekali tak memiliki wewenang untuk mencari informasi partai politik.

Usul penggunaan hak angket kembali mengengemuka pasca-pemungutan suara Pemilu 2024. Usulan tersebut disebabkan dengan adanya dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang terjadi secara masif.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sejumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) berdiri untuk dihitung suaranya dalam voting Rapat Paripurna DPR yang, antara lain, mengagendakan hak angket impor beras di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2006). Pengusul hak angket yang setuju sebanyak 207 suara (dari F-PDIP, F-PPP, F-PAN, F-KB, F-PKS, F-BPD, dan F-PDS), sedangkan yang tak setuju 167 suara (dari F-PG, F-PD, F-PBR, dan sebagian anggota F-BPD).

Peran Strategis Hak Angket

Dalam menjalankan tugas pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah, selain hak angket, ada dua hak lainnya yang dimiliki oleh DPR, yakni hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat.

Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sementara itu, hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Namun, dibanding dua hak tersebut, hak angket memiliki mempunyai perbedaan dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Menurut dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Surabaya, Hananto Widodo dalam artikel berjudul “Hak Angket Sebagai Pembelajaran Politik”, hak interpelasi tidak akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Sebaliknya, hak angket justru dapat membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya.

Hak angket memiliki peran yang sangat strategis. Melalui hak angket, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, yang mana dapat digunakan untuk mengumpukan informasi atau bukti-bukti dan mengadakan pemerikasaan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga eksekutif.

Dalam menjalankan hak angket, anggota DPR dapat melakukan berbagai tindakan, seperti memanggil saksi, mengadakan rapat-rapat tertutup, serta meminta laporan tertulis dari pihak-pihak terkait.

Dalam pasal 7A amandemen III UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Sementara itu, dalam pasal 7B ayat (2) dinyatakan bahwa pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

Namun, penggunaan hak angket tidaklah mudah. Merujuk Pasal 199 UU MD3, hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Usulan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir. Artinya, perlu konsolidasi kekuatan partai politik yang ada di DPR. Hal ini bukan pekerjaan yang mudah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Anggota DPR memprotes Ketua DPR Marzuki Alie (berpeci, ketiga dari kiri) dalam rapat paripurna pembacaan kesimpulan akhir dan rekomendasi Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/3/2010). Sidang paripurna berakhir ricuh karena Ketua DPR memaksa untuk menunda pengambilan keputusan paripurna terhadap kesimpulan dan rekomendasi akhir Pansus Century.

Potensi Hak Angket

Melihat konteks Pemilu 2024 dan komposisi kursi di DPR saat ini, usulan penggunaan hak angket DPR yang digaungkan Ganjar harus didukung oleh seluruh anggota parlemen dari fraksi partai koalisi pengusung Ganjar dan partai koalisi pengusung Anies, yang sebelumnya menyatakan mendukung digulirkannya hak angket.

Mengacu situs resmi dpr.go.id, pada periode 2014 – 2024 ada 575 kursi anggota DPR dari sembilan partai politik. Koalisi partai pengusung Ganjar, PDIP memiliki 128 kursi anggota dan PPP memiliki 19 kursi. Sementara koalisi partai pengusung Anies, Nasdem memilik 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PKS 50 kursi.

Apabila seluruh partai tersebut satu satu suara, koalisi pengusung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin menguasai 314 kursi atau sekitar 55 persen dari total kursi DPR periode 2019 – 2024 yang berjumlah 575 kursi.

Di sisi lain, koalisi pengusung Prabowo-Gibran menguasai 261 kursi anggota DPR, atau sekitar 45 persen dari total kursi DPR saat ini. Secara rinci, Golkar memiliki 85 kursi, Gerindra 78 kursi, Demokrat 54 kursi, dan PAN 44 kursi.

Akan tetapi, realitasnya tidak semudah itu. Secara historis, lebih banyak usulan hak angket yang ditolak dibandingkan yang disetujui atau diterima. Tak sedikit pula yang kemudian tidak dilanjutkan, bahkan tidak ada kejelasan.

Saat ini, sebagian besar parati politik pengusung Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin merupakan partai politik pendukung pemerintah yang juga mempunyai wakil di kabinet. Sehingga apabila usul hak angket diterima, partai politik tersebut juga bisa ikut terkena imbasnya. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan setiap partai politik.

Selain itu, pengajuan hak angket juga harus disertai dengan sejumlah dokumen pendukung, seperti undang-undang yang akan diselidiki serta alasan penyelidikan. Sebab, pelaksanaan hak angket juga memperhatikan asas-asas keadilan dan hukum.

Meski demikian, wacana hak angket kecurangan Pemilu 2024 merupakan sesuatu yang baik. Langkah tersebut adalah salah satu upaya memastikan integritas penyelenggara pemilu yang memang sejauh ini menuai banyak kritikan dari masyarakat.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Polisi berusaha membubarkan massa yang berupaya mendekati Gedung DPR/MPR/DPD untuk berunjukrasa saat berlangsung sidang paripurna DPR yang membahas hak angket Skandal Bank Century, Selasa (2/3/2010).

Hak Angket dan Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Berdasarkan catatan, gaduh dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah mulai memanas sejak Oktober 2023. Pemicunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perubahan batas usia capres dan capres dalam Sidang Pleno pada 16 Oktober 2023.

Putusan MK tersebut memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden apabila pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini dinilai oleh berbagai kalangan sebagai upaya untuk memuluskan pencalonan anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Sejak itu, isu dugaan kecurangan pemilu terus berembus. Puncaknya adalah penyataan Presiden terkait keterlibatannya dalam kampanye. Pada Rabu (24/1/2024), Presiden Jokowi menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak di pemilu (“Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak asal Tak Gunakan Fasilitas Negara”, Kompas, 24 Januari 2024).

Hal tersebut pun menimbulkan keprihatinan masyarakat secara luas. Gelombang aksi demonstrasi terus bermunculan sebagai akumulasi dari keprihatinan terhadap banyaknya aturan yang ditabrak dan tindakan elite yang kurang beretika. Para sivitas akademika, dosen dan guru besar dari sejumlah perguruan tinggi pun turun gunung menyuarakan kegelisahan mereka.

Dimulai dari Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1/2024), para sivitas akademika UGM menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Jokowi serta aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. Sivitas akademika dari berbagai kampus sambung-menyambung menyuarakan seruan moral mereka terhadap kondisi demokrasi yang dinilai rusak akibat dugaan penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran etika dalam konstetasi politik Pemilu 2024 (“Seruan dari Kampus Terus Bergulir”, Kompas, 4 Februari 2024).

Isu dugaan kecurangan Pemilu 2024 pun terus berlanjut hingga pasca-pemungutan suara. Berdasarkan catatan Bawaslu pada Jumat (23/2/2024), ada 1.116 laporan dan 606 temuan pelanggaran selama proses tahapan pemilu. Dari 606 pelanggaran, 523 temuan sudah teregistrasi dan 83 temuan lainnya belum teregistrasi.

Jenis pelanggaran yang masuk di antaranya 63 pelanggaran administrasi, 37 dugaan tindak pidana pemilu, 245 pelanggaran kode etik, dan 123 pelanggaran hukum lainnya.

Pemilu adalah salah satu instrumen paling penting dalam rangka demokrasi. Maraknya pelanggaran berpotensi menjadikan pemilu kehilangan legitimasi, dianggap tidak fair, tidak jujur dan adil. Hal ini merugikan, sebab nantinya jadi masalah legitimasi pemerintahan yang dihasilkan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya penyelenggara pemilu tunduk pada ketentuan-ketentuan, pada etika, dan kemudian juga penegakan hukum yang adil. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Buku dan Jurnal
  • Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Ichwanuddin, Wawan dan Syamsuddin Harris (ed). 2014. Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket, dan Menyatakan Pendapat. Jakarta: LIPI Press.
  • Sekretariat DPR-GR. 1983. Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat DPR-GR.
Arsip Kompas
  • “Membongkar Skandal Bank Bali: Hak Angket, Senjata DPR”, Kompas, 25 Agustus 1999.
  • “Hak Angket Menunjang Pembangunan”, Kompas, 13 Juni 2000.
  • “Di Balik Demam Hak Angket DPR”, Kompas, 18 Februari 2017.
  • “Konsistensi Fraksi Ditunggu”, Kompas, 5 Mei 2017.
  • “Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak asal Tak Gunakan Fasilitas Negara”, Kompas, 24 Januari 2024.
  • “Seruan dari Kampus Terus Bergulir”, Kompas, 4 Februari 2024.
  • “Gelombang Kritik yang Berujung pada Legitimasi Pemilu”, Kompas, 8 Februari 2024.
  • “Ganjar Dorong DPR Gunakan Hak Angket Dugaan Kecurangan Pilpres”, Kompas, 19 Februari 2024.
  • “Anies Dukung Ganjar Gulirkan Hak Angket Kecurangan Pemilu”, Kompas, 20 Februari 2024.
Internet