KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid Madrasah Aliyah Ali Maksum mencoba menjadi pekerja bagian administrasi di Kantor Pemerintah Desa Panggungharjo di Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (4/1/2022). Sebanyak 25 murid perempuan Madrasah Aliyah Ali Maksum pada hari itu mencoba merasakan berbagai posisi pekerjaan di kantor Desa Panggungharjo sebagai kepala serta perangkat desa. Kegiatan itu antara lain untuk mengenalkan dunia kerja kepada mereka.
Fakta Singkat
Seluk Beluk Desa
- Pada tahun 2023, terdapat 75.265 desa di seluruh Indonesia. Desa dengan status “berkembang” memiliki porsi terbesar (28.766 desa), diikuti oleh desa maju (23.035 desa).
- Persebaran desa/kelurahan terbanyak berada di Provinsi Jawa Tengah, yang memiliki 8.562 desa.
- UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
- Garis besar UU Desa mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
- Kebijakan perundangan pertama yang mengakomodasi desa adalah UU Nomor 1 Tahun 1945 mengenai Komite Nasional Daerah.
- Di era Orde Baru, muncul UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU ini justru merusak keunikan dan kemandirian tatanan desa, juga menjadi alat meraup sumber daya desa.
- UU Desa tahun 2014 memberikan nafas segar bagi desa untuk kembali bertumbuh dalam kelekatan budayanya.
Acara “Silaturahmi Nasional Desa 2023” menuai kritik dan polemik. Dalam penyelenggaraanya di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (19/11/2023), acara tersebut dinilai banyak kalangan sebagai ajang deklarasi dukungan dan kampanye terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dalam forum acara tersebut hadir sebagai peserta adalah perangkat desa dari berbagai asosiasi perangkat desa.
Koordinator Nasional Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, membantah acara ini sebagai kampanye politik untuk pasangan Prabowo-Gibran. Meski begitu, Anas juga mengakui bahwa dukungan terhadap Prabowo-Gibran telah tersampaikan secara tersirat. Menurutnya, asosiasi desa meyakini bahwa pasangan nomor urut dua itulah yang mampu mewujudkan aspirasi para perangkat desa (Kompas.id, 19/11/2023, Dukungan Perangkat Desa ke Prabowo-Gibran Dinilai Tidak Patut).
Pasalnya, kepala desa, perangkat desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) telah diatur oleh peraturan perundang-undangan untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Hal tersebut pertama disebutkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 29 yang melarang kepala desa, Pasal 51 melarang perangkat desa, dan Pasal 64 melarang BPD menjadi pengurus partai politik atau terlibat dalam politik praktis. Bagaimanapun, kepala desa beserta semua perangkat desa merupakan pelayan bagi warga desa.
Ketetapan ini kembali diperkuat melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 280 ayat (2) huruf h, i, dan j secara khusus mengatur agar pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan organ-organ desa, yakni kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD.
Sejak berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), pemerintahan desa pun memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Desa berubah menjadi institusi kekuasaan terkecil yang dapat berdiri secara otonom. Kepala desa, layaknya bupati dan gubenur, dapat memiliki basis massa dan anggaran yang kuat. Meski begitu, desa tetaplah mengandung nilai-nilai organik sosial budaya sehingga dalam proses pembangunan, diharapkan tidak merusak keaslian desa.
Dalam konteks demikian, UU Desa telah memberikan struktur dan akses kekuasaan baru kepada desa. Dengan berbagai tujuan dan landasan, desa pun diharapkan dapat membangun dirinya selaras dengan visi pembangunan nasional. Dalam wewenangnya tersebut, pemerintah desa diharapkan tetap adil terhadap seluruh masyarakat, terutama dengan tidak terlibat dalam politik praktis.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Perangkat desa melayani pembuatan surat-menyurat secara daring (online) di Balai Desa Pandak Daun, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (22/8/2023). Desa ini telah mengadopsi sistem Lumbung Digital untuk mempermudah urusan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik.
Sekilas Makna Desa
Desa merupakan satuan wilayah administratif terkecil di negara Indonesia. Secara terminologis, KBBI mendefinisikan desa sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri dengan dikepalai oleh seorang kepala desa. Artinya, sistem pemerintahan tersendiri adalah salah satu komponen penting dalam desa.
Selain itu, definisi kedua pada KBBI adalah desa sebagai kelompok rumah di luar kota yang merupakan suatu kesatuan. Definisi ini secara lebih tegas menunjukkan distingsi antara desa yang lekat dengan identitas tradisionalnya dan kota yang menjadi simbol modernitas. Pemahaman ini juga mengimplisitkan lokasi spasial desa yang biasanya berada di daerah pinggiran.
Definisi kedua ini selaras dengan pemaknaan terhadap village sebagai konsep desa dalam Bahasa Inggris. Village diterjemahkan sebagai rumah dan bangunan yang saling terkait dan mengelompok dalam ukuran yang lebih kecil dari kota dan terletak di daerah pedesaan (rural area).
Selain secara terminologis, pemaknaan atas desa juga diakomodasi secara hukum. Definisi desa disebutkan dalam UU Desa pada Pasal 1. Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Dalam konteks pemerintahan tersebut, maka UU Desa mengamanatkan hadirnya kelembagaan pemerintahan desa. Masih dalam pasal yang sama, pemerintahan desa didefinisikan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Data Desa di Indonesia
Desa merupakan komponen penting dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Sebagaimana telah termuat dalam definisinya, desa merupakan kesatuan lembaga yang masih menyimpan nilai-nilai adat-istiadat yang kental dalam kesatuan masyarakatnya. Di dalam desa, tergantung keragaman sekaligus keunikan kultur. Sebagai satuan masyarakat terkecil, kelembagaan desa ini tersebar dalam jumlah besar di seluruh Indonesia.
Jumlah desa sendiri dapat ditelisik melalui laporan Peringkat Indeks Desa Membangun (IDM) Tahun 2023 oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi/Kemendes PDTT. IDM menunjukkan bahwa persebaran desa di seluruh Indonesia mencapai jumlah total 75.265 desa. Dari jumlah tersebut, desa-desa lantas dikelompokkan ke dalam lima status, yakni mandiri, maju, berkembang, tertinggal, dan sangat tertinggal.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Hanya empat desa yang tidak memperoleh status IDM-nya pada 2023 karena tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pengelompokkan ini sendiri menjadi kerangka kerja pembangunan berkelanjutan yang mengukur kemampuan dan potensi desa dalam menyejahterakan dirinya. Sebagai tolak ukur, IDM disusun berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Mayoritas desa di Indonesia masih berstatus “berkembang”. Meski begitu, menjadi kemajuan tersendiri bahwa desa “sangat tertinggal” menjadi status yang paling sedikit. Tak hanya itu, pembangunan desa tampak menunjukkan perbaikan signifikan yang ditandai dengan peningkatan jumlah desa dalam status “mandiri” dan “maju” dari tahun 2022 ke 2023.
Apabila dijumlahkan dengan jumlah wilayah administrasi setingkat desa, yakni kelurahan, maka jumlah desa/kelurahan mencapai 83.794 wilayah. Angka ini diperoleh berdasarkan jumlah desa pada tahun 2022 yang mencapai 74.961 desa.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, desa/kelurahan ini tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar berada di wilayah Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Barat.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Sekilas Tentang UU Desa
UU Desa/UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di hari yang sama dengan tanggal pengesahannya, UU Desa dinyatakan mulai berlaku. Di dalam UU tersebut, terkandung 16 bab dengan 122 pasal.
Penyusunan dan pengesahan UU Desa didasarkan pada sejumlah pertimbangan, yang terangkum pada lembar pertama dokumen UU.
Pertimbangan pertama adalah desa memiliki asal usul dan nilai tradisional tersendiri, yang membuat desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945.
Pertimbangan kedua, dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, desa dinilai telah berkembang dalam berbagai bentuk. Perkembangan ini diwarnai pula oleh pengaruh luar dan modernitas. Untuk itu, desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat melaksanakan pemerintahan dan pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Pertimbangan ketiga, dengan berbagai karakteristik dan keunikan yang dimilikinya, desa dinilai perlu untuk diatur oleh UU tersendiri. Aturan ini terutama perihal susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, garis besar UU Desa mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Banyak aspek atas kedua hal tersebut, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pemerintahan desa, kedudukan dan jenis desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, keuangan dan aset desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan lembaga kemasyarakatan desa serta lembaga adat desa.
Berbagai hal tersebut menjadi angin besar bagi pemerintah desa, khususnya desa-desa adat seperti nagari di Sumatera Barat dan kampung di Papua. Melalu pasal-pasalnya, UU Desa memberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar bagi desa adat untuk mengatur diri mereka sendiri. Kesempatan ini memampukan desa untuk tetap berdiri pada identitas kultural yang sejati dan tidak tergerus oleh penyeragaman dalam sistem pemerintahan (Kompas, 28/11/2014, Mengembalikan Hakikat Desa Adat).
Mengacu pada buku Desa Kuat, Indonesia Hebat! oleh Budiman Sudjatmiko dan Yando Zakaria, semangat dan kesempatan yang diusung UU Desa tersebut menjadi pengejawantahan dari amanat reformasi dan pembangunan nasional. Semangat reformasi telah melepaskan masyarakat Indonesia dari kekangan totalitas rezim pemerintahan, dalam hal ini adalah Orde Baru. Meski begitu, semangat ini jangan sampai hanya berkobar di kota-kota dan harus dipikul masuk juga dalam ruang desa.
Dalam konteks demikian, Yando Zakaria menuliskan bahwa reformasi baru terpenuhi apabila desa telah mampu merealisasikan pengakuan atas asal-usul dan keunikannya. Pengakuan tersebut harus diberikan di hadapan negara dalam konteks sosial-budaya nasional yang memang beragam.
Pengakuan ini dapat ditelisik melalui ada atau tidaknya kebijakan negara yang memberikan hal keberlakuan pada tata organisasi, tata aturan, dan keulayatan masyarakat desa. Perbedaan ketiga elemen ini pada tiap-tiap desa dipengaruhi oleh sejarah masing-masing yang juga sangat beragam.
Dengan pengakuan atas tiga elemen tersebut, maka negara telah mendukung keberagaman desa dan menempatkannya pada posisi yang utama. Melalui UU Desa, hadirnya desa diharapkan tidak lagi semata sebagai korban penyeragaman kebijakan, anggaran, dan sistem pemerintahan, melainkan berjalan dan terlibat dalam pembangunan dengan identitasnya sendiri.
Di Kantor Kepresidenan, Jakarta, pada 18 Desember 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan bahwa UU Desa dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan pembangunan masyarakat desa. “Kita ingin Indonesia ini mulai dari pusat sampai daerah, dari belakang sampai ke depan, dan desa di depan bukan di bawah. … Desanya kuat, negara kuat, kalau desa maju, negara juga maju,” katanya.
Sekilas Sejarah UU Desa
UU Desa yang diundangkan pada tahun 2014 bukanlah produk hukum pertama yang mengatur soal desa. Terdapat sejumlah peraturan perundangan-undangan pendahulu yang menunjukkan perbedaan yang kontras dengan UU Desa 2014, terutama pada aspek keberpihakan dan akomodasinya terhadap keunikan desa.
Era Orde Lama
UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia tidak mengakomodasi kehadiran desa. Dalam seluruh pasalnya, tidak ditemukan konsep “desa” sama sekali. Meski begitu, pada Pasal 18 ayat (1), dikandung amanat akan pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah administratif yang lebih kecil. Pemerintah daerah memegang kendali atas daerah tersebut yang diatur dengan UU. Sementara pada ayat selanjutnya, diamanatkan asas otonomi dalam pemerintahan tersebut.
Lebih lanjut, amanat pemerintahan daerah dalam UUD 1945 mendapatkan rinciannya melalui UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Tugas Komite Daerah adalah membantu kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan harian.
Dalam UU inilah, pada bagian “Pendjelasan Undang-Undang 1945 No. 1”, dijelaskan mengenai adanya faham “decentralisatie” (desentralisasi) yang memberikan otonomi desa. Terdapat wacana untuk pembangunan ulang bangunan-bangunan lama di desa untuk digantikan dengan bangunan operasional baru. Untuk itu, agar tidak semata menjadi keputusan pusat, masyarakat desa dapat mengajukan suaranya melalui Menteri Dalam Negeri.
Peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik dalam membahas desa muncul pada 1 September 1965, melalui UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Dengan kembali berlakunya UUD 1945 pasca Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, pemerintah menilai perlunya penyingkiran terhadap segala unsur kolonial-feodal, termasuk dalam perundangan tata-desa.
UU Nomor 19 Tahun 1965 menyatukan seluruh konsep wilayah kesatuan tingkat desa ke dalam nama “Desapraja” sebagai daerah tingkat III. Padahal, tiap-tiap wilayah di Indonesia memiliki konsep desanya sendiri, seperti Kampung atau Negeri di Sumatera; Desa di Jawa, Bali dan Madura; Wanua di Sulawesi; Lomblan di Nusa Tenggara Barat; Kedaton atau Kedaluan di Nusa Tenggara Timur dan Hoana Negory di Maluku dan Irian Barat
Selain itu, UU ini juga dimaksudkan agar peraturan perundangan yang baru dapat menjamin tata-perdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional yang demokratis dan pembangunan nasional semesta.
Era Orde Baru
Seiring dengan kejatuhan Orde Lama dan berbagai upaya de-soekarnoisasi, muncul ragam bentuk kebijakan baru. UU Nomor 19 Tahun 1965 pun ikut diturunkan, digantikan oleh UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang disahkan Soeharto pada 1 Desember 1979.
Secara umum, UU ini mengatur perihal struktur pemerintahan desa, tugas dan wewenang pemerintah desa, tata cara pelaksanaan pemerintahan, keuangan desa, dan hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semuanya tercantum dalam tujuh bab dan 40 pasal.
Meski begitu, mengacu pada Kompas (28/11/2014, Mengembalikan Hakikat Desa Adat), UU Nomor 5 Tahun 1979 justru cenderung mencerabut desa dari nilai-nilai tradisionalnya. UU Nomor 5 Tahun 1979 mengingkari keragaman lembaga dan kelembagaan desa di Indonesia yang sebenarnya memiliki hak asal-usul.
Meski telah membentuk Lembaga Musyawarah Desa (LMD) melalui Pasal 17, namun kehadiran LMD pun tak memiliki wewenang suara yang layak. Pasal 34 ayat (2) misalnya, memutuskan agar Bupati atau Walikota memiliki wewenang untuk mencabut keputusan desa, sekalipun keputusan tersebut dibuat melalui musyawarah desa. Pada dasarnya, kebijakan pemerintahan Orde Baru telah mengatur secara sangat detail dan terbatas semua kebijakan hingga tingkat daerah.
Ikut campur pemerintah berdampak pada keterbatasan suara desa. Pemerintahan terendah seperi desa dianggap tak lebihnya dari sekedar pelaksana aturan. Pihak desa, baik kepala desa maupun LMD, hanya tinggal menerapkan ketetapan-ketetapan yang telah dibuat oleh para elit politik secara ekslusif. Akhirnya, keputusan yang bisa dilakukan oleh kepala desa atau LMD terbatas pada masalah-masalah non-strategis.
Selain itu, UU Nomor 5 Tahun 1979 juga memberlakukan penyeragaman lembaga dan kelembagaan desa di seluruh Indonesia. Hal ini yang akhirnya justru membunuh keragaman lembaga dan kelembagaan tradisional desa sehingga tercerabut dari hak asal-usulnya. Keunikan dan keutuhan desa dengan keragaman kultur pun menjadi hancur.
Sebagai contoh, sejak tahun 1983, nagari Ujung Gading harus merubah pemerintahannya. Dari pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa. Nagari yang memang mempunyai beragam adat istiadat itupun ikut merasakan dampak negatif dari penerapan UU No 5 Tahun 1979 tersebut. Dampaknya, keberdayaan adat dalam tergeser oleh sistem birokrasi pemerintahan yang lebih modern.
Tak hanya soal kultur, UU No 5 Tahun 1979 juga dimanfaatkan rezim Soeharto untuk mengeruk kekayaan desa. Semua pemasukan nagari diambil pemerintah pusat maupun daerah, mulai dari pajak galian C hingga hasil hutan, diambil pemerintah pusat ataupun daerah. Pengerukan dan perambahan hutan terjadi dimana-dimana.
Hal itu membuat rasa apatis dan putus asa masyarakat lokal muncul. Mereka tidak lagi peduli dengan rusaknya sungai yang digali terus atau hutan yang hancur karena kayunya diambil. Dalam pandangan mereka, semua telah menjadi urusan pemerintah. Padahal sejatinya, sistem pemerintahan nagari memiliki aturan tersendiri untuk mengelola kekayaan alamnya. (Kompas, 29/3/2014, Nagari Bisa Mandiri Lagi).
Sebagai dampak jangka panjang, pemerintahan desa kehilangan kemampuan untuk berkembang dengan efektif. Desa beserta masyarakatnya serba dililit keterbatasan, tak lagi mampu untuk merencanakan dan menjalankan pembangunan desa. Apalagi pembangunan yang berstandar kepada partisipasi masyarakat.
Era Reformasi
Jatuhnya kekuasaan Orde Baru tidak serta merta memberikan nafas pembangunan bagi desa-desa dan wilayah setingkat di seluruh Indonesia. Muncul sejumlah produk perundang-undangan, yang meski tidak berkenaan secara langsung dengan desa, namun memiliki dampak yang signifikan.
Mengacu pada artikel akademik Analisis Undang-Undang Desa oleh Fanani dkk., kebijakan yang dimaksud tersebut adalah UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Meski terdapat proses perubahan peraturan tentang desa, yang terjadi justru kian terpinggirkannya desa dari hak asal-usulnya.
UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan membatasi hak masyarakat desa sekitar hutan untuk mengambil kemanfaatan hutan sebagai sumber kemandirian dan kesejahteraan mereka. Dengan kuasa negara yang begitu besar terhadap hutan, rancang bangun kelembagaan desa adat yang selama ini setia menjaga hutan pun digeser.
Sementara selaras dengan UU Kehutanan tersebut, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga menarik masyarakat desa dari haknya atas sumber daya air. Besarnya kekuasaan negara, yang acapa berpihak pada pasar, berkontribusi terhadap tercerabutnya desa dari haknya atas sumber daya air sebagai kebutuhan dasar masyarakat.
Hadirnya UU Desa lantas menjadi nafas segar bagi desa. Represi Orde Baru telah telanjur merusak desa sebagai sebuah pranata pemerintahan, kultural, dan sosial. Pihak-pihak desa, pun mengharapkan UU Desa dapat menjadi pintu bagi perbaikan. Dukungan ini disampaikan salah satunya oleh Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara.
Ketua Umum Parade Nusantara, Sudir Santoso, saat bertemu pimpinan DPR pada awal Desember 2011 mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa sangat dibutuhkan agar kedudukan desa tidak abu-abu. Misalnya saja, desa hanya diberikan tugas menyusun perencanaan tetapi tak pernah dimasukkan dalam struktur pemerintahan.
Meski begitu, jalan menuju pengesahan UU Desa jugalah panjang. Dalam masa penyusunan RUU Desa hingga Desember 2011, pemerintah paling tidak sudah dua kali ingkar janji terkait RUU Desa. Menurut Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, keduanya terjadi pada Juli dan September 2011. Pemerintah menjanjikan kepada DPR akan menyerahkan paket regulasi pemerintahan daerah, tetapi belum juga terwujud (Kompas, 13/12/2011, Jalan Masih Panjang).
Usai jalan panjang, juga disertai dengan sejumlah demonstrasi, UU Desa disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Januari 2014, tepat pada tahun dilaksanakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Pengesahan UU ini lantas diikuti dengan ragam kegiatan sosialisasi UU Desa ke desa-desa dan aparat terkait.
Salah satu kegiatan adalah acara Sosialisasi Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Maret 2014 di Padang, Sumatera Barat. Turut hadir dalam acara tersebut adalah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendagri Tarmizi A. Karim, dan Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim.
Tarmizi mengatakan, UU Desa diperlukan antara lain untuk mengatasi berbagai permasalahan di desa di bidang sosial budaya ataupun ekonomi, termasuk memperkuat desa sebagai entitas masyarakat tersendiri yang mandiri. Tujuan utama dari UU Desa adalah memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa, berikut pula dengan keberagamannya dan untuk melestarikan serta memajukan budaya masyarakat (Kompas, 29/3/2014, Nagari Bisa Mandiri Lagi).
Artikel terkait
Sejumlah Perubahan UU Desa
Melalui kehadirannya, UU Desa lebih mengedepankan peran desa secara otonom dengan keunikan hak-hak asal usulnya. Untuk itu, terdapat sejumlah perubahan mendasar yang diusung oleh UU Desa. Mengacu kembali pada Sudjatmiko dan Zakaria, perubahan mendasar pertama yang diusung oleh UU Desa adalah mengubah skema, alokasi, dan besaran dana untuk desa. Kini, desa dapat mengonsolidasikan dana desa yang bersumber dari dua sumber, yakni Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD).
ADD adalah bersumber dari pemerintah kabupaten/kota yang untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kemudian meyalurkannya ke ke Rekening Kas Desa (RKD). Sementara Dana Desa bersumber dari pemerintah pusat dengan sumber alokasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Dari keduanya, desa dapat memperoleh pendapatan minimal Rp 1 miliar per tahun anggaran.
Di luar kedua sumber tersebut, desa juga masih dapat meraup pendapatan melalui sumber-sumber lain. Misalnya adalah Pendapatan Asli Desa (PAD), yang merupakan wujud hasil usaha dari pihak desa secara swadaya yang memperoleh keuntungan. Sumber lainnya bisa pula berupa hubah/sumbangan dari pihak ketiga, seperti misalnya perusahaan swasta. Pada tahun pengesahan tersebut, terdapat 72.944 desa.
Perubahan kedua, adalah dalam konteks jalur birokrasi perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa. UU Desa memangkas jalur birokrasi yang panjang dan penuh negosiasi, sektoral dan parsial, menjadi pola satu pintu. Melalui konsolidasi dana desa, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa dapat berjalan komprehensif.
Perubahan ketiga adalah konsolidasi kelembagaan masyarakat desa. Kelembagaan desa dipimpin oleh pemerintah desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Ikut membantu kepala desa adalah sekretaris desa dan aparat desa lainnya. Periode jabatan kepala desa mencapai enam tahun dan bisa menjabat maksimal tiga kali periode jabatan.
Dalam kelembagaan ini, UU Desa menempatkan rakyat desa sebagai subjek yang memiliki kedaulatan politik. Baik terhadap supra-desa maupun dalam intra-desa. Masyarakat desa memiliki kedaulatan dalam mengelola sumber daya desa serta memulihkan kegotong-royongan rakyat bangunan desa. Hal tersebut terejawantahkan melalui lembaga BPD.
Terakhir, UU Desa mengamanatkan pembentukan kementerian yang secara khusus menangani urusan desa. Pembentukan kementerian demikian dapat memangkas birokrasi urusan desa yang sebelumnya berada di tangan 14 kementerian sektoral, sehingga dapat mendukung konsolidasi kelembagaan pembangunan desa. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Fanani, A. F., Astutik, W., Wahyono, D., & Suprapto. (2019). Analisis Undang-Undang Desa. Jurnal Dialektika, Volume 4, Nomor 1, 1-14.
- Sudjatmiko, B., & Zakaria, Y. (2014). Desa Kuat, Indonesia Hebat! Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.
- Kompas.id. (2023, November 19). Dukungan Perangkat Desa ke Prabowo
- Gibran Dinilai Tidak Patut. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/11/19/dukungan-perangkat-desa-ke-prabowo-gibran-dinilai-tak-patut
- Kompas. (2014, November 28). Mengembalikan Hakikat Desa Adat. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 64.
- Kompas. (2014, Maret 29). Nagari Bisa Mandiri Lagi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 21.
- Kompas. (2011, Desember 13). Jalan Masih Panjang. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
- Badan Pusat Statistik. (2022). Jumlah Desa/Kelurahan Menurut Provinsi, 2022.
- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (2023). Peringkat Indeks Desa Membangun (IDM) Tahun 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan, Kemendes PDTT.