Tokoh

Aktivis Kesetaraan Jender dan Hak-Hak Perempuan Saparinah Sadli

Saparinah Sadli adalah sosok pelindung dan pendorong gerakan perempuan di Indonesia. Akademisi dan aktifis yang selalu gigih membangun ide ini berhasil membangun institusi resmi untuk memperjuangkan hak perempuan Indonesia

PRI

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Prof. Dr. Saparinah Sadli

Lahir
Tegalsari, Jawa Tengah 24 Agustus 1927

Almamater
Universitas Gadjah Mada
Universitas Indonesia

Jabatan
Aktivis Gerakan Perempuan

Saparinah Sadli adalah seorang akademisi dari Universitas Indonesia yang juga seorang aktifis pejuang gerakan perempuan. Familiar dengan panggilan Bu Sap melekat berbagai peran, ia adalah motivator penggerak masyarakat, pejuang kesetaraan gender dan hak asasi manusia khususnya perempuan. Bagi kelompok aktifis perempuan ia adalah pembawa pelita, yang kadang berjalan dibelakang untuk menerangi, kadang di depan untuk membuka jalan, kadang di tengah untuk menghangatkan.

Pernah menjadi apoteker dan belajar anatomi manusia, tetapi beralih mempelajari psikologi membawanya mencapai posisi Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kepeduliannya pada perempuan membuat Bu Sap terlibat aktif  memperjuangkan hak kesetaraan gender dan martabat perempuan. Meraih gelar Doktor psikologi UI tahun 1976 dan sejak itu Bu Sap tidak pernah jauh dari aktifitas mendukung gerakan perempuan Indonesia sekaligus membangun tradisi keilmuan yang berperspektif kesetaraan gender.

Kerusuhan Mei 1998 menghentakkan gerakan perempuan untuk membangun Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan atau Komnas Perempuan tahun 1998, Bu Sap menjadi Ketua Komnas Perempuan pertama hingga tahun 2004. Ia juga yang merintis terbentuknya Program Studi Pusat Studi Kajian Wanita (PSKW), sebuah program master lintas bidang tentang kajian gender di Universitas Indonesia. Bu Sap menjadi Kepala Prodi PSKW UI selama sepuluh tahun sejak 1990-2000.

Terus belajar

Saparinah yang lahir di Tegalsari, Jawa Tengah pada 24 Agustus 1927 merupakan anak dari pasangan R.A. Mintami dan R.M. Subali. Sang ayah pernah menjabat sebagai Bupati Kudus Sejak kecil  ia tinggal di lingkungan priyayi kelas atas.  Saparinah menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda Europesche Lager School di Purwokerto,  Jawa Tengah pada  1933-1940.

Setelah lulus dari pendidikan dasar, ia pergi ke Semarang untuk melanjutkan sekolah menengah di kota tersebut. Namun, ia kemudian pindah ke Yogyakarta dan merampungkan pendidikan menengahnya di kota tersebut. Saparinah kemudian mengambil Sekolah Asisten Apoteker di Yogyakarta (1946–1948), setelah lulus ia melanjutkan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.

Sesuai dengan bidangnya, Saparinah lantas bekerja sebagai apoteker yang meracik obat di sebuah Apotik di Yogyakarta. Berselang beberapa tahun, ia pergi ke Jakarta untuk mengambil kursus di Jurusan Psikometri (cikal bakal fakultas psikologi) Universitas Indonesia tahun 1953.

Di kampus tersebut ia bertemu dengan dosen muda Muhammad Sadli. Setahun berselang mereka menikah dan Saparinah kemudian mendampingi suaminya yang mendapat tugas belajar di Amerika Serikat. Selama tinggal di Amerika Serikat, Saparinah belajar anatomi tubuh manusia.

Setelah kembali ke Indonesia, Saparinah kemudian melanjutkan studinya yang sempat ditinggalkan karena mengikuti suami di AS. Tahun 1957, ia meneruskan pendidikannya di  Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah menggondol sarjana muda psikologi, ia melanjutkan kuliah strata satu Psikologi UI dan lulus tahun 1961.

Saparinah tidak pernah putus belajar, hingga ia meraih gelar doktor psikologi  tahun 1976 dari Universitas Indonesia. Empat tahun setelah mendapat gelar doktor Saparinah dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UI.

Karier

Kariernya dimulai sebagai pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan pengajar program pasca sarjana, baik di fakultas psikologi maupun di Pusat Studi Kajian Wanita dan di Kajian Ilmu Kepolisian. Selama lebih dari 30 tahun, Bu Sap mengajar di almamaternya sambil tetap terus memperjuangkan kesetaraan gender di luar kampus.

Dalam aktivitasnya, Saparinah bukanlah seorang yang  mencari aman. Ia berdiri paling depan bersama beberapa teman dan menghadap Presiden BJ. Habibie. Ia  mendesak pemerintah agar mengakui dan meminta maaf atas terjadinya perkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998. Akhirnya pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan seksual menjadi bagian integral.

Atas gagasan dan perjuangannya, dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai komisi nasional yang independen. Bu Sap menjadi Ketua Komnas Perempuan sejak berdiri tahun 1998 hingga 2004, hal itu makin mempertegas ia adalah akademisi yang gigih dengan perjuangan advokasi perempuan. Akibat peristiwa Kerusuhan 1998 Saparinah fokus memperjuangkan keadilan untuk korban dan penyintas kejahatan seksual pada keturunan etnis Tionghoa saat itu.

Bu Sap juga dikenal sebagai orang yang berpikiran terbuka dan demokratis sehingga dapat menerima kritik dan masukan dari kolega bahkan orang yang jauh lebih muda. Ia pernah terlibat melakukan riset bersama World Health Organization (WHO) tentang hak reproduksi perempuan.

Ketika Saparinah bertambah tua dan bergabung dengan kalompok pada manula memberikan inspirasi padanya untuk menulis buku Menjadi Perempuan Sehat yang Produktif di Usia Lanjut tahun 2007. Berbagai gagasan dan pemikiran Bu Sap kemudian dikumpulkan menjadi buku berjudul Berbeda tetapi Setara tahun 2010.

Dosen yang sangat bersahaja ini mengungkapkan bahwa ia selalu diajak oleh teman yang muda sehingga Saparinah tampak selalu ada dalam setiap aktifitas gerakan perempuan. Ia tidak pernah mau menonjolkan diri, tetapi kesungguhannya yang membuat temah-temannya kemudian memintanya untuk jadi pemimpin seperti Ketua Komnas Perempuan. Bahkan, Bu Sap diminta oleh Sinta Nuriyah Wahid untuk menjadi tenaga ahli dalam Yayasan Puan Amal Hayati besutan istri Gus Dur tersebut.

Meskipun telah menginjak usia 97 tahun, Saparinah Sadli masih aktif mengikuti isu-isu terkini perempuan. Ia masih menghadiri dan memberikan masukan pada berbagai acara yang terkait dengan isu kesetaraan gender dan feminisme.

KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY

Prof Saparinah Sadli dengan latar belakang Batik Saparinah. Batik Saparinah diperkenalkan di Cemara 6 Galeri-Toety Heraty Museum, Jalan HOS Cokroaminoto, Manteng, Jakarta Pusat, Senin (22/5/2023).

Penghargaan                           

  • Bintang Mahaputra Utama tahun 2000
  • Anugerah Hamengkubuwono IX dari Universitas Gajah Mada tahun 2004
  • The Asia Special Lifetime Award tahun 2008
  • Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi hari Harian Kompas Tahun 2009
  • Penghargaan Roosseno Award ke-7 tahun 2017 atas perjuangannya meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia.

Penghargaan

Perjuangannya pada gerakan perempuan Indonesia sejak muda secara konsisten dan tidak mengenal lelah membuatnya mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada tahun 2000.

Universitas Gajah Mada memberikan penghargaan Anugrah Hamengkubuwono IX tahun 2004 untuk Saparinah, dan Harian Kompas memberikan penghargaan Cendekiawan Berdedikasi padanya tahun 2009. Di tahun 2008 istri dari ekonom Prof. Sadli ini mendapat penghargaan The Asia Special Life Time Award untuk pengabdiannya pada perempuan Indonesia.

Pada tahun 2007, Saparinah mendapat penghargaan Roosseno Award, yaitu suatu penghargaan kepada seseorang atas jasa mereka yang telah melakukan penelitian dan memberikan dampak positif luar biasa di Indonesia.

Selain itu, berkat konsistensi juga kerja kerasnya memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, kalangan akademisi dan aktivis perempuan menjadikan nama Saparinah sebagai nama sebuah penghargaan. Sejak tahun 2004, Saparinah Sadli Award dianugerahkan untuk perempuan yang berjuang untuk memajukan kaum perempuan.

Pada ulang tahunnya yang ke-96, Saparinah mendapat hadiah sekaligus penghargaan atas kekuatannya dalam memperjuangkan gagasan dan ide dalam gerakan perempuan. Namanya kemudian juga diabadikan sebagai motif batik, yaitu Batik Saparinah. Batik yang menggunakan simbol Burung Hong dan Anggrek Bulan melambangkan kekuatan dan kegigihan, serta kecantikan dan keanggunan. Bunga Anggrek Bulan adalah bunga favorit Bu Sap, sedangkan Burung Hong melambangkan karakter Bu Sap yang sangat gigih dan tangguh dalam berjuang.

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Saparinah Sadli foto bersama penerima Anugerah Saparinah Sadli 2018 Masnu’ah, pelopor komunitas perempuan nelayan. Anugerah Saparinah Sadli bersamaan syukuran HUT ke-92 Saparinah di Jakarta, Jumat (24/8/2018).

MH

“Belum tercapainya kesetaraan jender mewujud antara lain dalam angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang setiap tahun naik, dengan pelakunya kebanyakan laki-laki. Kekerasan itu antara lain dipicu oleh masih dianutnya nilai-nilai patriarki, yang menempatkan perempuan sekunder/inferior terhadap laki-laki dalam kehidupan bersama,” kata Saparinah Sadli saat menerima Penghargaan Roosseno (Roosseno Award) ke-7, Sabtu (15/7/2017).

Kajian perempuan

Ketertarikannya pada dunia perempuan adalah ketika ia membaca buku Janet Hyde, Half The Human Experience, Psychology of Women tahun 1974. Setelah membaca buku tersebut, ia sadar bahwa ilmu pengetahuan bersifat sangat maskulin, hanya mengunggulkan positivisme, kuantitatif dan tidak mencakup pengalaman perempuan.

Dahulu hanyalah laki-laki yang dijadikan sampel penelitian tetapi kesimpulannya dianggap mewakili masyarakat umum. Ia semakin sadar untuk berpihak pada perempuan, hingga akhirnya mengambil kuliah psikologi wanita di Fakultas Psikologi UI.

Perhatiannya pada kemanusiaan terinspirasi dari sosok Madame Currie, seorang ilmuwan perempuan penemu radioaktif yang mendapat hadiah Nobel bidang fisika tahun 1903 dan Nobel bidang kimia tahun 1911. Kekaguman Saparinah pada Madame Currie bukannlah pada nobel yang diraihnya, tetapi ketekunan dan kerja keras Currie untuk membuktikan bahwa perempuan dapat bekerja sebaik laki-laki.

Sejak menjadi dosen di Universitas Indonesia, perhatian Saparinah tidak pernah lepas dari isu perempuan dan hak-hak mereka yang terabaikan. Sebagai seorang akademisi, Bu Sap menyadari betul pentingnya ilmu untuk memikirkan nasib perempuan Indonesia. Ia pun memperjuangkan agar perguruan tinggi membentuk suatu kajian khusus tentang perempuan. Karenanya, dibentuklah sebuah program studi yang diberi nama Pusat Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia (PSKW UI).

Dibentuknya PSKW UI bukanlah sebuah pekerjaan mudah, karena banyak kolega di universitas tersebut yang menyangsikan keilmuan prodi tersebut karena dianggap tidak jelas asal-usul pohon keilmuannya. Selain itu, dunia akademik masih menganggap kajian perempuan bukanlah suatu ilmu yang penting untuk dipelajari. Namun, Bu Sap bergeming, karena sebuah program studi tidak harus dipertanyakan dan dikaitkan dengan pohon ilmu kiblat Kajian Wanita atau women studies itu.

KUM

Harta kekayaan

Referensi

Arsip Kompas
  • “Batik Saparinah: Penghargaan Untuk Ketangguhan”, Kompas, Rabu 24 Mei 2023, hlm. 05.
  • “Roosseno Award: Bu Sap dan Kesetaraan Jender”, Kompas, Selasa, 18 Juli 2017.
  • “Saparinah Sadli: Pesona Madame Currie”, Kompas, Sabtu 19 Agustus 2006.

Biodata

Nama

Prof. Dr.  Saparinah Sadli

Lahir

Tegalsari, Jawa Tengah 24 Agustus 1927

Jabatan

Aktivis Gerakan Perempuan

Pendidikan

  • Sarjana (S1) Sosiologi, FISIP UGM (1983)
  • Sarjana (S2) Program Master bidang Kriminologi FISIP UI (2014)

Karier

  • Aktif di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta (1983–1993)
  • Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nasional (sejak 1993)
  • Dekan FISIP UNAS (2002–2006, 2006–2010)
  • Komisioner Komnas HAM (2002–2007)
  • Termasuk dalam jajaran pimpinan LPSK (sejak 2013)
  • Wakil Ketua LPSK (2018–2019)
  • Ketua LPSK (2019–2024)

Organisasi

  • Salah satu pendiri Kelompok Studi dan Bantuan Hukum (KSBH) Yogyakarta (1983)

Karya

Publikasi

Keluarga

Sumber
Litbang Kompas