Paparan Topik | Ekonomi Digital

Uang Digital: Pengertian, Mekanisme, dan Dampaknya

Bank Indonesia meyakini bahwa membangun sistem rupiah digital merupakan keharusan sebab model keuangan ini akan membantu menjaga kedaulatan rupiah di era digital.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA

Suasana konferensi Blockchain bertajuk Inblocks 2018 di Jakarta, Sabtu (15/9/2018). Konferensi itu diadakan oleh perusahaan penjualan mata uang digital, Tokocrypto, dan dinyatakan sebagai konferensi terbesar di Indonesia terkait blockchain.

Fakta Singkat

Uang Digital:

  • Bank Indonesia meluncurkan proyek penerbitan Rupiah Digital pada November 2022.
  • Mata uang digital dapat dikategorikan menjadi Cryptocurrency , Virtual Currency, Stablecoin, dan mata uang digital bank sentral.
  • Mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency adalah mata uang digital yang diatur pemerintah, diterbitkan langsung oleh bank sentral sebuah negara.

Pada November 2022 Bank Indonesia meluncurkan Proyek Garuda, yakni proyek penerbitan Rupiah Digital. Rupiah Digital menjadi proyek Central Bank Digital Currencies  (CBDC) Indonesia, suatu bentuk transisi dari keuangan fisik menjadi digital yang merupakan trend masa ini.

Mata uang digital ini dalam praktek penggunaannya menyerupai e-money yang sudah beredar saat ini, akan tetapi sebenarnya ia merupakan model uang yang berbeda, bahkan lebih radikal dalam hal digitalisasinya.

Dalam penerbitan white paper proyek tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan bahwa Proyek Garuda ini mencakup berbagai inisiatif ekplorasi atas berbagai desain Rupiah Digital, mulai dari wholesale CBDC, perluasannya pada bisnis operasi moneter dan pasar uang, hingga akhirnya retail CBDC.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Aktivitas pegawai perusahaan teknologi finansial, Doku, di kawasan pusat bisnis Sudirman, Jakarta, Rabu (23/3/2022). Masyarakat makin terbiasa dengan transaksi digital banking, hal ini terbukti dari data yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). BI mencatat pada Februari 2022 nilai transaksi uang elektronik tumbuh 41,35 persen dari periode yang sama tahun lalu (yoy) menjadi Rp 27,1 triliun. Sedangkan nilai transaksi digital banking meningkat 46,53 persen yoy menjadi Rp 3.732,8 triliun.

Definisi uang digital

Mata uang digital atau uang digital (digital currency) merujuk pada bentuk uang yang hanya ada dalam bentuk digital. Artinya ia tidak memiliki bentuk fisik yang setara seperti tagihan, cek, atau koin. Definisi ini jelas membedakannya dari uang elektronik (e-money) yang sudah luas penggunaannya di Indonesia. Keduanya serupa dalam pengertian bahwa keduanya menggunakan kode elektronik untuk transaksi dan keduanya mengandalkan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi.

Namun, e-money hanyalah catatan digital dari uang tunai fisik atau deposit yang dipegang oleh bank atau lembaga keuangan, sementara digital currency betul-betul merupakan uang yang hanya ada dalam bentuk digital. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa e-money dalam bentuk kartu merupakan bentuk uang chip-based dan tercatat pada suatu server.

Mata uang digital dapat dikategorikan lebih lanjut menjadi Cryptocurrency , Virtual Currency, Stablecoin, dan mata uang digital bank sentral (Central Bank Digital Currencies/CBDCs). Tiga jenis awal di atas disebut mata uang digital terdesentralisasi, artinya peredarannya tidak dikontrol oleh bank sentral atau pemerintah.

Sebagai catatan, cryptocurrency merujuk pada uang digital yang peredarannya menggunakan teknologi kriptografi dan teknologi blockchain, sementara istilah virtual currency di sini menunjuk pada alat transaksi yang digunakan di ruang virtual seperti game online yang mana seseorang membeli dengan uang nyata tetapi nilainya pada dasarnya tidak dapat digunakan dalam pengaturan kehidupan nyata.

Meskipun demikian, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa aset kripto tidak dapat dianggap sebagai uang. Hal ini karena pertama volatilitasnya yang membuat ia tidak dapat dijadikan penyimpanan nilai, plus fakta bahwa ia tidak dapat diterima secara universal, sehingga tidak memenuhi definisi uang itu sendiri.

Stablecoin juga merupakan mata uang digital terdesentralisasi yang menggunakan teknologi blockchain, namun dibandingkan dengan cryptocurrency, stablecoin diikat pada mata uang fiat sehingga membuatnya sesuai dengan namanya, stabil, atau setidaknya lebih kurang volatile. Terakhir, mata uang digital bank sentral (CBDCs) adalah mata uang digital yang diatur pemerintah, diterbitkan langsung oleh bank sentral sebuah negara.

Secara teori, CBDC lebih lanjut dikategorikan menjadi CBDC ritel dan grosir. Akses ke CBDC ritel terbuka untuk berbagai entitas ekonomi, termasuk perusahaan dan individu, sementara CBDC grosir hanya tersedia untuk lembaga kredit. Oleh karena itu, CBDC grosir serupa dengan uang elektronik dan adopsinya diperkirakan tidak akan menciptakan dampak yang signifikan ketimbang CBDC ritel.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Suasana hari kedua Singapore Fintech Festival di Singapore Expo, Singapura, Kamis (3/11/2022). Pada acara yang dihelat Monetary Authority of Singapore (MAS) 2-4 November 2022 tersebut, terdapat sejumlah diskusi serta pameran yang diikuti berbagai perusahaan terkait dengan teknologi finansial (tekfin). Direktur Utama Bank Jago, Tbk Kharim Siregar menjadi salah satu pembicara dalam diskusi dengan topik “Driving New Digital Bank Profitability”.

Munculnya Ide Mata Uang Digital

Sejarah pengembangan mata uang digital mungkin dapat memberikan pencerahan dalam memahami kebutuhan serta dampak penggunaan teknologi ini di masa depan. Sejak awal tahun 1992, Bank of Finland meluncurkan kartu Avant yang dimaksudkan untuk meniru fungsi uang tunai.

Kartu tersebut tampak seperti kartu debit tetapi didukung langsung oleh Bank of Finland, yang menjadikannya mata uang digital bank sentral pertama di dunia, sebagaimana yang diklaim oleh bank sentral tersebut.

Pemegang kartu tidak memiliki rekening bank sementara uang dan transaksi mereka dilacak oleh chip di dalam kartu, sehingga membuat transaksi mereka anonim. Namun, ini tidak bertahan lama. Avant lalu hilang dari peredaran.

Lama setelah Avant, ide mata uang digital kembali muncul. Kali ini yang memicunya adalah perkembangan pasar aset digital seperti cryptocurrency, dibarengi penurunan penggunaan uang tunai fisik alias cash, serta perkembangan layanan uang elektronik dari berbagai bank komersial maupun lembaga keuangan digital lainnya.

Hal ini membuat bank sentral merasa harus merumuskan sikap mereka serta menentukan arah untuk mendukung proses digitalisasi. Di sisi lain, dan mungkin yang terutama, Bank Sentral tidak ingin kehilangan kontrol atas sistem keuangan yang makin terdigitalisasi.

Pada tahun 2016, ide CBDC tidak dianggap serius oleh bank sentral mana pun. Selang empat tahun, hanya 35 negara yang mulai mempertimbangkannya pada tahun 2020. Akan tetapi sekarang ada 114 negara yang mencakup 95 persen PDB dunia kini sedang menjajaki atau malah sudah meluncurkan program CBDC mereka. Ide CBDC melejit dan menjadi topik hangat saat ini.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pemindai kode batang untuk layanan pembayaran menggunakan dompet digital tersedia di lapak penjual tahu gejrot di kawasaan Kembangan Selatan, Jakarta Barat, Senin (11/10/2021). Perubahan belanja dan transaksi konvensional ke daring telah mengakselerasi pertumbuhan uang elektronik dan dompet digital. Gelombang digitalisasi yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 harus disikapi dengan tepat dan difasilitasi untuk dapat tumbuh secara sehat bagi perekonomian masyarakat.

Desain dan Fitur CBDC

Desain dan fitur dari mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) sangat bervariasi tergantung pada kebijakan setiap bank sentral. Tidak ada, atau belum ada, mekanisme CBDC yang jelas yang diikuti oleh semua negara. Namun, model eksplorasi yang ada saat ini memiliki beberapa fitur umum.

Pertama, CBDC, seperti namanya, adalah uang fiat digital yang dikeluarkan oleh bank sentral. Semua merupakan liabilities dari bank sentral. Oleha karenanya, berbeda dengan penyimpanan uang di bank komersial, CBDC tidak memiliki risiko tidak dapat menarik deposit seperti pada bank komersial.

Kedua, desainnya membuatnya independen dari rekening bank (tidak seperti e-money), sehingga juga anonim, dan transaksi bisa dilakukan langsung orang-ke-orang (people-to-people) atau orang ke badan usaha (people-to-business). Selain itu, ia juga dimaksudkan untuk disimpan dalam suatu dompet digital yang mestinya dapat berfungsi secara offline. Hal ini membuat orang akan memiliki lebih banyak kemandirian atas aset mereka; orang tidak lagi tergantung pada perantaraan layanan bank komersial ataupun lembaga finansial lainnya). Akan tetapi, terkait perantaraan ini, CBDC yang sudah diluncurkan kebanyakan masih diperantarai oleh bank komersial dan bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk menyediakan layanan dompet digital.

Ketiga, mengenai bunga dan biaya administrasi, sejauh ini tidak ada CBDC yang memberikan bunga dan semuanya tanpa biaya transaksi atau administrasi. Kebijakan ini mungkin berubah di masa depan. Selain itu, ada juga kebijakan batas maksimum deposit untuk model yang ada saat ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari keluarnya dana secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar dari bank komersial ke CBDC. Fitur bunga nol juga dimaksudkan untuk mencegah larinya arus kas secara substansial seperti itu.

Secara umum, memang betul bahwa untuk sebagian besar publik, CBDC akan tampak serupa dan bahkan tidak terbedakan dari e-money yang sudah banyak digunakan. Namun secara intrinsik keduanya berbeda. Di bawah ini tabel yang membedakan karakteristik uang tunai, e-money, dan CBDC.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Relevansi uang digital

Meskipun perhatian publik dan penelitian terhadap sistem CBDC terus berkembang, beberapa lembaga menunjukkan skeptisisme terhadap sistem ini. Belum jelas keuntungan atau kebaikan apa yang bisa dibawa oleh CBDC bagi publik, untuk sistem moneter dan metode pembayaran. Di Inggris, komite House of Lords yang melakukan penelitian mendalam tentang mekanisme ini menyimpulkan bahwa CBDC bukan lain hanyalah ‘solusi yang mencari masalah’.

Beberapa pendukung CBDC menekankan bahwa CBDC adalah suatu upaya untuk memastikan bahwa pemerintah mampu mempertahankan kekuatannya dalam mengatur digitalisasi ekonomi yang terus berkembang serta untuk melindungi kepentingan publik dari lembaga keuangan digital privat yang makin luas dan besar. Lainnya berspekulasi bahwa CBDC dapat meningkatkan rasa kontrol individu atas aset mereka, terutama bagi para penyimpan dana yang tidak mempercayai bank.

Meski beberapa menduga bahwa untuk kelompok individu yang lebih hati-hati tentang penyimpanan uang tersebut akan terus bersikeras pada penggunaan uang tunai meskipun penggunaannya dalam transaksi telah menurun.

Beberapa berpendapat pula bahwa kebijakan batasan jumlah dana pada CBDC dalam skenario yang percobaan yang sudah ada saat ini ini berbagai negara akan mengurangi efektivitas CBDC dan dukungan publik atasnya, namun bila batasan ini dihapus begitu saja, resiko arus penarikan besar-besaran dari bank komersial memang ada.

Dampak pada Sistem Moneter Internasional

Seperti yang disebutkan di atas, desain CBDC berbeda-beda di antara negara-negara yang mengeksplorasi sistem ini, dan dampak dari CBDC akan sangat bergantung pada format tersebut. Namun, kita masih dapat mengidentifikasi beberapa dampak yang mungkin terjadi pada sistem moneter internasional seiring dengan penerapannya yang semakin meluas.

Perubahan pada Transaksi Lintas Negara

Hingga saat ini, meskipun beberapa negara dan wilayah berusaha membebaskan diri dari ketergantungan pada USD, mata uang ini masih mendominasi perdagangan global. Transaksi lintas batas kebanyakan menggunakan USD sebagai mata uang. Hal ini memberi AS kapasitas untuk menegakkan hegemoninya atas perdagangan global. Jika suatu negara bertentangan dengan kepentingan atau posisi yang didukung AS, mereka bisa diputus dari penggunaan USD, menghambat perdagangan ke dan dari negara tersebut.

Selain itu, transaksi lintas batas bergantung pada SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Ini bukan sistem pembayaran, tetapi jaringan komunikasi antar-bank di seluruh dunia yang dimulai pada tahun 1970. Ketika CBDC antar-negara saling terhubung, ada kemungkinan bagi negara-negara untuk meninggalkan sistem SWIFT dan melakukan transaksi langsung dengan pihak terkait tanpa perantaraan SWIFT, juga tanpa peralihan melalui USD. Artinya, CBDC antar-negara dapat melemahkan sistem koordinasi SWIFT dan hegemoni USD.

Di satu sisi, hal ini dapat membuat transaksi lintas batas menjadi lebih cepat, mudah, dan efisien. Namun, hal ini mungkin datang dengan risiko yang lebih besar bagi beberapa negara yang sistem keuangannya tidak cukup kuat. Alih-alih menggunakan uang lokal, ketika CBDC saling terhubung, orang bisa dengan mudah beralih ke mata uang asing, dan hal ini bisa menciptakan kekacauan dalam perekonomian suatu negara karena arus dana yang lari begitu cepat ke luar.

Masa Depan Bank Komersial dan Alokasi Kredit

CBDC dengan desain ritel akan memperluas akses ke cadangan bank sentral (Central Bank Reserves) melampaui bank komersial ke masyarakat umum. Orang mungkin memiliki akun di bank sentral dan/atau hanya menyimpan sebagian besar – jika tidak semua – aset mereka di dompet digital pribadi. Ini adalah transformasi radikal.

Karena uang publik dianggap lebih aman daripada uang bank komersial, ada risiko dana yang mengalir dari bank komersial ke bank sentral, terutama selama masa ekonomi yang sulit seperti resesi.

Sebuah studi di Kanada menunjukkan bahwa tiap rumah tangga bisa mengalihkan antara 4 persen dan 55 persen dari aset likuid mereka ke CBDC. Ini kemudian akan memperluas liabilities bank sentral. Selain itu, hal ini akan menguras deposit publik di bank dan dengan demikian membuatnya tidak stabil, karena jika bank ritel tidak memiliki cukup deposit, mereka juga tidak akan dapat memberikan pinjaman bagi masyarakat yang pada gilirannya menghambat penciptaan bisnis.

Jika bank sentral yang melakukan alokasi kredit sebagai gantinya, kita akan memiliki masalah lain: netralitas bank sentral dalam alokasi kredit. Dalam skenario tersebut, bank sentral mesti bertanggung jawab untuk menentukan bagaimana kredit dialokasikan. Ini menimbulkan kekhawatiran apakah bank sentral akan memiliki kapasitas cukup untuk menentukan siapa yang mendapatkan kredit dan apakah dapat bersikap netral, sementara kita ingat bahwa bank sentral adalah bagian dari pemerintah sekalipun ia independen dari lembaga eksekutif.

Sistem Keuangan yang Lebih Efisien dan Universal

Di samping dua persoalan besar di atas, CBDC dapat menciptakan sistem keuangan yang lebih efisien dan efektif. Model ini bisa mengurangi biaya operasional industri keuangan global, dengan estimasi lebih dari 350 USD per orang per tahun (atau sekitar 5 juta Rupiah).

CBDC juga dapat membuat sistem keuangan dapat diakses oleh lebih banyak orang. Estimasi dari the Economist menunjukkan sekitar 1,7 miliar orang yang saat ini tidak memiliki rekening bank.

Privasi Data Keuangan

Seperti disebutkan sebelumnya, CBDC dimaksudkan untuk menjadi anonim. Orang tidak perlu memiliki rekening bank untuk menyimpan uang mereka di dompet digital. Namun, tanpa catatan transaksi, pencucian uang akan lebih marak.

Oleh karena itu, catatan transaksi mungkin diperlukan dan seseorang harus memantau aliran uang ini, untuk melindungi aturan anti pencucian uang. Namun lagi, ini akan menciptakan masalah privasi data keuangan yang lebih besar. Jika bank sentral memiliki hak untuk melakukan pengawasan, kita mungkin menciptakan negara panoptikon, di mana kekuatan baru ini bisa melarang orang melakukan pembelian tertentu atau bahkan membekukan aset seseorang dalam hitungan detik.

Perubahan Kebijakan Moneter

Dampak lain yang juga mungkin terjadi bila transisi kepada CBDC betul-betul terjadi secara luas adalah perubahan pada sistem kebijakan moneter dan intervensi pemerintah pada ekonomi.

Jika peran perantara dari bank komersial berkurang dan orang semakin memilih untuk menyimpan uang mereka di dompet digital, pemerintah dan bank sentral perlu menyesuaikan kebijakan moneter mereka secara radikal.

Penyesuaian suku bunga sebagai respons terhadap siklus ekonomi mungkin akan terbukti tidak efektif. Alat kebijakan baru (policy tools) maupun peningkatan intensitas pada model intervensi yang sudah ada masih harus dijelajahi dan diteliti, misalnya seperti pembayaran langsung atau penerapan suku bunga di bawah nol.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pengunjung memindai Kode baca cepat (QR code) untuk pembayaran dengan uang elektronik di gerai makanan di pusat perbelanjaan di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (2/11/2020). Layanan teknologi finansial di bidang pembayaran semakin populer digunakan terlebih lagi di saat pandemi Covid-19 ini.

Pengembangan Digital Rupiah

Bank Indonesia meyakini bahwa membangun sistem Rupiah Digital merupakan keharusan dan model keuangan ini akan membantu menjaga kedaulatan rupiah di era digital ketika proses digitalisasi dan transisi pada aset digital terus berkembang. Rupiah Digital dinilai akan turut mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital di Indonesia, serta memberikan peluang inklusi keuangan yang lebih luas, lebih merata, dan lebih berkelanjutan.

Akan tetapi Bank Indonesia sendiri menyadari bahwa penerbitan Digital Rupiah sebagai CBDC Indonesia akan menghadirkan disrupsi besar bagi industri perbankan saat ini dan sistem transaksi yang sudah ada.

Sebagaimana dijelaskan secara detail di atas, kehadiran Rupiah Digital akan menjadi suatu kompetitor bagi jasa keuangan elektronik yang diterbitkan bank komersial saat ini, juga jasa keuangan dan transaksi lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pendapatan bagi lembaga-lembaga tersebut, hingga bahaya ekstrem seperti risiko likuiditas bank. Hal ini menuntut pengkajian yang lebih seksama dan melibatkan berbagai pihak agar implementasi Digital Rupiah membawa lebih banyak kebaikan daripada disrupsi.

Dalam white paper Proyek Garuda, Bank Indonesia menyebutkan adanya opsi kerja sama BI dengan pihak swasta sebagai penyedia platform dompet digital (digital wallet). Layanan ini yang akan bertanggungjawab dalam distribusi Digital Rupiah dan tentunya arsiteksi penggunana Digital Rupiah oleh khalayak umum.

Sementara itu, white paper juga menyebutkan bahwa dalam rencana BI, Rupiah Digital akan diterbitkan baik dalam bentuk wholesae maupun retail. Rupiah Digital wholesale (w-Rupiah Digital) cakupan aksesnya terbatas hanya oleh lembaga keuangan dan untuk operasi moeneter, transaksi pasar valas, serta transaksi pasar uang. Sementara, Rupiah Digital retail (r-Rupiah Digital) cakupan aksesnya terbuka untuk publik untuk transaksi umum oleh individu maupun bisnis.

Proyek Garuda merancang tahapan penerbitan Rupiah Digital dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penerbitan white paper sebagai bentuk komunikasi publik atas rencana Bank Indonesia untuk mengembangan CBDCs ini. Tahap ini telah terlaksana pada November 2022. Tahap kedua adalah konsultasi publik yang dilakukan pada  31 Januari hingga 15 Juli 2023. Untuk tahap ini, BI menerbitkan Consultative Paper dan mengadakan berbagai Focus Group Discussion terkait skenario dan rancangan CBDCs, dibarengi dengan berbagai eksperimen teknologi (proof of concept, prototyping, dan proyek pilot atau sandboxing).

Bank Indonesia telah menerbitan  Consultative Paper Tahap I berjudul “Proyek Garuda: Wholesale Rupiah Digital Cash Ledger” pada 31 Januari 2023. Hasil dari konsultasi publik ini dirangkum dalam “Laporan Konsultasi Publik Proyek Garuda”. Tahapan terakhir yang kini tengah dilakukan adalah tahap review  dan penerbitan kebijakan. Masyarakat masih menunggu saat dompet digital rupiah digital betul-betul dapat diunduh dan rupiah digital betul-betul menjadi kenyataan di depan jemari. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Laporan khusus
Jurnal akademik
  • Ozili, P.K. (2023). Central bank digital currency research around the world: a review of literature. Journal of Money Laundering Control, 26(2), 215-226.
  • Sakharov, D.M. (2021). Central bank digital currencies: Key aspects and impact on the financial system. Finance: Theory and Practice; 25(5), 133-149. https://10.26794/2587-5671-2021-25-5-133-149
  • Zhong Hong, Yu Mengyang (2023). Dampak mata uang digital bank sentral terhadap sistem pembayaran lintas batas global. New Finance, 10, 44-50.